“Mas aku ke sana dulu, ya,” pamitku pada Mas Adam setelah merasa bosan duduk di hadapannya sementara pandangannya hanya terfokus pada ponselnya.
“Hmm.” Ia hanya menaikkan alisnya.
Aku pun bangkit dari tempatku duduk, lalu berjalan menuju ke arah yang ditunjuk Ivan tadi. Senyumku langsung merekah ketika melihat taman kecil yang ada di bagian belakang kafe. Taman bunga yang terlihat masih baru dan terawat, di sudutnya ada kolam ikan kecil lengkap dengan air terjun mini. Beberapa pengunjung juga terlihat mengagumi taman kecil yang indah ini, bahkan beberapa anak-anak terlihat memainkan ikan-ikan kecil di kolam.
“Suka tamannya?” Suara bariton itu mengejutkanku.
“Eh ... k-kamu!” Pemilik coffeshop itu sudah berdiri di sampingku.
“Kamu benar-benar nggak ingat aku, Cahaya?”
Aku menggeleng. “Maaf,” ucapku lirih.
Dia terkekeh. Kemudian menatap lurus ke arah taman bunga mini.
“Aku udah lama nyari kamu. Nggak nyangka kalau ketemunya justru di sini. Lebih nggak nyangka lagi ternyata kamu udah nikah sama teman aku.”
“Udah lama kenal Mas Adam?” tanyaku basa-basi.
“Hmm. Dulu satu tim basket di SMA. Satu kampus juga kan sama kita, hanya beda jurusan.”
“Oh.”
“Kalian udah lama nikahnnya?”
Aku menghela napas.
“Ah, maaf, Ay. Tak seharusnya aku menanyakan hal pribadi. Maafkan aku,” lanjutnya.
Aku tak menjawab.
“Oiya, tadi aku chat di grup alumni. Anak-anak pada heboh pas tau kamu datang di acara grand opening kafeku. Kamu masih ingat teman-teman kita dulu kan. Sari, Lusi, Imelda, Shafa, Doni, Yoga, Pram dan banyak lagi. Mereka pada heboh nih di grup WA bahas kamu. Pada nitip salam juga. Kebetulan memang aku nggak undang mereka kali ini karena ini hanya cabang kecil. Kalau tau kamu akan muncul di sini, aku pasti udah ngumpulin mereka dari kemarin-kemarin.”
Aku hanya tersenyum tipis.
“Iya, aku ingat mereka kok.”
“Aku masukin grup ya. Nomor WA kamu berapa?”
“Jangan, aku bukan bagian dari kalian karena aku bukan alumni. Seperti yang dikatakan suamiku tadi, aku bahkan tak berhasil menjadi sarjana dan hanya setahun menjadi mahasiswi.”
“Cahaya, kamu kenapa berubah seperti ini? Cahaya yang kukenal dulu adalah gadis yang sangat aktif di kampus, di organisasi, terkenal seantero anak teknik. Banyak fans dan banyak yang antre pengen jadi pacar, termasuk aku.”
Ia tertawa, aku pun ikut tertawa kecil.
“Ngaco, kamu!”
“Iya, kamu nggak sadar dulu jadi idola di kalangan anak-anak teknik? Kamu nggak tau berapa banyak yang patah hati saat kamu jadian sama Hendra si ketua BEM? Nih anak-anak masih pada rame nih bahas kamu di grup WA.” Ia memperlihatan layar ponselnya yang memang dari tadi kudengar tak pernah berhenti berbunyi.
“Salamin sama anak-anak, ya,” ucapku.
“Aku masukin grup, ya. Mana nomormu?”
Aku menggeleng. “Nggak usah.”
Ia menatapku. “Kamu benar-benar nggak ingat aku? Nggak ingat cowok yang ngasih coklat terus dibully satu fakultas?”
“Astaga! Itu kamu?” pekikku.
“Kamu ingat?” Ivan tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Aku tertawa lebar mengingat momen itu, di mana ada sebatang cokelat S*lver Queen di samping ranselku yang diikat pita berwana pink lengkap dengan setangkai bunga. Waktu itu, Hendra pacarku kebetulan ada di sana dan langsung mencari tau siapa yang menaruh coklat itu di mejaku. Posisinya sebagai ketua BEM tak menyulitkannya memparoleh rekaman cctv yang memperlihatkan seorang pria meletakkan benda itu di dekat tas ranselku. Lalu aku tak tau bagaimana kejadiannya sehingga ada seorang pria yang kemudian diarak dan dibully oleh seantero fakultas teknik karena berani mengirimkan coklat dan bunga diam-diam padaku, yang nota bene kekasih dari ketua BEM. Aku pun tak mempedulikannya pada saat itu, hanya mendengar ceritanya dari Sari, salah satu sahabatku saat masih mengenyam bangku kuliah.
Bersambung.
