"Ini naskah skripsi saya, Pak. Semuanya sudah direvisi," ucapku dengan suara bergetar yang sulit disembunyikan.
Aku berdiri di dekat Pak Jefri sambil menundukkan kepala. Jemariku saling meremas di belakang punggung. Keringat dingin merayap di sekujur tubuh, meski ruangan dingin dari embusan AC itu terasa menusuk.
Aku merasakan suasana yang mencekam di kantor Pak Jefri siang itu. Wajar saja. Ini sudah kali ke lima aku menulis revisi yang berujung penolakan. Setiap kali skripsi itu kembali, selalu ada coretan —menandakan kegagalanku yang tak ada habisnya.
Rasanya bukan lagi revisi, melainkan sebuah siksaan tanpa akhir. Tak salah jika aku memanggilnya 'dosen killer'. Aku merasa dia punya dendam pribadi padaku, seolah ia selalu mencari celah untuk mempersulit skripsiku.
Benar saja, hari ini pun sama. Aku melirik Pak Jefri yang hanya membalik-balik kertas itu tanpa membacanya. Wajahku cemberut, dalam batinku bergumam, 'Sialan nih dosen! Dia bahkan nggak ngehargai kerja kerasku.'
Secepat kilat, ia mencoret beberapa halaman. Aku spontan mendongak, mataku membelalak lebar diikuti dengan mulutku yang menganga .
"Pak... jangan dong, Pak. Saya sudah susah payah merevisi ini. Masak di coret lagi sih, Pak..." Aku berseru, berusaha merebut dokumen tugas akhir itu.
Namun, ia menarik tangannya dengan cepat—membuatku tak bisa menjangkaunya.
"Skripsi apa yang kamu buat ini?!" Nadanya bukan lagi sekadar marah, melainkan sebuah ledakan. Suaranya menggelegar di ruang kantor yang sunyi, membuatku berjengit.
"Semuanya salah!" Ia terus mencoret tiap halaman di udara, seolah ingin merobeknya.
Aku merasa kesal dan tak menyerah. Aku terus melompat-lompat, berusaha menggapai skripsi itu. Kakiku tanpa sengaja tertekuk hingga tubuhku limbung dan terjatuh dalam pangkuannya.
Mata kami bertemu. Ada getaran aneh di dadaku. Tubuhku terasa menghangat, seolah ada api yang tiba-tiba menyala. Bibir Pak Jefri tiba-tiba melumat bibirku dengan brutal dan tanpa sadar, aku membalasnya.
Tanpa sedikitpun rasa sungkan, aku menjulurkan lidahku, mengundang Pak Jefri untuk menelusuri lebih dalam.
Ciumannya semakin ganas. Ia mulai menelusuri leherku, meninggalkan jejak kemerahan di sana.
"Aahh..." Sebuah desahan samar lolos dari bibirku.
Selama ini, tak ada pria yang menyentuhku. Namun hari ini, seorang dosen killer yang kubenci justru memulai semuanya. Ia meruntuhkan segala pertahananku yang selama ini anti sentuhan fisik.
Tangan Pak Jefri semakin berani. Ia tak puas hanya dengan bagian atas. Ia mulai menjelajahi dadaku, perlahan menarik tali tanktop-ku sambil terus mencumbu.
Puting payudaraku yang sudah tegang mencuat ke permukaan saat ia melorotkan tanktop itu, beserta bra yang menempel.
Dengan penuh gairah, ia mengisap ujung berwarna merah muda itu, sesekali menari liar menggunakan ujung lidahnya.
"Mmhhh... Pak..."
Mulutku tak bisa diam, apa lagi saat jari-jarinya mulai menjelajahi daerah pahaku yang terasa basah.
Aku bisa mendengar embusan napas Pak Jefri yang memburu. Tak kusangka, dosen yang kuanggap buas dalam merevisi skripsi ternyata lebih buas dari bayanganku.
Ia mengangkat tubuhku yang kecil—mendudukkanku di atas meja kerjanya. Rok mini yang kupakai memudahkannya menjangkau area paling sensitif.
