LOGINBelum sempat Jessie menyelesaikan ucapannya, bibir Jacob sudah menempel pada miliknya.
Pria itu membelah bibir merah muda Jessie dengan lembut, kemudian melumatnya.
Jessie menarik napasnya, kaget dengan ciuman Jacob. Namun, kagetnya tidak menghentikan pria itu dalam menjamu bibir Jessie. Lama-kelamaan, Jessie seperti hanyut dalam ciumannya, ia membalas ciuman itu perlahan. Seperti mendapat lampu hijau, Jacob melumat bibir Jessie lebih dalam. Deru napas mereka terasa panas di wajah.
Baru setelah Jessie kehabisan napas, pria itu menarik diri. Lalu tersenyum miring melihat wajah Jessie yang memerah.
Pria ini!
Sempat terpikir oleh Jessie bahwa Jacob pasti hanya akan mengecupnya singkat, sekadar bermain peran.
Ternyata Jessie salah besar.
Tangan Jacob masih berada di atas pinggang Jessie, ketika suara sang pendeta yang mengumumkan deklarasi memecah hening kembali. “Atas kuasaNya, saya nyatakan Jacob Sanjaya dan Jessie Wijaya sebagai sepasang suami istri.”
Samar-samar Jessie dengar tepuk tangan yang terdengar palsu di seluruh ruang. Entahlah, isi pikirannya belum selesai atas ciuman yang baru diterimanya tadi.
Jessie hanya mampu menunduk, menyembunyikan wajahnya.
Setelah apa yang dirasa Jessie sebagai berjam-jam lamanya, keduanya turun dari altar dan mulai menyaksikan tamu-tamu yang mulai pulang. Meski begitu, Jessie masih belum mendapat kata selamat barang satu pun dari keluarganya.
Sampai akhirnya ketika ballroom sudah setengah kosong, Jessie berlalu, bergerak ke salah satu sudut ruang untuk sekadar mengistirahatkan pikiran dari hal-hal yang terjadi. Namun, belum sempat Jessie mengambil waktu sendiri, ia sudah disambut dengan tatapan tajam ayahnya. Pria tua itu melangkah menghampiri.
“Jessie,” panggil Arya Wibowo, suaranya datar.
Jessie menoleh. “Iya, Ayah.”
Arya Wibowo mendekat, berbicara dengan suara kecil, seolah takut ada yang mendengarnya. “Dengar, kamu sekarang sudah menikahi cucu keluarga Sanjaya, kamu paham apa yang harus dilakukan, bukan?”
Jessie menatap ayahnya dengan mata kosong. Malas. Ia tahu maksud dan tujuan ayahnya. “Ayah, aku hanya-”
“Jessie, kamu harus bisa memanfaatkan kesempatan ini,” potong ayahnya. “Kuras harta keluarganya! Dengan begitu kita akan menjadi kaya raya.”
“Ayah … bahkan Jacob Sanjaya-”
“Berpikir, Jessie, ayolah!” Jessie seolah tidak diberi kesempatan bicara. Ayahnya selalu menyelak. “Kalau Jacob Sanjaya memang cucu terbuang, kamu bisa cari simpati ke anggota keluarga lain. Rebut hatinya!”
“Ayah…,” Jessie menghela napasnya. “Aku sudah menurutimu, menikah dengan pria yang bukan pilihanku. Setelah ini, aku tidak ingin ikut campur dengan urusan pribadi ayah terhadap pernikahan ini.”
“Jangan kurang ajar, Jessie,” Arya Wibowo menatapnya lagi. “Ini semua demi kebaikanmu!”
“Kebaikanku atau keserakahanmu, Ayah?”
Wajah Arya Wibowo mengeras. Ia mematung di sana sementara Jessie berbalik, meninggalkannya tanpa menoleh. Gaun putihnya menyeret lantai marmer, menyisakan gema langkah yang pelan namun tegas.
Ia tidak tahu, di ruangan sebelah, seseorang mendengarkan percakapan itu sejak awal, tanpa bersuara, tanpa bergerak.
