Taksi yang kupesan sudah datang dan siap mengantar ke rumah sakit. Siang ini, jadwal kontrol Mas Arsya sesuai anjuran dari dokter yang menanganinya saat di Jogja. Sengaja kami mendaftar untuk jam siang karena Mas Arsya hanya izin bekerja setengah hari. Dia tidak enak jika terlalu sering meninggalkan pekerjaan lagi. Awalnya, Mas Arsya tidak mengizinkanku berangqkat 1sendiri, tapi untuk menghemat waktu, kami janjian langsung di rumah sakit saja. Jadi, Mas Arsya tidak perlu harus menjemputku terlebih dahulu. "Sayang harus hati-hati, ya. Bilang sama sopir Qtaksinya, jangan ngebut bawa mobilnya. Terus, kalau ada yang aneh, langsung telepon. Yang penting, jangan panik. Bawa juga parfum yang kecil aja. Kalau ada yang gangguin, semprot matanya."Itu serentetan wejangan yang Mas Arsya ucapkan saat menelepon sebelum taksi datang. Dia begitu mencemaskanku. Namun, perhatian itu sangat berharga untukku. Serasa menjadi ratu setiap saat. Aku keluar dari rumah dikawal oleh Bi Narti. Dia juga diama
Kabar dari Mas Danu dan Kaniya membuatku bisa tidur nyenyak beberapa hari terakhir. Tidak menyangka jika takdir yang menjodohkan mereka. Padahal, dulu aku sama sekali tidak terpikir sampai sana. Aku malah mengira jika Mas Danu akan membawa pasangan sepulang dari Kalimantan. Namun, itu semua hanya perkiraan yang salah. Sekarang, masih ada satu hal yang sulit kubicarakan dengan Mas Arsya. Dia selalu mematahkan niatku saat akan mengatakan keinginan Papa yang diungkapkan kepadaku tempo hari mengenai perusahaan beliau. Mas Arsya sempat mengatakan jika dia memenangkan pembebasan hektaran lahan yang akan dijadikan perumahan oleh perusahaan properti tempatnya bekerja. Bahkan, bonus yang diterima tidak main-main. Mas Arsya akan mendapatkan satu buah rumah dari hasil kerja itu. Kerja kerasanya benar-benar membuahkan hasil sekarang. Dia juga diangkat sebagai direktur cabang di kota yang sama dengan tempat pembebasan lahan itu.Rumah baru yang akan didapatkan Mas Arsya itulah nantinya akan menj
Saat sebuah komitmen diingkari, rasanya aku tidak ingin lagi percaya dengan siapa pun. Kecewa tentu saja menjadi hal paling mendasar yang dialami semua orang saat kembali dibohongi. Mungkin bukan berbohong niatnya, hanya tidak ingin menceritakan yang sebenarnya Namun, itu sama saja menurutku. Sama-sama tidak jujur. Sekarang, bukan lagi Mas Arsya yang bersikap dingin, tapi aku. Kekecewaan di hati ini rasanya sudah menggunung. Berkali-kali aku seperti dipermainkan. Bahkan, seperti orang paling bodoh yang tidak tahu apa-apa dan harus menghadapi masalah tanpa tahu asal mulanya. Kenyataan Mas Arsya yang baru terungkap tadi pagi, membuatku memilih diam dan menjadi istri penurut. Aku tidak akan penasaran lagi dengan apa pun yang mungkin masih Mas Arsya sembunyikan. Nyatanya, aku harus selalu terluka dulu jika akan mengetahui rahasia masa lalunya. Usai salat Isya, aku memilih langsung mengistirahatkan badan di di tempat tidur. Usia kandungan yang sudah masuk lima bulan ini membuatku cepat
Aku, Mas Arsya, dan Bi Harni sedang sibuk membereskan barang-barang. Satu bulan sudah berlalu sejak aku bertemu dengan Kakek dan Nenek dari Mas Arsya. Aku sudah berdamai, tapi tidak bisa dipungkiri jika hati ini sangatlah kerdil dan terlalu mudah terbawa perasaan. Besok, kami sudah harus meninggalkan rumah penuh kenangan ini karena sudah ada orang yang akan mengontrak. Mas Arsya memang sudah mengiklankan rumah ini untuk dikontrakkan sejak sebulan yang lalu dan sudah ada yang berminat. Dulu, pertama kali aku tinggal di sini bersama Arumi setelah menikah dengan Mas Arsya. Ya, mungkin memang inilah yang terbaik. Aku dan Mas Arsya butuh suasana baru agar hubungan kami bisa menjadi lebih baik. Barang-barang yang akan kami bawa pindah sebenarnya tidak terlalu banyak karena furniture ikut dipinjamkan kepada si pengontrak rumah. Kami hanya membawa barang-barang pribadi, perlengkapan dapur, dan beberapa alat elektronik. Mas Arsya bilang, di rumah baru sudah lengkap isinya dengan barang-bara
