“—orang yang mencurinya mungkin justru orang yang duduk di ruangan ini beberapa menit lalu,” potong Nadine, matanya mengerling ke arah pintu yang tadi dilalui Shen. “Atau … orang yang masih di sini sekarang.”Kalimat itu membuat Alfandi terdiam. Matanya sedikit menyipit, seperti menimbang apakah Nadine baru saja menuduhnya.Tiba-tiba, ketukan cepat di pintu memecah keheningan. Seorang polisi masuk tergesa, wajahnya pucat.“Pak, kami dapat kabar, mobil yang membawa peti besi itu ditemukan.”Alfandi segera tegak. “Di mana?”“Di gudang kosong dekat pelabuhan timur. Tapi ...,” Polisi itu menelan ludah. “… petinya terbuka. Dan kosong.”Nadine merasakan dadanya mengencang. Ada sesuatu di balik kata kosong itu yang membuat bulu kuduknya meremang.Alfandi langsung meraih jaketnya. “Kita harus ke sana.”Namun sebelum mereka keluar, polisi itu kembali berbicara. “Pak, ada satu lagi. Di lokasi, kami menemukan secarik foto … bergambar Anda dan Nyonya Nadine. Dengan tanda silang merah di wajah kal
Nadine segera paham dengan permintaan Alfandi. Ia sudah sering kali dibantu oleh pria tersebut. Untuk kali ini, ia merasa masih bisa mengatasi masalahnya sendiri. Ia terdiam sejenak, lalu memandang ke luar jendela.“Aku nggak masalah di sini,” ucapnya datar.Akan tetapi Alfandi sudah mematikan mesin mobil, membuat Nadine mau tak mau menoleh.“Naik depan,” ujar Alfandi tegas, kali ini nadanya bukan sekadar saran—lebih seperti perintah.Shen mengangkat alis, senyum tipisnya menghilang. “Kenapa kau repot-repot atur posisi duduknya, Alfandi? Takut aku terlalu dekat dengannya?” Nada bicara Shen tenang, tetapi ada bara yang menyala di balik suaranya.Alfandi memutar tubuhnya, menatap Shen tajam. “Takut Tentu saja tidak! Aku hanya tahu mana yang pantas. Dan kau …” ia melirik cepat ke tangan Shen yang masih di dekat paha Nadine, “… masih belum belajar batas dan status.”Shen terkekeh pelan, tetapi matanya menusuk balik. “Batas itu relatif, tergantung siapa yang menetapkannya. Nadine dan aku p
Sekop kembali mengenai benda keras. Kali ini suaranya lebih nyaring—duk!—seperti memukul logam. Shen menyingkirkan tanah dengan tangan, memperlihatkan permukaan besi kusam, bukan papan kayu. Alfandi berjongkok, mengetuknya pelan. “Ini bukan peti mati biasa. Ini kontainer besi.” Dengan bantuan linggis dari bagasi mobil polisi, mereka membuka kunci tuasnya. Suara krekkk berderit saat tutupnya terangkat. Bau busuk langsung menyergap, membuat salah satu polisi menutup hidung sambil mundur. Nadine terbatuk, menahan rasa mual. Di dalam peti besi mirip kontainer, tubuh seorang pria terbujur kaku, dibungkus plastik tebal dengan lakban hitam berlapis-lapis. Wajahnya pucat membiru, namun meski membengkak, Nadine mengenalinya. Tangannya bergetar. “Astaga … ini … ini kan …,” Shen menatap tajam, rahangnya mengeras. “Pak Surya.” Alfandi memicingkan mata, suaranya berat. “Orang yang Alexia tuduh sebagai dalang pembunuhan ibumu, sudah mati di sini. Dan sepertinya … mati sebelum Alexia sempat me
Nadine menahan napas, mencoba fokus pada suara napas Shen yang perlahan mulai stabil. Jantungnya berpacu kencang, bukan hanya karena kedekatan fisik yang memalukan, tapi juga karena rasa jengkel terhadap pria di hadapannya.Setelah beberapa menit, Shen akhirnya melepaskan diri, terengah-engah dan lebih tenang. Wajahnya masih memerah, matanya berkaca-kaca—campuran antara rasa lega dan rasa bersalah.“Aku … aku nggak mau kamu lihat aku selemah ini,” ucapnya pelan.Nadine menghindari tatapannya, menata kembali blusnya dengan tangan bergetar. “Diam! Fokus sembuh dulu. Kalau tadi aku nggak lakukan itu, kamu mungkin sudah—” ia menggigit bibirnya, enggan melanjutkan.Shen menatapnya lekat-lekat. “Lou po, terima kasih. Kamu masih peduli.”“Aku hanya … nggak mau ada orang mati di hadapanku lagi,” jawab Nadine dingin, meski suaranya bergetar.Tiba-tiba suara deru kendaraan terdengar dari belakang. Sorot lampu menembus kaca spion, membuat Nadine sadar bahwa mereka sedang dibuntuti.Shen langsung
RUANGAN RAWAT – MALAMSuara mesin infus berdetak pelan, menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar. Liang Shen masih berdiri di sisi ranjang. Sementara Nadine sudah duduk bersandar di kursi. Pandangannya kosong menatap lantai. Jam di dinding menunjukkan pukul 01.45 dini hari. Detik demi detik terasa semakin berat.“Nadine,” panggil Zavier terdengar serak, “jangan pergi! Alexia itu licik. Dia nggak akan memanggilmu, kalau bukan untuk sesuatu yang bisa membunuhmu.”Nadine menatap ayahnya, suaranya bergetar. “Ayah, kalau Ibu meninggal bukan karena kecelakaan, seperti yang selama ini aku percaya, aku harus tahu.”Liang Shen memotong cepat, “Kalau memang mau tahu, biar aku yang urus. Kau tetap di sini.”Namun Nadine menggeleng tegas. “Kalau aku terus sembunyi di belakang kalian, aku nggak akan pernah bisa percaya lagi sama siapa pun. Aku harus lihat sendiri.”Zavier menghela napas panjang, seperti pasrah. “Kalau begitu, jaga dirimu. Dan ingat, jangan percaya setiap kata yang dia ucapkan. S
Liang Shen menggendong Nadine sambil menuruni tangga darurat. Tembakan masih terdengar dari kejauhan.“Kenapa kamu menolongku?” tanya Nadine lirih.“Karena ini bukan soal siapa kamu. Tapi soal siapa yang pantas hidup tanpa diburu oleh dosa orang lain.”Tiba di luar, helikopter sudah menunggu. Vincent dan tim membawa Alexia yang kini diborgol, masih tersenyum misterius.Beberapa jam kemudian, sebuah ledakan besar menghancurkan markas bawah tanah itu hingga rata. Vincent berdiri di kejauhan, mengamati dari monitor. Liang Shen di sebelahnya, memeluk bahu Nadine yang masih trauma.*_*RUMAH SAKITNadine duduk di kursi samping ranjang Zavier. Ia masih menggenggam tangan ayahnya dengan mata berkaca-kaca.“Ayah, semua ini salahku. Kalau aku nggak ikut campur urusan Alexia, pasti—”Zavier memotong, suaranya pelan tetapi penuh dramatisasi, “Tidak, Nadine. Semua ini takdir.”Belum sempat Nadine menjawab, pintu kamar pasien terbuka pelan.Cekrekkkk!Seorang wanita paruh baya melangkah masuk, men