Jacob Sanjaya berdiri di balik dinding kayu mahoni, mendengarkan setiap kata. Wajahnya tidak menunjukkan apa pun, hanya sorot mata yang sedikit mendalam saat nama “laki-laki buangan” itu keluar dari mulut Kinanti.
Tangannya yang memegang gelas air sempat berhenti di udara, lalu perlahan diletakkan di atas meja.
“Ayo, Jessie?” Suara berat itu mengejutkan Jessie dan membuatnya terlonjak pelan.
Ia menoleh perlahan dan di sana, berdiri pria yang baru saja sah menjadi suaminya. Jacob, dengan jas hitamnya yang masih rapi, dasi yang tidak longgar, dan pandangan mata yang tidak bisa ditebak.
Jessie menelan ludah. “Ke mana?”
Jacob tidak menjawab. Ia hanya berjalan lebih dulu, langkahnya mantap, sementara Jessie mengikutinya. Tak ada tangan yang ditawarkan, tak ada senyum, tak ada basa-basi.
Mereka keluar dari ballroom, menuruni tangga marmer yang kini sunyi. Lampu-lampu kristal di langit-langit berkilau redup.
Mobil hitam mewah pun mengantar mereka keluar dari hotel. Jessie menatap keluar, melihat rintik hujan yang mulai membasahi kota. Di sampingnya, Jacob duduk tenang, memandangi jalan lurus di depan. Tidak ada sepatah kata pun keluar darinya sejak mereka masuk ke mobil. Hanya hening dan suara hembusan nafas mereka.
Perjalanan berlangsung lama, melewati kawasan elite yang semakin sepi. Hingga akhirnya, mobil berhenti di depan sebuah gerbang tinggi berwarna hitam dengan logo berinisial “S” di tengahnya.
Gerbang itu perlahan terbuka, memperlihatkan jalan lebar yang dipagari taman rapi dan pohon-pohon besar di kiri kanan. Lampu taman menyala lembut, memantulkan cahaya ke permukaan air mancur kecil di tengah halaman.
Jessie terpaku. Takjub melihat bangunan di depannya yang berdiri megah.
Sebuah mansion mewah berwarna putih, klasik, dengan jendela besar dan pilar marmer menjulang.
Jessie mengikuti langkah Jacob yang perlahan masuk. Pintu depan terbuka, dan seorang wanita paruh baya berwajah ramah segera menghampiri.
“Selamat datang, Tuan Jacob, Nyonya,” sapa wanita itu dengan senyum hangat. “Saya Ratih, kepala asisten rumah tangga. Kami sudah menyiapkan kamar utama dan makan malam. Tuan ingin langsung ke ruang makan?”
Jacob melepas jasnya, menyerahkannya begitu saja pada seorang pelayan tanpa melihat. “Tidak. Siapkan teh di ruang kerja.”
“Baik, Tuan.”
Jessie masih berdiri di ambang pintu, matanya menyapu sekeliling. Interior rumah itu indah. Perpaduan antara arsitektur Eropa dan sentuhan klasik Jepang. Ada bingkai foto keluarga tergantung di dinding. Potret laki-laki muda itu pasti Jacob, bersama foto seorang pria dan wanita muda yang Jessie duga sebagai orang tua Jacob.
Jacob berjalan melewatinya, tidak berkata apa-apa, tidak menatapnya.
Saat punggungnya menghilang di balik koridor panjang, Jessie mulai mengulur benang kusut di kepala.
Apa benar Jacob Sanjaya adalah cucu yang terbuang?
Jessie menangkap Jacob berjalan menuju ke sebuah ruang, barangkali itu ruang kerjanya. Sebab dari luar, Jessie melihat tumpukan kertas dan dokumen-dokumen di atas meja. Tetapi Jessie bahkan belum bisa membayangkan pekerjaan seperti apa yang dilakukan oleh Jacob, apalagi ia dilabeli sebagai cucu yang terbuang.
