Lavinia menggenggam erat gaunnya. Wajahnya memerah karena bisikan dari Dante yang memintanya melepaskan gaunnya sekarang.
"Tunggu apa lagi?" kata Dante. Pria itu terlihat puas bisa membuat Lavinia tampak terpojok. "Aku akan melepaskannya di kamar mandi saja," sahut Lavinia, sambil melangkah pergi. Dante tidak menahannya. Pria itu masih berdiri di tempatnya, dengan sudut bibir yang terangkat samar. Mata birunya memancarkan kilau yang nakal. Di dalam kamar mandi, Lavinia menekan dadanya. Dia bisa merasakan debaran jantungnya begitu kencang, seakan hendak melompat keluar. "Apa-apaan dia? Kenapa dia mengatakan hal aneh seperti itu?" gerutunya. Namun, bibirnya terangkat, membentuk senyum samar. Lavinia berusaha melepaskan gaunnya. Dia sedikit kesulitan saat harus menurunkan resleting yang ada di bagian belakang. Akhirnya, setelah melewati beberapa menit, gaun itu melorot ke bawah, menampilkan tubuh yang hanya mengenakan dalaman berwarna putih. Lavinia mengangkat gaun itu dan meletakkannya di atas sebuah lemari kecil yang ada di sudut kamar mandi. Kemudian, Lavinia berdiri di depan cermin. Lalu, dia membasuh wajahnya dengan air. "Aku masih tidak menyangka akan menikah dengan pria asing. Selanjutnya bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Apa yang akan kami lakukan jika berada di dalam kamar yang sama?" Lavinia mengangkat tangan, menarik tirai shower perlahan. Suara air mulai mengalir, deras tapi dingin, menetes di sekujur tubuhnya. Dia menutup mata, menarik napas dalam-dalam sambil membiarkan air dingin itu membasahi kulitnya yang panas oleh kegelisahan. Perlahan, bahunya merosot, napasnya jadi lebih pelan. "Air ini membuatku sedikit lega," bisiknya pelan pada dirinya sendiri, meski beban di dada tak sepenuhnya hilang. * Beberapa menit berlalu. Lavinia akhirnya keluar dari kamar mandi. Namun, handuk yang pendek membuatnya merasa canggung. Diliriknya Dante yang kini sedang duduk di sofa, sambil menghisap rokok, dengan satu botol anggur di atas meja. Lavinia menelan Saliva dengan kasar. Langkah pelan, hampir tak bersuara, mendekati Dante. "Tuan." Suaranya yang memanggil pria itu terdengar seperti anak kucing yang meminta makan. Dante mendongak. "Ada apa?" "Apa yang harus aku kenakan sekarang?" tanyanya. "Tidak perlu mengenakan apapun," jawab Dante santai, sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Lavinia hampir akan mengumpat. Namun, dia masih menahannya, dan berusaha berbicara lembut. "Tuan, aku sedang tidak bercanda. Aku kedinginan sekarang." Namun, bukannya memberikan jawaban. Dante malah menepuk pahanya sendiri. "Duduk di sini, aku akan menghangatkan mu." Lavinia menghela nafasnya. "Berikan aku pakaian, Tuan! Aku tidak butuh kehangatan darimu!" Dante mengulum bibirnya. Dia berdiri, berjalan memutari Lavinia, lalu berhenti di belakang wanita itu. "Kau bisa marah juga. Aku pikir tidak bisa," bisiknya. Nafas hangatnya yang bercampur aroma rokok, menyentuh telinga Lavinia, membuat wanita itu merasa merinding.. Dante tiba-tiba tertawa melihat Lavinia mematung seperti itu. Dia kembali ke sofa, mengambil ponselnya, lalu mencari nama kontak seseorang di ponsel. "Bawakan beberapa pakaian wanita ke dalam kamarku. Lengkap dengan dalamannya, dan jangan lupa gaun malamnya," pinta Dante. Tidak lama kemudian, pintu kamar