Langkah mereka berhenti di taman belakang kampus, yang relatif sepi dibanding kantin. Angin sore menyapu dedaunan, menciptakan suasana teduh yang justru semakin membuat Lyra gelisah.
Kanz berhenti tepat di bawah pohon flamboyan, lalu menoleh ke arahnya. Tatapannya tenang, seolah-olah tidak sedang menyimpan sesuatu. “Bagaimana keadaan Ibu akhir-akhir ini?” tanyanya pelan. Lyra sempat terkejut, alisnya berkerut samar. Ia tak menyangka kalimat pertama yang keluar justru… itu. “Keadaan saya?” Ia mencoba menjaga nada suaranya tetap netral. “Baik. Tidak ada masalah.” Kanz hanya mengangguk singkat. Keheningan menyusul, menyelip di antara suara burung dan hembusan angin. Lyra menunduk, merasa aneh dengan situasi itu. Ia akhirnya menarik napas, berusaha mengakhiri kebisuan. “Kalau memang ada hal penting, sebaiknya segera disampaikan. Saya masih ada jadwal mengajar setelah ini.” Senyum tipis terukir di bibir Kanz. Namun yang membuat Lyra semakin tidak tenang adalah kalimat yang menyusul kemudian. “Tidak ada yang ingin saya tanyakan, Bu. Saya hanya ingin berduaan dengan Ibu di sini.” Lyra sontak terpaku, jemarinya meremas tali tas tanpa sadar. Kata-kata itu terlalu lugas, terlalu berani untuk seorang mahasiswa kepada dosennya. “Mahasiswa Yurdha,” ucap Lyra lebih formal, mencoba mengendalikan diri, “Anda sebaiknya menjaga sikap. Jangan berbicara sembarangan.” Ia segera berbalik, berniat meninggalkan taman itu. Namun belum sempat melangkah jauh, pergelangan tangannya dicekal. Sentuhan itu tidak kasar, tapi cukup membuatnya terhenti. “Bu Lyra…” suara Kanz nyaris seperti bisikan. Jantung Lyra berdegup makin kencang. Ia buru-buru menarik tangannya, melepaskan cengkeraman itu. “Saya ada kelas lanjutan. Tolong jangan ulangi sikap ini lagi.” Ucapannya singkat, tegas, meski nadanya sedikit bergetar. Ia lalu melangkah cepat meninggalkan taman, berusaha menenangkan detak jantung yang masih belum juga kembali normal. Begitu sampai di ruang dosen, Lyra langsung membereskan beberapa berkas, memasukkan laptop ke dalam tas, lalu menyampirkannya ke bahu. Tidak ada kelas lanjutan, seperti yang tadi ia katakan pada Kanz. Itu hanya alasan agar bisa segera menjauh. “Cukup untuk hari ini,” gumamnya pelan, mencoba mengatur napas yang belum benar-benar stabil. Beberapa menit kemudian, mobil yang ia kemudikan berhenti di depan sebuah toko buku besar di pusat kota. Ia berniat mencari literatur tambahan untuk persiapan materi kuliah pekan depan. Dengan langkah rapi, ia masuk dan langsung menuju rak bagian sains populer. Tangannya menyusuri deretan punggung buku, matanya fokus mencari judul tertentu. Namun tiba-tiba, sebuah suara dari rak sebelah membuatnya menegang. Suara itu—lagi-lagi milik Kanz. Lyra spontan menarik tubuhnya sedikit ke belakang, bersembunyi di sela rak, berharap mahasiswa itu tak menyadari keberadaannya. Jantungnya kembali berpacu, kali ini bercampur rasa panik. 'Kenapa harus dia lagi?!' monolog Lyra dalam hatinya, sedikit panik. Dari celah buku, ia melihat Kanz tidak sendirian. Ada seorang pemuda lain di sampingnya, mungkin temannya. Obrolan mereka terdengar cukup jelas. “Kenapa sih lo cari buku soal kehamilan segala?” tanya temannya dengan nada heran. Lyra menahan napas. Jemarinya gemetar halus di antara deretan buku. Kanz menjawab dengan suara rendah, tapi jelas. “Aku baru saja melewati malam panas pertama kali… dengan seorang wanita.” Lyra hampir menjatuhkan buku yang sedang ia pegang. Dada sesak, wajahnya memanas. 