Share

Keributan Dibalik Keributan

Part.2 #Keributan_Dibalik_Keributan

Dari balik gorden bermotif bunga mawar warna kunyit aku mengintip dari dalam kamar. Aku mendengkus kesal. Suamiku ini, lancang sekali dia mengambil keputusan tanpa tanya pendapatku. Dadaku ikut turun naik seiring emosi yang tertahan di dada.

"Jahaaat … kamu jahat Mas," rutukku dalam hati.

"Berkasnya sudah disiapkan gas?"

"Belum Mas. Apa saja ya, berkasnya?"

"Nanti aku sms aja ya, Gas."

"Iya. Iya, mas."

"Kalau gitu aku permisi dulu Gas, masih ada urusan." Mas Guntur berpamitan. Akhirnya tamu tak diundang itu pulang.

"Iya, Mas Guntur, terimakasih." Mas Bagas menjawab dengan ramah. Padahal jika berbicara padaku mulutnya selalu kasar. Dasar suami tak punya otak.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Keduanya bersalaman di dekat pintu. Mas Bagas langsung menghampiriku di kamar, dia memanggil beberapa kali. Namun, tak kusahuti panggilannya. Aku malas menghargai orang yang tidak pernah menghargaiku. Seenaknya saja dia berkonsultasi pada temannya, akan mengirimku pergi ke luar negeri.

"Esiihhhh, dipanggil suami bukanya nyaut malah diem aja. Mana rasa hormatmu kepada suami?" bentak Mas Bagas.

"Hormat? apa Mas pernah mengormatiku selama ini? Bahkan menganggap aku saja tak pernah, seolah aku ini tak pernah ada, Mas!"

"Gak usah mulai lagi deh, kamu nurut aja kenapa susah banget sih?"

Astaga. Lagi-lagi Mas Bagas mengungkit pertengkaran kami sebelumnya. Bekas tamparan di pipiku saja masih perih. Dia sudah akan mengulangi perbuatan dan perkataan kasarnya padaku.

"Apa yang tidak pernah kuturuti untukmu, Mas? Semua kehendakmu selalu kuturuti tetapi bagaimana dengan, Mas? Pernahkah kau menuruti keinginanku, mas? Bertanya apa yang kuinginkan pun tidak pernah!"

"Kamu egois mas … egoiisss ..!"

Akhirnya semua beban di hati mampu kukeluarkan. Sekian lama bersama aku hanya jadi pajangan, pemuas nafsu Mas Bagas. Dibalik itu tak sedikitpun dia memberikan perhatian padaku.

Mas Bagas membelalakkan mata. Telapak tangan kanannya kembali terangkat ke atas. Aku takut. Segera menundukkan kepala, memundurkan badan darinya.

"Assalamualaikum."

"Wa-waalaikumussalam," terbata Mas Bagas menjawab salam. Ia segera menurunkan tangannya.

Nyaris saja tangan panas itu menyambar pipiku lagi, beruntung ada yang datang mengucap salam, sehingga tangan itu hanya mengambang di udara.

Meri pulang rupanya.

"Apalagi sih, nih, ribut-ribut? Pulang ke rumah yang ada hanya keributan, kayak Tom and Jerry. Cakar-cakaran terus," gerutu Meri.

"Kamu ga usah ikut campur Mer, bocah ingusan tau apa!" bentak suamiku.

"Ganti bajumu terus makan, Mer," kataku.

"Meri sudah makan bakso Mba, tadi ditraktir temen."

"Ya, udah istirahat sana."

"Gimana mau istirahat kalau rumah ada gempa gini," tukas Meri lagi. Sambil melirik kakak kandungnya yang masih penuh amarah.

"Cukup Meri, kalau kamu gak betah di rumah maen lagi aja sana. Gak usah pulang sekalian," bentak suamiku.

"Oh, jadi Mas Bagas mengusirku? Emangnya ini rumahmu, Mas? Ini rumah ayahku kalau kau lupa!" bantah Meri dengan penuh emosi.

Ya, rumah yang kami tempati ini memang rumah orangtua Meri dan Nina, bukan rumah mas Bagas. Karena suamiku hanya saudara seibu dengan kedua adiknya. Orang tua mereka yakni mertuaku, mereka merantau ke kota sehingga suamiku jadi kepala keluarga di rumah ini.

Nina yang sedari tadi diam di kamar pun keluar karena terganggu.

"Yaa Allah … kenapa rame banget sih?"

