Share

BAB 4

Penulis: LittleStarss
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-10 16:34:40

Hari-hari Lavinia berlalu tanpa kebebasan. bahkan, untuk sekedar menjenguk Sofia, adiknya, Dante tidak mengizinkan. Pria itu selalu berkata bahwa ada anak buahnya yang akan mengawasi adiknya, dan dia juga tidak perlu khawatir dengan biaya rumah sakit.

"Tuan, apa hari ini aku boleh ke rumah sakit? Aku rindu adikku."

"Tetap tidak. Untuk sementara, kau tidak akan pergi kemanapun," jawab Dante yang sedang sibuk dengan ponselnya.

"Kenapa kau melarangku!? Aku hanya ingin menjenguk adikku, Tuan!"

Dante menoleh, meletakkan ponselnya di atas meja, dan menatap Lavinia. "Karena kau sudah menjadi istriku. kau tidak sebebas dulu. Mengerti??"

"Tuan, itu adikku, dan—"

"Cukup," potong Dante. Dia menunduk sedikit, menatap tajam ke arah Lavinia yang masih mematung. Nafasnya berat, teratur, tapi penuh tekanan. "Kau tahu apa yang paling kubenci, Lavinia?" Suaranya rendah, nyaris seperti geraman. "Wanita yang suka membangkang!"

Lavinia menelan ludah. "Aku.... aku tidak—"

"Ssst." Dante mengangkat jarinya, nyaris menyentuh bibir Lavinia, tapi tidak benar-benar menyentuh. "Berhenti bicara kalau hanya untuk alasan bodoh."

Dia mundur satu langkah, tapi tatapannya tidak lepas sedikit pun. Sorot mata biru itu menusuk seperti bilah tajam, membuat jantung Lavinia berdegup tak karuan.

"Kau pikir ini pernikahan main-main?" Dante melangkah mengitari Lavinia perlahan, seperti pemangsa yang mengelilingi mangsanya. "Tidak ada satu pun wanita yang masuk ke hidupku tanpa harus taat padaku. Dan sekarang." Dia berhenti tepat di belakang Lavinia, suaranya nyaris menempel di telinganya. "Kau istriku, jadi patuhi semua perintahku!"

Lavinia memejamkan mata sejenak, merasakan hawa panas di belakangnya. Aroma tembakau dan parfum maskulin bercampur, menusuk inderanya sampai ke tulang.

"Aku tidak akan melakukan hal yang tidak pantas," ucapnya pelan, berusaha menjaga suaranya tetap stabil.

Dante terkekeh, rendah dan dingin. "Oh, Lavinia, aku tidak butuh banyak alasan darimu. Aku hanya butuh kau mengerti satu hal." Dia mencondongkan tubuh sedikit, nafasnya hangat menyentuh kulit leher Lavinia. "Aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku tidak suka dibantah. Catat baik-baik!"

Sebelum Lavinia bisa membalas, Dante berbalik, melangkah pergi dengan sikap santai, seolah percakapan tadi hanya mainan baginya.

"Kenakan pakaian yang bagus. Kita akan turun untuk makan siang bersama." Suaranya terdengar dingin tapi mematikan. "Dan, Lavinia." Dia menoleh sebentar, dengan senyum tipis yang lebih menakutkan daripada tatapan marah. "Jangan pernah membuatku terlihat lemah di depan mereka. Orang-orang yang membenciku."

Lavinia berdiri terpaku. Nafasnya memburu, tangannya mengepal di sisi tubuh. "Baik," jawabnya singkat.

**

Beberapa jam berlalu. Langit sore tampak memerah, cahayanya menembus kaca besar di ruang kerja Dante yang dipenuhi rak buku tua, peta wilayah kebun anggur, dan meja kerja dari kayu mahoni yang megah. Asap rokok melayang pelan di udara, menebal di atas kepalanya, sementara Dante bersandar santai di kursi kulit hitam, satu tangan memegang segelas anggur merah.

Pintu kayu berukir diketuk sekali sebelum terbuka. Seorang wanita berambut hitam sebahu masuk dengan langkah tegas. Matanya tajam, wajahnya dingin namun tetap membawa kesan elegan. Dialah Elora Romano, adik perempuan Dante.

"Kakak!" sapanya datar, tanpa senyum. "Aku baru tiba, dan kudengar kabar yang tidak menyenangkan."

Dante mengangkat alis, menaruh gelasnya di meja. "Kabar buruk selalu menunggu untuk menyapaku. Katakan, aku tak akan terkejut, El."