'Astaga...' Teman laki-laki itu langsung tertawa, menepuk pundak Kanz. “Pantes aja lo nanya di kelas Bu Lyra soal kemungkinan hamil cuma dari sekali. Jadi seriusan? Cewek mana sih yang bisa bikin lo jatuh, hancurin pertahanan lo kayak gitu?” Ada jeda sejenak. Lyra menutup mulut dengan telapak tangan, tubuhnya menempel pada rak kayu. 'Jangan sebut namaku... jangan, Kanz. Kamu pasti tidak ingat siapa wanita di malam itu, kan?' hati Lyra harap-harap cemas. Lalu... terdengar jawaban itu. Tenang. Penuh keyakinan. “Bu Lyra. Dia orangnya.” Deg. Lyra membeku. Tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Buku yang sejak tadi ia genggam terlepas begitu saja dari tangannya dan jatuh ke lantai dengan suara keras. BRUK! Kedua pemuda di rak sebelah serentak menoleh ke arah suara. Kanz menatap lurus, matanya langsung menangkap sosok Lyra yang terhuyung kaku di balik rak. Pan—ik. “Eh, Bu Lyra?!" temannya Kanz membelalak. Lyra segera membungkuk, meraih buku itu dan meletakkan kembali ke tempatnya dengan tangan gemetar, lalu bergegas melangkah cepat menjauhi rak seolah-olah sedang dikejar sesuatu. Nafasnya terengah, wajahnya pucat. “Bu Lyra…” suara Kanz sempat terdengar memanggil, namun Lyra tak menoleh. Ia hanya mempercepat langkah, keluar dari toko buku dengan dada yang masih bergemuruh hebat.Pagi itu, langkah Lyra terasa berat memasuki area kampus. Udara sama, langit sama, tapi sorot mata orang-orang yang ia temui terasa berbeda. Ada bisik-bisik lirih, tawa kecil yang ditahan, tatapan yang cepat-cepat dialihkan setiap kali matanya menoleh. Dada Lyra menegang. Wajahnya panas. Kenapa… semua orang melihatku seperti itu? Baru saja masuk ke ruangannya, pintu tiba-tiba dibanting kasar. Neera tergesa masuk, wajahnya panik, nafasnya terengah. “Lyra!” serunya, nyaris terisak. Dengan tangan bergetar, Neera menyodorkan ponsel. “Kamu harus lihat ini sekarang juga!” Lyra berkerut bingung, lalu meraih ponsel itu. Dan begitu matanya menangkap layar… dunia seakan runtuh. Sebuah video. Dirinya. Ruangannya. Pertengkaran panas antara Kanz dan Reihan. Suara-suara yang teredam, tapi cukup jelas untuk membentuk narasi busuk: Profesor Lyra selingkuh dengan mahasiswa sendiri di belakang tunangannya. Ditambah... rekaman saat Lyra dan Kanz berpelukan setelah Reihan pergi. Mata Lyra m
Lyra masuk ke rumah dengan langkah berat. Suara kunci yang beradu dengan pintu terdengar keras, seolah ikut melampiaskan amarahnya. Begitu pintu tertutup, ia langsung melempar tas ke sofa tanpa peduli jatuh berantakan. “Arrghhh!!” teriaknya lantang, suara parau penuh frustasi memenuhi ruangan sepi itu. Dadanya naik-turun cepat, matanya berair tapi tak mau menangis. Hanya ada bara, kecewa, dan rasa ditipu. Baru saja ia percaya kalau Kanz benar-benar serius, baru saja hatinya sedikit terbuka… dan sekarang? Suara lirih Monica dengan kalimat menggoda itu terus terngiang. “Kanz… apa kamu gak rindu menyentuhku seperti malam itu?” Kalimat itu menusuk lagi, membuat Lyra mendengus kasar, kedua tangannya meremas rambutnya sendiri. “Aku bodoh! Aku benar-benar bodoh kalau sampai percaya buaya darat itu!!” desisnya, hampir seperti menampar dirinya sendiri. Namun, di tengah amarahnya, Lyra refleks menaruh tangannya di perut. Tarikan napasnya tercekat. Ia terdiam beberapa detik. Tidak…
