"Aku kira kamu membenciku."Keduanya saling beradu tatap, hanya saja Deo tetap diam seperti enggan mengeluarkan suara atas pertanyaan Naren barusan. Naren menunggu dengan sabar dan berharap bahwa mantan kekasihnya itu mau menceritakan alasan yang sebenarnya mereka bisa berpisah bahkan menjadi orang yang sangat asing saat ini. Sayangnya Deo tetap bungkam sampai dua waiters pria dan wanita menghampiri meja mereka berdua. Waiters tersebut menaruh makanan yang telah dipesan di hadapan Naren dan juga Deo. Naren memutar bola matanya kesal, disaat yang ia tunggu-tunggu sudah sedikit lagi akan tercapai, tetapi dia harus menundanya lagi entah sampai kapan. Naren turut diam, dia mengambil garpu dan pisau daging. Untuk yang pertama kalinya, Naren masih kesulitan memotong daging steak yang cukup tebal ini. Naren melirik kesekitar dan mempelajari cara memotong daging dengan melihat orang-orang disekitarnya. "Ini."Tiba-tiba Deo menarik paksa piring Naren dan menggantinya dengan milik Deo. Naren
"Sebenarnya kita mau ke mana, Pak Deo?" Naren memegang erat seatbeltnya. Dia duduk tepat di samping Deo yang sedang menyetir. Naren tidak berani memandang pria di sebelahnya, Naren sedang berdoa supaya Deo tidak berbuat macam-macam dengannya. Deo pun tidak bicara apapun, pria itu sangat fokus dengan jalanan di depannya. Naren melirik sekilas, tatapan Deo yang tegas dan tajam membuatnya merinding. Deo seperti ingin berbuat sesuatu padanya. Apa mungkin ini balasan aku tidak membalas pesannya dan lalai dari pekerjaanku?Hatinya tidak tenang, pikirannya melanglang buana memikirkan kemungkinan yang akan terjadi. Deo yang Naren kenal sekarang adalah orang yang berkuasa, pasti pria itu bisa melakukan apa saja pada Naren. Degup jantung Naren semakin cepat berdetak, dia tidak tahan lagi diabaikan seperti ini oleh Deo dan dia takut karena Deo hanya diam saja. "Sebenarnya kita mau ke mana?" Nada suara Naren mulai kesal, pandangan Deo tetap lurus ke depan bahkan sekedar melirik Naren pun tidak
[Kapan kamu masuk kerja?]Satu pesan masuk di ponsel Naren, membuat sang pemilik jengah setengah mati. Deo terus mengiriminya pesan dengan pertanyaan yang sama. Pria itu yang memberinya izin sampai Naren sembuh, tetapi dia juga yang tidak sabaran agar Naren segera masuk ke kantor. Keinginan Deo sulit sekali ditebak, dia memerintah seenaknya tanpa memikirkan keadaan Naren saat ini. Naren berpikir dia akan diperas tenaganya, mungkin saja Deo ingin membalaskan dendam kepadanya. Dan seharusnya yang membalas dendam itu adalah Naren karena dulu Deo yang meninggalkannya. Naren tidak pernah membalas satu pun pesan dari Deo. Biarlah jika pria itu adalah atasannya, sebagai bos seharusnya Deo tidak bersikap semena-mena seperti itu. Naren akan mencari alasan agar dirinya tidak dimarahi atau mendapat hukuman dari Deo. "Naren," teriak seseorang dari belakangnya. Oh itu Niken yang juga baru sampai di kantor. Setelah tiga hari beristirahat di rumah, Naren merasa lebih baik dan memutuskan untuk mas
Deo berjalan cepat tanpa tentu arah, sedangkan di belakangnya Davin masih diam tidak bertanya apapun pada bosnya itu. Lalu... Tiba-tiba Deo berhenti, dia gelisah seolah-olah ada yang mengusiknya. Dia memandang ke segala arah seperti mencari kepastian, sayangnya dia tidak menemukan jawaban atas hatinya yang saat ini sedang gundah. "Ada apa, Tuan?" tanya Davin memberanikan diri ketika melihat Deo saat ini dengan wajahnya yang merah karena amarah. "Apa kamu tahu kalau Naren telah menikah?" Davin langsung menjawab dengan gelengan kepala."Maaf tidak tahu, Tuan." Deo mengusap wajahnya kasar, dia memukul udara dengan tegas. Kesal di hatinya kian membuncah setelah mengetahui fakta bahwa Naren telah menikah. Hatinya teriris, dia tidak pernah melupakan Naren, wanita itu selalu ada di hatinya dan Deo selalu mencintainya. Tidak ada yang tahu, Deo simpan rapat-rapat perasaannya itu. Deo kembali pun dengan maksud ingin mencari keberadaan Naren. Ada banyak cerita yang tidak pernah Deo kepada s
"Naren?" Naren menoleh ke belakang saat ada seseorang yang memanggil namanya. Naren membulatkan kedua matanya saat tahu siapa orang itu. Dia kikuk sendiri karena pakaiannya yang terbilang tidak cocok untuk bertemu dengan orang itu. "D-deo? Eh Pak Deo?""Sedang apa kamu di sini?" Wajah Deo terlihat panik melihat Naren memakai baju pasien. Deo mendekat dia ingin mengecek kondisi Naren, tetapi Naren mundur beberapa langkah memberi jarak diantara mereka berdua. "Seperti yang Bapak lihat." Naren menunjukkan selang infus di tangannya. "Apa yang terjadi?" Naren mengedipkan kedua matanya, Deo terlalu ingin tahu. Naren tidak nyaman karena ada Davin juga di belakang pria itu. Davin tampak waspada, sepertinya pria itu kebingungan dan menyimpan tanda tanya saat melihat Naren dan Deo seperti orang yang telah lama saling kenal. "Kamu sakit apa?" Deo membuyarkan lamunan Naren, Naren menggaruk tengkuknya dia bingung cara menjelaskannya. "Saya sakit, Pak.""Iya sakit apa?" Deo tidak sabaran, pr
"Sudah gila ya kamu," ucap Bu Ningsih dengan nada tinggi. Sesuai dugaan Naren, bahkan dia sudah bersiap diri untuk dimaki saat masih di rumah. Naren tidak banyak berharap dari keluarga Ryo karena pastinya mereka akan menolak permintaan Naren untuk mengadopsi anak. Naren hanya diam saat ibu mertua melemparinya sendok hingga mengenai pelipisnya. Ryo siap menghadang sayangnya gerakan lebih lambat dari sang ibu. Naren tetap diam, bahkan dia tidak mengeluh dan merintih padahal pelipisnya terluka. Naren sudah terbiasa diperlakukan buruk seperti ini. "Apa-apaan sih, Bu? Jangan sakiti Naren seperti itu!" Ryo tidak terima istrinya terluka, batin dan fisik Naren kini menjadi sasaran keluarga Ryo sendiri. Jika bukan Ryo yang membela Naren, siapa lagi? Karena itulah Ryo mati-matian melindungi sang istri dari keluarganya sendiri. "Mengapa bela istrimu terus?" Ibu Ningsih semakin tidak terima, amarahnya kian membuncah karena Ryo justru membentak ibunya sendiri. "Mulai berani kamu membentak ibu