"Tuan, aku ingin ke rumah sakit. Jika Anda melarangku, aku akan tetap pergi. Aku ingin bertemu dengan adikku," ucap Lavinia dengan suara yang tegas, meskipun jantungnya berdegup kencang. Dia sudah memikirkan hal ini beberapa jam yang lalu.
Dante yang semula sedang sibuk dengan kertas di atas meja, langsung meletakkan kembali kertas tersebut. Kepalanya terangkat, tatapan tajamnya menembus sorot mata Lavinia yang penuh ketakutan. "Jadi, kau tidak takut?" Dante berdiri dari duduknya. Pria itu berjalan mengitari meja dan berhenti tepat di belakang Lavinia. "Aku jadi suka dengan nyalimu. Tapi, Lavinia. Perlu kau tahu, di luar sana itu berbahaya. Sebagian orang telah tahu siapa kau, dan mereka bisa saja mengincarmu untuk dibunuh." "Aku tidak takut," ucap Lavinia dengan tegas. Dante tak langsung menyahutnya. Pria itu menatap lama wanita di hadapannya, lalu berkata, "Baiklah. Tapi aku ikut. Aku tidak mau ada hal yang tak aku inginkan terjadi di luar sana." "Terserah Anda. Aku ingin berangkat sekarang," sahut Lavinia. Dante mengangkat sebelah alisnya. "Kau mengaturku sekarang??" Lavinia terdiam. Dia menggenggam erat ujung gaunnya, mencoba menutupi kegelisahan yang terus merambat dari dadanya ke seluruh tubuh. Tatapannya lurus, meski bulu matanya bergetar halus. Dia tahu Dante bisa membaca ketakutannya, tapi dia tidak akan mundur. Dante melangkah lebih dekat. Kehadiran pria itu selalu seperti badai, berisik tanpa suara, menyesakkan tanpa perlu menyentuh. Jemarinya menyentuh dagu Lavinia, mengangkatnya pelan tapi penuh kuasa agar mata mereka sejajar. "Tapi... aku suka keberanianmu," bisiknya dengan nada rendah, bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang berbahaya. "Tapi jangan salah sangka, Lavinia. Keberanian seperti itu, bisa dengan mudah membuatmu mati." Lavinia menelan ludah, tapi tatapannya tidak goyah. "Kalau itu harga untuk melihat adikku, aku siap." Alis Dante terangkat, seolah menimbang ucapan itu. Sekilas, ada sesuatu yang berkilat di matanya, antara kekesalan, kekaguman, dan mungkin juga rasa ingin menguji lebih jauh. "Baik." Suaranya tegas, terpotong pendek. "Kita pergi sekarang." "Terima kasih, Tuan," ucap Lavinia dengan tulus. Dante langsung menatap Lavinia, mata yang sulit dibaca itu berkilat samar. Seperti ada gelombang perasaan yang tiba-tiba muncul, mengoyak damai di dalam dadanya. Tak perlu kata-kata, ucapannya seolah menggema sebagai terima kasih yang paling tulus, menyentuh bagian hati yang selama ini terpendam. ** Rumah sakit... Ruang rawat itu sederhana, dindingnya berwarna putih pucat dengan aroma antiseptik yang menusuk. Mesin infus berdiri di samping ranjang, jarumnya menancap di lengan Sofia yang tampak pucat. Begitu pintu terbuka, mata Sofia langsung berbinar. "Kak Lavinia." Suaranya serak, tapi penuh kehangatan. Lavinia segera menghampiri, duduk di sisi ranjang sambil menggenggam tangan adiknya. Air mata yang dia tahan sejak perjalanan tadi akhirnya lolos, mengalir pelan di pipinya. "Kau masih sama seperti biasanya, selalu tersenyum meski sakit begini," bisiknya. Sofia menggeleng lemah. "Kalau aku tidak tersenyum, Kak, siapa yang akan membuatmu kuat?" Lavinia menunduk, mencium tangan adiknya, suaranya