Share

Bab 4

Author: chalove
last update Last Updated: 2025-08-22 13:03:37

Langkah mereka berhenti di taman belakang kampus, yang relatif sepi dibanding kantin. Angin sore menyapu dedaunan, menciptakan suasana teduh yang justru semakin membuat Lyra gelisah.

Kanz berhenti tepat di bawah pohon flamboyan, lalu menoleh ke arahnya. Tatapannya tenang, seolah-olah tidak sedang menyimpan sesuatu.

“Bagaimana keadaan Ibu akhir-akhir ini?” tanyanya pelan.

Lyra sempat terkejut, alisnya berkerut samar. Ia tak menyangka kalimat pertama yang keluar justru… itu. “Keadaan saya?” Ia mencoba menjaga nada suaranya tetap netral. “Baik. Tidak ada masalah.”

Kanz hanya mengangguk singkat. Keheningan menyusul, menyelip di antara suara burung dan hembusan angin. Lyra menunduk, merasa aneh dengan situasi itu.

Ia akhirnya menarik napas, berusaha mengakhiri kebisuan. “Kalau memang ada hal penting, sebaiknya segera disampaikan. Saya masih ada jadwal mengajar setelah ini.”

Senyum tipis terukir di bibir Kanz. Namun yang membuat Lyra semakin tidak tenang adalah kalimat yang menyusul kemudian.

“Tidak ada yang ingin saya tanyakan, Bu. Saya hanya ingin berduaan dengan Ibu di sini.”

Lyra sontak terpaku, jemarinya meremas tali tas tanpa sadar. Kata-kata itu terlalu lugas, terlalu berani untuk seorang mahasiswa kepada dosennya.

“Mahasiswa Yurdha,” ucap Lyra lebih formal, mencoba mengendalikan diri, “Anda sebaiknya menjaga sikap. Jangan berbicara sembarangan.”

Ia segera berbalik, berniat meninggalkan taman itu. Namun belum sempat melangkah jauh, pergelangan tangannya dicekal. Sentuhan itu tidak kasar, tapi cukup membuatnya terhenti.

“Bu Lyra…” suara Kanz nyaris seperti bisikan.

Jantung Lyra berdegup makin kencang. Ia buru-buru menarik tangannya, melepaskan cengkeraman itu.

“Saya ada kelas lanjutan. Tolong jangan ulangi sikap ini lagi.” Ucapannya singkat, tegas, meski nadanya sedikit bergetar.

Ia lalu melangkah cepat meninggalkan taman, berusaha menenangkan detak jantung yang masih belum juga kembali normal.

Begitu sampai di ruang dosen, Lyra langsung membereskan beberapa berkas, memasukkan laptop ke dalam tas, lalu menyampirkannya ke bahu. Tidak ada kelas lanjutan, seperti yang tadi ia katakan pada Kanz. Itu hanya alasan agar bisa segera menjauh.

“Cukup untuk hari ini,” gumamnya pelan, mencoba mengatur napas yang belum benar-benar stabil.

Beberapa menit kemudian, mobil yang ia kemudikan berhenti di depan sebuah toko buku besar di pusat kota. Ia berniat mencari literatur tambahan untuk persiapan materi kuliah pekan depan. Dengan langkah rapi, ia masuk dan langsung menuju rak bagian sains populer.

Tangannya menyusuri deretan punggung buku, matanya fokus mencari judul tertentu. Namun tiba-tiba, sebuah suara dari rak sebelah membuatnya menegang.

Suara itu—lagi-lagi milik Kanz.

Lyra spontan menarik tubuhnya sedikit ke belakang, bersembunyi di sela rak, berharap mahasiswa itu tak menyadari keberadaannya. Jantungnya kembali berpacu, kali ini bercampur rasa panik.

'Kenapa harus dia lagi?!' monolog Lyra dalam hatinya, sedikit panik.

Dari celah buku, ia melihat Kanz tidak sendirian. Ada seorang pemuda lain di sampingnya, mungkin temannya. Obrolan mereka terdengar cukup jelas.

“Kenapa sih lo cari buku soal kehamilan segala?” tanya temannya dengan nada heran.

Lyra menahan napas. Jemarinya gemetar halus di antara deretan buku.

Kanz menjawab dengan suara rendah, tapi jelas. “Aku baru saja melewati malam panas pertama kali… dengan seorang wanita.”

Lyra hampir menjatuhkan buku yang sedang ia pegang. Dada sesak, wajahnya memanas. 'Astaga...'

