Hujan yang mengguyur ibukota sejak sore tadi membuat cuaca malam hari lebih dingin dari biasanya.
Suasana romantis tercipta saat sepasang suami istri yang sudah lama tidak bertemu tengah bercumbu hebat di ranjang kamar mereka.Permainan itu sudah berlangsung sejak beberapa menit tadi.Di atas sebuah ranjang berseprai hitam, dua tubuh manusia berlainan jenis itu saling berguling, menindih bergantian dan saling berpagutan satu sama lain.Pakaian atas mereka sudah tanggal sempurna. Namun mereka masih asik dengan pergumulan panas yang panjang.Kerinduan yang tersemat di antara keduanya, menghadirkan sensasi-sensasi liar tak tertahankan dari tiap-tiap sisi tubuh yang disentuh.Foreplay yang dilakukan sang suami terhadap istrinya begitu melenakkan. Membuat sang istri terhanyut dalam permainan dan berharap siksaan kenikmatan itu akan terus bergelung dalam setiap satu kali tarikan napas memancing desahan yang keluar secara alami dari mulut keduanya.Dalam keadaan seperti itu, otak mereka seolah kosong karena yang ada hanyalah keinginan yang begitu besar untuk segera menuntaskan permainan dengan sempurna hingga titik klimaks.Dara hendak menyentuh sesuatu milik sang suami sebagai balasan atas kenikmatan yang telah diberikan sang suami dalam foreplay panjang mereka, sebagai seorang istri dia pun ingin memberikan yang terbaik pada suaminya. Tak ingin egois dengan membiarkan Malik bekerja sendirian.Meski setelahnya, seluruh gairahnya lenyap dalam sekejap mata begitu mengetahui bahwa sang suami masih tetap tak mampu menyelesaikan permainan mereka hingga titik akhir.Bahkan setelah mereka menempuh berbagai cara untuk mengatasi hal ini sampai memutuskan untuk tidak bertemu selama satu bulan agar di pertemuan mereka nanti mereka bisa melalui malam panas yang panjang bersama akibat rindu yang menggebu tak tertahankan.Tapi sial bagi Dara, ternyata, mau seperti apapun mereka berusaha, Malik tetap lelaki lemah yang tak mampu membuatnya benar-benar puas."Cukup Mas!" ucap Dara dengan suara dingin saat Malik masih sibuk dengan aktifitasnya di atas tubuh sang istri.Malik menatap Dara dengan tatapan penuh penyesalan. Dia tahu pada akhirnya pasti semua akan berakhir seperti ini lagi."Ra, kita belum selesai," ucap Malik dengan suara lemah. Ya, dia memang lelaki lemah. Memalukan!Dara mendorong tubuh sang suami dan bangkit terduduk di atas tempat tidur.Entah kenapa, kekecewaannya yang begitu dalam justru memancing amarah besar dalam dirinya yang selama ini dia tahan sekuat tenaga. Hingga akhirnya, Dara pun memutuskan untuk menyerah."Aku mau kita cerai, Mas!" ucap Dara seraya bangkit dari atas ranjang lalu memunguti satu persatu pakaiannya yang tercecer di lantai untuk dikenakan kembali.Dara sudah benar-benar tidak kuat menjalani hubungan pernikahannya dengan Malik, seorang Duda beranak satu yang resmi menjadi suaminya sejak satu tahun yang lalu.Dan selama itu, keduanya bahkan belum pernah melakukan hubungan selayaknya suami istri normal.Sejauh ini, Dara hanya merasakan kenikmatan atas cumbuan suaminya sebatas foreplay saja. Bahkan permainan jari dan lidah sang suami tak cukup membuatnya puas karena Dara yang memang menginginkan lebih dari itu.Hanya saja, Dara terlambat tahu jika sang suami sebenarnya mengidap penyakit Impoten yang membuat Malik tak mampu ereksi.Dara yang