Share

PERPISAHAN TIBA

DIPAKSA JADI TKW

ROMANSA CINTA PANGERAN ARAB DAN TKW

part.4 #Perpisahan_Tiba

Arman semakin mendekat, jarak kami hanya beberapa inci, degup jantungku makin bergolak, dia memegang tanganku. Refleks coba melepaskan tanganku dari tangannya, tapi sia- sia. Genggaman tangannya begitu kuat.

"Arman, lepasin ...!" protesku sambil berontak

"Kamu kenapa, rilex saja tak perlu tegang begini, Esih."

"Lepasin! Kamu jangan macam-macam, Arman!" 

"Macam-macam apa? Kamu jangan berpikir aneh-aneh Esihku yang manis, aku cuma mau bicara."

"Tapi ga perlu pegang tanganku gini, sakit!" gerutuku dengan muka masam. 

"Iya, iya, maaf. Aku ga bermaksud menyakitimu." Arman melepas tanganku.

"Yaudah, ngomong aja." Kupasang wajah cemberut.

"Esih ... aku ingin kamu tinggalkan Bagas lalu kita nikah."

"Apa? Kamu gila, Arman!"

"Aku tidak gila, tapi aku menyesal! Aku menyesal karena merelakanmu untuk pria brengsek itu. Kalau kutau dia bakal menyakitimu, aku pasti akan memperjuangkanmu sekuat tenaga. Tadinya aku pikir dia benar-benar mencintaimu, dan akan membahagiakanmu, makanya aku mengalah.Ternyata dia tetap pecundang yang tidak tau diri." 

"Arman, aku …," lirihku disela ucapannya, yang langsung ditangkis pria kurus, tinggi dan manis di depanku.

"Aku belum selesai bicara, jangan 

potong dulu!" hardiknya cepat

"Baik," Aku menunduk takut, Arman agak seram juga kalau lagi serius.

"Esih, aku ingin kamu bahagia dan aku yakin aku bisa membahagiakanmu. Aku tau kau tidak mencintaiku tapi aku yakin seiring waktu berjalan kau akan mencintaiku. Aku pasti bisa membuatmu cinta padaku," ungkapnya lunak. Namun, mampu membuat darahku berdesir.

Tangannya kembali menggenggam tanganku, tapi kali ini dengan lembut. Aku tau dia berusaha meyakinkanku, tapi ini tidak mungkin! Dia terdiam, mungkin ini saatnya aku bicara.

"Arman, aku tau perasaanmu itu tulus, aku percaya kamu bisa membahagiakanku, tapi ini tidak mungkin, Arman!"

"Kenapa tidak mungkin?" potongnya cepat. Issh, menyebalkan! Tadi dia tidak terima saat aku memotong ucapannya. Sekarang dia sendiri memotong ucapanku.

"Tentu saja tidak mungkin! Tidak mungkin aku menikah dengan tetangga mantan suamiku, jika kita bersama tentunya Mas Bagas akan tetap sering kulihat setiap hari. Bagaimana kita menjalani pernikahan kita, kalau masa laluku selalu di depan mata?!" tegasku panjang lebar, berharap dia memahami posisi sulitku.

"Kita bisa tinggal di tempat lain Sayang," ucapnya.

"Lalu keluargamu? Apa mereka tidak akan kena dampak dari masalah yang akan datang, seandainya kita menikah? Apa keluargamu dan keluarga Mas Bagas akan akur-akur saja, seperti tidak ada apa-apa? Kamu paham betul watak Mas Bagas, apalagi Ibunya yang tidak bisa diusik sedikit pun. Aku yakin, Ibu mertuaku itu akan memusuhi keluargamu dan Mas Bagas pun akan sering mengganggu kehidupan keluarga kita."

Arman terdiam ....

"Oke, kita bisa pindah dari lingkungan itu, tapi tidak mungkin keluargamu akan ikut pindah juga, dibela-belain demi kita, iya 'kan?! Aku bisa saja tidak peduli omongan tetangga, tapi aku tidak bisa jika keluargamu jadi tidak nyaman karena kebahagiaan kita. Itu namanya kita egois, dan cinta tidak boleh egois!"

