Share

JADI BAHAN OMONGAN part 4

"Jangan menangis, lebih baik sekarang kita makan bersama."

Bapak mengangguk setuju, kami duduk lesehan di bawah dengan beralaskan tikar. Rumah Bapak belum dikeramik, lantainya hanya dipelur saja.

"Dihabiskan ya, Pak, Bu, makanannya. Arumi juga beli lauknya lagi yang dipisah, takut nanti kalau malam Bapak sama Ibu lapar. Nanti habis ini Arumi akan masak nasi dan air panas."

Aku juga tadi sempat mampir ke tukang buah membeli apel juga mangga untuk orang tuaku, dan membeli obat batuk untuk Bapak di Apotek.

"Arum, Bapak dan Ibu sudah tua. Tinggal kamu, si bungsu yang belum menikah. Semoga umur Bapak panjang agar bisa melihatmu menikah dengan laki-laki pilihanmu. Laki-laki yang baik, bertanggungjawab, saleh. Dan bisa menjadikanmu istri yang saleha."

"Iya, Rum. Jangan terlalu memikirkan Bapak dan Ibu, jika kamu memang sudah ada calon dan ingin menikah. Bawa ke rumah calonmu, kenalkan pada kami," sambung Ibu.

kuhela napas panjang dan menatap Ibu juga Bapak secara bergantian, setelahnya aku tertunduk.

"Arumi belum ada kepikiran untuk menikah," jawabku pelan.

"Kenapa? Khawatir sama keadaan Ibu dan Bapak?" tanya Bapak menghela napas.

Aku mengangguk pelan.

"Nggak usah terlalu mengkhawatirkan kami berdua. Kamu juga punya kehidupan sendiri, Nduk," kata Ibu.

Bagaimana bisa aku tak mengkhawatirkan Bapak dan Ibu. Sedangkan saat ini prioritasku adalah mereka. Mereka kebahagiaanku.

Aku inginnya jika suatu saat nanti menikah, suamiku bisa mengerti kondisiku saat ini. Syukur-syukur mau mengajak orang tuaku untuk tinggal bersama.

Saat ini usia Bapak sudah tujuh puluh lima tahun, dan usia Ibu enam puluhan. Bapak menikah di waktu umur hampir menginjak empat puluh, menikahi Ibu yang seorang janda ditinggal mati dengan suami terdahulunya tanpa anak.

Kata Bapak, tidak ada yang mau dengan pria miskin seperti dirinya. Sampai waktunya Bapak bertemu Ibu lalu menikah.

Dert! Dert!

Ponselku bergetar, ada notifikasi pesan yang masuk. Ah, ternyata dari Mbak Wisna.

[Arum, kenapa kamu lancang sekali mematikan telepon Mas Aron? Bilang pada Ibu dan Bapak, hari minggu kami akan berkunjung ke rumah. Masakin makanan yang enak.]

Sumpah demi Tuhan ....

Jika mereka bukan saudara kandungku dan aku anak tertua. Mungkin sudah kut*mpar itu mulutnya.

Tidak aku balas apapun pesan dari Mbak Wisna pada grup WA yang ia buat. Grup keluarga malah berisi postingan pamer.

Mereka sanggup beli ini dan itu, tapi saat pulang kampung dan main ke sini tak ubahnya seperti pengemis yang kelaparan.

[Kemarin Arumi juga menghina rendang yang aku berikan untuk Bapak dan Ibu.] Mbak Ayu mengadu.

[Memang si Arum ini sekarang jadi kurang ajar sama Mas dan Mbaknya. Pantas aja belum ada lelaki yang melamar dirinya. Orangnya arogan seperti itu.]

Kali ini Mbak Delia---istri Mas Aron ikut berkomentar tentang aku.

Kini Kakak kandungku dan Kakak iparku saling membalas pesan itu dengan membicarakan perilaku-ku. Peduli setan!

[Info ngantemi kowee, ayok gelood karo aku!]

Aku sudah mengetik untuk membalas pesan mereka. Tapi tak jadi, aku kembali menghapusnya. Emosi saja tak akan membuat mereka sadar.

Aku rindu dengan Mas dan Mbakku yang dulu. Walaupun hidup serba pas-pasan tapi kami hidup rukun. Saling menguatkan dan berbagi.

Sekarang semuanya berubah setelah mereka memiliki kehidupan masing-masing. Memang benar, lingkungan sekitar akan merubah seseorang.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Haizam Abu Talib
Same. Same info.. Sering mau dpointt
goodnovel comment avatar
Potato Peach
mending gak usah gabung grup nya dr pada cm lihatin d gibahin terus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status