putus asa akhirnya memutuskan untuk bercerai dengan Malik.Dia sudah benar-benar kecewa atas ketidakterbukaan Malik terhadapnya sebelum mereka menikah. Meski berulang kali Dara sudah mencoba untuk meyakinkan diri bahwa dia mampu menerima keadaan Malik, tapi pada akhirnya, Dara tetaplah manusia biasa yang ingin merasakan apa itu surga dunia yang sebenarnya?"Dara, tolong... Bersabar sebentar. Bantu aku Dara... Aku sedang berusaha mengobati penyakitku saat ini dan aku butuh seorang pendamping, aku butuh istri. Tolong Dara, jangan tinggalkan aku.""Nggak Mas! Sejak awal kita menikah kamu udah berbohong sama aku dengan menyembunyikan kelainan yang kamu derita! Mungkin beda ceritanya kalau kamu jujur Mas! Aku capek, Mas! Kalau seperti ini terus? Gimana aku bisa hamil? Memangnya tujuan kita menikah untuk apa? Untuk punya anakkan?" cecar Dara emosi. Wanita itu mulai membenahi pakaiannya dan memindahkannya ke dalam koper.Malam ini juga Dara akan kembali ke kediaman orang tuanya di Bandung."Kita coba sekali lagi ya, Ra? Pleaseee... Bantu aku," lagi dan lagi Malik memohon pada sang istri.Dara menghentikan sejenak aktifitasnya. Dia menoleh ke arah Malik dengan tatapannya yang setajam belati. Menusuk dan dingin."Ada baiknya, kamu sembuhkan dulu penyakit kamu itu! Atau mungkin, sampai detik ini kamu memang belum mampu melupakan sosok Kinara dari hati kamu, makanya kamu jadi seperti ini! Kamu pikir aku nggak tahu, Mas? Aku tahu semuanya! Aku tahu tentang kamu yang selama ini masih sering menatap foto Kinara diam-diam. Bahkan kamu nggak pernah absen dalam satu minggu untuk menengok makam Kinara!"Malik yang tertohok hanya bisa diam.Dan keterdiaman Malik membuat hati Dara semakin remuk redam.Nyatanya, apa yang pernah dikatakan oleh mantan-mantan istri Malik pada Dara tentang Malik itu benar, mereka yang mengatakan bahwa Malik belum bisa melupakan Kinara dan itu terbukti sampai detik ini."Maaf Mas! Keputusanku sudah bulat! Aku ingin kita CERAI!" Dara menarik kopernya keluar dari kamar."Ra, Dara... Please give me a chance!" mohon Malik setengah berteriak karena dia yang masih harus memakai pakaiannya sebelum mengejar Dara keluar.Dara terus melangkah menuruni tangga bahkan saat Malik mengejarnya Dara tetap tak menggubris."Ra, aku sayang kamu. Kamu wanita paling sabar dan paling bisa mengerti keadaan aku selama ini. Aku mohon sama kamu, Ra... Jangan pergi..." Malik masih terus berusaha mempertahankan Dara.Meski, pada akhirnya, Malik hanya bisa menelan kekecewaan yang begitu mendalam saat Dara tetap pada niatnya untuk pergi dan meminta cerai.Malam itu, sepeninggal Dara, Malik hanya bisa meratapi nasibnya sendiri.Nasibnya yang begitu buruk sejak dia ditinggal mati istri pertamanya yang begitu dia cintai.Malik dinyatakan Impoten oleh dokter karena terlalu stress akibat kematian Kinara, Istri pertamanya yang meninggal secara tragis.Malik berpikir bahwa dirinyalah yang menjadi penyebab utama Kinara meregang nyawa.Stres yang diderita Malik memang masuk dalam kategori berat bahkan hingga menyebabkan Malik tanpa sadar melukai dirinya sendiri karena tak mampu melupakan Kinara. Itulah mengapa, setelah dirinya mampu bangkit dari keterpurukan pasca meninggalnya Kinara, Malik justru di hadapkan pada kenyataan pahit bahwa dirinya kini mengalami penyakit yang begitu mengerikan