Nina dan Meri memiliki sifat yang berbeda. Nina lembut sedangkan Meri agak meledak-ledak seperti suamiku. Dia berani melawan kakaknya sehingga jika mereka berdebat bisa dipastikan durasinya lama.

Oee … oee … oee ....

Lengkap sudah keriuhan rumah ini, bayiku tidak bisa tidur nyenyak. Kuangkat bayiku kucek popoknya ternyata penuh. Segera mengambil satu diaper baru. Mengganti popoknya lalu kuberi ASI.

Kubiarkan adik kakak yang sedang adu mulut itu biar mereka puas menumpahkan sampah di dada mereka. Kunikmati waktuku bersama bayi mungil nan menggemaskan di gendonganku ini. Aku khawatir sewaktu-waktu aku terpaksa jauh darinya. Tak bisa melihat wajah bayiku lagi.

Malam harinya ....

"Esih, coba dengar kataku."

Darahku kembali berdesir, mulai lagi mas Bagas. Ia pasti akan menyuruhku untuk berangkat menjadi TKW ke Arab Saudi.

"Kamu dengar 'kan apa kata Meri tadi sore, dia bilang ini rumah ayahnya. Itu artinya sewaktu-waktu mereka bisa mengusir kita, mau kemana kita kalau diusir dari sini?"

"Kerumah orang tuaku, Mas!" jawabku cepat. Aku masih punya orang tua yang pasti mau menampungku jika terusir dari rumah ini.

"Tidak mungkin sih, orang tuamu tidak menyukaiku."

"Itu karena sikapmu sendiri, Mas."

"Itu karena aku miskin, Sih!" Kenapa suamiku menyalahkan keadaan tanpa dia sendiri mau berubah. Ia hidup dengan santai dalam kemiskinan ini dan menuntutku untuk bekerja. Dasar otak udang!

"Mas aku mohon lihatlah bayi kita ini Mas, apa Mas tega memisahkan kami, Mas?" Isakku air mata kembali berlinangan. Tak sanggup membayangkan jika harus jauh dari bayiku.

"Bukan tega ga tega Sih, tapi ini demi masa depan dia, demi masa depan kita!"

Suara Mas Bagas mulai meninggi. Urat-urat halus di wajahnya tergambar nyata. Betapa dia berkata menggunakan emosi bukan logika atau hati.

"Mas, bisa ke Jakarta lagi, bisa narik bajaj lagi, aku disini bisa buka warung kecil-kecilan akan kupinjam modal dari orang tuaku."

Plaaakkkk.

Suara tamparan terdengar sangat keras. Lagi, pipiku ditamparnya, perih sekali tapi hatiku jauh lebih perih. Ingin rasanya kubalas menamparnya tetapi apalah dayaku. Hanya seorang wanita lemah yang secara kekuatan fisik kalah jauh darinya.

Kubenamkan wajahku di bantal untuk meredam tangisku, meski sangat ingin aku meraung-raung menumpahkan tangis agar dadaku sedikit lega. Rasanya sesak, sangat sesak. Hari belum berganti sudah dua tamparan kuterima.

"Kamu mau aku merendahkan diri di depan keluargamu, haaah? Aku tidak Sudi!"

"Tapi kenapa kamu Sudi meminta dariku mas?"

"Kamu itu istriku Sih, milikmu milikku. Milikku milikmu, kita harus berjuang bersama untuk masa depan kita!"bentak nya.

Suaranya menggelegar bak genderang mau perang.Tangisku makin pecah tapi dia tidak perduli.

Hari-hari kami lalui dengan saling bertengkar, adu mulut seperti ini. Aku lelah, ingin rasanya pergi sejauh-jauhnya dari suamiku ini. Namun, bagaimana dengan anakku?

Aku merenung. Memikirkan lagi semua kata-kata Mas Bagas, "Baik Mas, aku mau pergi ke Saudi. Namun, nanti ya, tunggu Saheer genap setahun."

"Kalau umur segitu susah ditinggal, lebih baik sekarang dia belum paham apa-apa."

"Tapi aku ingin melihatnya bisa jalan dulu, Mas."

"Sudahlah Esih, aku malas debat denganmu."

Braaakkk!

Pintu kamar dibanting dengan keras, untung Saheer tidak terbangun.

Kudengar suara mesin motor dipanasi rupanya dia mau pergi. Syukurlah, setidaknya aku bisa bernapas lega. Sedari tadi napasku sesak.

Kubangkit dari ranjang. Mengambil minuman di meja kamar, kuteguk cairan bening di dalamnya hingga tandas.

