Share

Godaan Arman

Setelah mas Bagas pergi, kucoba untuk pejamkan mata. Jam dinding di atas nakas menunjukkan pukul 21: 30. Kurapalkan doa tidur lalu kutatap wajah putraku yang tengah lelap. Kuusap lembut kepalanya, kucium pipi gembulnya berkali-kali, tapi dia tidak terganggu sedikit pun oleh ulahku. Napasnya teratur menandakan dia sangat lelap.

Sayang, apakah kita akan berpisah? Sanggupkah aku jauh darimu? Bagaimana kau menjalani kehidupan yang baru kau mulai ini tanpa ibu sayang?! Airmataku meluncur begitu saja, tadi niatku akan tidur, tapi pikiranku malah berkelana tanpa arah, kucoba kendalikan pikiranku.

 "Heiii pikiranku! Ayo kita istirahat dulu, kembalilah ke tempatmu!" 

Aaahhhh ... dia sudah liar keman-mana, bahkan sudah bertamasya di suatu masa yang telah berlalu, masa dimana aku hamil .

#Flash back ON.

Sore itu mas Bagas baru pulang dari Jakarta, aku yang tengah hamil delapan bulan sudah mulai susah duduk, dengan posisi apapun serba salah rasanya. Berkali-kali kuganti posisi duduk, sembari kukemasi baju mas Bagas dari tas ke dalam lemari.

       

Aku menemukan kantong plastik besar di dalam tasnya, kukeluarkan dan kubuka isinya, ternyata rokok ber slop-slop. Dahiku berkerut, untuk apa rokok sebanyak ini? Aku pun bertanya perihal itu pada suamiku.

"Mas, ini rokok punya siapa?"

"Punyaku lah!" jawabnya ketus.

"Banyak banget, ini boleh beli?"

"Ya, belilah, masa boleh garong?"

"Tapi ini banyak banget buat apa, Mas?" Aku tak habis fikir, beli rokok sebanyak ini, kayak mau jualan saja.

"Buat stok biar ga usah minta kamu beli!" sungutnya nampak kesal dengan pertanyaanku

"Astaghfirullah Mas ...." Kugelengkan kepala karena ulahnya.

"Aku minta uang Mas, besok mau belanja sama bayar hutang di warung," pintaku sambil menadahkan tangan.

"Nih ....! Ia menyodorkan uang padaku.

"Sebelas ribu?" tanyaku tak percaya. 

"Iya, uangku sisa segitu!" ucapnya santai

"Tapi ini ga cukup mas, hutang di warung hampir seratus ribu."

"Ya, gimana lagi cuma ada segitu!"

"Ya Allah, Mas ...."

Aku pun masuk kamar, ingin menumpahkan kekesalanku karena kelakuan pria menyebalkan yang sayangnya adalah suamiku. Kuremas-remas bantal yang tak berdosa sebagai pelampiasanku.

        

Malamnya lepas isya, paman suamiku datang , rupanya dia mendengar kalau keponakannya pulang dari Jakarta. Kulihat mereka ngobrol di depan tv, sementara kedua adik iparku sedang asyik dengan buku-buku mereka. Kudengar pamannya berkata.

"Kamu ini gimana Gas, istri lagi hamil bukannya kamu kasih uang buat biaya persalinan nanti, sama beli keperluan bayi, malah kamu bawain rokok sebanyak itu. Orang hamil 'kan tidak boleh menghirup asap rokok, Gas!" tegur sang paman.

      

Suamiku tidak menyahut, dia memang tidak akan berani kalau sama pamannya ini. 

"Kamu itu sudah dewasa Gas, bentar lagi jadi ayah, masa fikiranmu masih kayak bocah aja, rubah itu sikapmu yang ga jelas ini!" titah pamannya dengan mimik jengkel.

"Iya om," singkat saja jawaban Suamiku.

Blusssssss ....

Asap rokok menyembul dari bibirnya dan dari bibir pamannya juga.

"Waktu itu kamu juga balik dari Jakarta bawa celana sekarung, cuma kamu bagi-bagiin ke temen kamu. Kamu ini, aduuh ... dari kecil sampai sekarang sikap menyebalkan masih saja dipelihara. Kasihan itu istrimu!"

"Iya, Om," 

#Flashback off.

       

Huuffhh ... dadaku kemabali sesak mengingat hal itu, masa-masa sulit itu ternyata masih berlanjut sampai sekarang. Parahnya, sekarang bahkan dia malas kerja, padahal sudah punya anak. Waktu itu, untung saja aku punya uang dari hasil nagih hutang ke orang-orang yang berhutang meubel pada orang tuaku. Ya, orang tuaku punya usaha meubel, banyak pelanggannya yang berhutang belum lunas sampai sekarang, ibuku menyuruhku menagih ke mereka dan uangnya boleh buatku sendiri, dari situalah kubelikan keperluan untuk calon bayiku saat itu hingga sekarang dia sudah lahir, bahkan kebutuhan rumah tanggapun, kubeli dari uang itu.

