LOGINRuangan hening beberapa detik. Pengacara hanya diam, sudah terbiasa dengan permintaan aneh para klien kaya.Nadine menatap Yaros lama, lalu Celeste. Matanya penuh pertanyaan, tetapi juga pengertian. Mereka sudah terlalu banyak berkorban dan satu malam ini mungkin harga terakhir untuk kebebasan sejati.Celeste menelan ludah, rahangnya mengeras. Ia tahu Yaros tak akan mundur. Dan ia juga tahu Nadine cukup kuat untuk memutuskan sendiri.“Nadine?” tanya Celeste pelan, suaranya hampir pecah. “Kamu yang pilih!"Nadine menunduk sebentar, lalu mengangkat wajah. Ia tersenyum tipis dan itu senyum orang yang sudah lelah berlari.“Aku setuju,” katanya lembut. “Satu malam saja. Besok pagi, semuanya selesai.”Yaros mengangguk pelan, tak ada ekspresi kemenangan di wajahnya. Sebuah kelegaan yang dalam tergurat pada wajahnya.Pengacara menghela napas kecil, lalu mengeluarkan satu lembar tambahan. “Saya tambahkan klausul kesepakatan pribadi ini. Ditandatangani ketiga pihak agar sah secara hukum.”Merek
Darah Brandon mengalir deras ke saluran pembuangan kamar mandi, tubuhnya terguling ke ubin basah dengan mata terbelalak tak percaya.Yaros menembak sekali lagi ke dada pria itu untuk memastikan, suara peluru peredam seperti batuk pelan di tengah deru air shower.Celeste langsung berlutut di samping Nadine, memeriksa denyut nadinya. Kekasihnya masih kuat, meski bius membuatnya setengah tak sadar. Tubuh Celeste bergidik karena sisa sensasi.Yaros mematikan shower, uap mulai menipis. Matanya tak bisa lepas dari tubuh Nadine yang telanjang. Payudaranya masih mengilat karena susu dan air, putingnya mengeras, dan aroma manis yang familiar itu memenuhi ruangan.Celeste juga merasakannya. Hasrat yang pernah mereka bagi, kecanduan pada cairan ajaib Nadine yang seperti obat penghilang rasa sakit dan penambah stamina.Udara terasa tebal, penuh ketegangan yang bukan lagi tentang pertempuran. Akan tetapi tentang keinginan primal."Damai dulu," kata Yaros pelan.Suaranya rendah dan tegas. Ujung sen
“Selamat bertemu kembali, Sobat,” sambut Yaros dengan sedikit senyum, suaranya lebih rendah dari di telepon. “Nadine ada di penthouse The Arch, lantai 88. Brandon juga di sana. Mereka belum keluar sejak semalam.”Celeste mengangguk, matanya langsung ke arah dua SUV. “Berapa menit ke lokasi?”“Dua puluh tujuh menit kalau kita pakai rute bawah tanah yang aku miliki. Empat puluh lima kalau lewat jalan biasa dan macet.”Yaros membuka pintu belakang salah satu G-Class, di dalamnya sudah tersusun senapan HK416 dengan peredam, dua vest level IV, dan tablet besar yang menampilkan feed CCTV real-time dari gedung The Arch.“Aku sudah matikan alarm lantai 87 sampai 90,” lanjut Yaros sambil menyerahkan vest ke Celeste. “Lift barang akan membawa kau langsung ke service corridor lantai 88. Aku masuk dari rooftop helipad dengan tim tiga orang. Kita serang bersamaan jam 09:15 tepat, saat pergantian shift security.”Celeste memakai vest dengan gerakan cepat, lalu mengambil senapan. “Brandon tahu aku d
Brandon bilang sudah mati, tetapi Nadine tahu kebiasaan Brandon: dia suka berbohong untuk membuat orang putus asa.Yaros pernah bilang, kalau suatu saat Nadine benar-benar dalam bahaya dan tak punya siapa-siapa, ada satu cara terakhir untuk menghubunginya.Di kamar mandi penthouse, Nadine menyalakan keran wastafel hingga penuh, lalu mengangkat gagang telepon paralel hotel (yang masih terhubung ke switchboard internal). Ia menekan tombol “0” tiga kali cepat, jeda dua detik, lalu “9” sekali panjang. Ini kode darurat yang pernah Yaros bisikkan padanya, hanya untuk pemilik saham jaringan hotel tempat penthouse ini bernaung: tiga kali operator, jeda, sembilan detik. Tiga detik kemudian, suara klik halus terdengar, saluran langsung dialihkan ke nomor pribadi Yaroslav Drucki tanpa melalui resepsionis atau rekaman Brandon. “Speak." Terdengar suara khas Yaros di ujung sana, rendah dan tenang, seperti orang yang sudah menunggu panggilan ini bertahun-tahun. Nadine menutup mulutnya dengan
“Maaf, Celes,” bisik Alma dengan suara serak. “Ini satu-satunya cara agar aku bisa memilikimu, sekaligus melancarkan keinginan Brandon. Ia inginkan Nadine."Alma menarik kemeja Celeste hingga terbuka lebar, memperlihatkan dada bidang pria itu. Alma menurunkan celana Celeste perlahan, terlihat celana boxer dengan sedikit tonjolan di tengah.Suara napas Alma yang semakin memburu. Ia menunduk, lalu menurunkan boxer hitam itu perlahan, sampai ke pertengahan paha. Alat vital Celeste terlepas ke udara dingin kamar, masih setengah lemas karena obat.Namun bagian itu tetap terlihat berat dan penuh. Kulitnya sedikit lebih gelap di bagian itu, urat-urat halus terlihat jelas.Alma menatapnya lama, seperti orang yang baru pertama kali melihat sesuatu yang dulu hanya ada dalam mimpi buruk, atau mimpi basah.Ia menunduk, rambutnya jatuh menutupi wajah. Napasnya panas menyentuh kulit paha dalam Celeste dulu, lalu lebih ke atas. Bibirnya menyentuh pangkal batang itu pelan, hanya ciuman kecil, seperti
Celeste terduduk di tepi ranjang king-size, kepalanya masih pening karena obat yang Alma campur tadi. Matanya setengah terbuka, tetapi kesadarannya kembali perlahan-lahan. Dia terlahir dengan darah Belarus yang kuat. Dosis yang membuat orang biasa tertidur dua belas jam hanya membuatnya lemas, bukan pingsan total.Alma berdiri di depannya, tangan terlipat di dada. Di belakangnya, dua pria berjas hitam yang tadi di toilet, kini terlihat tanpa senjata. Yang satu memegang borgol baja, yang lain memegang jarum suntik berisi cairan bening lagi.“Kamu bangun lebih cepat dari perkiraan,” kata Alma, suaranya datar, ada getar di ujungnya. “Brandon bilang kamu istimewa. Ternyata bener.”Celeste mengangkat wajah perlahan. Matanya tajam, dingin, seperti pisau yang baru diasah.“Di mana Nadine?” tanyanya dengan tatapan mengintimidasi. Hal itu membuat udara di kamar terasa turun beberapa derajat.Alma menelan ludah. “Dia sudah di mobil. Menuju pelabuhan. Brandon mau dia balik malam ini juga. Denga







