Share

Bab 3

“Mas aku ke sana dulu, ya,” pamitku pada Mas Adam setelah merasa bosan duduk di hadapannya sementara pandangannya hanya terfokus pada ponselnya.

“Hmm.” Ia hanya menaikkan alisnya.

Aku pun bangkit dari tempatku duduk, lalu berjalan menuju ke arah yang ditunjuk Ivan tadi. Senyumku langsung merekah ketika melihat taman kecil yang ada di bagian belakang kafe. Taman bunga yang terlihat masih baru dan terawat, di sudutnya ada kolam ikan kecil lengkap dengan air terjun mini. Beberapa pengunjung juga terlihat mengagumi taman kecil yang indah ini, bahkan beberapa anak-anak terlihat memainkan ikan-ikan kecil di kolam.

“Suka tamannya?” Suara bariton itu mengejutkanku.

“Eh ... k-kamu!” Pemilik coffeshop itu sudah berdiri di sampingku.

“Kamu benar-benar nggak ingat aku, Cahaya?”

Aku menggeleng. “Maaf,” ucapku lirih.

Dia terkekeh. Kemudian menatap lurus ke arah taman bunga mini.

“Aku udah lama nyari kamu. Nggak nyangka kalau ketemunya justru di sini. Lebih nggak nyangka lagi ternyata kamu udah nikah sama teman aku.”

“Udah lama kenal Mas Adam?” tanyaku basa-basi.

“Hmm. Dulu satu tim basket di SMA. Satu kampus juga kan sama kita, hanya beda jurusan.”

“Oh.”

“Kalian udah lama nikahnnya?”

Aku menghela napas.

“Ah, maaf, Ay. Tak seharusnya aku menanyakan hal pribadi. Maafkan aku,” lanjutnya.

Aku tak menjawab.

“Oiya, tadi aku chat di grup alumni. Anak-anak pada heboh pas tau kamu datang di acara grand opening kafeku. Kamu masih ingat teman-teman kita dulu kan. Sari, Lusi, Imelda, Shafa, Doni, Yoga, Pram dan banyak lagi. Mereka pada heboh nih di grup WA bahas kamu. Pada nitip salam juga. Kebetulan memang aku nggak undang mereka kali ini karena ini hanya cabang kecil. Kalau tau kamu akan muncul di sini, aku pasti udah ngumpulin mereka dari kemarin-kemarin.”

Aku hanya tersenyum tipis.

“Iya, aku ingat mereka kok.”

“Aku masukin grup ya. Nomor WA kamu berapa?”

“Jangan, aku bukan bagian dari kalian karena aku bukan alumni. Seperti yang dikatakan suamiku tadi, aku bahkan tak berhasil menjadi sarjana dan hanya setahun menjadi mahasiswi.”

“Cahaya, kamu kenapa berubah seperti ini? Cahaya yang kukenal dulu adalah gadis yang sangat aktif di kampus, di organisasi, terkenal seantero anak teknik. Banyak fans dan banyak yang antre pengen jadi pacar, termasuk aku.”

Ia tertawa, aku pun ikut tertawa kecil.

“Ngaco, kamu!”

“Iya, kamu nggak sadar dulu jadi idola di kalangan anak-anak teknik? Kamu nggak tau berapa banyak yang patah hati saat kamu jadian sama Hendra si ketua BEM? Nih anak-anak masih pada rame nih bahas kamu di grup WA.” Ia memperlihatan layar ponselnya yang memang dari tadi kudengar tak pernah berhenti berbunyi.

“Salamin sama anak-anak, ya,” ucapku.

“Aku masukin grup, ya. Mana nomormu?”

Aku menggeleng. “Nggak usah.”

Ia menatapku. “Kamu benar-benar nggak ingat aku? Nggak ingat cowok yang ngasih coklat terus dibully satu fakultas?”

“Astaga! Itu kamu?” pekikku.

“Kamu ingat?” Ivan tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Aku tertawa lebar mengingat momen itu, di mana ada sebatang cokelat S*lver Queen di samping ranselku yang diikat pita berwana pink lengkap dengan setangkai bunga. Waktu itu, Hendra pacarku kebetulan ada di sana dan langsung mencari tau siapa yang menaruh coklat itu di mejaku. Posisinya sebagai ketua BEM tak menyulitkannya memparoleh rekaman cctv yang memperlihatkan seorang pria meletakkan benda itu di dekat tas ranselku. Lalu aku tak tau bagaimana kejadiannya sehingga ada seorang pria yang kemudian diarak dan dibully oleh seantero fakultas teknik karena berani mengirimkan coklat dan bunga diam-diam padaku, yang nota bene kekasih dari ketua BEM. Aku pun tak mempedulikannya pada saat itu, hanya mendengar ceritanya dari Sari, salah satu sahabatku saat masih mengenyam bangku kuliah.

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Hasdi Nursi
so sweet...bgt ngasih coklat,,......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status