Teman laki-laki itu langsung tertawa, menepuk pundak Kanz. “Pantes aja lo nanya di kelas Bu Lyra soal kemungkinan hamil cuma dari sekali. Jadi seriusan? Cewek mana sih yang bisa bikin lo jatuh, hancurin pertahanan lo kayak gitu?”

Ada jeda sejenak. Lyra menutup mulut dengan telapak tangan, tubuhnya menempel pada rak kayu.

'Jangan sebut namaku... jangan, Kanz. Kamu pasti tidak ingat siapa wanita di malam itu, kan?' hati Lyra harap-harap cemas.

Lalu... terdengar jawaban itu. Tenang. Penuh keyakinan.

“Bu Lyra. Dia orangnya.”

Deg.

Lyra membeku. Tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Buku yang sejak tadi ia genggam terlepas begitu saja dari tangannya dan jatuh ke lantai dengan suara keras.

BRUK!

Kedua pemuda di rak sebelah serentak menoleh ke arah suara. Kanz menatap lurus, matanya langsung menangkap sosok Lyra yang terhuyung kaku di balik rak.

Pan—ik.

“Eh, Bu Lyra?!" temannya Kanz membelalak.

Lyra segera membungkuk, meraih buku itu dan meletakkan kembali ke tempatnya dengan tangan gemetar, lalu bergegas melangkah cepat menjauhi rak seolah-olah sedang dikejar sesuatu. Nafasnya terengah, wajahnya pucat.

“Bu Lyra…” suara Kanz sempat terdengar memanggil, namun Lyra tak menoleh. Ia hanya mempercepat langkah, keluar dari toko buku dengan dada yang masih bergemuruh hebat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 24

    Pagi itu kamar apartemen Lyra masih remang. Udara dingin dari AC membuatnya meringkuk lebih lama di balik selimut, tapi suara lirih berisik dari luar kamar membuat matanya perlahan terbuka.Ia menoleh. Kosong. Kanz sudah tidak ada di sampingnya.Lyra menggigit bibir bawahnya, setengah lega, setengah… heran. Pergi? Atau…Perasaan cemas menggerakkan tubuhnya. Ia bangkit, meraih cardigan tipis, lalu keluar kamar dengan langkah pelan.Benar saja, dari arah dapur terdengar suara pintu kulkas dibuka. Saat ia tiba, matanya langsung menangkap punggung lebar seorang pemuda berjaket tipis, rambutnya sedikit acak, wajahnya masih segar meski baru bangun. Kanz.Ia sudah berdiri di depan meja dapur, satu tangan memegang telur, satu lagi menggenggam mentega. Kulkas terbuka lebar, beberapa bahan keluar.Lyra spontan menyilangkan tangan di dada. Suaranya meninggi sedikit.“Kamu ngapain?”Kanz menoleh sebentar, menampakkan senyum santai yang bikin Lyra ingin melempar spatula ke kepalanya.“Pagi, Bu Dos

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 23

    “Bikin adiknya lagi… boleh?” suara Kanz terdengar parau, penuh nafas yang memburu. Tatapannya berkilat sayu, ada nyala keinginan yang begitu jelas ketika matanya menelusuri wajah Lyra. Lyra mendesis, wajahnya memerah, antara marah dan gugup. “Kamu gila?” Ia mendorong dada Kanz, membuang wajah ke arah lain, enggan bertemu pandang. Keheningan turun seketika. Hanya suara deru napas mereka berdua yang saling bersahut. Kanz menghela napas agak kasar, lalu perlahan melepaskan desakan tubuhnya. Ia merebahkan diri di sisi Lyra, berbaring menghadapnya. Sesaat, matanya menatap diam, mencari celah. Lyra tak berkata apa-apa, bahunya masih naik-turun cepat karena emosi yang bercampur dengan sesuatu yang tak mau ia akui. Tanpa banyak suara, lengan Kanz meraih dan menarik tubuh Lyra ke arahnya. Ia memeluknya dari belakang, tubuh hangatnya membungkus rapat tubuh Lyra. Lyra sempat menegang, hampir berontak, tapi entah kenapa tubuhnya tak bergerak. Ada sesuatu dalam dekapan itu yang membu