terdengar diketuk dari luar. Dante mengisyaratkan Lavinia supaya membuka pintu. Lavinia mengangguk pelan. Dengan langkah ringan, dia mendekat ke pintu, lalu membuka pintu tersebut. "Semua ini yang diminta oleh Tuan Dante," kata seorang pria yang berpakaian formal. "Terima kasih," sahut Lavinia, sambil tangannya mengambil paperbag yang disodorkan oleh pria tersebut. Begitu pintu tertutup, Lavinia langsung ke kamar mandi untuk segera mengenakan pakaiannya. "Sepertinya semua ini bukan pakaian murah," gumam Lavinia. Kedua matanya menatap ke label yang ada di pakaiannya. "Orang kaya memang selalu mengenakan pakaian mahal. Tapi... apa aku pantas mengenakannya?" Tak ingin terus berpikir, Lavinia segera mengenakan pakaiannya. Bibirnya mengembang sempurna saat melihat tubuhnya berbalut pakaian indah dan mahal. "Baru kali ini," gumamnya. "Tapi, ada harga yang harus aku bayar untuk menikmati semua ini. Aku harus berpura-pura menjadi istrinya." Lavinia menghela nafas panjang. Dia menyambar paperbag yang berisi gaun malam, dan beberapa pakaian lain, dan segera keluar dari kamar mandi itu. Tapi langkahnya terhenti tiba-tiba. Tubuhnya membentur sesuatu, keras, hangat, dan sangat hidup. Aroma khas parfum maskulin langsung menyergap inderanya. Matanya terangkat perlahan, menelusuri dada bidang yang tersembunyi di balik kemeja hitam, lalu naik ke wajah pria yang berdiri nyaris menempel di ambang pintu. Dante berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan datar. Pria itu tak bergerak sama sekali dari tempatnya. "Maaf, Tuan," ucap Lavinia lirih. "Aku tidak tahu Anda berdiri di sini." Tanpa menunggu jawaban Dante, Lavinia langsung melangkah pergi. Dia terlihat bingung untuk meletakkan paperbag yang ada di tangannya. "Tuan, pakaianku akan disimpan di mana?" Lavinia akhirnya memberanikan diri bertanya. Dante menunjuk sebuah pintu yang ada di sebelah kiri. Lavinia segera menuju ke pintu, membukanya perlahan dan melangkah masuk. "Wah, ini tempat khusus untuk menyimpan pakaian," gumamnya, lalu meletakkan paperbag di sudut kanan. Sebelum melangkah keluar, Lavinia melirik ke rak pakaian milik Dante. "Sepertinya dia menyukai warna hitam," gumamnya, lalu segera melangkah keluar dari tempat itu. "Sudah siap untuk memulai drama bersamaku?" Suara Dante terdengar dari arah belakang. Lavinia memutar tubuhnya. "Maksud Anda drama apa?" Dante mendekat. Dia menatap Lavinia sejenak sebelum berkata, "Drama keluarga. Ada pamanku, ada Alfredo putranya, dan juga Irina istrinya Alfedro. Mereka pasti akan menghinamu. Dan..... aku ingin kau bisa melawan semua ucapan mereka ketika menghinamu, paham?" katanya, lalu menjelaskan lagi bagaimana ketiga orang yang akan mereka hadapi, supaya Lavinia tidak salah bicara dan membuatnya malu. "Kau sudah mengerti bagaimana harus membalas ketika mereka menghinamu, bukan??" tanya Dante lagi. "Ya, aku sudah mengerti. Tentang kebun anggur pamanmu, tentang Alfredo yang sering di kasino, dan tentang Irina yang sering ke klinik kecantikan," jawab Lavinia. "Bagus! Sekarang kita turun, dan kita harus terlihat seperti pasangan istri yang sesungguhnya," ucap Dante tegas. Lavinia mengangguk pelan. Gegas dia mengikuti Dante keluar dari kamar. Langkah mereka serempak menapak di lantai marmer lorong mansion yang megah, suara sepatu bergema di antara dinding berukir emas. Sesekali mata Lavinia menyapu hiasan dinding yang begitu mewah, tapi hatinya terasa kosong saat melangkah menuju ruang makan yang luas dan sunyi. 