Elora meletakkan map cokelat tebal di atas meja, lalu menyilangkan tangan. "Paman Jeremio masih bergerak. Orang-orang kita menangkap bisikan dari dua keluarga lain, dia sedang membeli dukungan. Dengan uang, dengan janji, bahkan dengan kebohongan. Dia tidak berhenti mencoba merebut kursi kepemimpinan darimu untuk putranya yang tidak berguna itu."

Tatapan Dante meredup. Dia membuka map itu perlahan, matanya menelusuri deretan laporan, foto Jeremio bertemu orang-orang asing di sebuah kasino, tanda tangan kontrak gelap, hingga transaksi yang mencurigakan.

Senyum tipis terukir di wajah Dante. Bukan senyum lega, melainkan senyum dingin yang membuat udara ruangan terasa lebih berat. "Pamanku yang tercinta benar-benar tidak tahu kapan harus berhenti rupanya."

Elora mencondongkan tubuh ke meja. "Kalau kita membiarkannya, dia akan menarik Alfredo masuk lebih dalam. Dan jika Alfredo ikut, berarti ada keluarga lain lagi di belakang mereka. Kau tahu apa artinya. Alfredo bisa menyingkirkanmu dengan mudah, Kak."

"Perang keluarga yang lucu." Dante menyalakan rokok baru, mengisap dalam-dalam, lalu menghembuskannya tepat ke udara di antara mereka. "Itu yang mereka inginkan. Tapi yang mereka lupa, aku tidak pernah bermain adil dalam perang, meskipun kita adalah keluarga."

Elora memicingkan mata. "Apa yang akan kau lakukan?"

Dante berdiri, berjalan pelan menuju jendela besar. Siluetnya tampak gelap diterpa cahaya sore. "Biarkan Jeremio merasa aman dulu. Biarkan dia mengira semua orang membelakangiku. Lalu, ketika dia yakin sudah menang saat itulah aku menutup lehernya dengan tanganku sendiri."

Elora tersenyum samar. "Oh, jadi seperti biasa. Kau menunggu waktu yang tepat untuk mengeksekusi."

Dante berbalik, menatap adiknya dengan sorot mata yang membeku. "Bukan sekadar menunggu. Aku ingin mereka belajar satu hal, siapa pun yang mencoba mengambil apa yang sudah jadi milikku, akan mati dengan lambat dan mengenaskan."

Elora tersenyum puas karena merasa Dante tidak selemah yang digosipkan di luar sana. "Bagus. Lalu, bagaimana dengan wanita yang kau nikahi, kak??"

"Wanita itu adalah urusanku. Kau tidak perlu banyak bertanya."

Elora memanyunkan bibirnya. "Aku penasaran, apa kau akan jatuh cinta padanya?"

Dante tidak menjawab. Dia mengibaskan tangannya, mengusir Elora dari ruangan itu.

Elora berdecih pelan, kemudian dia menghentakkan kakinya dan melangkah keluar dari ruang kerja Dante.

Setelah Elora meninggalkannya, Dante menatap foto pernikahannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada perasaan aneh yang muncul ketika melihat foto Lavinia.

"Hmm, jatuh cinta atau tidak, kita lihat saja nanti," gumam Dante.

**

Larut malam di mansion.

Jarum jam hampir menyentuh tengah malam ketika pintu kamar terbuka perlahan. Aroma rokok dan anggur merah seketika memenuhi udara, mendahului langkah-langkah berat yang memasuki ruangan.

Dante menutup pintu di belakangnya tanpa suara. Tatapannya langsung jatuh pada sosok Lavinia, berdiri di dekat jendela besar dengan cahaya bulan yang menyorot wajahnya. Gaun tipis yang membungkus tubuhnya tampak diterangi cahaya pucat, membuat bayangan lembut di kulitnya.

Lavinia tidak menyadari kehadirannya sampai suara langkah itu terdengar mendekat. Ia menoleh sekilas, lalu buru-buru memalingkan wajah, seolah takut tatapannya terbaca.

"Oh, kau masih terjaga rupanya." Suara Dante berat, dalam, dan serak karena rokok.

"Aku tidak bisa tidur," jawab Lavinia singkat, jemarinya meremas kain gaunnya sendiri.

Dante tersenyum samar, lalu berjalan mendekat. Suara sepatunya beradu dengan lantai marmer, setiap langkah membuat jantung Lavinia berdetak lebih kencang. Ia berhenti tepat di belakangnya, cukup dekat hingga napas hangatnya menyapu kulit leher Lavinia.