Dalam lamunan singkatnya, Jessie merasa asing juga canggung berada di tempat ini. Ia tak yakin harus ke mana. Jessie berniat untuk memanggil Ratih, setidaknya meminta untuk ditunjukkan ke kamar tidur.
Namun, belum sempat Jessie berpaling untuk memanggil Ratih, Jacob lebih dahulu berbalik, kemudian memanggilnya, membuat Jessie sedikit terperanjat. “Jessie.”
Jessie pun menoleh.
“Ikut denganku. Ada yang perlu kita bicarakan.”
“Aku baik-baik saja, Cindy.” Jessie menggeleng dengan senyum yang sedikit dipaksakan. “Pernikahanku juga berjalan lancar.” balas Jessie berbohong. Cindy memicingkan mata, seolah tidak percaya dengan perkataan sahabatnya itu. Ketika Jessie tersenyum, Cindy dengan cepat merubah raut mukanya lagi. “Baiklah, kalau kau berkata begitu, Jes.” Cindy tersenyum sambil menepuk punggung Jessie pelan.Keduanya kemudian berjalan menuju ke dalam gedung. Cindy memutuskan untuk membeli segelas kopi di kedai kecil dalam gedung. Jessie juga menginginkan segelas kopi, maka ia berjalan mengekori Cindy. Setelah membayar dan disuguhi dua gelas kopi yang harum, Cindy mengambilnya dari meja pick up di sebelah kasir.Cindy memberikan salah satu gelas yang dipegangnya kepada Jessie. Ketika itu, ada raut bingung dari wajah Cindy setelah nampaknya ia tak sengaja melihat jari-jari Jessie yang kosong. Sahabatnya itu meliriknya sejenak. “Apa benar, Jes, pernikahanmu berjalan lancar?” nadanya terdengar sedikit khaw
Setelah pintu kamar ditutup, Jessie membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Ia memaksakan diri untuk memejamkan mata. Ia tahu malam ini tidurnya tidak akan nyenyak, kepalanya akan penuh dengan belasan skenario. Tetapi Jessie tahu dirinya butuh istirahat setelah hari yang panjang.Ketika pagi datang, Jessie membuka mata dengan berat. Ia membawa langkahnya keluar kamar. Anak tangga disusurinya dengan hati-hati, sembari masih mengamati seisi mansion. Tempat ini benar-benar luas.Jessie kemudian terdiam di ujung tangga, menangkap sosok pria di dapur yang sedang mengenakan celemek hitam, kontras dengan kemeja putihnya yang digulung hingga siku. Itu Jacob.Jessie merasa canggung. Maka, ia putuskan untuk menyapa saja. “Jacob?”Pria itu menoleh, wajahnya datar. “Sudah bangun?”Jessie hanya mengangguk pelan. Ia melihat Jacob mengangkat dua piring yang sudah selesai dari dapur ke atas meja makan yang panjang, tanpa menatapnya. Aroma mentega dan kopi memenuhi ruangan. Cahaya matahari menerobos
Pria itu kemudian kembali melangkah mendahului Jessie. Tangannya mendorong pintu yang sudah setengah terbuka. Jacob lebih dahulu masuk dan Jessie mengkorinya langkahnya.Sepertinya benar ini ruang kerja Jacob. Ada meja kayu yang mewah dan kursi kulit yang berwarna senada. Jendela yang menjulang juga memberikan kesan luas di ruangan ini. Di langit-langitnya terdapat lampu yang menggantung mewah. Jessie terpaku lagi.Tanpa suara, Jacob berjalan menuju kursi di balik meja kerjanya, kemudian duduk di sana. “Aku ingin kamu menandatangani kontrak ini,” Jacob menyodorkan sebuah kertas putih ke arah Jessie, yang sedari tadi tergeletak di atas meja. Di tengah kertas ada huruf dicetak tebal berbunyi ‘kontrak pernikahan’. Jessie memandangi lembaran itu lantas mengerutkan dahi. Kontrak pernikahan…? Belum sempat Jessie menjawab, Jacob berujar lagi.“Aku akan menafkahimu, juga bertanggung jawab dan membiayaimu apabila kamu mengandung. Aku akan menjadi suami yang bertanggung jawab, asalkan…,” Jac