'Huhh, apa aku bisa menghadapi semua ini?' tanyanya dalam hati. Mereka akhirnya tiba di ruang makan. Suasana ruangan tampak mewah, berbalut interior klasik Italia dengan perabotan kayu gelap dan lukisan-lukisan tua yang tampak mengawasi dari dinding. Lavinia duduk di samping Dante di meja makan panjang, tangan gemetar ringan saat mencoba menuang kopi ke cangkir Dante. Sendoknya bergetar, menghasilkan dentingan kecil yang terdengar nyaring di antara keheningan pagi itu. Pamannya Dante, Jeremio Romano, duduk di ujung meja dengan jas beludru warna cokelat tua. Dia menyendok potongan melon ke mulutnya dengan gerakan lambat, lalu mendelik ke arah Lavinia. "Aku penasaran, kenapa kalian bisa menikah? Berapa yang Dante bayar?" tanya Jeremio tanpa basa-basi. "Pasti kau wanita miskin yang menjual diri padanya, kan?" Suaranya sengaja dikeraskan, dibumbui tawa palsu, dia menatap Dantee. "Luar biasa, dari mana kau memungutnya, Dante?" "Paman, kita sedang sarapan. Bukan rapat mafia," sahut Dante ringan, tapi tajam. "Dan istri adalah istri. Bukan barang temuan. Di mana aku menemukannya, itu juga bukan urusanmu." Jeremio tertawa. "Benarkah begitu, Nona La.....?" "Lavinia namanya, Dad," ujar Alfredo yang ada di seberang meja. "Ya, apapun itu, ini sangat mengkhawatirkan. Bagaimana bisa Dante menikahi wanita yang tidak jelas asal usulnya," balas Jeremio tajam. "Jangan mengurusku. Urus saja masalah kalian sendiri," balas Dante, kedua tangannya mengepal, rahangnya mengeras. "Kami hanya khawatir," sahut Alfredo datar. "Kau tahu, kekuasaan butuh fondasi kuat. Dan wanita yang tak dikenal siapa orang tuanya, itu bukan fondasi yang meyakinkan. Apalagi wanita yang tidak berpendidikan." Alfredo lalu melirik istrinya. "Tidak seperti Irina, kan? Cantik, anggun, berpendidikan tinggi." Irina, istri Alfredo, memamg tampil sempurna dengan rambut pirang yang disanggul anggun dan lipstik merah darah. Dia menatap Lavinia dari atas ke bawah, lalu tersenyum kecil. "Setidaknya, dia cantik. Itu nilai plus. Atau, dia bisa membuat Dante melayang di atas ranjang." Seketika, ruangan itu dipenuhi suara tawa Jeremio, Alfredo, dan Irina. Tawa yang terdengar penuh penghinaan itu membuat Dante geram. Kedua tangan Lavinia terkepal erat di bawah meja. Kepalanya yang semula tertunduk, kini perlahan terangkat naik, menatap mereka satu-persatu. Wanita itu mengangkat gelasnya pelan, matanya menyipit tajam. Senyumnya tipis tapi menusuk, seperti pisau yang siap mengiris. Ada aura dingin yang membuat siapa saja di dekatnya merasakan ketegangan. "Apakah lucu?" Suara Lavinia menggema di ruangan itu. "Orang-orang seperti kalian senang sekali menertawakan orang lain." Ketiga orang yang semua masih tertawa pelan, langsung menoleh menatap Lavinia. Sedangkan Dante tersenyum tipis mendengar Lavinia akhirnya membuka suara. "Bagaimana orang-orang yang duduk paling jauh dari kekuasaan justru paling rajin bicara seolah memegang kendali, bahkan merendahkan orang lain, dan mengatakan tentang pendidikannya," lanjut Lavinia. Kini punggungnya tegak, tatapannya tak tergoyahkan. "Apakah kalian bertiga adalah contoh manusia berpendidikan?" Lavinia