Langkah Lyra terdengar mantap menuruni anak tangga. Wajahnya pucat, namun matanya dingin, seolah berusaha menutupi luka yang sebenarnya sudah merobek hatinya. Kanz panik, langsung bergerak cepat menghadang. Tangannya mencekal pergelangan Lyra, menahannya agar tidak pergi. “Bu Lyra, tunggu! Ini nggak seperti yang kamu dengar, aku bisa jelaskan!” suaranya bergetar. Lyra menoleh, tatapannya tajam, menusuk. Senyap sesaat, lalu ia membuka mulut dengan nada datar, dingin—persis seperti seorang dosen menegur mahasiswa yang ketahuan berbuat salah. “Simpan penjelasanmu, Kanz. Aku sudah cukup sering mendengar alasan dari mahasiswa yang ketahuan main asmara di lingkungan kampus. Jangan ulangi kesalahan itu lagi.” Kanz tercekat. Ucapannya seakan pisau yang mengiris dada. Monica, yang berdiri tak jauh di koridor, hanya melipat tangan dengan ekspresi kesal. Namun matanya menyipit curiga—ada sesuatu yang janggal. Kenapa Kanz begitu berani mencekal tangan Lyra? Kenapa ia panik setengah mati ha
Lyra masih berdiri kaku, jantungnya berdegup kacau. Ia tak tahu harus merasa apa—antara menolak, marah, atau runtuh oleh perasaan yang bercampur aduk. Namun tiba-tiba… Kanz maju selangkah, lalu tanpa aba-aba bibirnya menempel pada bibir Lyra. Lembut. Dalam. Menyapu seluruh kewarasan yang tersisa. Mata Lyra membelalak, tubuhnya sempat menegang. Nafasnya tercekat, seolah dunia berhenti berputar hanya untuk ciuman itu. “Kanz…” suaranya nyaris tertahan di sela helaan, tapi suara itu lenyap begitu saja ketika pemuda itu menekan bibirnya lebih dalam, gerakannya semakin berani namun masih sarat perasaan. Lyra seharusnya menolak. Seharusnya mendorong tubuh itu menjauh. Tapi entah mengapa, tubuhnya justru berkhianat. Perlahan, kelopak matanya terpejam, dan bibirnya… membalas. Seketika suasana berubah. Ciuman itu bukan lagi sepihak—panas, menuntut, tapi juga mengikat dalam satu gejolak yang tak bisa mereka hindari. Nafas mereka tersengal, tubuh Lyra sedikit terhuyung, tapi Kanz mere
Aula kampus dipenuhi suasana haru. Mahasiswa dan dosen berdiri berbaris rapi, satu per satu menyampaikan kalimat duka cita atas meninggalnya nenek Lyra. Semua orang tahu bahwa wanita itu tumbuh hanya dengan kasih sayang neneknya. Wajah Lyra basah oleh air mata, hatinya bergetar. Ia tak menyangka, bahkan di tengah kerumitan hidupnya, masih ada banyak orang yang peduli. Selesai acara, Lyra kembali ke ruangannya. Ia baru saja menjatuhkan tubuh lelah ke kursi ketika pintu mendadak terbuka keras. BRAKK! Reihan masuk dengan wajah murka. “Rei—” Lyra berdiri, belum sempat bicara, tubuhnya langsung terdorong ke dinding. Bugh! “Argh—!” Lyra meringis, berusaha berontak, tapi tekanan tangan Reihan terlalu kuat menahan bahunya. Mata pria itu berkilat penuh amarah. “Ada hubungan apa KAMU dengan Kanz?!” suaranya bergetar marah. “Kenapa dia selalu ada di sekitarmu?! Dia muncul di kantin, bahkan juga di kampung kemarin! JANGAN KIRA AKU BODOH, LYRA!” Lyra terbelalak, tubuhnya bergeta
Sore mulai meredup, pemakaman selesai. Orang-orang desa berangsur meninggalkan area, menyisakan suasana lengang yang dipenuhi aroma tanah basah. Lyra berjalan pelan menuju rumah kayu peninggalan neneknya, langkahnya berat, wajahnya tetap muram. Risa setia di sampingnya, menopang bahu Lyra yang nyaris tak sanggup lagi berdiri tegak. Di teras rumah, Lyra berbalik, matanya masih sembab. Ia menatap Reihan, Neera, lalu sekilas ke arah Kanz yang berdiri beberapa meter dari mereka. “Terima kasih… karena sudah datang,” ucap Lyra lirih, suaranya serak. Ia menarik napas dalam, lalu melanjutkan dengan tegas. “Tapi aku mohon… pulanglah. Aku ingin sendiri.” Reihan langsung melangkah mendekat, menatap Lyra penuh rasa khawatir. “Tidak, Lyra. Aku tidak akan pergi. Aku akan nginap di sini. Setidaknya sampai keadaanmu tenang.” Kalimat itu langsung membuat Kanz yang berdiri di sisi halaman mengepalkan tangan. Matanya berkilat marah, meski ia berusaha menahan wajahnya tetap datar. Lyra buru-b