Teleponnya dimatikan begitu saja oleh Papa. Aku semakin syok dengan ancaman terakhirnya.
"Apa? Dinikahkan? Wahh... Penuh kejutan banget, ya, si Darman!"
Itu nama Papaku, Darman Dwi Atmaja. Seorang pengusaha sukses di bidang kuliner. Dan aku, adalah pewaris tunggalnya. Tapi sedikitpun, aku tak tertarik terjun ke dunia bisnisnya. Itu sebabnya Papa selalu marah.
Aku menghela napas berat, lalu melanjutkan langkahku yang tak bersemangat.
Orang-orang di sekitarku mulai memandang dan berbisik. Entah apa yang mereka gosipkan. Karena aku menangis, atau karena penampilanku yang kacau seperti sumo?
Entahlah. Aku memilih cuek seperti biasa, lalu bergegas menuju tempat parkir—menaiki motor listrik kesayanganku ini menuju mall Sadewa.
Sesampainya di mall, aku berdiri di depan kafe sambil menelpon Dita.
"Halo, Dit. Di mana Lo? Gue udah di depan kafe, nih."
"Halo... Gue juga udah nungguin Lo di depan. Kok gue gak liat Ello, sih."
Dahiku mengernyit, kepalaku berputar ke segala arah mencari keberadaan Dita. Tidak banyak orang yang berlalu lalang di tempat itu, hingga dengan mudah aku melihatnya. Gila! Ternyata dia di belakangku, tapi sama sekali tidak menyadari keberadaanku?
"Dit!" panggilku, masih menempelkan ponsel di telinga.
Dita menoleh, tapi langsung membuang muka setelah sempat mengernyitkan dahinya saat melihatku.
Aku menghampirinya, menepuk bahunya sekali. "Dita! Ini gue."
Dita membalikkan badan. Pandangannya menyapu diriku dari atas sampai bawah. Dahinya berkerut, matanya membelalak seolah tak percaya orang yang berdiri di depannya adalah aku.
"Astaga, Erika?"
Tuh, kan? Mulai lagi dia lebay. Dia melihatku seperti melihat kuntilanak saja.
"Apaan sih, Dit. Nggak usah terpesona gitu deh. Gue tau cantik. Santai aja, lah..."
"Cantik jidat, Lo!"
Dia menjitak kepalaku sambil menggigit bibirnya. Heran. Gemes banget, sih. Apa iya, aku selucu itu?
"Aauu! Sakit tahu!" jeritku sambil memegang kepala.
"Biarin! Lagian Lo jorok banget. Mandi nggak, sih?"
Aku menyeringai sambil menggaruk kepala. "Mandi, kok."
"Kapan?"
Aku mencoba mengingat sejenak. Kapan tepatnya terakhir kali aku mandi. "Eemm... Kayaknya, dua hari yang lalu," jawabku sambil tertawa garing.
"Astaga... Pantes aja Pak Jefri kabur. Pasti ilfeel dia sama Lo."
"Tau ah. Gue haus. Mana meja Lo?" Mataku menyapa segala area di dalam kafe itu.
"Di sana." Dita menunjuk meja tempatnya duduk.
Kafe itu cukup tenang. Tidak terlalu berisik seperti di luar. Aku bisa mencium aroma kue panggang yang menggelitik hidung. Segelas es kopi latte sudah tersedia di meja. Baunya menyeruak, membuatku tah tahan untuk segera menikmatinya.
Gleg... Gleg...
Aku menyeruput es itu perlahan, hingga dinginnya mengalir melewati tenggorokanku yang kering.
"Ah... segarnya. Kopi ini memang nikmat." Aku tersenyum puas sambil menggenggam tangan Dita. "Makasih, Dit. Ello emang sahabat gue ter-the best."
"Emang Lo punya sahabat lain selain gue?"