terkekeh pelan. "Sangat berpendidikan? Selama belajar, apakah pelajaran di sekolah adalah tentang merendahkan manusia lain? Oh, sungguh konyol. Sekumpulan kutu bersatu untuk menyerang." Dante, yang sedari tadi menahan senyum, akhirnya menyandarkan punggung ke kursi dan meraih cangkir kopinya. Kedua matanya berkilat nakal, seolah menikmati drama baru, dengan tokoh baru yang dia nikahi semalam. "Apa maksudmu, Nona?" tanya Jeremio. "Maksudku." Lavinia menoleh padanya dengan senyum halus. "Paman Jeremio lebih sibuk mengomentari pernikahan kami daripada mengurusi bisnis anggurnya yang hampir bangkrut. Kalau aku menjadi Anda, aku akan khawatir apakah musim panen tahun ini bisa menyelamatkan nama keluarga?" Jeremio terdiam dengan rahang mengeras. Namun, sebelum ada yang menyela, Lavinia kembali berbicara. "Dan kalian berdua," katanya lembut. "Pernikahan kalian memang sangat indah dari luar. Tapi aku dengar Alfredo lebih sering menghabiskan waktu di rumah kasino milik wanita simpanannya, dan Irina terlalu sering ke klinik kecantikan di Milan, barangkali untuk menutupi wajah yang mulai dipenuhi kebencian??" Garpu di tangan Irina jatuh ke atas piring, menimbulkan dentingan yang cukup nyaring. Sementara Dante, wajahnya memerah menahan rasa malu dan amarah. Sebelum mereka sempat bersuara, Dante bangkit dari duduknya. Dia berjalan mendekati Lavinia, lalu mengecup pipi wanita. "Sayang, kita pergi. Biarkan mereka menikmati sarapan ini, karena di rumah mereka tidak ada sarapan mewah." Suara Dante sengaja dikeraskan supaya ketiga orang itu mendengarnya. Lavinia mengangguk. Jantungnya masih berdebar, sisa dari perdebatan yang baru saja terjadi. "Baik." Wanita itu berdiri, merangkul lengan Dante dengan mesra, dan mereka melangkah meninggalkan ruang makan itu. ** Di dalam kamar.. Dante berdiri di belakang Lavinia, jarak mereka begitu dekat. "Kau membuatku tersenyum di ruang makan, padahal sebelumnya aku tidak pernah seperti itu." Senyum kecil muncul di wajah Lavinia. Dia menurunkan pandangannya, lalu berjalan ke meja untuk mengambil botol air. Tapi kakinya tersandung karpet, membuat tubuhnya oleng ke belakang. Refleks, Dante menangkapnya. Lavinia jatuh tepat ke dada Dante. Nafasnya tercekat, matanya membulat saat menyadari posisi mereka, terlalu dekat, terlalu panas. Dada pria itu terasa kokoh, dan tangan yang memegang pinggangnya membuat kulitnya merinding. "Kau benar-benar suka menabrakku, ya?" bisik Dante rendah, bibirnya hanya sejengkal dari pipinya. "Aku tidak sengaja," balas Lavinia pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. Dante hendak menjauhkan diri, mencoba meredakan ketegangan aneh yang menggantung di udara. Tapi langkahnya tak sengaja menabrak kaki meja kecil di belakangnya. Tubuh mereka tumbang bersamaan, dan dalam hitungan detik, Lavinia mendapati punggungnya menyentuh lantai, sementara Dante berada tepat di atasnya. Nafas mereka bertabrakan, hangat dan dekat. Sangat dekat. Wajah mereka hanya terpisah beberapa senti saja. Dada Dante naik-turun. Begitu pula Lavinia. Ada desir yang mengalir cepat di udara, menyusup ke sela-sela jarak yang kian menipis di antara keduanya. Tatapan mereka terkunci. Tak ada yang bicara. Tak ada yang bergerak. Tapi mata Dante, menelusuri wajah Lavinia, turun ke bibirnya, lalu kembali ke