"Aku akan cari jalan keluarnya Esih, kamu jangan khawatir, ya."

Haduuuhhh dasar kepala batu! Rutukku dalam hati. Isshhh dia kembali menggenggam tanganku dan ....

"Esih, tolong kamu terima ini." Segenggam uang dia letakkan di telapak tanganku.

"Kamu tidak boleh menolak, karena hari ini kamu gagal dapat uang gara-gara aku!" 

"Ta … taa … tapi, Arman."

"Tidak ada tapi-tapi, ini hakmu! karena aku sudah menghabiskan waktumu untuk nagih keliling." 

"Jadi kau membayar waktuku?"

"Ya, anggap saja begitu. Ayo, kita pulang sudah hampir magrib tidak baik berada disini!" 

"Kamu, sih!" gerutuku.

"Ya, sudah. Ayo, naik!" Ia menstater motornya lalu kami pulang.

"Terimakasih, Arman."

"Itu hakmu dan kalau kau perlu uang insyaallah aku siap." 

"Tidak, Arman. Lain kali kau tidak perlu membayar waktuku, biarkan aku nagih keliling biar aku bisa menghempaskan penat di dadaku."

"Oke manis," cetusnya dengan nada genit.

       

Kami pun pulang dengan saling diam, Adzan berkumandang saat kami tiba di depan rumah mertuaku.

"Assalamualaikum," sapaku di depan pintu.

"Waalaikumussalam," jawab suara dari dalam

"Saheer nangis ga, Mer?" Langsung kutanya Meri, karena dia yang pertamaku lihat dalam rumah.

"Engga, mba, tadi seneng dia maen sama kita, terus kita mandiin. Tuh, udah ganteng, lagi di kamar sama Nina."

"Makasih ya, Mer. Mba cuci tangan dulu."

Usai cuci tangan segera kuhampiri putra kesayanganku.

  

"Hallo Sayang, udah mandi, ya? Sambil kuraih dia dari kasur, lantas kucium berkali-kali. Dia tertawa geli."

"Masmu belum pulang, Nin?" 

"Tadi pulang terus maen bola di lapangan," jawab Nina.

"Nyariin mba ga?" 

"Iya, tadi nyariin, kita jawab mba lagi kerumah temennya, terus Mas Bagas langsung ke lapangan."

"Oh, makasih ya, Nin," kataku.

"Ya udah, Mba. Aku sama Meri mau ke mushola dulu."

"Iya Nin. Eeh, tadi Saheer mimik susu ga?" 

"Mimik Mba, sebotol."

"Ya sudah, makasih ya, Nin."

"Iya, Mba, kita ke mushola dulu ya, Mba. Assalamualaikum," pamitnya 

"Waalaikumussalam," jawabku.

      

Selepas Nina dan Meri pergi, Mas Bagas pun pulang. Dia langsung menghampiriku. 

"Kamu tadi dari mana?" todongnya serta merta.

"Rumah temen, Mas," jawabku sambil nunduk.

"Ngapain kok, Saheer gak dibawa?" 

"Takut hujan Mas, tadi 'kan mendung," kilahku

"Alesan aja, sebenarnya kamu mau duaan sama Arman 'kan ?!" todongnya penuh curiga,

Deg ....

Jadi Mas Bagas lihat aku sama Arman, atau jangan-jangan dia lihat juga saat kami berduaan di semak-semak itu. Rasa was-was seketika menyelinap di rongga dadaku

"Iya, 'kan!" sentaknya, membuatku terkesiap.

"Engga, Mas. Tadi pas pulang aku ketemu Arman, terus dia ngajakin bareng, karena udah hampir magrib jadi aku langsung mau saja dibonceng dia. Memang kenapa, Mas?" dustaku, sambil menata hati agar tak terlihat gugup.

"Ya, gapapa, awas aja kalau kamu macem-macem sama dia, habis kamu!" ancamnya.

    

Deg … deg ... deg .... 