"Lalu, apa yang sedang kau pikirkan, berdiri sendiri di sini? Tentang kebebasanmu? Tentang kabur dariku?" bisiknya rendah, suara itu menggoda sekaligus menekan.

Lavinia menahan napas, tubuhnya menegang. "Aku tidak kabur. Aku hanya meminta izin ke rumah sakit."

Dante terkekeh pelan, suaranya bergetar dalam dada. "Jangan bohong, Lavinia. Aku yakin kau pasti ingin kabur setelah mendapatkan biaya pengobatan adikmu."

"Tuan, kau salah. Aku bukan orang yang seperti itu. Kenapa kau tiba-tiba mengira aku akan kabur!?"

"Karena semua wanita memang seperti itu. Mendapatkan uang, lalu kabur meninggalkan pria yang memberinya uang."

Lavinia tercengang mendengar jawaban yang baginya tidak masuk akal itu. "Astaga, harus bagaimana aku katakan padamu bahwa aku tidak akan kabur! Aku akan tetap jadi istrimu, sampai kau menceraikan aku!"

Dante tak langsung menjawab. Dia menatap Lavinia dalam-dalam. "Bagus. Kau tahu apa yang terjadi pada orang yang mencoba melarikan diri dariku?" Dia mencondongkan tubuh sedikit, bibirnya nyaris menyentuh telinga wanita itu. "Mereka tidak pernah sampai ke pintu keluar dengan hidup-hidup."

Lavinia berbalik spontan, ingin membantah, tapi mendapati wajah Dante begitu dekat. Mata biru itu menyorot tajam, gelap dan berbahaya, tapi entah kenapa justru membuat napasnya tercekat.

"Kenapa kau...." Suaranya bergetar. "Selalu saja memberikan ancaman padaku?? Aku bahkan belum pergi dari mansion ini, sejak hari pertama menikah."

Dante menurunkan pandangannya sebentar ke bibir Lavinia, lalu kembali menatap matanya. "Karena aku suka melihatmu gelisah. Kau terlihat jauh lebih hidup saat takut padaku, atau saat menahanku."

Hening menggantung di antara mereka. Dante tidak bergerak lebih dekat, tapi jarak sekecil itu terasa seperti jebakan yang perlahan menutup.

Dengan suara serak yang nyaris seperti desahan, Dante berbisik lagi. "Kalau kau terus memandangku seperti itu, Lavinia.... jangan salahkan aku kalau aku benar-benar mengambil apa yang bukan ingin kau berikan padaku. Dan ini bukan ancaman."

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DINIKAHI BOS MAFIA   BAB 5

    "Tuan, aku ingin ke rumah sakit. Jika Anda melarangku, aku akan tetap pergi. Aku ingin bertemu dengan adikku," ucap Lavinia dengan suara yang tegas, meskipun jantungnya berdegup kencang. Dia sudah memikirkan hal ini beberapa jam yang lalu.Dante yang semula sedang sibuk dengan kertas di atas meja, langsung meletakkan kembali kertas tersebut. Kepalanya terangkat, tatapan tajamnya menembus sorot mata Lavinia yang penuh ketakutan."Jadi, kau tidak takut?" Dante berdiri dari duduknya. Pria itu berjalan mengitari meja dan berhenti tepat di belakang Lavinia. "Aku jadi suka dengan nyalimu. Tapi, Lavinia. Perlu kau tahu, di luar sana itu berbahaya. Sebagian orang telah tahu siapa kau, dan mereka bisa saja mengincarmu untuk dibunuh.""Aku tidak takut," ucap Lavinia dengan tegas.Dante tak langsung menyahutnya. Pria itu menatap lama wanita di hadapannya, lalu berkata, "Baiklah. Tapi aku ikut. Aku tidak mau ada hal yang tak aku inginkan terjadi di luar sana.""Terserah Anda. Aku ingin berangkat

  • DINIKAHI BOS MAFIA   BAB 4

    Hari-hari Lavinia berlalu tanpa kebebasan. bahkan, untuk sekedar menjenguk Sofia, adiknya, Dante tidak mengizinkan. Pria itu selalu berkata bahwa ada anak buahnya yang akan mengawasi adiknya, dan dia juga tidak perlu khawatir dengan biaya rumah sakit. "Tuan, apa hari ini aku boleh ke rumah sakit? Aku rindu adikku." "Tetap tidak. Untuk sementara, kau tidak akan pergi kemanapun," jawab Dante yang sedang sibuk dengan ponselnya. "Kenapa kau melarangku!? Aku hanya ingin menjenguk adikku, Tuan!" Dante menoleh, meletakkan ponselnya di atas meja, dan menatap Lavinia. "Karena kau sudah menjadi istriku. kau tidak sebebas dulu. Mengerti??" "Tuan, itu adikku, dan—" "Cukup," potong Dante. Dia menunduk sedikit, menatap tajam ke arah Lavinia yang masih mematung. Nafasnya berat, teratur, tapi penuh tekanan. "Kau tahu apa yang paling kubenci, Lavinia?" Suaranya rendah, nyaris seperti geraman. "Wanita yang suka membangkang!" Lavinia menelan ludah. "Aku.... aku tidak—" "Ssst." Dante meng

