“Selamat jalan, Hani, semoga suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi. Jangan lupa hubungi aku kalo nanti kamu sudah punya ponsel.”
Ica melepas kepergian Hani dengan derai air mata. Meski baru kenal sebentar tapi Hani telah memberinya banyak pelajaran hidup dan bantuan yang sangat bermanfaat untuk keluarganya. Mengetahui wanita itu akan segera pindah, Ica sengaja mampir untuk sekedar mengucapkan selamat jalan dan berterima kasih. “Salah buat keluarga kamu, ya. Tetap semangat, oke! Yakinlah semua akan indah pada waktunya.” Hani memeluk Ica sekilas kemudian berjalan menyeret kopernya. Di tepi jalan, Arif sudah berdiri di samping mobilnya menyambut Hani yang berjalan semakin mendekat. Ia benar-benar sangat bahagia karena akhirnya Hani memutuskan untuk mau berpura-pura menjadi mama Danish juga tinggal bersamanya meski hanya sebagai pengasuh. “Siap?” tanya Arif setelah duduk dibalik kemudi sembari memandang wajah Hani yang kini duduk di sebelahnya. “Ya,” jawab Hani singkat. Mobil melaju pelan di jalanan yang cukup ramai, sesekali mereka terlibat obrolan ringan mengenai Danish atau hal-hal tak penting yang dilihatnya di jalan. Perjalanan dari rumah kontrakan Hani menuju rumah sakit sebenarnya bisa ditempuh dalam waktu setengah jam, namun kali ini lebih lama karena ada perbaikan jalan yang membuat mereka beberapa kali terjebak macet. Arif melirik Hani yang kini terlihat mengantuk. Semalam ia memang terpaksa ikut menunggu Danish di rumah sakit karena anak itu tak mau sekalipun lepas darinya. Ia merasa Hani sekarang sudah benar-benar berbeda dengan Hani yang dikenalnya dulu terutama dari segi penampilan. Ia yang dulu sering berpakaian seksi kini terlihat tomboy dengan kaus oblong yang selalu melekat di badannya dan rambut yang dicepol asal. Meski begitu bukan berati ia tak cantik, Arif malah semakin terpesona melihat Hani yang sekarang. “Ayo turun,” ajak Arif setelah mereka sampai di rumah sakit dan hanya dibalas anggukan oleh Hani. Danish memang dijadwalkan pulang hari ini, namun sebelum itu, ia harus menunggu dokter untuk pemeriksaan terakhir. Untuk menghilangkan suntuk, Hani mengajak Danish keluar untuk mencari udara segar karena dokter baru akan datang dua jam lagi. Ia membawa anak itu duduk di sebuah bangku yang terletak di taman kecil sebelah koridor sembari melihat orang yang berlalu lalang. “Mama beneran mau pulang sama Danish, kan?” tanya Danish memastikan. “Iya dong, kan bajunya udah di bawa di mobil papa.” Bagi Hani tak terlalu sulit untuk berpura-pura manis di hadapan Danish. Meski rasa bersalah tetap menyeruak dihatinya, paling tidak ia bisa membuat anak itu bahagia. Setelah puas duduk, Hani memutuskan untuk membawa Danish kembali ke dalam kamar. Namun di tengah koridor Hani menangkap sesosok wanita yang baru saja turun dari mobil dan kini tengah berlari menuju ruang gawat darurat. Bukan wanita itu yang menjadi perhatian Hani melainkan sesosok bayi berbungkus selimut dalam dekapannya yang ia yakin sebagai anak kandungnya. “Nara?” gumam Hani pelan. Merasa penasaran Hani berhenti sembari memperhatikan Nara serta dua orang berseragam baby sitter serta seorang laki-laki yang ia kenal sebagai sopir pribadinya. Hani memutuskan duduk dengan memberi alasan sedang menunggu papa yang tengah mengurus administrasi pada Danish. Dari jarak yang cukup jauh serta berlindung tanaman hias, Hani yakin Nara tak akan sadar jika sedang diperhatikan. Melihat tingkah Nara yang terlihat panik dan gelisah membuat Hani berpikiran jika bayinya sedang tak baik-baik saja. Lagi-lagi perasaan aneh hinggap di hati Hani. Rasa bersalah sekaligus menyesal menyeruak saat ia tak bisa berbuat apa-apa