Hatiku menghangat mengenang masa-masa indah sebelum akhirnya semua berubah ketika aku harus mengambil keputusan terberat pada saat itu, yaitu berhenti kuliah. Saat itu, ayahku yang seorang pegawai negeri pangkat rendah meninggal karena serangan jantung, sedangkan ibuku hanya ibu rumah tangga biasa yang akhirnya hanya mengandalkan gaji pensiun ayah yang tak seberapa. Sementara aku masih punya tiga orang adik yang masing-masing masih membutuhkan biaya. Hingga akhirnya aku mengalah, lalu berhenti kuliah dan memilih mencari pekerjaan demi membantu ekonomi keluarga.“Aku dulu penggemar rahasiamu, Ay.” Ivan membuyarkan lamunanku.“Itu aku yang dulu. Cahaya yang sekarang sudah jauh berbeda,” gumamku.Ivan tak menjawab, hanya tersenyum tipis sebelum kemudian berpamitan untuk kembali ke dalam kafenya saat seorang karyawannya memanggil.Aku pun meneruskan lamunanku mengenang masa-masa indahku selama setahun menjadi mahasisiwi. Hendra, sang ketua BEM yang saat itu menjadi kekasihku merasa kecewa
Kutatap wajahku dari pantulan cermin di toilet lalu mencoba menghapus sisa-sisa tangis di sana. Kata-kata yang dilontarkan Mas Adam barusan pada rekannya membuatku segera menjauh dari sana sebelum bulir-bulir bening itu menghambur keluar dari mataku. Aku memang sudah terbiasa dengan kata-kata kasar yang keluar dari mulut suamiku, tapi terasa sangat menyakitkan ketika ia melontarkan kalimat-kalimat meyudutkan itu di hadapan orang lain. Terus terang saja aku malu pada Ivan, pria pemilik kafe yang mengundang kami ke acara ini. Pria yang tadi mengatakan bahwa ia adalah penggemarku saat kuliah dulu. Kini di hadapannya, pria yang berstatus sebagai suamiku justru merendahkanku dengan mengatakan tak ada yang bisa dibanggakan dariku.“Kamu nggak apa-apa?”Aku terkejut saat mendapati Ivan tengah berdiri di depan pintu toilet saat aku keluar dari sana.Aku hanya menggeleng. Ia menahan langkahku.“Kamu beneran nggak apa-apa, Aya? Apa kamu sering diperlakukan seperti ini?”“Tolong menyingkirlah, j
“Kenapa dulu Mas mau nikahin aku?”Ia melirikku sesaat.“Pertanyaan apa itu, Ay. Kamu tau sendiri kan, aku menikahimu karena keinginan orang tuaku. Kalau disuruh memilih sih aku nggak akan mungkin mau menikahimu, kita bahkan tak pernah saling mengenal sebelumnya.”“Tapi kenapa Mas Adam waktu itu tak menolak saja?”“Kenapa nggak kamu aja yang menolak perjodohan waktu itu.”Ia mengembalikan ucapanku.“Cahaya pihak perempuan, Mas. Tidak terlalu banyak pertimbangan untuk menerima pinangan seseorang terlebih ketika orang tua Cahaya sudah merestui. Aya juga akan dianggap pembangkang jika menolak, belum lagi anggapan orang tua zaman dulu yang mengatakan jika pamali seorang gadis menolak pinangan lelaki jika tak ada alasan yang prinsip. Kesempatan menolak waktu itu harusnya lebih banyak di pihak Mas Adam.”“Kamu kenapa sih? Nyesal udah nikah sama aku?”“Bukannya Mas yang menyesal sudah menikahiku? Aku tadi dengar sendiri Mas ngomong gitu di depan teman-teman Mas Adam.”Ia tertawa sinis.“Oh,
Malam ini kuhabiskan dengan tidur memunggungi Mas Adam, aku masih sangat kesal dengan kejadian di coffeshop tadi. Sementara pria itu justru nampak biasa saja, ia juga tak berbicara lagi padaku setelah menghardik saat aku membanting pintu mobilnya tadi. Aku tau pria itu masih duduk bersandar pada headboard tempat tidur sambil memperhatikan layar ponselnya. Ini memang sudah menjadi kebiasaan Mas Adam sebelum tidur, entah dia sedang membaca artikel apa pada layar ponselnya atau sedang chatting dengan siapa, aku tak berani menanyakannya.Pikiranku justru melayang pada si pemilik coffeshop tadi, Ivan. Sejujurnya aku sedikit heran ketika ia tadi menyusul dan menungguku keluar dari toilet kafenya saat aku sedang menumpahkan tangisku di sana. “Kamu beneran nggak apa-apa, Aya? Apa kamu sering diperlakukan seperti ini?”Kenapa pria itu bertanya seperti itu padaku? Kenapa dia terlihat begitu peduli? Padahal ini adalah hari pertama pertemuan kami, setelah bertahun-tahun yang lalu. Aku bahkan ta