Jantungku terlonjak-lonjak. Aku harus jaga jarak sama Arman, aku tau Mas Bagas tidak main-main dengan ancamannya. 

"Aku mau sholat dulu Mas, titip Saheer bentar, ya." Aku berusaha menyudahi pembicaraan ini.

"Hemm," sahutnya enteng.

Pukul 20:00 aku sedang menyiapkan makan malam di depan tv, dibantu adik-adik iparku, sehingga makanan cepat tersaji di hadapan kami berempat. Kami pun makan dalam diam dan kami pun selesai makan. Kedua adik iparku mengemasi bekas makan kami. Aku langsung ke kamar, sementara Mas Bagas merokok di tempat semula. Kemudian dia mendatangiku di kamar.

"Esih …," panggilnya.

"Iya Mas, ada apa?" sahutku.

"Besok malam kamu berangkat ke Jakarta untuk pendidikan di PT."

Derrrrrrrr .... 

Seperti ada petir menyambar dadaku, aku kaget bukan main mendengar penuturan suamiku.

"Apa, Mas? Berangkat? Besok malam?" tanyaku tak percaya.

"Iya, berkasmu sudah beres dan sudah kuberikan kepada Mas Guntur, besok malam dia ke Jakarta, membawa beberapa orang termasuk kamu."

"Tapi, Mas, kamu ga bisa gitu!" Aku mulai emosi 

"Kamu tidak bisa membantah Sih, ini terpaksa kulakukan demi masa depan kita nanti. Kamu yakin aja kita pasti akan sukses dan kita tidak akan tinggal disini lagi. Kita akan tinggal di rumah kita sendiri."

"Mas, ini terlalu mendadak. Aku belum siap berpisah dengan anakku Mas," lirihku. Air mataku bederai seketika. 

"Maafkan aku Sih, aku harap kamu bisa ngerti."

"Kenapa aku yang harus selalu ngerti, kenapa bukan kamu, Mas? Kenapa!? Tega kamu Mas ... tega!" Tangisku makin pecah.

"Oke, ini terakhir kali kamu mengerti, setelah kamu kembali aku janji aku yang akan selalu mengerti kamu Sih, aku janji." Tangannya memegangi kedua bahuku dan langsung kuhempaskan. 

"Kamu jahat, Mas!" makiku di depan mukanya.

      

Meri dan Nina menghampiriku, mereka memelukku sambil menangis.

"Mas, tolong jangan paksa Mba Esih pergi Mas, kasihan Saheer, Mas," ratap Nina 

"Kalian 'kan bisa menjaga Saheer!" sentak suamiku kepada kedua adiknya.

"Kami masih sekolah, Mas! Siapa yang akan menjaga Saheer kalau kami sekolah!" teriak Meri lantang. 

"Saheer akan kita titip ke Ibu angkat Mba Esih," cetusnya

Aku terkesiap mendengar jawaban Mas Bagas,

"Ibu angkatku, kenapa tiba-tiba kamu ingat ibu angkatku, Mas? Selama ini jika aku hendak menengoknya, Mas selalu melarangku. Kenapa sekarang Mas, mau menyusahkannya?"

"Kalau Ibuku ada di rumah, pasti Ibuku yang akan mengurus anak kita, berhubung Ibuku tak ada biar Ibu angkatmu saja. Aku tidak mau Ibu kandungmu yang mengurus anak kita, nanti pasti kamu kirim uangnya sama dia!"

"Apa? Kirim uang? Jadi itu alasanmu, karena uang yang kamu takutkan? Asal kamu ingat Mas, selama ini orang tuaku selalu membantu biaya hidup kita, tapi kita tidak pernah memberi apapun untuk mereka!"

"Ya sudah, makanya sama Ibu angkat kamu saja, Ibu kandungmu 'kan kaya, ga butuh uang lagi. Uangnya saja sudah kebanyakan!"

"Tapi aku ga mau pergi Mas, aku ga mau!" teriakku keras.

Aaagghhhh .... 

Mas Bagas menarik tanganku, menghempaskanku ke tempat tidur membuat kaget Saheer yang tengah terlelap. Buru-buru Nina menggendongnya, membawa bayiku ke kamarnya. 

