Home / Romansa / DOSEN KILLER: Skripsi Berbuah Cinta / BAB 3 SOLUSI YANG MENYESATKAN

Share

BAB 3 SOLUSI YANG MENYESATKAN

last update Last Updated: 2025-09-02 09:38:19

Teleponnya dimatikan begitu saja oleh Papa. Aku semakin syok dengan ancaman terakhirnya.

"Apa? Dinikahkan? Wahh... Penuh kejutan banget, ya, si Darman!"

Itu nama Papaku, Darman Dwi Atmaja. Seorang pengusaha sukses di bidang kuliner. Dan aku, adalah pewaris tunggalnya. Tapi sedikitpun, aku tak tertarik terjun ke dunia bisnisnya. Itu sebabnya Papa selalu marah.

Aku menghela napas berat, lalu melanjutkan langkahku yang tak bersemangat.

Orang-orang di sekitarku mulai memandang dan berbisik. Entah apa yang mereka gosipkan. Karena aku menangis, atau karena penampilanku yang kacau seperti sumo?

Entahlah. Aku memilih cuek seperti biasa, lalu bergegas menuju tempat parkir—menaiki motor listrik kesayanganku ini menuju mall Sadewa.

Sesampainya di mall, aku berdiri di depan kafe sambil menelpon Dita.

"Halo, Dit. Di mana Lo? Gue udah di depan kafe, nih."

"Halo... Gue juga udah nungguin Lo di depan. Kok gue gak liat Ello, sih."

Dahiku mengernyit, kepalaku berputar ke segala arah mencari keberadaan Dita. Tidak banyak orang yang berlalu lalang di tempat itu, hingga dengan mudah aku melihatnya. Gila! Ternyata dia di belakangku, tapi sama sekali tidak menyadari keberadaanku?

"Dit!" panggilku, masih menempelkan ponsel di telinga.

Dita menoleh, tapi langsung membuang muka setelah sempat mengernyitkan dahinya saat melihatku.

Aku menghampirinya, menepuk bahunya sekali. "Dita! Ini gue."

Dita membalikkan badan. Pandangannya menyapu diriku dari atas sampai bawah. Dahinya berkerut, matanya membelalak seolah tak percaya orang yang berdiri di depannya adalah aku.

"Astaga, Erika?" 

Tuh, kan? Mulai lagi dia lebay. Dia melihatku seperti melihat kuntilanak saja.

"Apaan sih, Dit. Nggak usah terpesona gitu deh. Gue tau cantik. Santai aja, lah..."

"Cantik jidat, Lo!" 

Dia menjitak kepalaku sambil menggigit bibirnya. Heran. Gemes banget, sih. Apa iya, aku selucu itu?

"Aauu! Sakit tahu!" jeritku sambil memegang kepala.

"Biarin! Lagian Lo jorok banget. Mandi nggak, sih?"

Aku menyeringai sambil menggaruk kepala. "Mandi, kok."

"Kapan?"

Aku mencoba mengingat sejenak. Kapan tepatnya terakhir kali aku mandi. "Eemm... Kayaknya, dua hari yang lalu," jawabku sambil tertawa garing.

"Astaga... Pantes aja Pak Jefri kabur. Pasti ilfeel dia sama Lo."

"Tau ah. Gue haus. Mana meja Lo?" Mataku menyapa segala area di dalam kafe itu. 

"Di sana." Dita menunjuk meja tempatnya duduk.

Kafe itu cukup tenang. Tidak terlalu berisik seperti di luar. Aku bisa mencium aroma kue panggang yang menggelitik hidung. Segelas es kopi latte sudah tersedia di meja. Baunya menyeruak, membuatku tah tahan untuk segera menikmatinya.

Gleg... Gleg...

Aku menyeruput es itu perlahan, hingga dinginnya mengalir melewati tenggorokanku yang kering.

"Ah... segarnya. Kopi ini memang nikmat." Aku tersenyum puas sambil menggenggam tangan Dita. "Makasih, Dit. Ello emang sahabat gue ter-the best."

"Emang Lo punya sahabat lain selain gue?"

