Share

BAB 2

Penulis: LittleStarss
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-09 00:17:13

"Aku..... Aku setuju, Tuan. Aku bersedia menikah kontrak dengan Anda selama dua tahun," ucap Lavinia, sambil melangkah mendekati Dante yang kini berdiri di dekat jendela.

Dante masih mempertahankan senyum liciknya. "Bagaimana, ya? Sepertinya asistenku telah menemukan kandidat yang lain."

Wajah Lavinia memucat. Dia sadar untuk saat ini hanya tawaran dari Dante yang bisa menyelamatkan Sofia. Dia tidak ingin terjadi sesuatu pada adiknya, keluarga satu-satunya yang tersisa.

"Tuan, aku mohon. Aku bersedia menerima tawaran darimu."

Dante mengangguk pelan. Dia berjalan menuju meja kerjanya. Dengan isyarat jari, dia meminta Lavinia mendekat.

Begitu wanita itu berdiri di hadapannya, Dante memandang wajahnya. "Kau yakin mau menikah denganku? Aku tidak memaksamu."

"Aku, dengan kesadaran penuh, menerima tawaran ini. Anda tidak memaksaku!" tukas Lavinia.

"Baik." Tangan Dante terangkat. Jari ibunya mengusap bibir Lavinia. "Kata-kata yang tadi keluar dari bibirmu sendiri, bukan?"

"Benar, Tuan," jawab Lavinia.

Dante mengangguk pelan, raut wajahnya datar tanpa emosi. Dia melangkah mundur dengan langkah pelan. "Baiklah," suaranya rendah, sedikit berat. "Kalau begitu, baca dulu persyaratan pernikahan kontrak ini." Dengan gerakan tenang, dia menyerahkan sebuah map tebal kepada Lavinia. "Jika sudah selesai membacanya, tanda tangan di bawah."

Lavinia membuka map itu dengan jari yang gemetar, matanya melirik cepat ke setiap baris tulisan. Wajahnya menegang, napasnya memburu seolah ada beban berat yang harus segera ditanggung. Tanpa ragu, tangannya meraih pulpen di meja, lalu tanda tangannya dengan cepat tercetak di halaman itu.

"Kau tidak membacanya?" tanya Dante.

"Tidak," jawab Lavinia cepat.

Dante melipat tangannya, punggungnya bersandar di sisi meja. "Kau tidak takut ada syarat yang bisa merugikan?"

Lavinia menyerahkan map itu kepada Dante. "Aku butuh uang sekarang juga, Tuan. Aku tidak peduli lagi dengan syarat apapun." Dia berkata dengan tegas.

Dante mengangguk. "Baik, menikah denganku, itu berarti kau akan mengikuti aturan ku. Paham??"

"Aku paham," jawab Lavinia dengan yakin.

"Kau butuh uang untuk apa?" tanyanya.

"Adikku sakit, dan saat ini berada di rumah sakit. Mereka akan mengusirnya karena aku belum membayar biaya rawat di sana," jelas Lavinia.

Dante menatap Lavinia tanpa sepatah kata. Tangannya merogoh dompet dan mengeluarkan sebuah kartu. "Pakai ini untuk bayar biaya rumah sakit," ucapnya pelan sambil melempar kartu itu ke tangan Lavinia.

Tanpa menunggu jawaban, dia merangkul pinggang wanita itu erat, membiarkan dada mereka saling bersentuhan. Nafasnya hangat menyentuh telinga Lavinia saat dia membisikkan kode sandi kartu itu dengan suara rendah dan tegas.

"Te-terima kasih, Tuan," ucap Lavinia gugup. Dia merasa sedikit tidak nyaman dengan tubuh yang bersentuhan.

"Jangan lupa, besok adalah acara pernikahan kita," bisik Dante.

Lavinia mengangguk. "Aku akan ingat."

"Bagus!" Dante melepaskan pelukannya. "Kau boleh pergi sekarang."

Lavinia hanya mengangguk pelan. Setelah itu, dia segera keluar dari ruangan tersebut.

Dante tersenyum puas. "Wanita kali ini tak akan bisa menolak. Kami melakukan perjanjian secara rahasia, dan Alfredo bajingan itu tidak tahu."

**

Keesokan harinya..

Hari pernikahan Dante dan Lavinia.

Lavinia berdiri di sisi altar, mengenakan gaun putih berpotongan sederhana, tapi elegan. Gaun itu tampak terlalu anggun untuk pemiliknya yang begitu gugup. Jemarinya yang bersarung renda tak berhenti gemetar.