"Mbak, kamar Bibi terlalu besar. Rasanya gimana gitu?" ucap Bi Narti tiba-tiba saat aku ingin mengambil minum di dapur. Dia sedang mencuci beras. Dua kamar di bawah memang satu untuk Bi Narti dan satu lagi untuk kamar tamu yang sekarang sedang ditempati oleh Ayah dan Ibu. Untuk dua kamar atas, salah satunya untukku bersama Mas Arsya, sedangkan satu lagi sementara dipakai oleh Kaniya. Kalau Mas Danu, dia tidur di sofa ruang keluarga sambil menonton pertandingan sepak bola. Saat turun tadi, aku melihat kakak menyebalkan itu masih terlelap dengan televisi yang masih menyala. "Memang adanya kamar itu, Bi. Bibi itu sudah seperti orang tua buat aku sama Mas Arsya. Jadi, sengaja kamar buat Bibi dibuat sama dengan kamar yang lain." Aku menjawab sembari menampung air dari keran dispenser dengan gelas. "Bibi jadi sungkan." Bi Narti menatapku setelah menyalakan penanak nasi. Aku tersenyum, lalu beralih ke meja makan dan duduk setelah menarik satu kursi. Segelas air putih kuminum beberapa kal
PoV ArsyaTernyata, Manda masih memendam rasa takut tentang masalahku dengan Papa dan Mama. Itu sebabnya perasaannya tidak juga membaik meskipun aku sudah berulang kali meminta maaf. Saat membentaknya waktu itu, emosiku entah kenapa menutup mata hati. Manda tidak salah, tapi aku meluapkan amarah kepadanya. Hampir saja aku pergi untuk menemui Papa saat itu juga. Namun, tiba-tiba bayangan Manda yang sedang menangis muncul. Aku tidak ingin ambil risiko karena dia memang sedang labil emosinya dan itu bisa saja berakibat fatal pada kandungannya. Aku pun memutar haluan untuk kembali pulang. Benar adanya, Manda sudah sesegukan dan aku sangat tidak tega melihatnya seperti itu. Keesokan harinya, Manda terus saja diam dan menghindariku. Namun, rencana yang sudah kusiapkan untuk membuka rahasia Kakek dan Nenek harus berubah haluan karena Manda telanjur dilibatkan oleh Papa Farhan untuk membujukku. Jadi, aku terpaksa membongkar rahasia yang sebenarnya tidak ingin aku kulik lagi. Dia sangat ter
Aku lega karena akhirnya bisa mengatakan apa yang sebenarnya mengganggu pikiran. Tentang hubungan Mas Arsya dengan Papa dan Mama itu sangat menguras hati. Aku yang memang tidak terbiasa dibentak, tentu sangat down. Satu kali sempat Ayah Husni membentakku saat kembali ke Jogja bersama Mas Danu, aku sampai drop dan mengalami pendarahan. Saat itu, emosiku juga tidak terkendali dan akhirnya hal buruk terjadi.Kami bercengkrama cukup lama di sekitaran curug parigi sekaligus makan siang. Mungkin kalau aku sedang tidak hamil, ingin sekali bisa bermain air di air terjun itu. Tempatnya pasti sangat licin sehingga aku harus puas dengan memandangnya saja. Menjelang sore, Mas Arsya mengajak pulang. Akan tetapi, dia kembali pergi setelah mengantarku pulang. Katanya, ada urusan untuk membahas acara penyambutannya besok di perusahaan cabang. "Nggak usah nungguin aku buat makan malam, ya. Mungkin aku pulang agak larut," ucap Mas Arsya sebelum aku turun dari mobil. "Iya. Mas Arsya hati-hati, ya. Ka
Aku tengah sibuk menata meja makan bersama Kaniya. Sementara Ibu dan Bi Narti masih menyelesaikan sedikit gorengan dan menunggu satu masakan lagi yang belum matang. Ada empat menu masakan yang dibuat Ibu dengan Bi Narti, termasuk gudeg dan sambel goreng krecek yang merupakan menu utama di warung makan Ibu. Lalu, ada juga tempe mendoan, ayam goreng, dan perkedel kentang. Meja makan di rumah ini untungnya cukup besar dan agak memanjang, ada delapan kursi yang mengelilingi. Paket komplet yang terhidang kali ini benar-benar sangat menggoda. Tepat saat semua masakan siap, bel rumah ini berbunyi. Aku bergegas meninggalkan ruang makan, tapi dicegah oleh Mas Arsya. Katanya, dia yang akan membuka pintu. Namun, aku tetap mengikutinya ke depan. Kuulas senyum saat melihat siapa yang datang. Ada Mama Astri dan Papa Farhan. Aku pun mendekat dan mencium tangan keduanya bergantian. Namun, aku melihat ada keanehan dengan sikap Mas Arsya, Mama, dan Papa. Mereka seperti orang asing satu sama lain. Mem