melihat bayi yang keluar dari perutnya berada di rumah sakit. Saat ia rela begadang semalaman menunggu anak orang, ia malah membiarkan anak sendiri kesakitan bersama orang lain. “Mama kenapa?” tanya Danish polos. Hani menggeleng sembari menyeka air matanya yang hendak terjatuh. Percuma saja menyesal, karena semua tak akan berubah. Hani tetap bertekad untuk tak menemui bayi yang kini sudah menjadi anak Nara. Lagi pula ia yakin jika bayinya pasti bahagia bersama Nara. Dari raut wajah yang berantakan itulah Hani tahu jika Nara sangat menyayangi anaknya. “Keluarga Amelia Sanjaya.” Hani mendengar dengan jelas saat perawat menyebutkan sebuah nama yang ia yakini sebagai nama anaknya. “Amelia Sanjaya,” gumam Hani pelan. Setelah beberapa bulan berlalu, baru kali ini ia tahu nama bayinya itu pun karena tak sengaja, sebuah nama cantik yang ia yakin secantik wajahnya. Dari nama itu, Hani sadar jika anak itu bukan lagi miliknya. Nama Sanjaya yang tersemat padanya cukup menunjukkan jika Amel adalah cucu seorang konglomerat yang tak lain adalah ayah Rahman Sanjaya yang artinya orang lain tak akan percaya dan menganggapnya gila saat mengakui anak itu lahir dari rahimnya. Hani memutuskan untuk membawa Danish kembali ke kamar. Tega tak tega, Hani telah bertekad untuk melupakan dan merelakan bayi itu. Jika suatu saat nanti Tuhan menakdirkan bayi itu tahu ibu kandungnya, bukan sebuah pengakuan atau panggilan mama yang ia harapkan, melainkan kata maaf untuk seorang ibu yang tega menukar bayinya dengan uang.Hani terdiam mengamati kerlap kerlip lampu jalan yang kini dilewatinya. Semenjak berangkat beberapa saat yang lalu, jantungnya terus berdebar tak karuan memikirkan tentang pertemuan keluarga yang akan dilakukan nanti. Saat ini Hani dan keluarga sedang dalam perjalanan menuju sebuah restoran untuk memenuhi undangan Amel dan keluarganya. Meski hanya makan malam biasa namun Hani merasa ini pertemuan tak biasa. Arif menggandeng Hani menelusuri lorong yang dihiasi banyak lampu cantik berwarna-warni memasuki restoran bertema outdoor dengan banyak kolam di areanya. “Itu mereka di sana, Pa, ma.” Danish menunjuk ke sebuah ruangan privat yang dibatasi dengan kaca. Amel dan Danish sengaja memilih ruangan itu agar mereka bisa nyaman mengobrol. Keduanya juga tahu pertemuan ini pasti akan dijadikan ajang reuni oleh orang tua mereka. Hani terkesiap saat pandangan matanya menangkap sosok lelaki berbadan tegap yang duduk memunggunginya. Tanpa melihat
“Rokok terus! Kopi terus!” Sambil menyiram bunga Hani melirik pada lelaki yang kini tengah duduk di teras samping sambil terus terbatuk.“Iya besok dikurangi, Sayang!”“Bilangnya setiap hari mau ngurangin tapi nyatanya setiap hari habis dua bungkus,” sindir Hani.Arif hanya tersenyum sambil mengerlingkan mata pada Hani. Sudah menjadi kebiasaan jika ia batuk, maka istrinya pasti akan terus menyindirnya.Hani yang melihat tingkah suaminya hanya mendengkus kesal, di usianya yang lebih dari 45 tahun Arif masih saja kuat merokok. Sebenarnya tak apa jika badan lelaki itu selalu sehat tapi pada kenyataannya Arif sering sekali menderita batuk yang membuat Hani sangat geram karena susah dinasihati.“Udah tahu batuk begitu, ngerokok terus!” Hani masih terus mengomel meski tahu itu hanya dianggap angin oleh Arif.“Jangan ngomel terus, mama, nanti cantiknya ilang.” Danish yang baru saja keluar langsung mengecup lembut pipi Hani.“Gimana enggak marah, papamu itu susah