Pak Jefri menurunkan celana dalamku, lalu membuka lebar pahaku yang terasa gemetar. Tangannya menarik tuas kursi putar yang didudukinya hingga merendah, membuat lidahnya dengan mudah menjangkau lipatan terdalamku.
"Aahhh... Pak..."
Aku mendesah kenikmatan. Tanganku meremas rambut Pak Jefri yang sedang bekerja keras. Bokongku terus bergerak, mencari sensasi terdalam dalam permainan lidahnya.
Hingga tanpa terasa, genggaman tanganku pada rambutnya tergelincir. Tubuhku terasa melayang—bukan karena kenikmatan—melainkan jatuh dari ketinggian.
Bruak!
Aku terbangun. Tubuhku terguling dari kasur, lalu mendarat di lantai yang dingin. Napasku terengah, mataku menyapu ke segala arah sambil bergumam, "Di mana ini?"
Keningku berkerut saat melihat kertas skripsi berserakan di mana-mana. Laptopku masih menyala, dan buku-buku tercecer di segala tempat. Melihat kekacauan yang terjadi aku baru sadar—ini apartemen kontrakanku, bukan kantor Pak Jefri.
"Sialan! Ternyata aku hanya mimpi."
Beberapa jam lalu, aku sibuk menyelesaikan revisi sambil mengumpat. Saking kesalnya dengan Pak Jefri, aku sampai ketiduran dan bermimpi aneh di siang bolong.
Aku meraba selangkanganku yang terasa basah. Dan... Benar saja. Cairan bening seperti lem masih terperangkap dalam celana dalamku.
"Begok! Bisa-bisanya aku mimpi basah sama dosen killer itu," rutukku pada diri sendiri.
Cling!
Suara notifikasi ponsel yang tergeletak di kasur tedengar. Aku mengabaikannya dan masih bersandar lemas di sisi ranjang.
Dadaku terasa sesak karena mimpi barusan. Selain jijik, aku merasa kesal dan tak terima. Aku yang selama ini tak pernah tersentuh pria, justru disentuh pertama kali oleh orang yang aku benci—meski itu hanya dalam mimpi.
Tak pernah sedikitpun aku membayangkan disentuh olehnya, bahkan melihat wajahnya saja membuatku naik darah. Heran saja, kok bisa ia menjadi dosen idaman para mahasiswi. Padahal wajahnya sangat kaku dan minim emosi. Sikapnya dingin mengalahkan kutub Utara.
Meskipun, ya... Dia memang ganteng, sih.
Ddrrzzztttt!
Suara dering ponselku disertai dengan getaran memecah keheningan.
"Siapa sih?"
Dengan gerakan lemas, tanganku meraba-raba kasur, berusaha meraih ponsel itu dari lantai.
"Pak Jefri?!"
Mataku seketika membelalak melihat namanya terpampang jelas di layar. Aku segera menekan tombol hijau, lalu bergegas menjawab.
"Halo, Pak..."
Mendadak aku berubah total. Berbicara dengan selembut mungkin, seolah tak pernah ada rasa kesal sedikitpun.
"Kalau kamu tidak mau menyelesaikan skripsi bilang saja! Saya tidak mau capek-capek menunggu kamu di kampus!" Suara Pak Jefri terdengar seperti sedang menahan amarah.
"A-apa? Bapak nunggu saya?!" Mataku melotot karena kaget. Tubuhku membeku, seolah paru-paruku berhenti bernapas.
"Kamu tidak baca pesan? Saya sudah mengirim pesan beberapa kali, Erika!"
Seketika, jantungku seperti mau melompat dari tempatnya. Jemariku bergerak cepat, buru-buru mengecek layar ponsel.
Dan... Benar saja. Pak Jefri mengirimku pesan sejak pukul dua belas siang, memintaku datang untuk bimbingan skripsi pukul tiga sore.
Dan sekarang?
Aku melirik jam weker di rak belajar. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah empat. Tanpa pikir panjang, aku segera bangkit, menempelkan kembali ponsel itu di telinga sambil melangkah kebingungan.
"Iya, Pak. Saya akan segera datang!" jawabku dengan suara serak, lalu mematikan ponsel.
Aku panik, berlari ke sana kemari mencari celana panjang dan kemeja.