Di sebelahnya, Dante berdiri. Pria itu mengenakan setelan jas hitam Armani, tampak begitu tak tergoyahkan. Sorot matanya dingin, tatapannya tajam, seolah setiap langkahnya adalah perintah yang tak bisa dibantah.

Tak banyak tamu yang hadir, tapi semuanya adalah wajah-wajah yang berkuasa. Pengusaha, pejabat, dan beberapa tokoh kriminal yang menyamar dengan parfum mahal dan jas branded. Mereka duduk tenang, menyaksikan pernikahan yang lebih mirip transaksi kekuasaan daripada kisah cinta.

"Jaga sikapmu. Kau tak perlu banyak bicara," bisik Dante.

"Aku mengerti, Tuan," sahut Lavinia.

Di depan mereka, seseorang sejak tadi menatap dengan tatapan yang meremehkan. Dia menilai penampilan Lavinia yang kelihatannya kontras dengan pria seperti Dante.

"Lucu sekali," sindir Alfredo, sepupu Dante, sambil melangkah mendekat dan meneguk sampanye. "Dante si pemilih, akhirnya menikahi wanita dari jalanan. Apa kau mengadopsinya dulu, baru menikahi?"

Beberapa tamu menahan napas. Lavinia menunduk, pipinya menegang. Tapi Dante hanya menoleh sebentar, senyumnya sekilas dan tajam.

"Lebih baik memungut wanita dengan otak dan nyali, daripada mewarisi darah yang busuk," balasnya pelan, tanpa mengalihkan pandangan dari Lavinia. "Tapi tentu kau tak akan mengerti, Alfredo."

"Aku selalu mengerti apa yang kau bicarakan," balas Alfredo. Namun, dia segera menjauh karena tak ingin mendengar balasan yang menusuk dari Dante.

"Dia siapa?" Lavinia memberanikan diri bertanya padanya.

"Alfredo namanya. Dia sepupuku. Anak dari Pamanku yang rakus. Kau harus mengingat wajahnya mulai sekarang. Dia pasti akan sering mengganggumu," jawab Dante.

"Aku sudah mengingat wajahnya dengan baik, Tuan," sahut Lavinia.

"Bagus, kau memang cerdas," balas Dante.

"Terima kasih pujiannya, Tuan," ucap Lavinia lirih.

Dante langsung menoleh, kedua matanya membola sempurna. "Begitu saja kau ucapkan terima kasih?"

"Ya, itu ucapan yang wajib," jawab Lavinia, Dante hanya bisa menatapnya heran, dan memilih mengurangi interaksi dengannya.

**

Beberapa jam berlalu..

Saat ini Dante dan Lavinia telah kembali ke mansion. Pesta yang melelahkan bagi mereka yang menikah dadakan ini.

"Aku tidur di mana?" tanya Lavinia. Kedua matanya yang bulat memandang polos wajah Dante.

Dante menatapnya diam, beberapa detik. Tiba-tiba sudut bibirnya terangkat sama. "Kau tidur di kamar yang sama denganku."

Lavinia membelalak. "Kamar yang sama denganmu?"

Dante mengangguk. "Benar, tidak mungkin kau tidur di ruang tamu, bukan?"

"Ya, baiklah," jawab Lavinia. "Aku akan tidur di kamar yang sama denganmu."

"Kita telah menjadi suami istri meskipun hanya pernikahan kontrak. Selama menjalani pernikahan ini, kau harus tidur denganku," tukas Dante, Lavinia yang menanggapi dengan anggukan, meskipun sebenarnya dia merasa keberatan tidur di kamar yang sama dengan Dante.

Lavinia segera mengikuti Dante yang sudah mulai melangkah pergi. Langkahnya kecil tapi cepat, seolah takut kehilangan jejak. Dia terus mengekor di belakang Dante, menunduk sedikit sambil menarik nafas pelan, seperti anak ayam yang pasrah dibawa ke tempat tujuan. Matanya sesekali melirik ke belakang memperhatikan beberapa pelayan yang masih sibuk.

'Sudah malam, kenapa mereka masih bekerja?' tanyanya dalam hati.

Dante akhirnya berhenti di depan pintu, napasnya sedikit terengah. Di belakangnya, sebuah benturan keras membuat tubuhnya sedikit terhuyung. Lavinia yang tidak fokus tanpa sadar menabrak punggung kokoh Dante. Wajahnya memerah, matanya langsung menunduk.

"Maaf, aku tidak sengaja," katanya dengan suara yang pelan, tangan gemetar menekan dadanya sendiri.