         

"Oh, ya, Saheer 'kan sudah enam bulan, berarti sudah waktunya dia MPASI. Namun, aku tidak ada uang untuk belanja, kebetulan besok hari Sabtu. Aku akan keliling nagih hutang meubel besok sore, tapi Mas Bagas tak perlu tau. Sebaiknya aku tidur sekarang," kurebahkan tubuhku di ranjang di samping buah hatiku. kukecup sebentar pipinya dan kupejamkan mata.

         

Keesokan harinya, aku beraktivitas seperti biasa di rumah, kubuatkan MPASI untuk bayiku dengan menu sederhana, boleh ngutang di warung tetangga. Sebenarnya aku malu ngutang terus ,tapi bagaimana lagi suamiku tidak punya penghasilan tetap.

         

Tak terasa hari sudah sore, Mas Bagas belum pulang dari pagi. Ia keliling mencari pembeli motor temennya, ini kesempatanku.

"Mer, Nin, mba bisa nitip Saheer dulu ga? Mba mau ke rumah teman mba bentar, mau dibawa takut hujan." 

"Iya, Mba, tenang aja, kita jagain si ganteng," sahut Nina.

"Susunya tapi Mba, jangan lupa, Mba!" Si Meri mengingatkan. 

"Iya, udah mba siapin di nakas. Ya, sudah mba pergi sekarang ya, keburu hujan. Assalamualaikum ...."

"Waalaikumussalam ...," jawab mereka.

     

Baru di luar rumah, tetangga ganteng dan perhatian tau-tau muncul.

"Mau kemana rapi banget? Seger lagi!" ujar si Arman menyapaku.

"Mau ke temen," jawabku.

"Mau kuanterin?" tawarnya,

 "Aahhh, kebetulan!" jawabku,

"Ayo, naik!"  

        

Aku pun menaiki motor dibonceng Arman, aku tau dia menyukaiku sejak aku masih gadis, tapi aku tak membalas perasaannya, karena saat itu aku tertarik pada Mas Bagas. Arman dapat menerimanya, dia tetap baik dan perhatian padaku. Mas Bagas pun santai saja karena Arman temannya sejak kecil, rumahnya tepat di belakang rumah mertuaku. Dia bahkan tiap hari main kerumah, bercanda dengan kedua adik iparku.

"Kemaren, berantem lagi?" tanya Arman memulai percakapan.

"He'em." Kujawab dengan malas.

"Coba dulu kamu pilih aku. Aku yakin rumah tangga kita harmonis," celetuknya.

"Arman, ngomong apaan, si? Aku turun ni!"

"Iya, iya, gitu aja ngambek. Jadi mau kemana ni?"

"Ini Sabtu sore, Man!" 

"Ohh, jadi mau keliling nagih, nih?"

"Iya, lah, apalagi, aku ga megang uang!" 

Arman sudah faham kalau Sabtu sore aku pergi buat nagih keliling, dia beberapa kali mengantarku.

"Kamu selalu nolak tiap kutawari bantuan."

"Aku ga mau ngrepotin kamu, mending kamu kumpulin duit kamu buat persiapan nikahmu!" 

"Calon istriku udah di rebut tetangga ...! tuturnya lirih seolah penuh luka.

"Cewek lain 'kan banyak!" sanggahku sesantai mungkin agar Arman tidak terbawa perasaan.

"Iya, banyak, tapi aku mau nungguin jandamu aja!" celetuk Arman seenaknya.

"Arman! Ga usah bercanda gitu!" Aku mulai kesal.

"Kalau aku gak bercanda gimana?" 

"Aku turun ni ...!"

"Yakin mau turun di sini? Ini semak belukar, depan dikit kuburan."

"Ga ... ga ... ga jadi. Aku jadi merinding," kataku.

Kulihat dari spion dia tersenyum menang.

Kleeekkk ....

"Eehhh, apa ini kok, berhenti di sini?" tanyaku panik.

"Aku mau bicara serius sama kamu," jawab Arman.

"Apa ga bisa sambil jalan aja?" Aku makin panik.

"Ga bisa, Sayang!"

"Sayang??? Arman ga usah aneh-aneh deh, ayo, jalan! Keburu malem aku bisa ga dapet uang." 

Arman tidak bergeming ....

"Arman ayo...!" Aku sudah mulai merengek, berharap dia mau menurutiku.

Apa itu? Sorot mata Arman jadi aneh begitu, jantungku tiba-tiba berdetak kencang. Yaa Allah ... apa yang akan dilakukan pria ini di tempat serem begini .... Yaa Allah ... tolong hamba.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status