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 22

    Setengah jam berlalu. Hujan di luar sana telah reda, menyisakan rintik kecil yang nyaris tak berarti. Neera kini sudah merebahkan tubuh di sofa Lyra, menguap kecil. Lyra menoleh, bingung. “Neera… kamu nggak pulang?” Neera menutup mata sebentar. “Kayaknya aku mau nginap aja di sini malam ini.” Lyra menegang seketika. “Tapi… bukannya apartemenmu persis di seberang gedung ini? Dekat sekali. Kamu bisa pulang, istirahat lebih nyaman di sana.” Neera membuka matanya, tersenyum malas. “Tetap aja aku lebih pengen di sini. Rasanya hangat, Ly. Lagian gak apa-apa lah sesekali nginap.” Lyra mendecak kecil, matanya melirik cemas ke arah kamar. 'Kalau dia bener-bener tidur di sini… selesai aku'. Ia hendak membuka suara lagi, tapi tiba-tiba ponsel Neera bergetar. “Bentar.” Neera meraih ponselnya. Namun raut wajahnya berubah ketika melihat nama di layar. Tegang, seakan disambar petir. Lyra memperhatikan dengan alis berkerut. “Ada apa?” Neera segera bangkit, meraih tasnya. “Aku… harus

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 21

    Ciuman itu makin dalam, semakin menenggelamkan keduanya. Nafas mereka saling bertubrukan, dada naik turun cepat. Kanz menahan tengkuk Lyra dengan kedua tangannya, membiarkan bibirnya terus menekan bibir wanita itu. Hingga perlahan... tangan kanan Kanz bergerak, tanpa sadar meremas lembut bagian atas tubuh Lyra yang terasa membesar seiring usia kandungan. Lyra tersentak. Kedua matanya langsung terbuka lebar. Cepat-cepat ia menepis tangan itu, napasnya terengah. “Cukup, Kanz!” serunya dengan suara serak. Ia mendorong dada pria itu kuat, memaksa Kanz bangkit dari atas tubuhnya. Kanz menegang. Rahangnya mengeras, urat di lehernya tampak menonjol. Sesaat ia seperti hendak terbawa arus, tapi kemudian kesadarannya kembali. Ia menarik napas panjang, menunduk. “Maaf…” ucapnya parau. “Aku kebablasan.” Lyra masih duduk di sofa, wajahnya memerah entah karena marah atau malu. Ia menggeleng pelan, lalu bangkit berdiri. “Pulanglah, Kanz. Aku butuh sendiri.” Kanz menatapnya lama, seolah e

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 20

    “Ini aku.” Suara bariton yang sangat ia kenal. Kanz. Lyra membeku, matanya melebar. Perlahan, Kanz melepaskan tangannya. “Gila kamu!” Lyra berbalik cepat, menatapnya dengan campuran terkejut dan marah. “Kamu pikir aku nggak bisa jantungan, hah?!” Kanz menarik napas berat, wajahnya serius. “Aku harus bicara sama kamu, Bu Lyra. Aku sudah melakukan segalanya untuk kamu. Aku yang membersihkan namamu di depan semua orang.” Lyra tertawa getir, matanya berkilat sinis. “Jadi benar kamu yang membersihkan namaku? Terima kasih, Kanz… terima kasih sudah jadi pahlawan kesiangan. Tapi jangan kira aku nggak tahu, kamu pasti yang menekan Kenzi untuk bohong.” Rahang Kanz mengeras. Ia menatap Lyra lurus, nada suaranya meninggi. “Kalau aku melakukannya, itu semata-mata demi kebaikan kamu! Apa kamu nggak lihat, mereka semua siap menginjak kamu hidup-hidup?” “Jangan seenaknya memutuskan atas nama aku!” bentak Lyra. “Itu hidupku, bukan hidupmu.” Keduanya terdiam sesaat. Nafas Lyra memburu, se

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 19

    Pagi itu, Lyra melangkah menuju ruang rektorat dengan jantung berdebar. Ia bingung, heran, kenapa dirinya dipanggil lagi. Semalam ia bahkan sudah berusaha menenangkan diri, mencoba meyakinkan bahwa badai ini akan reda dengan sendirinya. Tapi begitu pintu rektorat terbuka, langkahnya sontak terhenti. Di dalam ruangan sudah ada Rektor Alif duduk dengan wajah serius, Reihan di sisi kanan dengan ekspresi dingin, Kanz yang bersandar di kursi dengan rahang mengeras, dan—yang paling mengejutkan—Kenzi. Gadis itu duduk di tengah, kepala menunduk dalam-dalam, wajah pucat, seolah siap menunggu eksekusi. “Silakan duduk, Bu Lyra,” suara Alif tenang tapi tegas, mengisi keheningan ruangan. Lyra melangkah perlahan, duduk dengan gugup. Matanya bergantian menatap Reihan dan Kanz, lalu jatuh ke arah Kenzi. Ada perasaan aneh menyelusup, campuran marah, penasaran, sekaligus tak percaya. Alif mencondongkan tubuh, mengetuk meja pelan. “Baik. Saya tidak akan berlama-lama. Hari ini, kita semua berkumpu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status