“Sayang, aku besok pergi ke luar kota dua hari kamu mau ikut?” tanya Arif sambil menikmati sarapannya.“Em .... mungkin enggak. Besok Danish ujian jadi aku harus standby buat dia.”“Tapi kamu enggak apa-apa ‘kan aku tinggal? Soalnya ini penting banget dan gak bisa diwakilkan.”“Iya, Mas, aku baik-baik aja. Paling kamu yang sebentar-sebentar telepon aku bilang kangen.” Hani mengerlingkan matanya.“Aku memang selalu kangen kamu.” Arif menjentikkan jarinya hingga berbentuk hatiSeperti biasa, obrolan hangat selalu tercipta setiap pagi di meja makan. Hani yang sudah menemukan kembali semangat hidupnya, kini sudah beraktivitas penuh menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dan seorang ibu.“Sayang, ayo sarapan!” Sambil menata makanan di meja, Hani memanggil Danish agar cepat turun.“Jangan terlalu capek, Nak. Kalo repot, kamu bisa langganan catering untuk sarapan atau kami bisa makan roti setiap hari.” Bu Rohmah yang baru sa
Tak ada yang spesial pada hari-hari Hani saat ini. Rumah mewah, makanan lezat serta uang yang ia miliki sudah tak berarti lagi. Wanita itu seakan kehilangan setengah jiwanya semenjak dinyatakan tak bisa hamil untuk selamanya.“Sayang, aku mau nongkrong. Ikut, yuk!” ajak Arif yang langsung bergelendot manja pada Hani yang kini duduk ranjang.“Aku lagi enggak pengen kemana-mana, Mas,” jawab Hani lirih.“Jangan begini terus, yakinlah semua akan baik-baik saja. Aku sayang kamu dan selamanya akan seperti itu. Aku bisa menerima masa lalumu jadi aku pasti bisa menerima keadaanmu sekarang. Aku dan kamu dulu memang pendosa jadi kita harus terima jika tuhan memberi karma.”Mendengar kata karma membuat air mata Hani perlahan luruh. Ya, dia kini memang tengah mendapatkan karma. Tapi jujur saja ia belum siap menanggung semuanya. Ketakutan jika Arif memilih menikah lagi terus saja terngiang di kepalanya.“Tapi seharusnya kamu tak perlu ikut menanggung karmaku, Mas! Biar aku saja yang menanggungnya.
“Kamu sudah sadar, Sayang? Jangan seperti ini lagi, aku takut.”Arif terus meracau sembari menggenggam erat tangan Hani dan berkali-kali mengecupnya. Ia sangat bahagia karena istrinya akhirnya membuka mata. Meski keadaannya masih sangat lemah, tapi bagi Arif hal itu sudah cukup membuatnya tenang.“Danish mana?” lirih Hani dengan suara yang hampir tak terdengar.“Seperti biasa, dia selalu menanyakanmu. Cepatlah sembuh, kami merindukanmu.”“Maafkan aku, maaf karena tak bisa menjaga diri.” Suara Hani terdengar parau.“Sttt ... jangan berpikir macam-macam. Aku hampir gila melihatmu begini.”“Bagaimana keadaan anak kita?”“Mereka—“Lidah Arif mendadal kelu, sebelum Hani dinyatakan koma, dokter telah memberitahu jika bayi dalam kandungan Hani tidak bisa diselamatkan. Bukan hanya itu, dokter juga terpaksa mengangkat rahim Hani karena luka akibat benturan keras dan ditakutkan bisa terkena infeksi jika tak segera di angkat.“Jawab, Mas!” Hani membentak meski suaranya masih terdengar lemah.“Me
“Maaf, aku hanya mengecek. Tadi perawat bilang kalo Hani menunjukkan pergerakan dan aku di suruh masuk karena mereka pikir aku suaminya,” bohong Rahman.“Hani sadar?” tanya Arif antusias.Rahman menggeleng.“Terus?”“Mungkin dia kecewa karena bukan kamu yang masuk, Maaf.” Rahman menunduk, dadanya sedikit bergetar karena takut alasannya terlihat mengada-ngada.Tanpa pikir panjang, Arif bergegas masuk. Ia sudah tak sabar untuk menemui istrinya berharap Hani bisa segera membuka mata seperti apa yang baru saja dikatakan Rahman.“Kamu sadar, Sayang?” tanya Arif yang sudah berdiri disamping Hani.Raut wajah Arif berubah kecewa saat mendapati wanita yang begitu dicintainya masih sama seperti terakhir kali ia tinggalkan. Istrinya masih dalam posisi yang sama dan matanya tetap terpejam.“Maaf, Sayang. Tadi aku nganterin Danish dulu. Danish berharap kamu segera pulang. Anak itu akan susah tidur kalo kamu tak ada di rumah.”“Jangan siksa aku seperti ini, Say