Aku menggeleng sambil menyeruput es itu lagi. Dari kerutan di mataku, Dita pasti tahu aku sedang tersenyum.

"Eh... Gimana tadi ceritanya soal skripsi Lo?"

Aku menghembuskan napas berat. Bibirku mencibir. Tanganku mengaduk-aduk es itu dengan sedotan.

"Pak Jefri nggak mau nungguin karena gue telat dateng."

Mata Dita membelalak. Ia menyeret kursinya lebih dekat denganku. "Hah! Kok bisa? Emang Lo ngapain? Pasti sibuk nulis, ya?"

Hal yang sama ku lakukan setelah meletakkan gelas kopi di meja—menyeret kursiku lebih dekat. Tangan kami bertumpu di atas meja, posisi siap bergosip.

"Gue ketiduran. Dan sialnya lagi..." Aku merapatkan kepala ke dekat Dita. Mataku melirik sekitar sebelum berbisik. "Gue mimpi begituan sama Pak Jefri."

"Apa?!" teriak Dita seketika. Mulutnya mengaga. Tubuhnya membeku seperti pahatan patung es. "Nggak mungkin. Gue setiap hari berharap mimpi begituan sama Pak Jefri, tapi malah Lo yang dapet?"

Aku menggeprak tangan Dita, berharap dia mengecilkan volume suaranya. "Kecilin suara Lo, Dit!"

Dita terlihat kesal. Ia tak mau melihatku. Bibirnya manyun seperti tersengat lebah. "Gue benci sama Lo. Tega Lo dahuluin gue, Er."

"Anjrit Lo! Lo pikir gue mau banget mimpi begitu sama dia? Bayangin muka dia aja gue gak Sudi."

Aku memotong croissant dengan gerakan kasar, lalu melahapnya. 

"Hati-hati Lo kalau bicara. Awas aja nanti Lo malah suka sama Pak Jefri," ujar Dita.

Kata-kata yang keluar dari mulutnya itu bagai sumpah serapah yang membuat bulu kudukku berdiri.

"Amit-amit cabang bayi..." Aku mengetuk keningku beberapa kali, berharap ucapan Dita tak pernah terjadi. "Cuma cewek begok yang suka sama dia."

"Jadi Lo ngatain gue begok?" balas Dita tersulut. 

"Nggak... Bukan Lo. Maksud gue, cewek lain." Aku menyeringai, berusaha memasang wajah imut agar Dita tak marah. 

Wajah Dita ditekuk. Dia memandangku sinis. Tapi aku tahu, kekesalannya itu hanya sesaat.

"Jangan marah, dong. Gue butuh bantuan Ello, nih." Aku kembali menggenggam tangannya, berharap wajah bete-nya itu segera sirna.

"Bantuan apa?!" Nada suara Dita masih jutek. Meski begitu, aku tahu dia masih peduli.

"Bokap mau ngawinin gue."

"Apa?!" Dita berteriak. Matanya melotot, dia sampai tak jadi minum gara-gara kalimatku barusan.

Pengunjung lain di kafe itu mulai melirik kami. Tak sedikit yang berbisik lalu tertawa geli.

"Ssttt... Kecilin suara Lo," bisikku, merasa malu. Aku tak suka menjadi pusat perhatian.

"Sorry sorry..." Dita mencondongkan tubuhnya. Kepala kami hampir menyatu di atas meja. "Lo beneran mau dikawinin? Kenapa?" bisiknya tak percaya.

Aku menyender ke kursi. Wajahku sekarang sudah super melas. Seperti anak ayam kehilangan induknya.

"Karena gue nggak lulus-lulus..."

Dita mengangkat ujung bibirnya. Dia menghela napas berat seakan kecewa. 

Aku menggenggam tangannya lagi. Berharap Dita akan punya solusi dari masalahku yang berat ini. "Dit... Bantuin gue, dong. Apa yang harus gue lakuin biar Pak Jefri cepat ACC skripsi gue."

Dita melepas tanganku kasar. Dia mengambil gelas kopi di meja, lalu menyenderkan tubuhnya di kursi.