bagi seorang pria normal macam dirinya.Padahal dulu, sewaktu Malik masih bersama Kinara, dia adalah sosok lelaki yang sangat perkasa. Bahkan dalam satu malam, dia bisa mengajak Kinara bercinta berkali-kali.Tapi kenapa hasrat kelelakiannya sebagai seorang pria sejati hilang dalam sekejap begitu Kinara meninggal?Bahkan setelah Malik mencoba dengan empat wanita berbeda yang dia nikahi, namun semua pernikahan itu kandas hanya dengan satu alasan yang sama.Yaitu, dirinya yang tidak bisa benar-benar menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami dengan memberi nafkah batin pada wanita yang telah dia nikahi."Mahessa mau ajak Wildan untuk bertukar pasangan malam ini dan dia bilang kalau kamu sudah menyetujuinya, benar begitu Nil?" tanya Vanessa yang langsung mengkonfirmasi ucapan Mahessa padanya tadi pagi setelah dia mendapat kesempatan untuk berbincang secara empat mata dengan Vanilla.Saat itu, sepasang wanita kembar tersebut sedang berada di salah satu area permainan ski di St.Moritz.Vanilla yang sedang menyesap cokelat panasnya seketika terbatuk mendengar ucapan Vanessa.Buru-buru dia meraih tissue untuk mengelap sudut bibirnya yang terkena coklat."Aku nggak salah dengerkan? Bertukar pasangan?" ucap Vanilla yang malah tertawa seolah apa yang diucapkan Vanessa hanyalah lelucon."Iya," jawab Vanessa mengangguk cepat.Lagi, Vanilla malah tertawa. "Kamu kenapa sih Nes? Dari kemarin kok ngomongnya ngaco terus?"Seketika kerutan di kening Vanessa menjelas. "Ngaco bagaimana?" tanyanya bingung. Tak habis pikir dengan sikap santai Vanilla yang kelihatan begitu tenang. Padahal jelas-jelas, Van
"Aku benci ibuku! Aku benci perempuan seperti dia! Karena dia Ayah dipenjara dan tidak lagi menyayangiku! Aku benci ibuku, Vi!" ucap seorang bocah lelaki pada seorang bocah perempuan di teras sebuah tempat ibadah di lapas tahanan khusus pria.Bocah lelaki itu menangis meski tanpa isakan, hingga sebuah tangan mungil terjulur membelai pipinya untuk mengusap air mata yang menetes."Nasib kita sama ya Yas? Aku juga benci sama Ibuku. Karena dia lebih menyayangi saudaraku daripada aku!" ujar si bocah perempuan yang dipanggil Vi tadi.Sang bocah lelaki yang bernama Yasa itu mendongak menatap polos ke arah Vi."Apa mungkin, Tuhan mempertemukan kita karena kita memang berjodoh?" tanya Yasa saat itu.Vi tertawa kecil dengan wajah tersipu dan menjadi terkejut saat tiba-tiba Yasa mengaitkan jari kelingking mereka."Kamu maukan janji sama aku, Vi?" tanya Yasa saat itu."Janji apa?""Kalau kamu sudah besar nanti, jaga dirimu baik-baik ya. Jangan menjadi perempuan seperti ibuku, nanti aku akan membe
Hari sudah hampir tengah malam, tapi Mahessa belum juga pulang.Entah kenapa, kekhawatiran menggelayuti benak Vanessa saat itu, bahkan saat dia menanyakan keberadaan Mahessa pada supir pribadi lelaki itu, tapi Pieter mengatakan bahwa sejak sore tadi, majikannya itu sama sekali tidak menghubunginya untuk meminta dijemput, jadi, dia tidak tahu menahu di mana Mahessa berada saat ini."Kamu belum tidur, Nessa?" sapa Wildan yang kebetulan berpapasan dengan Vanessa di tangga.Saat itu, Wildan hendak ke dapur untuk membuatkan Vanilla susu.Vanessa tersenyum tipis seraya menggeleng. "Aku tidak bisa tidur," jawabnya pelan."Loh, kenapa? Bukannya tadi kamu bilang hari ini sangat melelahkan? Apa kamu sakit?" tanya Wildan lagi.Belum sempat Vanessa menjawab, Pieter datang tergesa dari arah luar memasuki rumah besar itu.Langkah lelaki berkumis tipis itu berhenti tepat di bawah tangga."Nona Vanessa, saya baru saja mendapat telepon dari pemilik salah satu Club malam di Zurich, katanya, Tuan Mahess
