Share

Bab 5

Author: chalove
last update Last Updated: 2025-08-22 13:45:31

Tubuh Lyra terasa pegal-pegal begitu sampai di apartemen. Ia melepaskan heels, lalu merebahkan diri sebentar di sofa. Belum sempat menutup mata, terdengar ketukan keras di pintu.

Duk! Duk! Duk!

Alisnya berkerut, siapa kira-kira yang datang?

Dengan malas ia bangkit, menuruni beberapa anak tangga kecil menuju pintu. Begitu terbuka, wajah Reihan langsung muncul—merah padam, rahangnya mengeras.

“Rei?” Lyra mengernyit.

Tapi tanpa aba-aba, pria itu langsung mendorongnya masuk.

“Reihan!” Lyra terperanjat, segera menahan dada pria itu dengan kedua tangannya. “Apa-apaan kamu? Jangan seenaknya dong!”

Tapi Reihan justru menutup pintu dengan kasar, napasnya memburu.

“Cukup sudah, Lyra. Aku capek! Aku mau tau kenapa kamu akhir-akhir ini selalu menghindar dariku!”

Lyra merapatkan cardigan ke tubuhnya, berusaha menjaga jarak. “Aku nggak menghindar. Aku cuma banyak urusan kampus. Materi, rapat, persiapan kelas…”

Reihan mendengus, mendekat. “Jangan bohong! Aku bisa lihat jelas, Lyra! Tatapan kamu beda. Kamu sengaja jaga jarak sama aku. Ada apa?!”

Lyra menggeleng keras. “Aku nggak bohong! Aku beneran sibuk!”

PRANGG!

Reihan membanting vas kaca di ruang tamu, membuat Lyra terperanjat seketika.

Suara pria itu meninggi. “Kamu pikir aku buta?! Kamu selingkuh, kan?! Kamu udah punya laki-laki lain!”

Lyra terbelalak. Tangannya mengepal. “Aku nggak pernah ngelakuin itu! Jangan sembarangan ngomong, Reihan! Aku masih menghargai hubungan ini!”

“Kalau begitu kenapa kamu terus menghindar setiap aku ajak ketemu?! Kenapa kamu nggak mau tatap mataku lagi?!” Reihan maju selangkah, menatap tajam.

Lyra menggertakkan gigi. “Karena kamu terlalu menekan aku! Kamu nggak pernah mau dengar alasanku. Selalu marah, selalu nuduh! Aku bukan boneka yang bisa kamu kontrol!”

Reihan terdiam sepersekian detik, lalu menggebrak sofa. “Jangan beraninya sama aku, Lyra! Kalau kamu gak mau diatur dan anggap dirimu bukan punya aku, lantas kamu milik siapa?!”

Lyra tersentak, napasnya semakin cepat. “Aku milik diriku sendiri, Reihan! Dan aku berhak mengusir kamu sekarang dari apartemenku!”

Mendengar ucapan Lyra, wajah Reihan yang tadinya tegang, mendadak berubah dalam sekejap. Ekspresinya melunak dalam kepura-puraan.

Ia mengulurkan tangan, menyentuh lengan Lyra dengan senyum tipis yang dipaksakan.

“S-sayang… maaf ya. Aku cuma cemburu. Aku takut kehilangan kamu. Aku keras kepala, aku akui. Tapi semua ini karena aku cinta…”

Lyra menepis tangannya, sorot matanya dingin. “Jangan lagi pakai alasan cinta buat mengekang aku. Aku muak. Pulanglah, Reihan.”

“Tapi, Ly—”

“Pulang!”

Reihan menahan senyum tipis yang getir, menatap Lyra dengan tatapan sulit ditebak. Tapi Lyra tak bergeming. Ia membuka pintu lebar-lebar, memberi jalan.

“Keluar.”

Keheningan menekan ruangan. Lalu perlahan, Reihan melangkah melewati pintu, tapi sempat menoleh dengan senyum penuh arti.

“Suatu hari… kamu bakal nyesel udah nolak aku, Ly.”

Pintu langsung dibanting Lyra begitu tubuh pria itu menghilang. Bahunya naik-turun menahan emosi, dan matanya memanas.

Dengan langkah tergesa, ia masuk ke kamar. Tubuhnya seakan kehilangan tenaga begitu menyentuh kasur. Ia membanting dirinya, menutup wajah dengan kedua tangan, seolah ingin menenggelamkan semua rasa yang menyesakkan.

Tangannya mengepal, jemari gemetar. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya lolos, membasahi pelipis dan bantal.

‘Kenapa… kenapa aku bisa sejauh ini?’ bisiknya dalam hati.

