Bagaimana mungkin surgaku berada pada pria yang setiap hari hanya memberi rasa sakit hati padaku?Tapi hari ini, dengan satu kata “maaf” dengan nada yang sangat dalam semalam, lalu dengan telapak tangan lebar yang tadi menyentuh rambutku. Aku merasa ingin menjadikannya surgaku. Mungkin benar kata mama, aku harus lebih sabar lagi.Suara bell dari arah depan membuatku berlari kecil ke arah pintu, karena aku pun sudah bersiap untuk berangkat ke butik.“Nindya?” Wanita muda itu berdiri di sana.“Maaf, Aya. Seharusnya aku datang menemuimu kemarin sesuai janjiku waktu itu. Tapi kemarin hari minggu, dan aku yakin Pak Adam ada di rumah. Maka aku memutuskan datang hari ini untuk memenuhi janjiku. Aku tau jam segini Pak Adam pasti sudah di kantor.”Aku menghela napas. Waktu itu Nindya memang mengatakan akan menemuiku, ketika aku mengirim pesan padanya menanyakan kehadirannya dengan Mas Adam di acara Bella. Namun sejujurnya aku sudah tak berharap dia datang menemuiku. Toh, Nindya juga sudah meng
“Kamu benar, Aya. Tak ada yang bisa mengatur perasaan orang lain. Kita hanya bisa menahannya, meski rasa itu tetap saja ada dan bahkan makin bertumbuh.”Aku mengeryitkan keningku. Kurasa kalimat Nindya barusan menyiratkan sesuatu.“Apa kamu juga menyukai Mas Adam?”Kulihat Nindya terkejut, menatapku sesaat sebelum segera memalingkan wajahnya sambil menelan ludahnya. Dari gerakan salah tingkahnya, aku sudah bisa menebak apa jawaban dari pertanyaanku tadi.“Tak perlu menjawabnya, Nindya. Aku bisa membaca itu dari matamu.”Ia menatapku.“Maafkan aku, Aya. Intensitas pertemuan kami dan ungkapan perasaan Pak Adam berkali-kali padaku membuat perasaan itu tumbuh begitu saja. Entah sejak kapan aku mulai menyadari bahwa aku juga ... punya ... perasaan yang sama.” Kalimatnya terputus-putus.“Tapi aku menyadari jika perasaanku itu tak seharusnya tumbuh. Kamu jangan khawatir, aku bukan tipe wanita yang mau jadi orang ketiga. Aku bisa bertahan dan aku akan bertahan,” lanjutnya.Kami saling menatap.
Kuputuskan untuk mengirim pesan padanya.[Jangan hubungi aku lagi.]Ia masih menelepon setelahnya, tapi tetap tak kujawab. Lalu ia membalas pesanku.[Apa aku ada salah?][Kalau aku ada salah aku minta maaf.][Baiklah kalau itu maumu, Aya.][Hiduplah dengan bahagia, karena aku akan kembali jika kamu tak bahagia.][Karena aku menyukaimu.]Tanpa terasa air mataku menetes.Karena aku menyukaimu.Apa dia sedang mengungkapkan perasaannya padaku? Aku tersanjung, sangat tersanjung. Di saat pria itu dikelilingi gadis –gadis cantik seperti Imelda, dia justru memilih untuk menyukaiku.Kita tidak bisa mengatur perasaan orang lain.Kata-kata Nindya tadi terlintas di benakku. Ya, Nindya benar. Kita tak bisa mengatur perasaan orang lain, tapi kita masih bisa mengendalikan perasaan kita sendiri. Maka kurasa pilihanku untuk memintanya menjauhiku adalah caraku untuk mengendalikan perasaanku. Karena aku pun menyukainya.Namun, mengapa aku merasa ada yang hilang dari hatiku?🍁🍁🍁Seminggu ini kulalui d
Pagi masih berkabut ketika aku dan Mas Adam tiba di puncak, di lokasi villa milik Ivan tempat tim basket mereka mengadakn reuni. Sepanjang perjalanan tadi, aku dan Mas Adam hampir tak pernah mengobrol. Selain karena memang itu sudah menjadi kebiasaan kami saat berada dalam satu mobil, pikiranku juga sedang sibuk memikirkan sosok pemilik villa, sosok yang berniat kuhindari dan berhasil kuhindari dalam seminggu ini.Melalui petunjuk google maps yang disetel Mas Adam di ponselnya, akhirnya kami tiba di area villa. Beberapa mobil sudah terlihat parkir di sana, beberapa orang juga terlihat mondar-mandir di area villa. Kulihat ekspresi gembira dari wajah Mas Adam, beberapa kali kudengar ia menyebut nama-nama temannya yang sudah hadir di sana. Mungkin mereka memang sudah lama tak saling bertemu karena terlihat sekali bagaimana antusias Mas Adam dengan kegiatan reuni tim basket ini. Sementara aku masih memikirkan bagaimana caranya berada di sini tapi tetap menghindari sosok pemilik villa ini.