  • DINIKAHI BOS MAFIA   BAB 3

    Lavinia menggenggam erat gaunnya. Wajahnya memerah karena bisikan dari Dante yang memintanya melepaskan gaunnya sekarang. "Tunggu apa lagi?" kata Dante. Pria itu terlihat puas bisa membuat Lavinia tampak terpojok. "Aku akan melepaskannya di kamar mandi saja," sahut Lavinia, sambil melangkah pergi. Dante tidak menahannya. Pria itu masih berdiri di tempatnya, dengan sudut bibir yang terangkat samar. Mata birunya memancarkan kilau yang nakal. Di dalam kamar mandi, Lavinia menekan dadanya. Dia bisa merasakan debaran jantungnya begitu kencang, seakan hendak melompat keluar. "Apa-apaan dia? Kenapa dia mengatakan hal aneh seperti itu?" gerutunya. Namun, bibirnya terangkat, membentuk senyum samar. Lavinia berusaha melepaskan gaunnya. Dia sedikit kesulitan saat harus menurunkan resleting yang ada di bagian belakang. Akhirnya, setelah melewati beberapa menit, gaun itu melorot ke bawah, menampilkan tubuh yang hanya mengenakan dalaman berwarna putih. Lavinia mengangkat gaun itu dan m

  • DINIKAHI BOS MAFIA   BAB 2

    "Aku..... Aku setuju, Tuan. Aku bersedia menikah kontrak dengan Anda selama dua tahun," ucap Lavinia, sambil melangkah mendekati Dante yang kini berdiri di dekat jendela. Dante masih mempertahankan senyum liciknya. "Bagaimana, ya? Sepertinya asistenku telah menemukan kandidat yang lain." Wajah Lavinia memucat. Dia sadar untuk saat ini hanya tawaran dari Dante yang bisa menyelamatkan Sofia. Dia tidak ingin terjadi sesuatu pada adiknya, keluarga satu-satunya yang tersisa. "Tuan, aku mohon. Aku bersedia menerima tawaran darimu." Dante mengangguk pelan. Dia berjalan menuju meja kerjanya. Dengan isyarat jari, dia meminta Lavinia mendekat. Begitu wanita itu berdiri di hadapannya, Dante memandang wajahnya. "Kau yakin mau menikah denganku? Aku tidak memaksamu." "Aku, dengan kesadaran penuh, menerima tawaran ini. Anda tidak memaksaku!" tukas Lavinia. "Baik." Tangan Dante terangkat. Jari ibunya mengusap bibir Lavinia. "Kata-kata yang tadi keluar dari bibirmu sendiri, bukan?" "Ben

  • DINIKAHI BOS MAFIA   BAB 1

    "Buka pintunya!! Kami tahu kau ada di dalam!" Lavinia Fleur, wanita yang ditipu sahabatnya hingga berhutang ratusan juta Euro. Wanita itu kini mematung di balik pintu. Tubuhnya gemetar, tangannya yang terangkat untuk meraih gagang pintu, ditarik kembali. Sudah tiga hari dia terus didatangi oleh para rentenir. Hidupnya kini terlihat kacau sejak terseret dalam hal yang tidak dia lakukan. "Cepat buka! Jangan sampai kami mendobrak pintu ini!!" Pria di luar berteriak lagi. Lavinia melangkah mundur dengan pelan. Lantai kayu berderit dia menginjaknya, diiringi suara ketukan pintu yang semakin keras. "Aku tidak berhutang. Bukan aku!" gumamnya. Suaranya terdengar lirih, matanya menoleh ke pintu belakang. "Aku akan pergi dari pintu itu." Dia melangkah cepat, tangannya meraih gagang pintu belakang itu, lalu menariknya dengan kasar. Angin yang membawa hawa panas menerpa wajahnya. Sinar matahari tampak menusuk kulitnya yang seputih salju. Tanpa menunggu, Lavinia segera berlari menjauh

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status