pecah. "Kakak minta maaf, Sofia. Kakak seharusnya ada di sini untukmu. Tapi—" "Jangan minta maaf, Kak," potong Sofia lembut. "Aku hanya ingin tahu, Kakak baik-baik saja, kan? Aku dengar Kakak sudah menikah. Dengan siapa?" Pipi Lavinia langsung memanas. Dia menoleh sekilas ke arah sofa di sudut ruangan. Dante duduk di sana dengan kaki disilangkan, rokok padam di jarinya. Dia tampak dingin, tapi matanya, mata biru tajam itu, tidak pernah lepas dari mereka. Ada sesuatu yang aneh merayap di dada Dante. Kasih sayang yang ditunjukkan Lavinia pada adiknya terasa asing, jauh dari apa pun yang pernah dia miliki. Bukan kelemahan yang dia benci, melainkan kehangatan yang tak pernah ada dalam hidupnya. Sensasi itu membuatnya tidak nyaman, seolah ada ruang kosong dalam dirinya yang tiba-tiba disentuh. Lavinia masih menatap adiknya. "Ya, Kakak sudah menikah." Suaranya nyaris berbisik. "Tapi jangan khawatir. Aku baik-baik saja." Sofia mengangguk kecil, lalu memandang sekilas ke arah Dante. "Apakah pria tampan di sana adalah suami Kakak??" tanyanya polos. Lavinia tertegun. Dia ingin menjawab, tapi suara Dante yang dalam memotong lebih dulu. "Ya. Aku suaminya," ucap Dante, nada bicaranya tenang tapi penuh penekanan. Sofia menatapnya lama, lalu tersenyum samar. "Tolong jaga Kakakku. Jangan sakiti dia." Ruangan tiba-tiba terasa sunyi. Lavinia menunduk, menggenggam tangan Sofia lebih erat, sementara Dante masih duduk di sofa, tatapannya gelap namun berkilau aneh, seolah satu kalimat sederhana dari gadis kecil itu telah memicu sesuatu yang belum pernah dia kenali sebelumnya. "Sofia, jangan banyak bicara dulu. Kau harus lebih banyak istirahat," ujar Lavinia. "Aku hanya ingin pria itu tahu bahwa aku sangat sayang padamu, Kak. Aku ingin dia juga bisa menjagamu," sahut Sofia. Lavinia tercekat, matanya berkaca-kaca. Dia tak sanggup menoleh, apalagi melihat ke arah Dante. Tapi dia tahu pria itu mendengar setiap kata. Dante bersandar di sofa, satu kaki terangkat ke atas lutut satunya. Tatapannya dingin menelusuri wajah Sofia yang pucat, lalu berpindah ke tangan Lavinia yang menggenggam erat tangan adiknya. Nafasnya tertahan sejenak. Ada sesuatu dalam kata-kata gadis itu yang menusuk, meski dia pura-pura tak peduli. "Sofia." Suara Dante akhirnya terdengar, rendah dan dalam, membuat Lavinia refleks menoleh. Pria itu menegakkan tubuhnya, kedua sikunya bertumpu pada lutut. "Kau tenang saja. Selama dia berada dalam wilayahku, tidak ada seorang pun yang berani menyentuhnya." Sofia tersenyum tipis, seolah itu sudah cukup untuk menenangkan hatinya. Matanya perlahan terpejam, tubuhnya jatuh ke dalam lelap yang singkat. Lavinia menunduk, mencium punggung tangan adiknya sekali lagi. Air matanya jatuh, membasahi kulit Sofia. Bukan karena haru, tapi karena pernikahan ini pura-pura, dan dia tidak ingin Sofia menganggap bahwa pernikahan ini sangat sempurna. Lalu, Lavinia bangkit perlahan, melangkah mundur. Tatapannya bertemu dengan Dante. Sejenak, Lavinia ingin mengatakan bahwa Dante tidak perlu bicara seperti itu, tapi dia menahannya. Sementara Dante hanya menatap balik, bibirnya menyeringai tipis, senyum samar yang lebih mirip tantangan daripada kelembutan. "Jangan menatapku