Ia menggigit bibir, dadanya terasa perih. Tatapan Reihan yang penuh tuduhan tadi terus menghantui pikirannya, membuat hatinya semakin remuk.

‘Aku memang bersalah… aku sudah menghianati dia. Aku bukan tunangan yang setia. Aku… aku sudah menyerahkan diriku pada pria lain… dan pria itu bukan sembarang orang. Dia… mahasiswaku sendiri.’

Lyra meremas sprei di bawahnya, tubuhnya bergetar hebat.

‘Bagaimana aku bisa melakukan itu? Bagaimana aku bisa lemah, terjebak dalam satu malam yang meruntuhkan semua prinsipku… semua harga diriku sebagai dosen… sebagai seorang wanita?’

Isaknya semakin pecah, bahunya terguncang.

‘Aku kotor. Aku hina. Dan aku tak tahu apakah masih pantas berdiri di samping Reihan. Aku bahkan tak pantas memandang wajahnya lagi…’

Ia menutup mulut dengan telapak tangannya, menahan suara tangis agar tak terdengar, tapi rasa sesak itu semakin menjadi-jadi.

‘Tuhan… kenapa aku nggak bisa melupakan malam itu? Kenapa bayangan dirinya terus menguntit aku? Apa salahku sampai harus terjebak dalam dosa sebesar ini?’

Lyra memeluk bantalnya erat-erat, seperti mencari sandaran dalam kehancurannya sendiri. Air mata terus jatuh, membasahi pipi dan lehernya.

Di balik semua amarah dan tuduhan Reihan, Lyra sadar—ia tidak hanya menghancurkan dirinya sendiri, tapi juga hubungannya dengan tunangannya itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 16

    Pagi itu, langkah Lyra terasa berat memasuki area kampus. Udara sama, langit sama, tapi sorot mata orang-orang yang ia temui terasa berbeda. Ada bisik-bisik lirih, tawa kecil yang ditahan, tatapan yang cepat-cepat dialihkan setiap kali matanya menoleh. Dada Lyra menegang. Wajahnya panas. Kenapa… semua orang melihatku seperti itu? Baru saja masuk ke ruangannya, pintu tiba-tiba dibanting kasar. Neera tergesa masuk, wajahnya panik, nafasnya terengah. “Lyra!” serunya, nyaris terisak. Dengan tangan bergetar, Neera menyodorkan ponsel. “Kamu harus lihat ini sekarang juga!” Lyra berkerut bingung, lalu meraih ponsel itu. Dan begitu matanya menangkap layar… dunia seakan runtuh. Sebuah video. Dirinya. Ruangannya. Pertengkaran panas antara Kanz dan Reihan. Suara-suara yang teredam, tapi cukup jelas untuk membentuk narasi busuk: Profesor Lyra selingkuh dengan mahasiswa sendiri di belakang tunangannya. Ditambah... rekaman saat Lyra dan Kanz berpelukan setelah Reihan pergi. Mata Lyra m

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 15

    Lyra masuk ke rumah dengan langkah berat. Suara kunci yang beradu dengan pintu terdengar keras, seolah ikut melampiaskan amarahnya. Begitu pintu tertutup, ia langsung melempar tas ke sofa tanpa peduli jatuh berantakan. “Arrghhh!!” teriaknya lantang, suara parau penuh frustasi memenuhi ruangan sepi itu. Dadanya naik-turun cepat, matanya berair tapi tak mau menangis. Hanya ada bara, kecewa, dan rasa ditipu. Baru saja ia percaya kalau Kanz benar-benar serius, baru saja hatinya sedikit terbuka… dan sekarang? Suara lirih Monica dengan kalimat menggoda itu terus terngiang. “Kanz… apa kamu gak rindu menyentuhku seperti malam itu?” Kalimat itu menusuk lagi, membuat Lyra mendengus kasar, kedua tangannya meremas rambutnya sendiri. “Aku bodoh! Aku benar-benar bodoh kalau sampai percaya buaya darat itu!!” desisnya, hampir seperti menampar dirinya sendiri. Namun, di tengah amarahnya, Lyra refleks menaruh tangannya di perut. Tarikan napasnya tercekat. Ia terdiam beberapa detik. Tidak…