Bersambung.

Part.2 #Keributan_Dibalik_Keributan

Dari balik gorden bermotif bunga mawar warna kunyit aku mengintip dari dalam kamar. Aku mendengkus kesal. Suamiku ini, lancang sekali dia mengambil keputusan tanpa tanya pendapatku. Dadaku ikut turun naik seiring emosi yang tertahan di dada.

"Jahaaat … kamu jahat Mas," rutukku dalam hati.

"Berkasnya sudah disiapkan gas?"

"Belum Mas. Apa saja ya, berkasnya?"

"Nanti aku sms aja ya, Gas."

"Iya. Iya, mas."

"Kalau gitu aku permisi dulu Gas, masih ada urusan." Mas Guntur berpamitan. Akhirnya tamu tak diundang itu pulang.

"Iya, Mas Guntur, terimakasih." Mas Bagas menjawab dengan ramah. Padahal jika berbicara padaku mulutnya selalu kasar. Dasar suami tak punya otak.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Keduanya bersalaman di dekat pintu. Mas Bagas langsung menghampiriku di kamar, dia memanggil beberapa kali. Namun, tak kusahuti panggilannya. Aku malas menghargai orang yang tidak pernah menghargaiku. Seenaknya saja dia berkonsultasi pada temannya, akan mengirimku pergi ke luar negeri.

"Esiihhhh, dipanggil suami bukanya nyaut malah diem aja. Mana rasa hormatmu kepada suami?" bentak Mas Bagas.

"Hormat? apa Mas pernah mengormatiku selama ini? Bahkan menganggap aku saja tak pernah, seolah aku ini tak pernah ada, Mas!"

"Gak usah mulai lagi deh, kamu nurut aja kenapa susah banget sih?"

Astaga. Lagi-lagi Mas Bagas mengungkit pertengkaran kami sebelumnya. Bekas tamparan di pipiku saja masih perih. Dia sudah akan mengulangi perbuatan dan perkataan kasarnya padaku.

"Apa yang tidak pernah kuturuti untukmu, Mas? Semua kehendakmu selalu kuturuti tetapi bagaimana dengan, Mas? Pernahkah kau menuruti keinginanku, mas? Bertanya apa yang kuinginkan pun tidak pernah!"

"Kamu egois mas … egoiisss ..!"

Akhirnya semua beban di hati mampu kukeluarkan. Sekian lama bersama aku hanya jadi pajangan, pemuas nafsu Mas Bagas. Dibalik itu tak sedikitpun dia memberikan perhatian padaku.

Mas Bagas membelalakkan mata. Telapak tangan kanannya kembali terangkat ke atas. Aku takut. Segera menundukkan kepala, memundurkan badan darinya.

"Assalamualaikum."

"Wa-waalaikumussalam," terbata Mas Bagas menjawab salam. Ia segera menurunkan tangannya.

Nyaris saja tangan panas itu menyambar pipiku lagi, beruntung ada yang datang mengucap salam, sehingga tangan itu hanya mengambang di udara.

Meri pulang rupanya.

"Apalagi sih, nih, ribut-ribut? Pulang ke rumah yang ada hanya keributan, kayak Tom and Jerry. Cakar-cakaran terus," gerutu Meri.

"Kamu ga usah ikut campur Mer, bocah ingusan tau apa!" bentak suamiku.

"Ganti bajumu terus makan, Mer," kataku.

"Meri sudah makan bakso Mba, tadi ditraktir temen."

"Ya, udah istirahat sana."

"Gimana mau istirahat kalau rumah ada gempa gini," tukas Meri lagi. Sambil melirik kakak kandungnya yang masih penuh amarah.

"Cukup Meri, kalau kamu gak betah di rumah maen lagi aja sana. Gak usah pulang sekalian," bentak suamiku.

"Oh, jadi Mas Bagas mengusirku? Emangnya ini rumahmu, Mas? Ini rumah ayahku kalau kau lupa!" bantah Meri dengan penuh emosi.

Ya, rumah yang kami tempati ini memang rumah orangtua Meri dan Nina, bukan rumah mas Bagas. Karena suamiku hanya saudara seibu dengan kedua adiknya. Orang tua mereka yakni mertuaku, mereka merantau ke kota sehingga suamiku jadi kepala keluarga di rumah ini.

Nina yang sedari tadi diam di kamar pun keluar karena terganggu.

"Yaa Allah … kenapa rame banget sih?"