"Ke mana, sih? Padahal tadi kan di sini."
Seolah menghilang ditelan bumi. Khas sekali, barang yang paling dibutuhkan selalu lenyap saat genting. Padahal aku yakin betul celana itu tadi pagi tergeletak di kasur.
Kontrakan apartemenku ini tidak besar. Hanya ada satu kasur, rak yang jadi satu sama meja belajar, satu sofa panjang dan lemari berkabinet. Harusnya celana itu tidak lari kemana-mana.
Aku berlari ke segala tempat, membuka semua kabinet lemari. Kosong. Tak ada celana yang tersisa. Aku terduduk lemas di lantai. Berteriak sambil menjambak rambutku sendiri.
"Aarrrgghh.... Kenapa bajuku kotor semua?!"
"Astaga! Pak Jefri liat aku nggak, ya?"Aku berjalan cepat menuju ruang tamu dengan napas tersengal-sengal. Lalu duduk sambil merapatkan bagian sensitif ku yang masih berdenyut."Perasaan macam apa ini? Kenapa aku—""Erika?" potong Pak Jefri. Ia tiba-tiba datang berjalan ke arahku. Sekarang sudah mengenakan piyama berbahan sutra dengan warna merah maroon. Kancing bagian atasnya terbuka, memperlihatkan otot dadanya yang bidang.Kain sutra yang dipakainya menari indah, mengikuti bentuk tubuhnya yang tegap."Pak..." Aku mengangguk sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang masih bertahan.Tanganku masih meremas daerah selangkangan yang basah dan berdenyut.Sensasi apa ini? Aku tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Tapi sekarang?Kenapa hanya dengan melihat kain sutra yang menempel di tonjolan Pak Jefri membuatku deg-degan? Rasanya... Aku ingin sesuatu menggelitik bagian bawahku."Kamu sudah dari tadi?" tanya Pak Jefri sambil duduk di sampingku."Baru saja kok, Pak. T
Aku terus menunduk. Bibirku tak mampu menjawab setiap perkataannya. Air mataku menetes meski sudah ditahan. Beruntung, area itu tidak terlalu ramai, jadi aku tidak terlalu malu.Aku merasa bersalah. Aku tahu maksud Papa baik. Dia hanya ingin menjaga apa yang sudah menjadi milikku."Maafin Erika, Pa." Aku mengangkat wajah. Menggigit sedikit bibirku untuk menahan isak. "Erika janji, akan segera menyelesaikan skripsi."Papa menghampiriku, lalu memelukku erat. Aku bisa merasakan kasih sayangnya yang dalam lewat tangannya yang mengelus rambutku."Erika... Papa sayang sama kamu. Papa nggak mau, mereka menyingkirkanmu karena dianggap tidak berguna."Aku menangis dalam pelukan Papa. Hatiku rasanya hancur dan sedikit menyesal. Saat itu, otakku benar-benar tidak bisa dipaksa belajar suatu hal yang tidak aku suka.Sejak semester satu, aku jarang mengikuti mata kuliah dengan benar. Itu sebabnya, sekarang aku mengalami kesulitan saat menyusun skripsi."Erika akan berusaha biar nggak ngecewain Papa
Seketika tubuhku membeku saat Dita berhenti di depan sebuah tempat. Dalam batinku berkata, 'Salon? Seumur hidup aku belum pernah ke tempat seperti ini.'Dita terus tersenyum, menatap ke dalam salon lalu kembali ke arahku. "Kok bengong aja? Ayo masuk!"Dita kembali menarik tanganku, membuka pintu kaca. Aroma dari treatment serta parfum khas wanita langsung menyergap hidungku saat kami melangkah masuk.Seorang terapis mendekati kami. "Selamat datang... mau perawatan apa, Kak?"Dita mendorongku pelan. "Buat dia jadi cantik."Tubuhku menjadi kaku lalu berbalik dengan spontan. "Dita, Lo mau apain gue?""Gue mau buat Lo, terlihat beda hari ini.""Buat apa?""Ya buat goda Pak Jefri lah," jawabnya santai. Ia memaksa membalik badanku, lalu mendorong tubuhku kembali seakan diserahkan kepada terapis.Namun tubuhku terus menolak. Aku berbalik dan kembali pada Dita, seperti anak kecil yang ketakutan. "Jangan gila, Dit! Kenapa gue harus rayu pak Jefri? Lo tau banget, gue benci sama dia."Para wanit
