"Lama banget sih?" ucap seorang remaja ketus.
Dia melempar barang-barangnya ke dalam bagasi mobil yang terbuka.Malik mengesah dengan wajah penuh penyesalan. "Maaf Yan, tadi ada masalah sebentar di jalan, tuh liat bemper mobil Papa sampe penyok begitu," jelasnya pada sang anak. Malik menunjuk ke arah bagian mobilnya yang rusak.Aryan melirik sekilas, tak menaruh perduli, dia langsung meluyur pergi begitu saja dan masuk ke dalam mobil. "Ayo pulang, cape nih mau istirahat!" titahnya seperti menyuruh seorang supir.Aryan Indra Wahyuda, seorang remaja berusia tujuh belas tahun yang baru saja menjalani jenjang pendidikan di sebuah universitas besar di Jogya. Dia anak semata wayang Malik dari hasil pernikahan pertamanya dengan seorang wanita cantik bernama Kinara Larasati.Sayangnya, bahtera rumah tangga Malik dan Kinara yang begitu bahagia dan sempurna, akhirnya harus kandas dengan cepat, karena Tuhan telah memanggil Kinara lebih dulu untuk selama-lamanya.Aryan menjadi amanat terbesar Kinara pada sang suami sebelum dia meninggal. Itulah sebabnya, selama ini, sekesal apapun dan sekecewa apapun Malik terhadap sikap Aryan terhadapnya, lelaki itu tak pernah memarahi Aryan.Jika Malik marah, dia lebih memilih untuk diam dan pergi.Sayangnya, sikap lemah Malik tersebut bukannya membuat sosok Aryan menaruh simpatik dan hormat pada sang Ayah, melainkan sebaliknya.Aryan tumbuh menjadi anak yang begitu sulit diatur, kasar dan sangat melawan pada Malik, dan semua hal itu semakin diperparah sejak Malik yang berulang kali menikah namun terus mengalami kegagalan dalam pernikahannya."Kamu udah makan belum? Mau mampir beli makan dulu?" tanya Malik di tengah perjalanan menuju kediaman pribadinya."Nggak," jawab Aryan tak acuh."Yaudah kalo gitu, Papa aja yang mampir beli makan sebentar ya, Papa lapar, belum makan dari tadi siang, restoran hari ini rame banget," jelas Malik langsung berbelok ke arah sebuah restoran cepat saji asal Amerika.Malik memesan makanan melalui drive thru agar tidak memakan banyak waktu."Kamu mau hamburger Yan?" tanya Malik saat dia sedang memesan makanan.Aryan mendelikkan mata kesal. "Tadikan aku udah bilang, kalo aku nggak laper! Masih aja tanya-tanya!"Malik jadi diam dan tak bertanya lagi.Usai membeli makanan, kendaraan Malik hendak keluar area resto saat tatapan Malik tertuju ke arah seorang wanita yang sedang berdiri di sisi jalan raya. Wanita itu tampak gelisah dan berulang kali mengecek layar ponselnya. Malik yang mengenal dekat wanita itu langsung membuka kaca mobil bermaksud untuk menyapa."Shilla? Shilla kan?" sapa Malik saat itu.Wanita yang mengenakan rok sepan seksi itu pun balik menyapa Malik."Hai, Malik ya?" tanya si wanita bernama Shilla itu. Sepertinya dia tidak menyangka akan bertemu Malik di sini. Malik yang sekarang sudah menjadi seorang chef terkenal.Malik menghentikan mobil. "Mau kemana?" tanyanya saat itu.Shilla itu adalah temannya semasa kuliah dulu. Mereka cukup akrab karena melalui Shilla lah, Malik mengenal Kinara."Aku mau pulang, aku kan kerja di sini," Shilla menunjuk ke arah restoran cepat saji yang tadi dikunjungi Malik."Oh begitu, aku pikir kamu masih di Semarang. Bukannya dulu pindah ke Semarang ya?" tanya Malik lagi."Iya, tapi sekarang udah balik lagi ke Jakarta," Shilla tersenyum masam."Pulang ke arah mana? Kalo arah