Nina dan Meri memiliki sifat yang berbeda. Nina lembut sedangkan Meri agak meledak-ledak seperti suamiku. Dia berani melawan kakaknya sehingga jika mereka berdebat bisa dipastikan durasinya lama.

Oee … oee … oee ....

Lengkap sudah keriuhan rumah ini, bayiku tidak bisa tidur nyenyak. Kuangkat bayiku kucek popoknya ternyata penuh. Segera mengambil satu diaper baru. Mengganti popoknya lalu kuberi ASI.

Kubiarkan adik kakak yang sedang adu mulut itu biar mereka puas menumpahkan sampah di dada mereka. Kunikmati waktuku bersama bayi mungil nan menggemaskan di gendonganku ini. Aku khawatir sewaktu-waktu aku terpaksa jauh darinya. Tak bisa melihat wajah bayiku lagi.

Malam harinya ....

"Esih, coba dengar kataku."

Darahku kembali berdesir, mulai lagi mas Bagas. Ia pasti akan menyuruhku untuk berangkat menjadi TKW ke Arab Saudi.

"Kamu dengar 'kan apa kata Meri tadi sore, dia bilang ini rumah ayahnya. Itu artinya sewaktu-waktu mereka bisa mengusir kita, mau kemana kita kalau diusir dari sini?"

"Kerumah orang tuaku, Mas!" jawabku cepat. Aku masih punya orang tua yang pasti mau menampungku jika terusir dari rumah ini.

"Tidak mungkin sih, orang tuamu tidak menyukaiku."

"Itu karena sikapmu sendiri, Mas."

"Itu karena aku miskin, Sih!" Kenapa suamiku menyalahkan keadaan tanpa dia sendiri mau berubah. Ia hidup dengan santai dalam kemiskinan ini dan menuntutku untuk bekerja. Dasar otak udang!

"Mas aku mohon lihatlah bayi kita ini Mas, apa Mas tega memisahkan kami, Mas?" Isakku air mata kembali berlinangan. Tak sanggup membayangkan jika harus jauh dari bayiku.

"Bukan tega ga tega Sih, tapi ini demi masa depan dia, demi masa depan kita!"

Suara Mas Bagas mulai meninggi. Urat-urat halus di wajahnya tergambar nyata. Betapa dia berkata menggunakan emosi bukan logika atau hati.

"Mas, bisa ke Jakarta lagi, bisa narik bajaj lagi, aku disini bisa buka warung kecil-kecilan akan kupinjam modal dari orang tuaku."

Plaaakkkk.

Suara tamparan terdengar sangat keras. Lagi, pipiku ditamparnya, perih sekali tapi hatiku jauh lebih perih. Ingin rasanya kubalas menamparnya tetapi apalah dayaku. Hanya seorang wanita lemah yang secara kekuatan fisik kalah jauh darinya.

Kubenamkan wajahku di bantal untuk meredam tangisku, meski sangat ingin aku meraung-raung menumpahkan tangis agar dadaku sedikit lega. Rasanya sesak, sangat sesak. Hari belum berganti sudah dua tamparan kuterima.

"Kamu mau aku merendahkan diri di depan keluargamu, haaah? Aku tidak Sudi!"

"Tapi kenapa kamu Sudi meminta dariku mas?"

"Kamu itu istriku Sih, milikmu milikku. Milikku milikmu, kita harus berjuang bersama untuk masa depan kita!"bentak nya.

Suaranya menggelegar bak genderang mau perang.Tangisku makin pecah tapi dia tidak perduli.

Hari-hari kami lalui dengan saling bertengkar, adu mulut seperti ini. Aku lelah, ingin rasanya pergi sejauh-jauhnya dari suamiku ini. Namun, bagaimana dengan anakku?

Aku merenung. Memikirkan lagi semua kata-kata Mas Bagas, "Baik Mas, aku mau pergi ke Saudi. Namun, nanti ya, tunggu Saheer genap setahun."

"Kalau umur segitu susah ditinggal, lebih baik sekarang dia belum paham apa-apa."

"Tapi aku ingin melihatnya bisa jalan dulu, Mas."

"Sudahlah Esih, aku malas debat denganmu."

Braaakkk!

Pintu kamar dibanting dengan keras, untung Saheer tidak terbangun.

Kudengar suara mesin motor dipanasi rupanya dia mau pergi. Syukurlah, setidaknya aku bisa bernapas lega. Sedari tadi napasku sesak.

Kubangkit dari ranjang. Mengambil minuman di meja kamar, kuteguk cairan bening di dalamnya hingga tandas.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status