"Dita!" teriakku. "Gila Lo ya!" Mataku membelalak sambil mendorong piring croissant di depanku. "Lo baru aja cemburu hanya karena gue mimpi begituan sama Pak Jefri. Sekarang malah nyuruh gue tidur beneran?!"Dita menggaruk kepalanya, seolah ikut frustasi. "Ya... habisnya Lo susah banget ngajuin skripsi doang. Coba aja kalau nulis fiksi. Sehari bisa beribu kata?!" Raut wajahnya tegang dengan mata melotot.Aku mengangkat kedua kaki ke kursi, lalu bersila. "Ya beda lah." Aku mengaduk-aduk es kopi dengan wajah cemberut. "Gue kan nggak pernah suka sama bisnis. Tapi bokap gue maksa. Makanya otak gue buntu."Dita menyilangkan tangannya di dada. Dia menatapku sinis, tatapan yang sama persis dengan yang selalu kuterima dari Mama dan Papaku. "Gue heran deh sama Lo, Er." Ia menarik napas dalam, seolah sedang bersiap menyanyikan lagu. "Hidup Lo itu uda dibuat nyaman sama bonyok Lo, Er. Tapi Lo malah menyesatkan diri dengan menjadi penulis.""Itu namanya passion, Dita..." tegasku sambil menyedot
Teleponnya dimatikan begitu saja oleh Papa. Aku semakin syok dengan ancaman terakhirnya."Apa? Dinikahkan? Wahh... Penuh kejutan banget, ya, si Darman!"Itu nama Papaku, Darman Dwi Atmaja. Seorang pengusaha sukses di bidang kuliner. Dan aku, adalah pewaris tunggalnya. Tapi sedikitpun, aku tak tertarik terjun ke dunia bisnisnya. Itu sebabnya Papa selalu marah.Aku menghela napas berat, lalu melanjutkan langkahku yang tak bersemangat.Orang-orang di sekitarku mulai memandang dan berbisik. Entah apa yang mereka gosipkan. Karena aku menangis, atau karena penampilanku yang kacau seperti sumo?Entahlah. Aku memilih cuek seperti biasa, lalu bergegas menuju tempat parkir—menaiki motor listrik kesayanganku ini menuju mall Sadewa.Sesampainya di mall, aku berdiri di depan kafe sambil menelpon Dita."Halo, Dit. Di mana Lo? Gue udah di depan kafe, nih.""Halo... Gue juga udah nungguin Lo di depan. Kok gue gak liat Ello, sih."Dahiku mengernyit, kepalaku berputar ke segala arah mencari keberadaan
Aku melirik sudut kamar mandi. Di sana teronggok tumpukan pakaian kotor. Mungkin aku terlalu stress, sampai lupa mencuci baju. Apartemenku kini benar-benar kacau, bagai kapal pecah."Ughhh... Apa yang harus kupakai?"Aku terkulai di lantai dengan putus asa. Satu-satunya celana yang kupunya hanyalah hotpants yang sedang aku kenakan."Haruskah aku batalkan bimbingan? Tapi... Bagaimana kalau aku gak lulus lagi?"Aku mengacak-acak rambut, merasa sangat frustasi. "Aargghh... Aku tidak mau. Aku bisa dibunuh Papa kalau gak lulus tahun ini..."Tiba-tiba sebuah ide muncul. Aku bangkit, kembali mengacak-acak isi lemari yang tersisa.Mataku berbinar saat menemukan jaket pendek sepusar berbahan kulit sintesis. Aku segera memakainya dengan cepat, lalu menyampirkan kemejaku ke pinggang. Ya... Setidaknya itu bisa menutupi sedikit pahaku.Bagaimanapun juga, aku tidak mau menjadi sasaran pemuas nafsu si dosen killer itu.Aku hanya merapikan rambutku yang ikal sepinggang ini dengan tangan, lalu mengg