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 14

    Langkah Lyra terdengar mantap menuruni anak tangga. Wajahnya pucat, namun matanya dingin, seolah berusaha menutupi luka yang sebenarnya sudah merobek hatinya. Kanz panik, langsung bergerak cepat menghadang. Tangannya mencekal pergelangan Lyra, menahannya agar tidak pergi. “Bu Lyra, tunggu! Ini nggak seperti yang kamu dengar, aku bisa jelaskan!” suaranya bergetar. Lyra menoleh, tatapannya tajam, menusuk. Senyap sesaat, lalu ia membuka mulut dengan nada datar, dingin—persis seperti seorang dosen menegur mahasiswa yang ketahuan berbuat salah. “Simpan penjelasanmu, Kanz. Aku sudah cukup sering mendengar alasan dari mahasiswa yang ketahuan main asmara di lingkungan kampus. Jangan ulangi kesalahan itu lagi.” Kanz tercekat. Ucapannya seakan pisau yang mengiris dada. Monica, yang berdiri tak jauh di koridor, hanya melipat tangan dengan ekspresi kesal. Namun matanya menyipit curiga—ada sesuatu yang janggal. Kenapa Kanz begitu berani mencekal tangan Lyra? Kenapa ia panik setengah mati ha

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 13

    Lyra masih berdiri kaku, jantungnya berdegup kacau. Ia tak tahu harus merasa apa—antara menolak, marah, atau runtuh oleh perasaan yang bercampur aduk. Namun tiba-tiba… Kanz maju selangkah, lalu tanpa aba-aba bibirnya menempel pada bibir Lyra. Lembut. Dalam. Menyapu seluruh kewarasan yang tersisa. Mata Lyra membelalak, tubuhnya sempat menegang. Nafasnya tercekat, seolah dunia berhenti berputar hanya untuk ciuman itu. “Kanz…” suaranya nyaris tertahan di sela helaan, tapi suara itu lenyap begitu saja ketika pemuda itu menekan bibirnya lebih dalam, gerakannya semakin berani namun masih sarat perasaan. Lyra seharusnya menolak. Seharusnya mendorong tubuh itu menjauh. Tapi entah mengapa, tubuhnya justru berkhianat. Perlahan, kelopak matanya terpejam, dan bibirnya… membalas. Seketika suasana berubah. Ciuman itu bukan lagi sepihak—panas, menuntut, tapi juga mengikat dalam satu gejolak yang tak bisa mereka hindari. Nafas mereka tersengal, tubuh Lyra sedikit terhuyung, tapi Kanz mere

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 12

    Aula kampus dipenuhi suasana haru. Mahasiswa dan dosen berdiri berbaris rapi, satu per satu menyampaikan kalimat duka cita atas meninggalnya nenek Lyra. Semua orang tahu bahwa wanita itu tumbuh hanya dengan kasih sayang neneknya. Wajah Lyra basah oleh air mata, hatinya bergetar. Ia tak menyangka, bahkan di tengah kerumitan hidupnya, masih ada banyak orang yang peduli. Selesai acara, Lyra kembali ke ruangannya. Ia baru saja menjatuhkan tubuh lelah ke kursi ketika pintu mendadak terbuka keras. BRAKK! Reihan masuk dengan wajah murka. “Rei—” Lyra berdiri, belum sempat bicara, tubuhnya langsung terdorong ke dinding. Bugh! “Argh—!” Lyra meringis, berusaha berontak, tapi tekanan tangan Reihan terlalu kuat menahan bahunya. Mata pria itu berkilat penuh amarah. “Ada hubungan apa KAMU dengan Kanz?!” suaranya bergetar marah. “Kenapa dia selalu ada di sekitarmu?! Dia muncul di kantin, bahkan juga di kampung kemarin! JANGAN KIRA AKU BODOH, LYRA!” Lyra terbelalak, tubuhnya bergeta

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 11

    Sore mulai meredup, pemakaman selesai. Orang-orang desa berangsur meninggalkan area, menyisakan suasana lengang yang dipenuhi aroma tanah basah. Lyra berjalan pelan menuju rumah kayu peninggalan neneknya, langkahnya berat, wajahnya tetap muram. Risa setia di sampingnya, menopang bahu Lyra yang nyaris tak sanggup lagi berdiri tegak. Di teras rumah, Lyra berbalik, matanya masih sembab. Ia menatap Reihan, Neera, lalu sekilas ke arah Kanz yang berdiri beberapa meter dari mereka. “Terima kasih… karena sudah datang,” ucap Lyra lirih, suaranya serak. Ia menarik napas dalam, lalu melanjutkan dengan tegas. “Tapi aku mohon… pulanglah. Aku ingin sendiri.” Reihan langsung melangkah mendekat, menatap Lyra penuh rasa khawatir. “Tidak, Lyra. Aku tidak akan pergi. Aku akan nginap di sini. Setidaknya sampai keadaanmu tenang.” Kalimat itu langsung membuat Kanz yang berdiri di sisi halaman mengepalkan tangan. Matanya berkilat marah, meski ia berusaha menahan wajahnya tetap datar. Lyra buru-b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status