Dante hanya diam, punggungnya yang baru saja jadi sasaran itu terasa hangat dari sentuhan Lavinia yang canggung.

Pintu terbuka perlahan, tapi Lavinia masih terpaku di ambang. Matanya menatap ke lantai, tangan yang tergenggam mengeras seiring detak jantungnya yang makin cepat. Ragu mendorong langkahnya, seolah ada tembok tak kasat mata menghalangi dia untuk melangkah masuk ke kamar Dante. Sesekali dia menghirup napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gugup yang menggerogoti.

"Kenapa masih berdiri di sana? Apa kau menunggu aku menggelar karpet merah?" tanya Dante, sambil berkacak pinggang.

Lavinia menatap pria itu dengan mata membelalak. Dante berdiri tanpa kemeja, memperlihatkan dada bidang berotot yang seolah memantulkan cahaya. Napasnya seketika tercekat, jantungnya berdetak lebih cepat sampai dia hampir merasakan detak itu di lehernya. Seketika wajahnya memerah, campuran antara terkejut dan sesuatu yang sulit dia ungkapkan.

"Cepat masuk, aku akan menutup pintunya," ujar Dante.

Lavinia mengangguk, dia melangkah pelan ke dalam kamar, jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Begitu pintu tertutup rapat di belakangnya, hawa dingin tiba-tiba merambat di kulitnya, mengusik rasa was-was yang susah dia jelaskan.

Dari sudut matanya, sosok Dante berdiri tenang, senyum tipis menghias bibirnya, pesona yang bukan hanya memikat, tapi seolah mengancam. Lavinia menelan ludah, mencoba menepis getaran aneh itu, tapi kehadiran Dante terasa seperti magnet berbahaya yang sulit untuk dijauhkan.

"Kenapa kau terlihat seperti aku akan menggigitmu??" bisik Dante. Lavinia mematung saat aroma cologne maskulin menyergapnya, hangat, tajam, dan tak terduga. Helaan nafasnya tercekat ketika bisikan itu menyentuh kulit di dekat telinganya.

Lavinia memutar tubuhnya pelan-pelan, tapi tanpa sadar ujung hidungnya justru menyentuh dada bidang Dante. Wajahnya seketika memerah, dia buru-buru menarik kepala, mata sesekali menatap ke samping, berusaha sembunyikan rasa malu yang tiba-tiba menggelayut. Dante sendiri hanya tersenyum tipis, tak mengatakan sepatah kata pun, membiarkan momen canggung itu berlalu.

"Maafkan aku, sejak tadi sepertinya aku melakukan kesalahan," ucap Lavinia lirih. Namun, Dante tidak menanggapinya. Pria itu hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"A-apa aku boleh mandi?" tanya Lavinia.

Dante mengangguk. "Tentu. Silahkan mandi, tidak ada yang akan melarangmu."

Lavinia menganguk. "Terima kasih."

Tawa Dante prcah begitu saja. Suaranya dalam, rendah, dan menggema di antara dinding di ruangan itu. 

"Apa yang lucu?" tanya Lavinia dengan raut wajah bingungnya.

"Kau," jawab Dante. "Kau selalu saja mengucapkan terima kasih, seolah itu adalah ucapan yang sangat penting."

"Mengucapkan terima kasih kepada seseorang adalah hal yang penting, Tuan," sahut Lavinia.

"Tidak berlaku bagiku," balas Dante, sambil melangkah ke sofa, dan menyulut rokoknya.

Lavinia memilih mengabaikannya. Dia segera berjalan menuju kamar mandi, tetapi sadar gaunnya terlalu panjang untuk dibawa ke dalam tempat itu.

"Tuan, bagaimana aku melepaskan gaun ini?" tanya Lavinia.

Dante langsung menatapnya. "Kau tidak bisa melepaskannya? Apa kau butuh bantuan dariku untuk melepaskan gaun itu?"

"Bu-bukan begitu," jawab Lavinia cepat. "Sepertinya aku harus melepaskan gaun ini di dalam kamar dulu, baru ke kamar mandi."

Dante mengangguk santai. "Kalau begitu, lepaskan saja. Aku tidak melarang mu melepaskan gaunmu."

"Tapi Anda di dalam kamar," ucap Lavinia lirih.

Dante mengerutkan keningnya. Dia berjalan pelan ke arah Lavinia. Setiap langkahnya berat dan terukur, seolah lantai pun enggan menghalanginya. 

Dante berhenti hanya beberapa inci di hadapan Lavinia, cukup dekat untuk membuat napas wanita itu tersangkut di tenggorokan.