seperti itu, Lavinia," ucapnya serak. "Aku bisa salah paham padamu." Sofia menatap mereka dalam-dalam. Bibir pucatnya melengkung kecil, senyum yang meski lemah tetap terlihat tulus. "Kalian terlihat… cocok sekali," katanya lirih. "Aku tidak pernah lihat Kakak tersenyum setenang ini. Dan Tuan Dante." Sofia berhenti sebentar, matanya menatap tajam meski samar oleh lelah. "Kau juga terlihat berbeda. Seperti pria yang benar-benar mencintai istrinya." Lavinia langsung memerah, matanya membesar. "Sofia, apa yang kau bicarakan? Jangan mengada-ada." Sofia terkekeh kecil, lalu menatap Dante lagi. "Pokoknya kau harus jaga kakakku. Dia keras kepala, tapi hatinya lembut. Kau beruntung memilikinya." Lavinia tercekat, ingin membantah lagi tapi suara tercekat di tenggorokannya. Dia hanya bisa menunduk, menyembunyikan wajah yang terasa panas, dan jantung yang berdegup kencang, takut jika Sofia tahu ini hanya pernikahan pura-pura. Dante, yang biasanya cepat menyela dengan komentar dingin, justru terdiam. Tatapannya menusuk ke arah Sofia, lalu bergeser ke Lavinia. Senyumnya tipis, samar, tapi tidak ada yang bisa menebak apakah itu ejekan atau, sesuatu yang lain. "Aku selalu menjaga apa yang jadi milikku," jawab Dante akhirnya, nada suaranya berat, ambigu. Lavinia menoleh cepat, menatap pria itu. Jantungnya semakin berdegup tak karuan, antara kesal karena dianggap milik, dan anehnya, hatinya bergetar oleh penekanan dalam suara itu. * * *"Tuan, aku ingin ke rumah sakit. Jika Anda melarangku, aku akan tetap pergi. Aku ingin bertemu dengan adikku," ucap Lavinia dengan suara yang tegas, meskipun jantungnya berdegup kencang. Dia sudah memikirkan hal ini beberapa jam yang lalu.Dante yang semula sedang sibuk dengan kertas di atas meja, langsung meletakkan kembali kertas tersebut. Kepalanya terangkat, tatapan tajamnya menembus sorot mata Lavinia yang penuh ketakutan."Jadi, kau tidak takut?" Dante berdiri dari duduknya. Pria itu berjalan mengitari meja dan berhenti tepat di belakang Lavinia. "Aku jadi suka dengan nyalimu. Tapi, Lavinia. Perlu kau tahu, di luar sana itu berbahaya. Sebagian orang telah tahu siapa kau, dan mereka bisa saja mengincarmu untuk dibunuh.""Aku tidak takut," ucap Lavinia dengan tegas.Dante tak langsung menyahutnya. Pria itu menatap lama wanita di hadapannya, lalu berkata, "Baiklah. Tapi aku ikut. Aku tidak mau ada hal yang tak aku inginkan terjadi di luar sana.""Terserah Anda. Aku ingin berangkat
Hari-hari Lavinia berlalu tanpa kebebasan. bahkan, untuk sekedar menjenguk Sofia, adiknya, Dante tidak mengizinkan. Pria itu selalu berkata bahwa ada anak buahnya yang akan mengawasi adiknya, dan dia juga tidak perlu khawatir dengan biaya rumah sakit. "Tuan, apa hari ini aku boleh ke rumah sakit? Aku rindu adikku." "Tetap tidak. Untuk sementara, kau tidak akan pergi kemanapun," jawab Dante yang sedang sibuk dengan ponselnya. "Kenapa kau melarangku!? Aku hanya ingin menjenguk adikku, Tuan!" Dante menoleh, meletakkan ponselnya di atas meja, dan menatap Lavinia. "Karena kau sudah menjadi istriku. kau tidak sebebas dulu. Mengerti??" "Tuan, itu adikku, dan—" "Cukup," potong Dante. Dia menunduk sedikit, menatap tajam ke arah Lavinia yang masih mematung. Nafasnya berat, teratur, tapi penuh tekanan. "Kau tahu apa yang paling kubenci, Lavinia?" Suaranya rendah, nyaris seperti geraman. "Wanita yang suka membangkang!" Lavinia menelan ludah. "Aku.... aku tidak—" "Ssst." Dante meng