Aku menggeleng sambil menyeruput es itu lagi. Dari kerutan di mataku, Dita pasti tahu aku sedang tersenyum.
"Eh... Gimana tadi ceritanya soal skripsi Lo?"
Aku menghembuskan napas berat. Bibirku mencibir. Tanganku mengaduk-aduk es itu dengan sedotan.
"Pak Jefri nggak mau nungguin karena gue telat dateng."
Mata Dita membelalak. Ia menyeret kursinya lebih dekat denganku. "Hah! Kok bisa? Emang Lo ngapain? Pasti sibuk nulis, ya?"
Hal yang sama ku lakukan setelah meletakkan gelas kopi di meja—menyeret kursiku lebih dekat. Tangan kami bertumpu di atas meja, posisi siap bergosip.
"Gue ketiduran. Dan sialnya lagi..." Aku merapatkan kepala ke dekat Dita. Mataku melirik sekitar sebelum berbisik. "Gue mimpi begituan sama Pak Jefri."
"Apa?!" teriak Dita seketika. Mulutnya mengaga. Tubuhnya membeku seperti pahatan patung es. "Nggak mungkin. Gue setiap hari berharap mimpi begituan sama Pak Jefri, tapi malah Lo yang dapet?"
Aku menggeprak tangan Dita, berharap dia mengecilkan volume suaranya. "Kecilin suara Lo, Dit!"
Dita terlihat kesal. Ia tak mau melihatku. Bibirnya manyun seperti tersengat lebah. "Gue benci sama Lo. Tega Lo dahuluin gue, Er."
"Anjrit Lo! Lo pikir gue mau banget mimpi begitu sama dia? Bayangin muka dia aja gue gak Sudi."
Aku memotong croissant dengan gerakan kasar, lalu melahapnya.
"Hati-hati Lo kalau bicara. Awas aja nanti Lo malah suka sama Pak Jefri," ujar Dita.
Kata-kata yang keluar dari mulutnya itu bagai sumpah serapah yang membuat bulu kudukku berdiri.
"Amit-amit cabang bayi..." Aku mengetuk keningku beberapa kali, berharap ucapan Dita tak pernah terjadi. "Cuma cewek begok yang suka sama dia."
"Jadi Lo ngatain gue begok?" balas Dita tersulut.
"Nggak... Bukan Lo. Maksud gue, cewek lain." Aku menyeringai, berusaha memasang wajah imut agar Dita tak marah.
Wajah Dita ditekuk. Dia memandangku sinis. Tapi aku tahu, kekesalannya itu hanya sesaat.
"Jangan marah, dong. Gue butuh bantuan Ello, nih." Aku kembali menggenggam tangannya, berharap wajah bete-nya itu segera sirna.
"Bantuan apa?!" Nada suara Dita masih jutek. Meski begitu, aku tahu dia masih peduli.
"Bokap mau ngawinin gue."
"Apa?!" Dita berteriak. Matanya melotot, dia sampai tak jadi minum gara-gara kalimatku barusan.
Pengunjung lain di kafe itu mulai melirik kami. Tak sedikit yang berbisik lalu tertawa geli.
"Ssttt... Kecilin suara Lo," bisikku, merasa malu. Aku tak suka menjadi pusat perhatian.
"Sorry sorry..." Dita mencondongkan tubuhnya. Kepala kami hampir menyatu di atas meja. "Lo beneran mau dikawinin? Kenapa?" bisiknya tak percaya.
Aku menyender ke kursi. Wajahku sekarang sudah super melas. Seperti anak ayam kehilangan induknya.
"Karena gue nggak lulus-lulus..."
Dita mengangkat ujung bibirnya. Dia menghela napas berat seakan kecewa.
Aku menggenggam tangannya lagi. Berharap Dita akan punya solusi dari masalahku yang berat ini. "Dit... Bantuin gue, dong. Apa yang harus gue lakuin biar Pak Jefri cepat ACC skripsi gue."
