Share

TAK AKAN MISKIN part 3

Aku mencium punggung tangan Bapak dan Ibu dengan takzim. Setelah itu berpamitan untuk pergi bekerja.

Aku bekerja di toko roti, selama tak punya kendaraan sendiri aku pergi menggunakan ojek. Pulangnya suka diantarkan temanku yang bernama Ratna.

Jika Ratna tak bisa mengantarkan aku pulang, ya ... terpaksa harus menggunakan ojek lagi. Biaya ongkos pulang pergi dengan menggunakan ojek lumayan mahal. Tapi mau bagaimana lagi.

Sedikit-sedikit aku menabung dari sisa uang gajiku untuk membeli motor bekas saja. Yang penting masih layak untuk dipakai.

Hari ini gajian, aku akan membelikan Bapak dan Ibu rendang di warung Padang sebrang jalan sana.

****

"Kenapa melamun, Rum?" tanya Ratna.

"Nggak papa, cuma kurang enak badan aja."

"Istirahat dulu sana. Biar aku yang lanjutin ngadonin," titahnya.

Aku menurut, duduk di pojokan sambil memijit kening yang terasa berdenyut.

Kuteguk air mineral di dalam botol hingga habis setengahnya. Dadaku kembali nyeri ketika mengingat perlakuan kakakku pada Bapak dan Ibu.

"Rum. Refaldy kemarin nanyain kamu. Kayanya dia suka deh sama kamu," ucap Ratna di sela-sela aktifitasnya mengadoni roti.

Aku hanya tersenyum merespon ucapannya.

"Umurmu sudah dua puluh enam tahun, apa nggak kepikiran buat nyari cowok lalu menikah?" tanya Ratna.

"Memangnya kenapa kalau sudah dua puluh enam tahun? Apakah pernikahan adalah sebuah perlombaan, Ratna? Aku ingin menikah, tapi aku harus menemui lelaki yang tepat. Yang bisa menerima aku juga orang tuaku," tekanku.

Jujur, aku sedikit risih dengan pertanyaan seperti ini. Aku tidak mau salah pilih calon suami.

Tak mau seperti Mbak-mbakku dan Mas Aron. Mereka berubah setelah menikah dan hidup di rantauan. Harta membuat mereka buta dengan semuanya.

Tak ingat saat hidupnya dulu susah. Tak ingat bagaimana pengorbanan orang tua saat harus berdarah-darah mencari nafkah demi bisa menyekolahkan anak-anaknya, memberi makanan yang halal untuk mengisi perut mereka.

"Kalau sudah besar nanti, carilah pasangan yang bisa menerima segala kekurangan dan kelebihanmu. Yang bisa juga terima orang tuamu, bisa mendidikmu dengan baik."

Dulu, setiap hari Bapak selalu berpesan seperti itu pada anak perempuannya. Selalu memberikan nasihat yang baik.

Tak lupa Bapak juga menasihati Mas Aron. Jika nanti punya istri, perlakukan istrinya dengan baik. Ajarkan istrinya untuk bisa menerima dan menghargai Bapak dan Ibu sebagai mertuanya. Anggap seperti orang tua sendiri. Jangan ada yang ditutupi, apalagi mengaku orang berpunya padahal kami hanya orang desa yang sederhana.

"Rum, kamu nangis."

Ah, tanpa sadar air mataku sudah mengalir begitu saja. Cepat aku menghapusnya.

****

"Maaf, Rum, aku nggak bisa antarkan kamu. Soalnya aku ada keperluan lain," ujar Ratna.

"Nggak papa, Rat, aku naik ojek aja pulangnya."

"Aku duluan ya," pamitnya dan pergi.

Aku melihat jam pada layar ponselku. Jam menunjukkan pukul setengah empat sore.

"Arum, belum pulang?"

Aku terjingkrat kaget dengan kehadiran Refaldy yang tiba-tiba saja sudah ada di samping.

"Maaf, aku ngangetin ya."

Refaldy meminta maaf dengan senyum sungkan.

"Hem, iya, aku lagi nunggu tukang ojek," sahutku.

"Kalau kamu mau pulangnya bareng aku aja. Kita searah kok, aku mau pergi ke tempat teman," ajaknya sopan.

Langit sore tampak mendung, dari tadi aku pun tak menemui tukang ojek yang lewat.

"Apa nggak ngerepotin?" tanyaku canggung.

"Nggak kok, kan searah. Rumah temanku satu kampung denganmu."

"Baiklah kalau memang nggak ngerepotin kamu. Tapi nanti mampir dulu ke warung Padang. Aku mau beli makanan buat orang tuaku."

Refaldy mengangguk seraya tersenyum. Ia lantas memberikan helm padaku. Aku segera mengambil dan memakainya, lalu mulai menaiki motor.

"Bismillah," ucap kami berbarengan.

Sadar akan hal itu--Refaldy tertawa kecil dan menggaruk kepalanya yang kurasa tak gatal. Lalu motor pun berjalan meninggalkan lokasi tempat kerjaku.

***

"Ini uangmu yang tadi."

Aku menyodorkan uang selembar berwarna merah pada Refaldy karena tadi ia membayarkan makananku.

"Nggak usah. Anggap aja aku lagi teraktir kamu makan," katanya semringah.

"Ah, jangan seperti itu. Aku jadi nggak enak sama kamu."

Tadi sewaktu aku membelikan makanan di warung Padang, ternyata Refaldy pun ikut membeli nasi bungkus. Katanya buat teman-temannya, dan ia pun membayarkan makanan punyaku.

"Kalau kamu nolak, malah aku akan tersinggung. Kamu juga 'kan temanku, Rum."

"Terima kasih banyak. Semoga Allah balas kebaikanmu."

Setelah itu Refaldy berpamitan untuk pergi ke rumah temannya. Aku pun masuk ke dalam dan mencari di mana Bapak dan Ibu.

"Assalamualikum. Pak, Bu, aku bawa nasi Padang nih."

"Waalaikumsalam, Nduk. Alhamdulillah kamu sudah pulang, kami khawatir karena cuaca mendung sekali ingin hujan."

Aku memberikan nasi Padang itu pada mereka. Wajah Bapak dan Ibu berbinar saat dibukanya bungkusan itu--ada rendang juga ayam bakar di dalamnya.

"Ndukk, ya Allah ... kenapa lauknya banyak sekali. Katanya kamu mau nabung beli motor."

Bapak dan Ibu berbicara dengan suara bergetar menahan tangis.

"Pak, Bu. Menyenangkan hati orang tua nggak akan bikin aku miskin. Uangku masih sisa banyak kok, ini buat pegangan Bapak sama Ibu. Aku ambil untuk menabung sama ongkos aja," kilahku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Aini Eny
baru baca sdh mengandung bawang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status