Lavinia menggenggam erat gaunnya. Wajahnya memerah karena bisikan dari Dante yang memintanya melepaskan gaunnya sekarang. "Tunggu apa lagi?" kata Dante. Pria itu terlihat puas bisa membuat Lavinia tampak terpojok. "Aku akan melepaskannya di kamar mandi saja," sahut Lavinia, sambil melangkah pergi. Dante tidak menahannya. Pria itu masih berdiri di tempatnya, dengan sudut bibir yang terangkat samar. Mata birunya memancarkan kilau yang nakal. Di dalam kamar mandi, Lavinia menekan dadanya. Dia bisa merasakan debaran jantungnya begitu kencang, seakan hendak melompat keluar. "Apa-apaan dia? Kenapa dia mengatakan hal aneh seperti itu?" gerutunya. Namun, bibirnya terangkat, membentuk senyum samar. Lavinia berusaha melepaskan gaunnya. Dia sedikit kesulitan saat harus menurunkan resleting yang ada di bagian belakang. Akhirnya, setelah melewati beberapa menit, gaun itu melorot ke bawah, menampilkan tubuh yang hanya mengenakan dalaman berwarna putih. Lavinia mengangkat gaun itu dan m
"Aku..... Aku setuju, Tuan. Aku bersedia menikah kontrak dengan Anda selama dua tahun," ucap Lavinia, sambil melangkah mendekati Dante yang kini berdiri di dekat jendela. Dante masih mempertahankan senyum liciknya. "Bagaimana, ya? Sepertinya asistenku telah menemukan kandidat yang lain." Wajah Lavinia memucat. Dia sadar untuk saat ini hanya tawaran dari Dante yang bisa menyelamatkan Sofia. Dia tidak ingin terjadi sesuatu pada adiknya, keluarga satu-satunya yang tersisa. "Tuan, aku mohon. Aku bersedia menerima tawaran darimu." Dante mengangguk pelan. Dia berjalan menuju meja kerjanya. Dengan isyarat jari, dia meminta Lavinia mendekat. Begitu wanita itu berdiri di hadapannya, Dante memandang wajahnya. "Kau yakin mau menikah denganku? Aku tidak memaksamu." "Aku, dengan kesadaran penuh, menerima tawaran ini. Anda tidak memaksaku!" tukas Lavinia. "Baik." Tangan Dante terangkat. Jari ibunya mengusap bibir Lavinia. "Kata-kata yang tadi keluar dari bibirmu sendiri, bukan?" "Ben
"Buka pintunya!! Kami tahu kau ada di dalam!" Lavinia Fleur, wanita yang ditipu sahabatnya hingga berhutang ratusan juta Euro. Wanita itu kini mematung di balik pintu. Tubuhnya gemetar, tangannya yang terangkat untuk meraih gagang pintu, ditarik kembali. Sudah tiga hari dia terus didatangi oleh para rentenir. Hidupnya kini terlihat kacau sejak terseret dalam hal yang tidak dia lakukan. "Cepat buka! Jangan sampai kami mendobrak pintu ini!!" Pria di luar berteriak lagi. Lavinia melangkah mundur dengan pelan. Lantai kayu berderit dia menginjaknya, diiringi suara ketukan pintu yang semakin keras. "Aku tidak berhutang. Bukan aku!" gumamnya. Suaranya terdengar lirih, matanya menoleh ke pintu belakang. "Aku akan pergi dari pintu itu." Dia melangkah cepat, tangannya meraih gagang pintu belakang itu, lalu menariknya dengan kasar. Angin yang membawa hawa panas menerpa wajahnya. Sinar matahari tampak menusuk kulitnya yang seputih salju. Tanpa menunggu, Lavinia segera berlari menjauh