Belum sempat Jessie menyelesaikan ucapannya, bibir Jacob sudah menempel pada miliknya.Pria itu membelah bibir merah muda Jessie dengan lembut, kemudian melumatnya. Jessie menarik napasnya, kaget dengan ciuman Jacob. Namun, kagetnya tidak menghentikan pria itu dalam menjamu bibir Jessie. Lama-kelamaan, Jessie seperti hanyut dalam ciumannya, ia membalas ciuman itu perlahan. Seperti mendapat lampu hijau, Jacob melumat bibir Jessie lebih dalam. Deru napas mereka terasa panas di wajah.Baru setelah Jessie kehabisan napas, pria itu menarik diri. Lalu tersenyum miring melihat wajah Jessie yang memerah.Pria ini!Sempat terpikir oleh Jessie bahwa Jacob pasti hanya akan mengecupnya singkat, sekadar bermain peran. Ternyata Jessie salah besar. Tangan Jacob masih berada di atas pinggang Jessie, ketika suara sang pendeta yang mengumumkan deklarasi memecah hening kembali. “Atas kuasaNya, saya nyatakan Jacob Sanjaya dan Jessie Wijaya sebagai sepasang suami istri.”Samar-samar Jessie dengar tepuk
“Astaga, Jessie Wijaya! Apa yang sudah kau lakukan!?”Suara itu terdengar seperti denting kaca pecah di telinga Jessie. Tajam dan menusuk. Kinanti Arinda, ibu tirinya, berdiri di depan pintu suite hotel dengan ekspresi campuran antara kaget dan sinis.Pagi itu, suasana di penthouse mewah hotel Grand Harlington jauh dari kata damai. Harusnya, ini adalah hari bahagia. Hari pernikahan Jessie dan Daniel Sanjaya. Tapi pagi itu, seluruh keluarga besar Sanjaya dan Wijaya justru berkumpul dalam suasana tegang.Semua mata langsung menoleh ke arah Jessie yang berdiri di tengah ruangan dengan gaun tidur kusut, rambut awut-awutan, dan wajah pucat.Daniel Sanjaya, tunangannya, bangkit dari sofa kulit mahal dan menghampirinya dengan langkah tergesa.“Jessie… kenapa penampilanmu berantakan?” suara Daniel terdengar palsu di telinga Jessie. Jessie tidak menjawab. Tubuhnya kaku, pikirannya masih berputar dengan cepat, mencoba menyusun ulang kejadian malam sebelumnya. Seorang laki-laki asing yang tak s
"Aku rasa ini bukan ide yang bagus, Daniel," mata Jessie menelisik sekeliling kamar hotel mewah itu. Lilin-lilin aromaterapi bertebaran di setiap sudut, menciptakan suasana intim justru membuat perasaannya gelisah.Jessi Wijaya dan Daniel Sanjaya, kini tengah berada di sebuah kamar hotel sebelum acara pernikahan mereka. Kedua keluarga memiliki janji pernikahan, menjodohkan putri dari keluarga Wijaya dengan putra dari keluarga Sanjaya.Jessie sendiri tidak pernah menyukai ini. Ia tahu betul bahwa ayahnya hanya menginginkan harta dari pernikahan yang akan terjadi. Ditambah perlakuan sang ibu tiri yang memuakkan, maka Jessie melihat pernikahan sebagai sebuah upaya untuk melepaskan diri dari keluarganya. Sementara itu Daniel tertawa renyah, meraih tangannya dan menggenggamnya erat. "Aku hanya ingin membicarakan beberapa detail terakhir tentang pernikahan kita besok. Tanpa gangguan dari keluarga atau teman-temanmu yang cerewet itu." Suara Daniel terdengar tenang, tapi di balik senyumnya s