Dita melepas tanganku kasar. Dia mengambil gelas kopi di meja, lalu menyenderkan tubuhnya di kursi.
"Tidur aja sama dia," jawabnya santai, membuang muka sambil menyedot es di tangannya.
"Astaga! Pak Jefri liat aku nggak, ya?"Aku berjalan cepat menuju ruang tamu dengan napas tersengal-sengal. Lalu duduk sambil merapatkan bagian sensitif ku yang masih berdenyut."Perasaan macam apa ini? Kenapa aku—""Erika?" potong Pak Jefri. Ia tiba-tiba datang berjalan ke arahku. Sekarang sudah mengenakan piyama berbahan sutra dengan warna merah maroon. Kancing bagian atasnya terbuka, memperlihatkan otot dadanya yang bidang.Kain sutra yang dipakainya menari indah, mengikuti bentuk tubuhnya yang tegap."Pak..." Aku mengangguk sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang masih bertahan.Tanganku masih meremas daerah selangkangan yang basah dan berdenyut.Sensasi apa ini? Aku tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Tapi sekarang?Kenapa hanya dengan melihat kain sutra yang menempel di tonjolan Pak Jefri membuatku deg-degan? Rasanya... Aku ingin sesuatu menggelitik bagian bawahku."Kamu sudah dari tadi?" tanya Pak Jefri sambil duduk di sampingku."Baru saja kok, Pak. T
Aku terus menunduk. Bibirku tak mampu menjawab setiap perkataannya. Air mataku menetes meski sudah ditahan. Beruntung, area itu tidak terlalu ramai, jadi aku tidak terlalu malu.Aku merasa bersalah. Aku tahu maksud Papa baik. Dia hanya ingin menjaga apa yang sudah menjadi milikku."Maafin Erika, Pa." Aku mengangkat wajah. Menggigit sedikit bibirku untuk menahan isak. "Erika janji, akan segera menyelesaikan skripsi."Papa menghampiriku, lalu memelukku erat. Aku bisa merasakan kasih sayangnya yang dalam lewat tangannya yang mengelus rambutku."Erika... Papa sayang sama kamu. Papa nggak mau, mereka menyingkirkanmu karena dianggap tidak berguna."Aku menangis dalam pelukan Papa. Hatiku rasanya hancur dan sedikit menyesal. Saat itu, otakku benar-benar tidak bisa dipaksa belajar suatu hal yang tidak aku suka.Sejak semester satu, aku jarang mengikuti mata kuliah dengan benar. Itu sebabnya, sekarang aku mengalami kesulitan saat menyusun skripsi."Erika akan berusaha biar nggak ngecewain Papa
Seketika tubuhku membeku saat Dita berhenti di depan sebuah tempat. Dalam batinku berkata, 'Salon? Seumur hidup aku belum pernah ke tempat seperti ini.'Dita terus tersenyum, menatap ke dalam salon lalu kembali ke arahku. "Kok bengong aja? Ayo masuk!"Dita kembali menarik tanganku, membuka pintu kaca. Aroma dari treatment serta parfum khas wanita langsung menyergap hidungku saat kami melangkah masuk.Seorang terapis mendekati kami. "Selamat datang... mau perawatan apa, Kak?"Dita mendorongku pelan. "Buat dia jadi cantik."Tubuhku menjadi kaku lalu berbalik dengan spontan. "Dita, Lo mau apain gue?""Gue mau buat Lo, terlihat beda hari ini.""Buat apa?""Ya buat goda Pak Jefri lah," jawabnya santai. Ia memaksa membalik badanku, lalu mendorong tubuhku kembali seakan diserahkan kepada terapis.Namun tubuhku terus menolak. Aku berbalik dan kembali pada Dita, seperti anak kecil yang ketakutan. "Jangan gila, Dit! Kenapa gue harus rayu pak Jefri? Lo tau banget, gue benci sama dia."Para wanit
