Aku melirik sudut kamar mandi. Di sana teronggok tumpukan pakaian kotor. Mungkin aku terlalu stress, sampai lupa mencuci baju. Apartemenku kini benar-benar kacau, bagai kapal pecah.
"Ughhh... Apa yang harus kupakai?"
Aku terkulai di lantai dengan putus asa. Satu-satunya celana yang kupunya hanyalah hotpants yang sedang aku kenakan.
"Haruskah aku batalkan bimbingan? Tapi... Bagaimana kalau aku gak lulus lagi?"
Aku mengacak-acak rambut, merasa sangat frustasi. "Aargghh... Aku tidak mau. Aku bisa dibunuh Papa kalau gak lulus tahun ini..."
Tiba-tiba sebuah ide muncul. Aku bangkit, kembali mengacak-acak isi lemari yang tersisa.
Mataku berbinar saat menemukan jaket pendek sepusar berbahan kulit sintesis. Aku segera memakainya dengan cepat, lalu menyampirkan kemejaku ke pinggang. Ya... Setidaknya itu bisa menutupi sedikit pahaku.
Bagaimanapun juga, aku tidak mau menjadi sasaran pemuas nafsu si dosen killer itu.
Aku hanya merapikan rambutku yang ikal sepinggang ini dengan tangan, lalu menggulungnya ke atas.
Laptop kututup cepat dan kumasukkan ke dalam tas. Kertas skripsi yang baru dicetak kuklip ke dalam map.
Beruntung, kontrakan apartemenku tak jauh dari kampus. Hanya perlu sepuluh menit perjalanan dengan motor.
Aku berlari sekuat tenaga untuk sampai ke ruangan Pak Jefri. Namun, saat kakiku hampir tiba, ia sudah keluar dari ruangannya.
"Pak... Pak. Maaf saya telat," ucapku dengan napas tersengal-sengal.
Pak Jefri hanya terdiam sambil melirik penampilanku yang berantakan dari atas sampai bawah. Aku merapatkan paha, lalu menarik sedikit kemejaku lebih rendah.
"Kamu telat. Kalau mau, bimbingan di rumahku malam ini," ucapnya datar, lalu melewatiku berlalu pergi.
Aku berusaha mengejarnya, mendahului langkahnya agar bisa menghadang.
"Pak... Tolong dong, Pak. Sebentar aja, Pak. Nanti malam saya..."
Kata-kataku terhenti. Aku berusaha mencari alasan agar tidak bimbingan di rumah Pak Jefri.
Gila saja. Mana ada bimbingan malam-malam di rumah dosen? Bagaimana kalau dia melecehkanku?
Sudah ramai gosip di luar sana tentang Pak Jefri yang katanya suka memanfaatkan mahasiswi sebagai pemuas nafsunya.
"Nanti malam kamu kenapa?" tanya Pak Jefri. Nada suaranya dingin dan menusuk.
"Saya..." Aku menggigit bibir sambil meremas jemariku. "Saya ada kencan, Pak," jawabku pelan diiringi tawa garing.
Pak Jefri menyeimbangkan posisi tas di bahunya. "Jadi maksudmu... Kencan lebih penting dari pada skripsi?"
"T-tidak, Pak. Bukan begitu maksud saya."
Ia maju selangkah. Jarak kami kini tersisa beberapa inci saja. Ia menatapku bak harimau yang siap memangsa.
"Silakan saja jika ingin kencan. Tapi jangan harap kamu lulus tahun ini."
Ancamannya terasa dingin. Ia lalu berlalu begitu saja dengan langkah santai.
Sementara aku semakin gusar. Tubuhku otomatis berbalik, lalu mengejar langkah lebarnya.
"Nanti malam jam berapa, Pak?" tanyaku akhirnya, mengikuti langkah Pak Jefri yang terus melangkah.
"Jam delapan," jawabnya singkat. Lalu pergi begitu saja dengan wajah dinginnya.
Aku sontak melepas jurus bayangan, memukul dan menendang wajahnya hingga babak belur—meski itu cuma angin yang ku imajinasikan sebagai dirinya.
Habisnya aku kesal sekali. Setelah bersusah payah berlari, ia malah pergi begitu saja.