Pondok Indah, bareng aja," ajak Malik menawarkan bantuan.Shilla tampak enggan, tapi kebetulan dia searah dengan Malik dan lagi dia memang sedang terburu-buru. Jadilah Shilla menerima tawaran bantuan dari Malik.Wanita itu duduk di kursi belakang kemudi yang di duduki oleh Aryan."Maaf loh jadi ngerepotin," ucap Shilla sungkan.Malik tertawa renyah. "Ah, kayak sama siapa aja kamu."Shilla melirik ke arah Aryan dan menyunggingkan sedikit senyuman meski hal itu tak berbalas karena Aryan justru malah menatapnya dengan tatapan dingin."Kenalin Shil, itu Aryan, anakku. Anak Kinara," ucap Malik saat mobilnya kini mulai melaju di tengah hiruk pikuk jalan raya kota Jakarta yang padat."Shilla," Shilla mengulurkan tangan mengajak Aryan berkenalan.Lagi dan lagi, tanggapan Aryan tidak bersahabat. Remaja itu tak menyambut uluran tangan Shilla membuat wanita itu jadi menarik kembali tangannya, meski dia sempat mengumpat dalam hati karena kesal dengan sikap dingin Aryan."Maaf Shill, Aryan lagi nggak enak badan makanya suka begitu, nggak usah diambil hati," ucap Malik menengahi. Merasa tidak enak hati pada Shilla atas sikap tak hormat Aryan pada orang yang lebih tua."Siapa yang nggak enak badan? Aryan cuma lagi capek aja kok, dan lagi males dengerin Papa modusin cewek yang ujung-ujungnya ngajakin mereka nikah terus abis itu cerai deh! Udah kenyang sama sikap Papa yang nggak pernah bisa serius sama satu cewek! Dan jangan-jangan, Mama tuh meninggal karena nggak tahan sama ulah suaminya yang suka gonta ganti cewek dan modusin semua cewek!"Malik menginjak rem mobilnya secara mendadak.Perkataan Aryan membuatnya tersinggung.Dan malu.Terlebih di hadapan Shilla.Untuk sejenak Malik berusaha menetralkan emosinya. Lelaki itu menarik napas panjang menghembuskannya melalui mulut."Ng, kayaknya aku turun di sini aja deh, Malik. Sebentar lagi juga sampai kok," ucap Shilla tiba-tiba. Shilla yang jadi tidak enak hati dan merasa jadi penyebab pertengkaran Aryan dengan Malik, padahal dia sendiri tidak tahu apa-apa."Maaf ya Shil," ucap Malik lemah."Its okay. See you. Makasih ya," ucap Shilla sebelum turun dari mobil.Sepeninggal Shilla, Malik kembali melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi.Sampai-sampai Aryan terkejut dan langsung berpegangan kuat pada jok mobil.Aryan tahu Malik marah, hanya saja dia berusaha untuk tidak perduli.Sesampainya mereka di rumah, Aryan langsung keluar dari mobil dan masuk ke rumah tanpa mau membantu sang Papah yang kini sedang mengeluarkan seluruh barang bawaannya dari bagasi."Lain kali, tolong jaga mulut kamu di depan orang lain, Aryan," ucap Malik bermaksud menasehati sang anak. Meski Malik tahu, apapun yang dia katakan hanya akan masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan."Yang ada juga Papa yang harusnya introspeksi diri, jangan nafsu aja digedein!"Malik menelan salivanya dengan susah payah. Kedua tangannya terkepal menahan nyeri di sudut hatinya yang terdalam.Saat itu mereka sudah berada di dalam kamar Aryan."Papakan sudah bilang, jika memang kamu tidak suka Papa menikah, oke fine, Papa tidak akan menikah lagi dengan siapapun, tapi tolong jangan rusak image Papa di depan orang lain terutama itu orang-orang terdekat Papa."Sejauh ini, Malik memang tak menceritakan mengenai penyakit yang dideritanya pada sang anak. Lelaki itu