matanya. Lavinia menahan nafasnya. Bibirnya sedikit terbuka, dan itu membuat tatapan pria di atasnya makin gelap, lebih dari sekadar dorongan hasrat, ada rasa ingin tahu, ada rasa kepemilikan. "Kalau kau tetap memandangku seperti itu," bisik Dante, suaranya serak dan nyaris tidak terdengar. Aku mungkin akan menciummu." * * *Lavinia menggenggam erat gaunnya. Wajahnya memerah karena bisikan dari Dante yang memintanya melepaskan gaunnya sekarang."Tunggu apa lagi?" kata Dante. Pria itu terlihat puas bisa membuat Lavinia tampak terpojok."Aku akan melepaskannya di kamar mandi saja," sahut Lavinia, sambil melangkah pergi.Dante tidak menahannya. Pria itu masih berdiri di tempatnya, dengan sudut bibir yang terangkat samar. Mata birunya memancarkan kilau yang nakal.Di dalam kamar mandi, Lavinia menekan dadanya. Dia bisa merasakan debaran jantungnya begitu kencang, seakan hendak melompat keluar."Apa-apaan dia? Kenapa dia mengatakan hal aneh seperti itu?" gerutunya. Namun, bibirnya terangkat, membentuk senyum samar.Lavinia berusaha melepaskan gaunnya. Dia sedikit kesulitan saat harus menurunkan resleting yang ada di bagian belakang.Akhirnya, setelah melewati beberapa menit, gaun itu melorot ke bawah, menampilkan tubuh yang hanya mengenakan dalaman berwarna putih. Lavinia mengangkat gaun itu dan meletakkannya
"Aku..... Aku setuju, Tuan. Aku bersedia menikah kontrak dengan Anda selama dua tahun," ucap Lavinia, sambil melangkah mendekati Dante yang kini berdiri di dekat jendela.Dante masih mempertahankan senyum liciknya. "Bagaimana, ya? Sepertinya asistenku telah menemukan kandidat yang lain."Wajah Lavinia memucat. Dia sadar untuk saat ini hanya tawaran dari Dante yang bisa menyelamatkan Sofia. Dia tidak ingin terjadi sesuatu pada adiknya, keluarga satu-satunya yang tersisa."Tuan, aku mohon. Aku bersedia menerima tawaran darimu."Dante mengangguk pelan. Dia berjalan menuju meja kerjanya. Dengan isyarat jari, dia meminta Lavinia mendekat.Begitu wanita itu berdiri di hadapannya, Dante memandang wajahnya. "Kau yakin mau menikah denganku? Aku tidak memaksamu.""Aku, dengan kesadaran penuh, menerima tawaran ini. Anda tidak memaksaku!" tukas Lavinia."Baik." Tangan Dante terangkat. Jari ibunya mengusap bibir Lavinia. "Kata-kata yang tadi keluar dari bibirmu sendiri, bukan?""Benar, Tuan," jawa
"Buka pintunya!! Kami tahu kau ada di dalam!" Lavinia Fleur, wanita yang ditipu sahabatnya hingga berhutang ratusan juta Euro. Wanita itu kini mematung di balik pintu. Tubuhnya gemetar, tangannya yang terangkat untuk meraih gagang pintu, ditarik kembali. Sudah tiga hari dia terus didatangi oleh para rentenir. Hidupnya kini terlihat kacau sejak terseret dalam hal yang tidak dia lakukan. "Cepat buka! Jangan sampai kami mendobrak pintu ini!!" Pria di luar berteriak lagi. Lavinia melangkah mundur dengan pelan. Lantai kayu berderit dia menginjaknya, diiringi suara ketukan pintu yang semakin keras. "Aku tidak berhutang. Bukan aku!" gumamnya. Suaranya terdengar lirih, matanya menoleh ke pintu belakang. "Aku akan pergi dari pintu itu." Dia melangkah cepat, tangannya meraih gagang pintu belakang itu, lalu menariknya dengan kasar. Angin yang membawa hawa panas menerpa wajahnya. Sinar matahari tampak menusuk kulitnya yang seputih salju. Tanpa menunggu, Lavinia segera berlari menjauh dari