Sementara Meri, berusaha menolongku. Namun, Mas Bagas menariknya keluar kamar dan menghempaskan Meri di tembok. Aku kembali masuk kamar dan mengunci pintunya. Aku terisak di atas ranjang.

   

"Tolong Esih! tolooongg banget ... sekali ini saja, kamu turuti aku untuk terakhir kali, setelah kamu pulang aku jamin aku sudah sukses dengan usaha rental motorku. Makanya tolong kamu bantu aku carikan modalnya dulu. Aku sudah perhitungkan, saat usia Saheer 3 atau 4 tahun kita sudah hidup mapan. Kita akan hidup nyaman tercukupi.Tolong sih tolooongg!" Mohonnya dengan suara memelas tapi penuh paksaan. Entah, itu permohonan atau intimidasi.

Aku hanya terisak tanpa menjawab ucapan nya. Ku jawab ataupun tidak keputusannya tidak akan berubah, kepalanya bahkan lebih keras daripada karang di laut. Sepanjang malam ini aku yakin tidak akan bisa tidur. Ku buka pintu kamar, ku ambil putraku dari Nina, aku sudah tidak sanggup berfikir apapun lagi. Kepalaku terasa berat, hanya putra ku yang ada dalam fikiranku. Kudekap erat, ku ciumi, kuelus-elus sepanjang malam.

Hari begitu cepat berlalu, aku benci sekali dengan pagi ini, aku ingin tetap malam, agar aku bisa terus memeluk anakku, hatiku hancur, mulutku terkunci. Aku melihat Mas Bagas menyiapkan sesuatu, mungkin pakaianku , aku hanya terpaku di posisiku sejak malam, sementara Meri dan Nina mereka mengurus Saheer, menyuapi nya makan bubur sereal, membuat susu bubuk yang memang sudah ada, sebagai pengganti ASI saat aku menitipkan nya pada mereka. Tak terasa malam sudah datang saja.Ya Allah, saat terberat itu tiba juga.

Kuhampiri anakku yang tengah tidur, ku gendong dan ku beri ASI untuk terakhir kalinya.

"Sayang, maafkan ibu, setelah ini ibu tidak bisa menyusuimu lagi, tidak bisa memelukmu, menggendongmu ,memandikanku ,mengganti popokmu , bajumu, untuk waktu yang lama. Maafkan Ibu sayang, Ibu tidak berdaya melawan ayahmu. Kamu sehat terus ya , tumbuh besar dengan baik. Jadilah anak yang kuat sayangku."

"Sih, Mas Guntur sudah nunggu di depan, bajumu sudah masuk mobil. Ayo, siap-siap!"

Seperti kerbau dicucuk hidungnya, aku patuh pada Mas Bagas, dia menggandeng tanganku membimbingku keluar. Lalu dia bercakap dengan Mas Guntur, Meri dan Nina menghampiri memelukku tapi aku tak bergeming, aku terlihat seperti orang linglung, meski menyadari tingkah laku orang di sekitarku.

"Mba, hati-hati ya, jika Mba tidak mau memaafkan Mas Bagas, kami dukung Mba, tapi kami mohon tetap jadi Mba kami sampai kapan pun."

Aku tidak menyahuti ucapan Meri, aku terus melangkah menuju mobil dan menaikinya, mobilpun merayap, perlahan-lahan menjauh. Selamat tinggal Saheer sayang, Ibu pergi dulu ya, Ibu janji, Ibu pasti kembali. Dengan hati hancur terpaksa kutinggalkan bayiku yang baru berusia enam bulan demi menuruti kehendak suamiku. Suami egois! 

Bersambung ...

Duuhh part ini baper banget ya....saya ngetiknya pun sambil berurai air mata. Ibu mana yang sanggup di pisahkan dengan buah hatinya yang masih bayi , lihatlah esih sampai linglung begitu....tapi Mungkin Tuhan punya rencana indah untuk esih dan anaknya di masa depan....

Nanti kan terus kelanjutannya ya, salam hangat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status