terlalu malu mengatakannya, terlebih dia bingung bagaimana cara menjelaskan hal itu pada Aryan yang sebelumnya memang belum cukup umur untuk mengetahui hal-hal seperti itu. Hingga akhirnya, seiring berjalannya waktu, keterdiaman Malik membuat Aryan justru salah paham."Siapa sih Pa yang rusak image Papa?" tanya Aryan balik. Remaja itu menatap dingin sang Papah."Omongan kamu di depan Shilla tadi udah membuat Shilla berpikir kalau Papa ini lelaki brengsek.""Emang kenyataannya begitukan? Papa itu cuma lelaki yang suka sama selangkangan cewek, udah bekas, terus dibuang, dicerai, ganti deh yang lain, yang lebih..."PLAK!Pada akhirnya, Malik tak mampu lagi menahan emosinya hingga membuat dirinya lepas kendali.Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Aryan.Membuat remaja itu terkejut luar biasa, karena seumur hidup, inilah kali pertama sang Papah memukulnya."Ma-maaf..." ucap Malik dengan suaranya yang hampir hilang. "Papah pergi dulu."Setelah menaruh seluruh barang-barang milik sang anak, Malik pergi dengan langkah tergesa. Dia benar-benar menyesali perbuatannya.Hatinya teriris dengan kata-kata kurang ajar Aryan dan bodohnya, dia tetap tak mampu menjelaskan pada Aryan apa yang selama ini dia alami pasca meninggalnya Kinara.Malam itu, Malik tidak pulang.Dia memilih menginap di sebuah hotel langganannya yang biasa dia tempati saat syuting.Saat itu, Malik sedang berjalan menuju kamar yang dipesannya di mana di hadapannya terdapat dua orang lelaki yang memapah seorang wanita berpakaian seksi yang sepertinya sedang mabuk."Lo tenang aja Bro, malam ini kita pesta pokoknya! Obat perangsang yang udah gue kasih ke cewek ini akan buat dia lebih ganas dari singa betina, haahaha."Tanpa sengaja, Malik mendengar percakapan kedua lelaki itu.Sepertinya, kedua orang itu tidak tahu keberadaan Malik di belakangnya karena terlalu semangat ingin menuntaskan syahwatnya dengan wanita yang mereka bawa."Tapi kalo nih cewek sadar terus nuntut macem-macem gimana, Bro?""Kita ancem dia pakai video bugilnya, gue yakin dia kicep!""Hahahah, pinter juga lo."Malik geleng-geleng kepala.Dari postur tubuhnya, Malik bisa memastikan kalau dua lelaki itu memiliki usia tak jauh dengan anaknya.Hingga akhirnya, Malik pun menyusun rencana untuk menggagalkan niat jahat mereka terhadap wanita itu.Dengan berpura-pura menjadi seorang polisi.Nyatanya, rencana itu berjalan semulus jalan tol karena kedua bajingan tengil itu langsung berlari tunggang langgang saat Malik berpura-pura hendak mengeluarkan senjata dari balik pakaian bagian belakangnya.Satu masalah terselesaikan tanpa Malik sadari, masih ada masalah yang tersisa dan harus segera dia bereskan.Malik membungkukkan badan hendak mengangkat tubuh wanita yang hendak menjadi santapan bajingan tengil tadi.Wajah wanita itu masih tertutup rambutnya yang tergerai panjang.Saat Malik sudah berhasil membawa tubuh wanita itu bangkit dari lantai, si wanita tiba-tiba membuka matanya dan menyibakkan rambutnya hingga Malik bisa melihat dengan jelas wajah si wanita.Kedua bola mata Malik membelalak."Kamu?" pekiknya tertahan.Dia perempuan yang menabrak mobilku tadikan?Pikir Malik berusaha mengingat-ingat.Wanita itu menatap Malik dengan tatapan yang sulit diartikan."Ng... Wildan..." ucap si wanita diiringi suara desahan yang begitu menggoda.Malik hendak menghindar