"Dasar dosen killer!" gerutuku.
Wajahku mungkin sudah mirip sumo yang siap menabrak lawannya. Bahkan cepolan rambutku pun sama.
Entahlah. Yang jelas, hari ini aku sangat bete. Tahu begitu aku lanjut menulis novel saja.
Ddrrzzztttt!
Suara getaran ponselku di saku celana kembali menggelitik. Dengan wajah yang masih seseram sumo, aku mengangkat telepon itu tanpa melihat namanya.
"Halo!" Jawabku kasar.
"Ih... Apaan Lo? Baru angkat telepon langsung ngegas aja!"
Keningku berkerut. Aku melirik layar ponsel, itu Dita. Sahabatku satu-satunya yang masih bertahan. Yang lain?
Nggak usah berharap aku punya teman banyak. Temanku hanya dua, Dita dan Dita.
"Dit. Elo? Hehehe... Sorry, gue pikir Lo siapa."
"Kenapa sih, Lo? Lagi PMS?"
"Nggak! Gue bete. Udah susah payah lari ke kampus, tapi malah ditinggal pergi sama si dosen pujaan Lo itu."
"Hahaha... Maksud Lo Pak Jefri?"
Suara Dita terdengar sangat bahagia. Sepertinya dia akan menggelar hajatan setelah mendengar penderitaanku.
"Seneng banget Lo, Dit."
"Gue bahagia banget liat Lo di siksa sama dia. Lagian... Lo benci banget sama tuh dosen tampan. Kualat kan, Lo?"
"Udah ah. Gue kesal banget sekarang. Hibur gue pokoknya..."
"Ke sini aja. Gue lagi nongkrong di cafe, mall Sadewa. Dekat kan sama kampus."
"Ya udah, gue ke situ. Eh... Lo sendiri, kan?"
"Ya ampun Erika... Takut banget sih, Lo sama orang."
"He... Gue males aja ngomong sama orang asing. Ya udah share lokasi Lo, ya."
"Oke..."
Setelah mengakhiri panggilan, Dita mengirimiku nama cafe tempatnya nongkrong. Aku tersenyum sumringah, lalu memasukkan kembali ponsel itu ke dalam saku celana.
Namun, baru beberapa langkah menuruni tangga kampus, ponselku kembali berdering. Dan bodohnya aku, langsung mengangkat panggilan itu sambil melanjutkan perjalanan tanpa melihat siapa yang menelpon.
"Halo, Dit. Gue udah terima lokasi Lo. Ini gue lagi jalan."
"Kamu mau kemana? Nongkrong lagi?!"
Suara itu bernada tinggi dan berat. Suara yang paling aku hindari seumur hidup. Suara yang terasa seperti ancaman.
Aku buru-buru melihat layar ponsel. Mataku melotot lebih lebar dari pada sebelumnya. Syok, gemetar, gelisah... Semuanya bercampur jadi satu.
"Eh Papa... Apa kabar, Pa?" jawabku. Seketika memakai jurus mabuk. Lemah lembut nan gemulai.
"Tidak usah sok sopan! Bagaimana skripsimu?!"
Tuh kan, apa aku bilang. Dia telepon hanya untuk menagih. Tidak ada rindu-rindunya sama putri satu-satunya yang paling cantik ini.
"Aman kok, Pa."
"Aman gimana? Sudah ACC? Sudah siap ujian?"
"Ha... Hahaha." Aku tertawa garing. Tidak tahu lagi harus menjawab apa. "Masih harus revisi lagi, Pa."
"Revisi lagi?!"
Aku menjauhkan telepon itu dari telinga. Kalau nggak, gendang telingaku bisa meledak karena teriakannya.
"Iya—skripsinya kan harus sempurna, Pa."
"Kamu sudah revisi berapa kali, Erika? Ini yang ke lima! Kamu pasti nggak fokus ngerjain skripsinya, kan?! Sibuk apa? Sibuk sama dunia khayalanmu itu?!"
Aku memijat kening yang terasa berdenyut, bahkan genggamanku pada tas semakin melemah. Bete kuadrat nih.