"Tidur aja sama dia," jawabnya santai, membuang muka sambil menyedot es di tangannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DOSEN KILLER: Skripsi Berbuah Cinta   BAB 70 HANYA TEMAN TIDUR (21+)

    Sambil meremas payudaraku, bibir pak Jefri masih terus mengecup area tengkuk hingga ke bahuku.Aku yang semula tidak suka dengan sikap kasarnya ini, lama-lama ikut menikmatinya. Apa lagi saat jenggot halusnya menggelitik kulit bagian belakangku. Aku jadi terangsang dan basah."Bapak anggap saya apa?" tanyaku, dengan napas yang mulai tidak stabil.Tangan pak Jefri mulai menurunkan celana dalamku, namun ia masih meninggalkan rok pendek plisket yang kupakai.Ia semakin mendorongku ke jendela kaca, lalu mengangkat sebelah kakiku—berselendang di lengannya yang berotot."Kamu hanya teman tidur, tapi saya tidak suka melihatmu dengan pria lain," bisiknya dengan suara berat.Kemudian, ia mulai memasukkan batang keperkasaannya lewat belakang—membuat tubuhku seketika tersentak."Ah!"Penis besarnya mulai memasuki rongga vaginaku yang becek karena rangsangannya."Aahh.... Hah!" desahku bercampur napas memburu. "Bapak nggak bisa seenaknya."Aku berusaha menahan sodokannya dengan satu kaki yang be

  • DOSEN KILLER: Skripsi Berbuah Cinta   BAB 69 DOMINASI PAK JEFRI

    "Apa-apaan sih, Pak?!" teriakku sambil mendorongnya. "Saya ke sini untuk bimbingan, bukan untuk melayani nafsu Bapak!"Aku segera balik badan dan membuka pintu untuk keluar. Namun pak Jefri kembali datang dan langsung menimang tubuhku."Lepasin! Bapak mau apa, sih?!" bentakku sambil memukul dadanya yang bidang.Aku masih kesal karena dia mengabaikanku di mall tadi. Sikapnya benar-benar acuh seolah membuangku begitu saja.Tapi apa yang dia lakukan sekarang?Pak Jefri menatapku dengan matanya yang merah padam. Raut wajahnya terlihat marah besar. "Kamu sengaja ingin membuat saya cemburu?"Aku tersenyum miring, lalu menjawabnya dengan nada sinis. "Buat apa? Kita nggak ada hubungan apapun."Sebelumnya aku memang sengaja ingin memancing reaksinya, saat mengakui Roy sebagai pacarku. Tapi ternyata dia tidak peduli.Aku tidak menyangka sekarang dia benar-benar terpancing, saat melihatku bergandengan dengan Roy di mall tadi."Kamu pernah bilang tidak pacaran sama DJ itu. Lantas... kenapa sekara

  • DOSEN KILLER: Skripsi Berbuah Cinta   BAB 68 KEPERGOK

    Pak Jefri. Ia berdiri dengan badan tegap dan raut wajah dingin—sedang menatapku sinis."Pak Jefri?" gumamku sambil terus berjalan.Roy semakin berjalan cepat, menggandeng tanganku sambil melewati pak Jefri begitu saja. Ia berjalan menunduk, itu sebabnya tidak melihat dosenku yang sedang berdiri di dekat pintu.Mata pak Jefri terus mengikuti langkahku bersama Roy. Tatapan kami bahkan sempat saling bertabrakan. Ia masih mematung saat aku melewatinya. Tapi aku tahu, dari raut wajahnya ia terlihat tidak suka.Kenapa? Mungkinkah dia cemburu, atau... aku saja yang terlalu geer?Saat kami sampai di parkiran valley, aku sempat melirik ke dalam mall. Pak Jefri terlihat masuk kembali ke dalam sambil menempelkan ponsel di telinganya."Erika... Maaf, ya. Kamu pasti kaget," ucap Roy sambil membuka pintu mobil."Nggak apa-apa, kok. Itu adalah resiko jalan sama kamu," sahutku sambil tersenyum lebar.Meski dalam hatiku terlintas perasaan khawatir. Bukan karena serangan dari para wartawan itu. Melaink