"Kenapa?" Suara Dante terdengar serak dan dalam, terbungkus keheningan yang menekan. Dia menunduk sedikit, menatap langsung ke mata Lavinia. "Ini kamarku. Apa salah aku berada di dalam kamarku sendiri?"

"Ti-tidak salah, Tuan," jawab Lavinia.

Dante tersenyum tipis. Dia mencondongkan tubuhnya, mendekatkan bibirnya ke telinga Lavinia. "Kalau begitu, lepaskan saja gaunmu sekarang. Meskipun kau keberatan aku ada di sini, aku tak akan pergi."

*

*

*

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DINIKAHI BOS MAFIA   BAB 3

    Lavinia menggenggam erat gaunnya. Wajahnya memerah karena bisikan dari Dante yang memintanya melepaskan gaunnya sekarang."Tunggu apa lagi?" kata Dante. Pria itu terlihat puas bisa membuat Lavinia tampak terpojok."Aku akan melepaskannya di kamar mandi saja," sahut Lavinia, sambil melangkah pergi.Dante tidak menahannya. Pria itu masih berdiri di tempatnya, dengan sudut bibir yang terangkat samar. Mata birunya memancarkan kilau yang nakal.Di dalam kamar mandi, Lavinia menekan dadanya. Dia bisa merasakan debaran jantungnya begitu kencang, seakan hendak melompat keluar."Apa-apaan dia? Kenapa dia mengatakan hal aneh seperti itu?" gerutunya. Namun, bibirnya terangkat, membentuk senyum samar.Lavinia berusaha melepaskan gaunnya. Dia sedikit kesulitan saat harus menurunkan resleting yang ada di bagian belakang.Akhirnya, setelah melewati beberapa menit, gaun itu melorot ke bawah, menampilkan tubuh yang hanya mengenakan dalaman berwarna putih. Lavinia mengangkat gaun itu dan meletakkannya

  • DINIKAHI BOS MAFIA   BAB 2

    "Aku..... Aku setuju, Tuan. Aku bersedia menikah kontrak dengan Anda selama dua tahun," ucap Lavinia, sambil melangkah mendekati Dante yang kini berdiri di dekat jendela.Dante masih mempertahankan senyum liciknya. "Bagaimana, ya? Sepertinya asistenku telah menemukan kandidat yang lain."Wajah Lavinia memucat. Dia sadar untuk saat ini hanya tawaran dari Dante yang bisa menyelamatkan Sofia. Dia tidak ingin terjadi sesuatu pada adiknya, keluarga satu-satunya yang tersisa."Tuan, aku mohon. Aku bersedia menerima tawaran darimu."Dante mengangguk pelan. Dia berjalan menuju meja kerjanya. Dengan isyarat jari, dia meminta Lavinia mendekat.Begitu wanita itu berdiri di hadapannya, Dante memandang wajahnya. "Kau yakin mau menikah denganku? Aku tidak memaksamu.""Aku, dengan kesadaran penuh, menerima tawaran ini. Anda tidak memaksaku!" tukas Lavinia."Baik." Tangan Dante terangkat. Jari ibunya mengusap bibir Lavinia. "Kata-kata yang tadi keluar dari bibirmu sendiri, bukan?""Benar, Tuan," jawa

  • DINIKAHI BOS MAFIA   BAB 1

    "Buka pintunya!! Kami tahu kau ada di dalam!" Lavinia Fleur, wanita yang ditipu sahabatnya hingga berhutang ratusan juta Euro. Wanita itu kini mematung di balik pintu. Tubuhnya gemetar, tangannya yang terangkat untuk meraih gagang pintu, ditarik kembali. Sudah tiga hari dia terus didatangi oleh para rentenir. Hidupnya kini terlihat kacau sejak terseret dalam hal yang tidak dia lakukan. "Cepat buka! Jangan sampai kami mendobrak pintu ini!!" Pria di luar berteriak lagi. Lavinia melangkah mundur dengan pelan. Lantai kayu berderit dia menginjaknya, diiringi suara ketukan pintu yang semakin keras. "Aku tidak berhutang. Bukan aku!" gumamnya. Suaranya terdengar lirih, matanya menoleh ke pintu belakang. "Aku akan pergi dari pintu itu." Dia melangkah cepat, tangannya meraih gagang pintu belakang itu, lalu menariknya dengan kasar. Angin yang membawa hawa panas menerpa wajahnya. Sinar matahari tampak menusuk kulitnya yang seputih salju. Tanpa menunggu, Lavinia segera berlari menjauh dari

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status