“Nah, kan. Baru juga malam pertama kamu sudah tulalit gini, bikin kesal aja. Kamu mau tidur di ranjang apa di sofa, silakan pilih!” Suaranya meninggi.“Kenapa harus memilih, Mas?” Aku masih tak mengerti."Apa kamu pikir kita akan tidur bareng? Yang benar aja aku tidur dengan cewek tulalit macam kamu! Ya udah kamu di ranjang sana, biar aku yang di sofa.”Pria itu langsung merebahkuan tubuhnya di sofa yang ada di dalam kamar. Sementara aku masih tertegun dengan semua kalimatnya barusan. Seperti ini kah pria yang baru saja menikahiku? Baru beberapa jam yang lalu aku menyandang status sebagai istrinya, tapi kini aku sudah mendengar kalimat hinaan darinya. Tulalit? Ia menyebutku gadis tulalit? Lalu kenapa ia menikahiku jika ia menganggapku tulalit? Ingin sekali kutanyakan padanya malam itu, tapi akhirnya aku memilih diam karena tubuhku pun sudah terlalu lelah setelah seharian berdiri di pelaminan menerima ucapan selamat dari para undangan.Lalu hari-hari selanjutnya, bulan-bulan berikutnya
Pagi ini, setelah Mas Adam berangkat bekerja, aku pun mulai bersiap mengunjungi butik kecilku. Seperti inilah aktivitasku sehari-hari. Belum hadirnya anak dalam rumah tanggaku dengannya membuatku memilih menghabiskan hariku di butik yang kuberi nama “Ayya Boutique”. Aku sangat mencintai aktivitasku ini. Suatu kepuasan tersendiri bagiku jika pelanggan butikku merasa puas dengan penampilan mereka setelah mencoba beberapa fashoin koleksi butik. Beberapa produk butikku juga kurancang sendiri, karena memang dari remaja dulu aku suka sekali menggambar model-model baju yang ada dalam imajinasiku.Dulu, diawal membuka Ayya Boutique aku hanya bekerja sendiri, menjaga butik sendiri, merancang dan menggambar sendiri hingga akhirnya butikku mulai berkembang hingga kini aku sudah mempekerjakan dua orang karyawan perempuan dan satu karyawan laki-laki. Sebenarnya perkembangan butik ini sangat membanggakan bagiku, meskipun Mas Adam tak pernah mengakui itu dan selalu menghina butik sederhanaku ini.Na
Aku masih berkutat dengan pertanyaan seputar Bella ketika pintu depan butik dibuka dari luar. Lalu seorang gadis bertubuh tinggi semampai dengan rambut pirang sebahu memasuki butik. Aku terpesona oleh penampilan gadis itu, tanpa perlu bertanya lagi, aku sudah yakin jika gadis yang kini sedang terseyum ramah itu adalah Bella, mantan tunangan Mas Adam. Tiba-tiba saja aku merasa kerdil di hadapannya.Dengan berusaha menghilangkan rasa gugup, aku menyambut dan menyapanya. Baru kali ini aku menyesali kenapa Mama Indah datang di jam istrirahat seperti ini sehingga hanya aku sendirian yang menghadapi pelanggan kelas atas ini. Rasa gugupku seketika menguap ketika gadis cantik itu menyapaku dengan ramah, bahkan ketika aku masih terpaku mengagumi kecantikannya.“Hai, dengan Cahaya, ya. Kenali aku Bella,” ucapnya tersenyum sambil mengulurkan tangannya.“Oh, hai Bella. Iya saya Cahaya. Terima kasih ya sudah mampir ke butik sederhana ini,” sambutku.“Boleh lihat koleksi gamisnya?” tanya gadis cant
“Ah, pokoknya jangan ngomong yang nggak-nggak. Jangan bikin aku malu di hadapannya dengan jawaban-jawaban murahanmu! Kamu nggak selevel dengan dia, Ay.”Klik. Aku memilih mengakhiri telpon. Kesal sekali rasanya mendengar kalimat Mas Adam. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja menelpon hanya untuk membandingkan aku dengan mantan tunangannya. Ponseku kembali berdering, kali ini Mas Adam mengirim pesan di applikasi hijau.[Kamu jadi istri bener-bener nggak punya sopan santun ya. Suami lagi ngomong, telponnya diputus. Awas saja kalau kamu malu-maluin aku di depan Bella. Dia bukan tandinganmu.] Isi pesan dari Mas Adam.Aku berdecak kesal.“Adam bilang apa, Nak? Maaf tadi Mama yang ngabarin kalau Bella sedang ada di butikmu.” Suara ibu mertuaku mengejutkanku.“Nggak apa-apa, Ma. Tadi Mas Adam cuma memastikan aja.”“Ay.”“Iya, Ma.”“Mama dengar percakapan kalian tadi. Omongan suamimu jangan diambil hati ya, Nak. Mungkin Adam lagi gugup karena ini pertama kalinya Bella kembali ke Indones