Seharian ini, kedua pasang pengantin baru itu puas berkeliling kota Zurich.Di pagi hari, mereka menaiki kapal mengelilingi Danau Zurich, lalu berkunjung ke sisi utara danau sambil melihat sejumlah perumahan dan villa menarik.Vanilla tak hentinya berdecak kagum saat menikmati indahnya suasana sekitar dengan pancaran sinar matahari di tengah hawa sejuk sekeliling danau.Siang harinya, usai makan siang bersama di sebuah restoran ternama di Zurich, mereka berkunjung ke Rapperswill, yang dikenal sebagai kota bunga mawar.Rapperswill terletak di ujung timur Danau Zurich. Sebutan tersebut disematkan lantaran kebun-kebun publik di sana memiliki lebih dari lima belas ribu bunga mawar.Dari jumlah tersebut, sebanyak enam ratus jenis bunga mawar dapat mereka temui di sepanjang jalan kota tua abad pertengahan tersebut.Terakhir, Vanilla mengajak Wildan, untuk menaiki Tuk tuk.Tuk tuk merupakan transportasi sejenis bajaj yang kerap terlihat di Thailand.Selama berada di Zurich, para wisatawan as
Wildan terbangun saat sorot matahari sudah terang benderang.Angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela yang terbuka dan mengayun-ayun tirai putih tipis yang menghalanginya.Suara gemericik air dari aliran sungai Geneva terdengar samar.Menatap ke sekeliling, kening lelaki berpiyama abu-abu itu seketika mengernyit.Kenapa aku ada di sini?Pikir Wildan membatin saat menyadari keberadaannya di dalam kamar pribadinya bersama Vanilla.Wildan meremas kepalanya sekilas, mencoba mengais kembali ingatan tadi malam.Sialnya, Wildan tak mengingat apapun kecuali dirinya yang mendengar suara Mahessa berbicara untuk pertama kalinya dengan Vanilla di kebun belakang itu."Sebenarnya, sejak awal aku sudah tahu bahwa Vi yang asli adalah Vanessa, bukan kamu."Ya, hanya sederet kalimat itulah yang berhasil Wildan ingat, karena setelahnya, yang dia ketahui, dia merasa seperti ada seseorang yang membekapnya dari arah belakang hingga membuatnya tak sadarkan diri.Apa mungkin dia berhalusinasi?Tapi rasanya ti
Malam itu, akhirnya Vanilla menemui Mahessa setelah berembuk cukup lama bersama sang suami.Meski awalnya Wildan melarang keras sang istri untuk pergi, namun, setelah Vanilla memberikan pengertian pada sang suami dan meyakinkan Wildan bahwa semua akan baik-baik saja, akhirnya Wildan pun pasrah dan membiarkan sang istri pergi, dengan catatan, Vanilla harus merekam seluruh percakapannya dengan Mahessa di kebun belakang agar Wildan tahu apa yang Mahessa ingin bicarakan dengan istrinya malam ini.Rasa kantuk yang awalnya dirasakan Wildan menguap begitu saja begitu Vanilla sudah keluar dari kamar.Lelaki itu menggeram tertahan sambil menepuk sisi tempat tidur lalu meremas kepala frustasi.Menatap kembali daun pintu kamar, Wildan yang tak mau ambil resiko jika Mahessa akan berbuat hal yang tidak-tidak terhadap Vanilla pun akhirnya memutuskan untuk menguntit kepergian Vanilla dan menguping langsung pembicaraan sang Kakak Ipar dan istrinya itu.Saat itu, Wildan menangkap sosok Mahessa dan Van