Suasana villa yang masih berkabut tipis membuatku bersidekap di dada, berusaha melawan udara dingin. Aku ingin mengambil jaket, tapi merasa malas jika harus membongkar isi trolley bag di teras cottage, sementara pintunya masih belum berhasil kubuka. Akhirnya aku memilih duduk bersandar di kursi teras, masih sambil bersidekap kedua tangan di dada.“Ay.” Kudengar suara seseorang memanggilku pelan.Mataku langsung menangkap sosok tinggi atletis itu saat membuka mata.“Maaf, kunci yang tadi salah. Ini kunci nya.” Ia kembali menyodorkan sebuah kunci padaku. Aku mengambilnya dengan sedikir kasar dari tangannya, lalu mengembalikan kunci yang sebelumnya.Baru saja hendak memasukkan anak kunci yang baru, ketika tanganku ditarik ke belakang, membuatku spontan membalik badan.“Aku salah apa, Aya?” tanyanya. “Kenapa kamu menghindariku seperti ini?” lanjutnya.Kutepis tanganku, tapi tak bisa terlepas. Dia mencengkram dengan kuat.“Sudah kubilang jauhi aku. Ini juga pasti akal-akalan kamu kan ngasih
Terkadang aku menangkap sosok itu yang menjauh dari teman-temannya ketika aku berada di tempat yang sama, lalu kembali berbaur bersama saat aku sudah menjauh. Ivan menepati janjinya untuk menjauhiku, tapi sekarang aku justru terus mencari sosoknya di antara rekan-rekannya yang lain.Saat kami mengelilingi api unggun dan mengadakan pesta barbeque pun Ivan memilih duduk di tempat yang lebih gelap. Ada rasa bersalah menelusup dalam hatiku. Dia sepertinya tak begitu menikmati kebersamaannya dalam acara reuni tim baksetnya ini karenaku. Padahal Mas Adam dan teman-temannya yang lain terlihat sangat antusias karena memang beberapa dari mereka sudah bertahun-tahun tak pernah bertemu. Mungkin aku sudah terlalu egois. Maka aku memilih mengirim pesan padanya.[Maafkan aku, tak seharusnya aku menyuruhmu menjauhiku di saat seperti ini. Itu membuatmu tak menikmati acara ini. Keluarlah dan bergabunglah dengan yang lain. Kalian pasti merindukan kebersamaan ini.]Aku memilih menjauh dari kerumunan bar
“Aku pergi dulu.”Aku masih ingin membantah. Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Kamu menitipkanku pada orang yang salah.Tapi aku tak sanggup membantahnya, dan juga tak siap menerima kemarahannya atas bantahanku. Aku masih menatap punggungnya ketika ia kembali berbalik.“Tadi nelepon siapa sampai senyum-senyum sendiri?”“Ngg ... tadi nelepon ....”“Sudahlah! Nggak penting! Aku pergi dulu. Aku mungkin akan beberapa hari di Jogja, tergantung bagaimana keadaan Nindya nantinya.”Ia sudah hendak kembali berbalik, saat aku memilih mengeluarkan sebagian kecil dari tanyaku.“Mas.”Dia menatap.“Kenapa Mas Adam harus datang ke sana? Apa Nindya yang memintamu datang?”“Jangan cari masalah, Aya. Aku pergi!”Dia berlalu, dengan langkah tergesa dan dengan semua kekhawatirannya pada seseorang. Sedangkan aku masih berdiri terpaku, menatap suamiku yang begitu mengkhawatirkan wanita lain.Pak Adam sudah berkali-kali mengungkapkan perasaannya padaku.Kalimat Nindya waktu itu kembali terngiang di tel
[Aya, kamu mau tetap di cottage atau bergabung di villa utama?]Kali ini pesan WA dari nomor Ivan.[Nggak usah, Van. Aku di sini aja.][Tapi di cottage sepi, Ay. Disitu cocoknya untuk yang punya pasangan, tapi kamu sekarang sendirian. Gabung di villa utama ya ... di sana masih pada ramai.][Nggak usah, Van. Aku nggak mau ngerepotin kamu.][Nggak ada yang direpotin, Aya. Kemasi barangmu, kita pindah ke villa utama, masih ada kamar kosong di sana. Kutunggu di luar.]Kutunggu di luar? Spontan aku berjalan ke arah pintu dan membukanya. Ivan sudah duduk di teras dan tersenyum saat melihatku muncul di depan pintu.“Dari tadi?”“Iya. Pindah ke Villa utama, ya.”“Nggak usah, Van.” Aku kembali menolak.“Tapi aku nggak bisa ninggalin kamu sendiri di sini, Aya. Dan apa kata orang nanti kalau ngeliat aku semalaman duduk di teras ini.”Akhirnya aku mengalah dan mengemasi barang-barangku, lalu mengikuti langkahnya ke arah villa utama. Di ruang tengah villa masih sangat ramai dengan senda gurau. Sal