"Dita!" teriakku. "Gila Lo ya!" Mataku membelalak sambil mendorong piring croissant di depanku. "Lo baru aja cemburu hanya karena gue mimpi begituan sama Pak Jefri. Sekarang malah nyuruh gue tidur beneran?!"Dita menggaruk kepalanya, seolah ikut frustasi. "Ya... habisnya Lo susah banget ngajuin skripsi doang. Coba aja kalau nulis fiksi. Sehari bisa beribu kata?!" Raut wajahnya tegang dengan mata melotot.Aku mengangkat kedua kaki ke kursi, lalu bersila. "Ya beda lah." Aku mengaduk-aduk es kopi dengan wajah cemberut. "Gue kan nggak pernah suka sama bisnis. Tapi bokap gue maksa. Makanya otak gue buntu."Dita menyilangkan tangannya di dada. Dia menatapku sinis, tatapan yang sama persis dengan yang selalu kuterima dari Mama dan Papaku. "Gue heran deh sama Lo, Er." Ia menarik napas dalam, seolah sedang bersiap menyanyikan lagu. "Hidup Lo itu uda dibuat nyaman sama bonyok Lo, Er. Tapi Lo malah menyesatkan diri dengan menjadi penulis.""Itu namanya passion, Dita..." tegasku sambil menyedot
Teleponnya dimatikan begitu saja oleh Papa. Aku semakin syok dengan ancaman terakhirnya."Apa? Dinikahkan? Wahh... Penuh kejutan banget, ya, si Darman!"Itu nama Papaku, Darman Dwi Atmaja. Seorang pengusaha sukses di bidang kuliner. Dan aku, adalah pewaris tunggalnya. Tapi sedikitpun, aku tak tertarik terjun ke dunia bisnisnya. Itu sebabnya Papa selalu marah.Aku menghela napas berat, lalu melanjutkan langkahku yang tak bersemangat.Orang-orang di sekitarku mulai memandang dan berbisik. Entah apa yang mereka gosipkan. Karena aku menangis, atau karena penampilanku yang kacau seperti sumo?Entahlah. Aku memilih cuek seperti biasa, lalu bergegas menuju tempat parkir—menaiki motor listrik kesayanganku ini menuju mall Sadewa.Sesampainya di mall, aku berdiri di depan kafe sambil menelpon Dita."Halo, Dit. Di mana Lo? Gue udah di depan kafe, nih.""Halo... Gue juga udah nungguin Lo di depan. Kok gue gak liat Ello, sih."Dahiku mengernyit, kepalaku berputar ke segala arah mencari keberadaan
Aku melirik sudut kamar mandi. Di sana teronggok tumpukan pakaian kotor. Mungkin aku terlalu stress, sampai lupa mencuci baju. Apartemenku kini benar-benar kacau, bagai kapal pecah."Ughhh... Apa yang harus kupakai?"Aku terkulai di lantai dengan putus asa. Satu-satunya celana yang kupunya hanyalah hotpants yang sedang aku kenakan."Haruskah aku batalkan bimbingan? Tapi... Bagaimana kalau aku gak lulus lagi?"Aku mengacak-acak rambut, merasa sangat frustasi. "Aargghh... Aku tidak mau. Aku bisa dibunuh Papa kalau gak lulus tahun ini..."Tiba-tiba sebuah ide muncul. Aku bangkit, kembali mengacak-acak isi lemari yang tersisa.Mataku berbinar saat menemukan jaket pendek sepusar berbahan kulit sintesis. Aku segera memakainya dengan cepat, lalu menyampirkan kemejaku ke pinggang. Ya... Setidaknya itu bisa menutupi sedikit pahaku.Bagaimanapun juga, aku tidak mau menjadi sasaran pemuas nafsu si dosen killer itu.Aku hanya merapikan rambutku yang ikal sepinggang ini dengan tangan, lalu mengg