"Erika sudah ngerjain dengan serius kok, Pa. Kali ini dosennya aja yang killer. Skripsiku udah bagus, kok. Beneran..."
"Sekarang kamu nyalahin dosen? Terus tahun-tahun sebelumnya gimana? Salah dosen juga?"
Tubuhku semakin lemas, air mata di pelupuk mendesak untuk keluar. Aku merasa tak ada seorang pun keluarga yang mau support passionku.
"Nggak, Pa. Itu salah Erika," jawabku dengan suara serak. Tak terasa, air mataku jatuh. Padahal sudah susah payah kutahan. Aku menundukkan kepala, berusaha menutupinya dari junior yang berlalu lalang di lorong kampus.
"Papa tidak mau tahu, ya. Kamu harus lulus tahun ini. Kalau tidak, Papa akan nikahkan kamu!"
"Apa?"
Tut Tut...
"Pa! Halo..."
"Astaga! Pak Jefri liat aku nggak, ya?"Aku berjalan cepat menuju ruang tamu dengan napas tersengal-sengal. Lalu duduk sambil merapatkan bagian sensitif ku yang masih berdenyut."Perasaan macam apa ini? Kenapa aku—""Erika?" potong Pak Jefri. Ia tiba-tiba datang berjalan ke arahku. Sekarang sudah mengenakan piyama berbahan sutra dengan warna merah maroon. Kancing bagian atasnya terbuka, memperlihatkan otot dadanya yang bidang.Kain sutra yang dipakainya menari indah, mengikuti bentuk tubuhnya yang tegap."Pak..." Aku mengangguk sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang masih bertahan.Tanganku masih meremas daerah selangkangan yang basah dan berdenyut.Sensasi apa ini? Aku tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Tapi sekarang?Kenapa hanya dengan melihat kain sutra yang menempel di tonjolan Pak Jefri membuatku deg-degan? Rasanya... Aku ingin sesuatu menggelitik bagian bawahku."Kamu sudah dari tadi?" tanya Pak Jefri sambil duduk di sampingku."Baru saja kok, Pak. T
Aku terus menunduk. Bibirku tak mampu menjawab setiap perkataannya. Air mataku menetes meski sudah ditahan. Beruntung, area itu tidak terlalu ramai, jadi aku tidak terlalu malu.Aku merasa bersalah. Aku tahu maksud Papa baik. Dia hanya ingin menjaga apa yang sudah menjadi milikku."Maafin Erika, Pa." Aku mengangkat wajah. Menggigit sedikit bibirku untuk menahan isak. "Erika janji, akan segera menyelesaikan skripsi."Papa menghampiriku, lalu memelukku erat. Aku bisa merasakan kasih sayangnya yang dalam lewat tangannya yang mengelus rambutku."Erika... Papa sayang sama kamu. Papa nggak mau, mereka menyingkirkanmu karena dianggap tidak berguna."Aku menangis dalam pelukan Papa. Hatiku rasanya hancur dan sedikit menyesal. Saat itu, otakku benar-benar tidak bisa dipaksa belajar suatu hal yang tidak aku suka.Sejak semester satu, aku jarang mengikuti mata kuliah dengan benar. Itu sebabnya, sekarang aku mengalami kesulitan saat menyusun skripsi."Erika akan berusaha biar nggak ngecewain Papa
Seketika tubuhku membeku saat Dita berhenti di depan sebuah tempat. Dalam batinku berkata, 'Salon? Seumur hidup aku belum pernah ke tempat seperti ini.'Dita terus tersenyum, menatap ke dalam salon lalu kembali ke arahku. "Kok bengong aja? Ayo masuk!"Dita kembali menarik tanganku, membuka pintu kaca. Aroma dari treatment serta parfum khas wanita langsung menyergap hidungku saat kami melangkah masuk.Seorang terapis mendekati kami. "Selamat datang... mau perawatan apa, Kak?"Dita mendorongku pelan. "Buat dia jadi cantik."Tubuhku menjadi kaku lalu berbalik dengan spontan. "Dita, Lo mau apain gue?""Gue mau buat Lo, terlihat beda hari ini.""Buat apa?""Ya buat goda Pak Jefri lah," jawabnya santai. Ia memaksa membalik badanku, lalu mendorong tubuhku kembali seakan diserahkan kepada terapis.Namun tubuhku terus menolak. Aku berbalik dan kembali pada Dita, seperti anak kecil yang ketakutan. "Jangan gila, Dit! Kenapa gue harus rayu pak Jefri? Lo tau banget, gue benci sama dia."Para wanit
