MasukIntan mengangguk patuh, saat Jessie mempersilahkan masuk. Namun, begitu kakinya melangkah melewati pintu utama dan menapak lantai marmer yang dingin, tangisnya berhenti sejenak.Mata Intan yang sembab bergerak liar, memindai sekeliling interior rumah Jacob.Meskipun pencahayaan di ruang tengah diredupkan, Intan bisa melihat jelas kemewahan yang terpancar dari setiap sudut. Langit-langit yang tinggi, furnitur minimalis mewah, lukisan abstrak yang terlihat mahal, dan aroma pengharum ruangan maskulin yang mendominasi udara. Ini bukan sekadar rumah orang kaya biasa seperti rumah ayahnya. Ini adalah rumah seseorang dengan kekuasaan yang tak tersentuh.“Jadi ini sarang naganya,” batin Intan, rasa iri seketika meletup di dadanya, membakar habis sisa-sisa rasa takutnya tadi.“Intan?” panggil Jessie pelan, menyadari adiknya melamun.Intan yang tersentak, buru-buru memasang wajah memelas lagi. “I-iya, Kak. Rumahnya, besar sekali. Aku takut tersesat.”“Kamu tidur di kamar tamu lantai bawah,” bis
Jantung Jessie berdegup kencang, satu-satunya suara yang terdengar di telinganya selain deru napasnya sendiri.Pesan itu singkat, namun efeknya seperti bom waktu. Jessie membaca kalimat itu berulang kali, mencoba mencari celah kebohongan. Logikanya berteriak keras, mengingatkannya pada seringai licik Intan saat menuduhnya di ruang kerja ayahnya beberapa jam yang lalu.“Ini pasti jebakan,” batin Jessie memperingatkan. “Jacob baru memperingatkan bahwa ibu tirinya harus diwaspadai, karena ia tidak akan menyerah. Jessie juga sangat yakin akan hal itu.”Namun, bayangan Intan yang biasa hidup manja, kini sendirian di jalanan kota di tengah malam buta tanpa uang sepeser pun, mengusik sisi kemanusiaannya. Bagaimanapun, mereka tumbuh bersama.Jessie melirik ke arah tangga rumahnya yang gelap. Pintu kamar utama di lantai dua tertutup rapat. Jacob mungkin sudah tidur, atau sedang sibuk dengan dunianya sendiri.Dengan tangan gemetar, Jessie menekan tombol panggil.Hanya satu kali dering, panggila
Gerbang besi hitam setinggi tiga meter itu terbuka otomatis dengan dengungan halus, mempersilakan mobil mewah Jacob memasuki pelataran luas sebuah hunian bergaya modern.Mobil berhenti di dalam garasi. “Kita sampai,” ucap Jacob singkat, mematikan mesin.Jessie mengerjap, seolah baru tersadar dari lamunan panjang. Ia menatap sekeliling garasi yang bersih dan terang itu. Mereka turun dari mobil. Jacob tidak langsung masuk, ia berdiri sejenak menunggu Jessie. Mereka berjalan berdampingan menuju pintu utama.Begitu pintu terbuka, udara sejuk dari pendingin ruangan sentral dan aroma pengharum ruangan yang maskulin menyambut mereka. Jessie melepaskan heels-nya di dekat foyer, membiarkan telapak kakinya menyentuh lantai marmer dingin. Ia berjalan gontai menuju sofa di tengah ruangan, lalu menghempaskan tubuhnya di sana. Jessie merasa lelah.Keheningan di rumah ini berbeda. Bukan hening yang mencekam seperti di rumah ayahnya tadi, melainkan hening yang tenang. Stabil.“Minumlah.” Jessie men
Udara malam yang dingin langsung menyapa kulit wajah Jessie, memberikan sensasi sejuk yang kontras dengan panasnya emosi di dalam sana. Langit kota sudah gelap pekat, namun bagi Jessie, rasanya ia baru saja bisa bernapas lega setelah sekian lama.Jacob membukakan pintu mobil untuk Jessie. Tidak ada kata-kata, hanya gestur melayani yang natural. Setelah memastikan Jessie duduk dengan aman, Jacob memutari mobil dan masuk ke kursi pengemudi.Ia menekan tombol start. Mesin mobil kembali menderu halus.Namun, Jacob tidak langsung tancap gas. Ia membiarkan mobil dalam posisi diam sejenak. Pandangannya menyapu wajah Jessie yang masih berusaha mengatur napasnya.“Kamu baik-baik saja?” tanya Jacob. Suaranya rendah, kehilangan nada dingin dan tajam yang tadi ia gunakan untuk menekan Kinanti. Kini, suara itu kembali menjadi suara seorang suami yang khawatir, walaupun wajahnya tetap datar.Jessie menoleh, menatap wajah Jacob dalam remang cahaya lampu dashboard. Ada rasa lelah yang luar biasa di m
Jacob menutup map itu kembali, lalu mendorongnya pelan ke arah Arya.“Tapi ada satu kesalahan fatal dalam cerita yang kalian karang ini, Pa,” ucap Jacob tenang, namun nadanya setajam silet. “Di pasal pembayaran, tertulis dana akuisisi akan ditransfer ke rekening pihak ketiga. PT. Gunawan Jaya.”Wajah Kinanti yang tadinya penuh drama, seketika menegang. Matanya berkedip cepat, sebuah tanda kegugupan yang tak luput dari pengamatan Jacob.“Kenapa dengan PT itu?” tanya Arya bingung, tidak menangkap arah pembicaraan Jacob. “Itu perusahaan perantara yang kau tunjuk, kan?”“Bukan,” jawab Jacob dingin. Ia merogoh saku jas dalamnya, mengeluarkan ponselnya, mengetuk layar beberapa kali, lalu meletakkan ponsel itu di atas map merah tadi. Layar ponsel itu menampilkan profil data perusahaan dari website resmi kementerian hukum.“PT. Gunawan Jaya baru didirikan empat hari yang lalu,” jelas Jacob, suaranya mendominasi ruangan. Telunjuknya mengarah lurus ke wajah Kinanti yang kini pucat pasi. “Dan di
Mobil melesat membelah jalanan kota yang mulai lengang. Jacob mengemudi dengan kecepatan tinggi namun terkendali penuh, menyalip kendaraan lain dengan presisi yang membuat Jessie menahan napas sambil mencengkeram sabuk pengamannya sambil menggigit bibirnya.Tidak ada musik jazz yang menenangkan kali ini. Hanya ada deru mesin dan keheningan tegang yang menggantung di udara.Jessie menatap profil samping suaminya. Rahang Jacob mengeras, matanya fokus tajam ke jalanan, dan tangannya mencengkeram setir hingga buku-bukunya memutih. “Jacob,” panggil Jessie pelan, suaranya sedikit bergetar. “Papa sedang emosional. Kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk datang ke rumah keluarga Wijaya.”“Biarkan saja,” jawab Jacob datar tanpa menoleh. “Lebih baik dia selesaikan urusannya denganku, daripada terus mengganggumu.” lanjutnya“Tapi Mama Kinanti,” Jessie menggigit bibir bawahnya. “Dia licik, Jacob. Dia pasti sudah menyiapkan skenario lain kalau kamu datang.”Jacob akhirnya menoleh sekilas. Sudut b