  • DOSEN KILLER: Skripsi Berbuah Cinta   BAB 67 PLAYBOY BERHATI TULUS

    "Roy... Kenapa bisa begitu?" tanyaku dengan kening berkerut.Selama ini aku hanya percaya dengan omongan Dita yang mengatakan bahwa, Roy adalah pria playboy dan gila seks.Bahkan aku masih meyakini itu saat menangkap basah Roy, yang tengah menggenjot seorang wanita di club tempo hari.Lalu benarkah apa yang baru saja aku dengar? Dia berimajinasi setiap wanita yang tidur bersamanya adalah aku."Lantas, apa kamu pikir aku bisa dengan mudahnya meniduri pelacur itu?!" jawabnya dengan tekanan tinggi.Tubuhku menegang mendengar jawabannya. Mataku membulat, nafasku terasa terhenti karena syok."Pelacur? Jadi... Mereka itu bukan pacar-pacar kamu?"Roy menghela napas panjang, lalu menunduk seperti menahan sedih. "Aku nggak pernah meniduri wanita yang sama, lebih dari satu kali. Karena aku nggak mau punya hubungan spesial, kecuali teman tidur," bisiknya.Ia mengangkat wajah, lalu menatapku dalam dengan mata yang sendu. "Dan aku melakukan itu... Hanya di saat aku sangat merindukanmu, Erika."Prin

  • DOSEN KILLER: Skripsi Berbuah Cinta   BAB 66 CERITA DI MASA LALU

    "Erika!" Suara Roy tiba-tiba terdengar di belakangku. Aku langsung menoleh. "Roy. Kok kamu ke sini?""Kamu lama banget," jawabnya sambil berjalan cepat menghampiriku. "Aku sudah telpon kamu berkali-kali tapi nggak diangkat."Ia berhenti di hadapanku, lalu membuang napas panjang, "Aku khawatir. Makanya nyariin kamu."Aku mengeluarkan ponsel dalam tas, lalu mengeceknya. Benar, ternyata Roy sudah menelponku berkali-kali. Tapi aku tidak sadar karena sibuk menghadapi si dosen killer itu."Sorry ya, aku tadi sedang diskusi sama pak Jefri. Jadi nggak denger kalau ada telepon."Roy tersenyum lebar, lalu menggandeng kembali tanganku. "Ya udah. Ayo kita kembali ke restoran.""Roy. Emang harus begini?" tanyaku sambil menatap genggaman tangannya.Roy menyeretku hingga menempel di bahunya. "Cuma gandeng tangan kamu aja."Tatapan matanya hangat dan sangat menyentuh. "Aku tahu kamu belum bisa membalas perasaanku. Tapi setidaknya... tolong buka sedikit hatimu untukku."Aku jadi terenyuh dengan kata-

  • DOSEN KILLER: Skripsi Berbuah Cinta   BAB 65 LAKI-LAKI BANGSAT!

    Seketika aku langsung menutup bibirku dengan tangan. Jangan sampai pak Jefri melakukan apa yang aku pikirkan barusan. Apalagi sampai menelanjangiku di tempat ini."Apa Bapak pikir saya semurah itu?!" bentakku, mencoba jual mahal.Ia kembali menyeringai sambil membuang muka, lalu kembali menatapku tajam. "Kamu lupa siapa yang mulai mencium duluan?"Aku menelan ludah karena mengingat masa itu. Memang iya aku yang menciumnya duluan. Apa sekarang dia menganggapku wanita murahan? Dia bahkan sudah berhasil meniduriku beberapa kali tanpa paksaan.Semua ini gara-gara Dita. Dia yang menyuruhku untuk merayu pak Jefri. Dan sekarang aku justru terjebak dalam pesonanya yang menenggelamkan."Lantas! Bapak mau apa?!" tanyaku dengan nada tinggi.Perlahan... ia semakin mendekatkan wajahnya hingga hampir menciumku. "Kamu mengejar saya karena rindu, kan?" bisiknya, lalu mengawasi sekeliling. "Tempat ini lumayan juga. Bagaimana kalau kita...""B-bapak jangan gila! Pacar saya masih menunggu di restoran!"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status