"Dita!" teriakku. "Gila Lo ya!" Mataku membelalak sambil mendorong piring croissant di depanku. "Lo baru aja cemburu hanya karena gue mimpi begituan sama Pak Jefri. Sekarang malah nyuruh gue tidur beneran?!"Dita menggaruk kepalanya, seolah ikut frustasi. "Ya... habisnya Lo susah banget ngajuin skripsi doang. Coba aja kalau nulis fiksi. Sehari bisa beribu kata?!" Raut wajahnya tegang dengan mata melotot.Aku mengangkat kedua kaki ke kursi, lalu bersila. "Ya beda lah." Aku mengaduk-aduk es kopi dengan wajah cemberut. "Gue kan nggak pernah suka sama bisnis. Tapi bokap gue maksa. Makanya otak gue buntu."Dita menyilangkan tangannya di dada. Dia menatapku sinis, tatapan yang sama persis dengan yang selalu kuterima dari Mama dan Papaku. "Gue heran deh sama Lo, Er." Ia menarik napas dalam, seolah sedang bersiap menyanyikan lagu. "Hidup Lo itu uda dibuat nyaman sama bonyok Lo, Er. Tapi Lo malah menyesatkan diri dengan menjadi penulis.""Itu namanya passion, Dita..." tegasku sambil menyedot
Teleponnya dimatikan begitu saja oleh Papa. Aku semakin syok dengan ancaman terakhirnya."Apa? Dinikahkan? Wahh... Penuh kejutan banget, ya, si Darman!"Itu nama Papaku, Darman Dwi Atmaja. Seorang pengusaha sukses di bidang kuliner. Dan aku, adalah pewaris tunggalnya. Tapi sedikitpun, aku tak tertarik terjun ke dunia bisnisnya. Itu sebabnya Papa selalu marah.Aku menghela napas berat, lalu melanjutkan langkahku yang tak bersemangat.Orang-orang di sekitarku mulai memandang dan berbisik. Entah apa yang mereka gosipkan. Karena aku menangis, atau karena penampilanku yang kacau seperti sumo?Entahlah. Aku memilih cuek seperti biasa, lalu bergegas menuju tempat parkir—menaiki motor listrik kesayanganku ini menuju mall Sadewa.Sesampainya di mall, aku berdiri di depan kafe sambil menelpon Dita."Halo, Dit. Di mana Lo? Gue udah di depan kafe, nih.""Halo... Gue juga udah nungguin Lo di depan. Kok gue gak liat Ello, sih."Dahiku mengernyit, kepalaku berputar ke segala arah mencari keberadaan
Aku melirik sudut kamar mandi. Di sana teronggok tumpukan pakaian kotor. Mungkin aku terlalu stress, sampai lupa mencuci baju. Apartemenku kini benar-benar kacau, bagai kapal pecah."Ughhh... Apa yang harus kupakai?"Aku terkulai di lantai dengan putus asa. Satu-satunya celana yang kupunya hanyalah hotpants yang sedang aku kenakan."Haruskah aku batalkan bimbingan? Tapi... Bagaimana kalau aku gak lulus lagi?"Aku mengacak-acak rambut, merasa sangat frustasi. "Aargghh... Aku tidak mau. Aku bisa dibunuh Papa kalau gak lulus tahun ini..."Tiba-tiba sebuah ide muncul. Aku bangkit, kembali mengacak-acak isi lemari yang tersisa.Mataku berbinar saat menemukan jaket pendek sepusar berbahan kulit sintesis. Aku segera memakainya dengan cepat, lalu menyampirkan kemejaku ke pinggang. Ya... Setidaknya itu bisa menutupi sedikit pahaku.Bagaimanapun juga, aku tidak mau menjadi sasaran pemuas nafsu si dosen killer itu.Aku hanya merapikan rambutku yang ikal sepinggang ini dengan tangan, lalu mengg