saat tubuh si wanita semakin memepet ke tubuhnya.Namun gerakan si wanita lebih cepat.Wanita itu merangkum kedua wajah Malik dengan posesif, berjinjit dan langsung menyatukan bibirnya dengan bibir Malik.Menghisapnya dalam-dalam.Dan mengulumnya dengan kuluman manis.Malik terkejut, bukan karena ciuman itu.Namun, karena sesuatu yang tiba-tiba saja bereaksi di antara dua apitan selangkangannya."Mahessa mau ajak Wildan untuk bertukar pasangan malam ini dan dia bilang kalau kamu sudah menyetujuinya, benar begitu Nil?" tanya Vanessa yang langsung mengkonfirmasi ucapan Mahessa padanya tadi pagi setelah dia mendapat kesempatan untuk berbincang secara empat mata dengan Vanilla.Saat itu, sepasang wanita kembar tersebut sedang berada di salah satu area permainan ski di St.Moritz.Vanilla yang sedang menyesap cokelat panasnya seketika terbatuk mendengar ucapan Vanessa.Buru-buru dia meraih tissue untuk mengelap sudut bibirnya yang terkena coklat."Aku nggak salah dengerkan? Bertukar pasangan?" ucap Vanilla yang malah tertawa seolah apa yang diucapkan Vanessa hanyalah lelucon."Iya," jawab Vanessa mengangguk cepat.Lagi, Vanilla malah tertawa. "Kamu kenapa sih Nes? Dari kemarin kok ngomongnya ngaco terus?"Seketika kerutan di kening Vanessa menjelas. "Ngaco bagaimana?" tanyanya bingung. Tak habis pikir dengan sikap santai Vanilla yang kelihatan begitu tenang. Padahal jelas-jelas, Van
"Aku benci ibuku! Aku benci perempuan seperti dia! Karena dia Ayah dipenjara dan tidak lagi menyayangiku! Aku benci ibuku, Vi!" ucap seorang bocah lelaki pada seorang bocah perempuan di teras sebuah tempat ibadah di lapas tahanan khusus pria.Bocah lelaki itu menangis meski tanpa isakan, hingga sebuah tangan mungil terjulur membelai pipinya untuk mengusap air mata yang menetes."Nasib kita sama ya Yas? Aku juga benci sama Ibuku. Karena dia lebih menyayangi saudaraku daripada aku!" ujar si bocah perempuan yang dipanggil Vi tadi.Sang bocah lelaki yang bernama Yasa itu mendongak menatap polos ke arah Vi."Apa mungkin, Tuhan mempertemukan kita karena kita memang berjodoh?" tanya Yasa saat itu.Vi tertawa kecil dengan wajah tersipu dan menjadi terkejut saat tiba-tiba Yasa mengaitkan jari kelingking mereka."Kamu maukan janji sama aku, Vi?" tanya Yasa saat itu."Janji apa?""Kalau kamu sudah besar nanti, jaga dirimu baik-baik ya. Jangan menjadi perempuan seperti ibuku, nanti aku akan membe
Hari sudah hampir tengah malam, tapi Mahessa belum juga pulang.Entah kenapa, kekhawatiran menggelayuti benak Vanessa saat itu, bahkan saat dia menanyakan keberadaan Mahessa pada supir pribadi lelaki itu, tapi Pieter mengatakan bahwa sejak sore tadi, majikannya itu sama sekali tidak menghubunginya untuk meminta dijemput, jadi, dia tidak tahu menahu di mana Mahessa berada saat ini."Kamu belum tidur, Nessa?" sapa Wildan yang kebetulan berpapasan dengan Vanessa di tangga.Saat itu, Wildan hendak ke dapur untuk membuatkan Vanilla susu.Vanessa tersenyum tipis seraya menggeleng. "Aku tidak bisa tidur," jawabnya pelan."Loh, kenapa? Bukannya tadi kamu bilang hari ini sangat melelahkan? Apa kamu sakit?" tanya Wildan lagi.Belum sempat Vanessa menjawab, Pieter datang tergesa dari arah luar memasuki rumah besar itu.Langkah lelaki berkumis tipis itu berhenti tepat di bawah tangga."Nona Vanessa, saya baru saja mendapat telepon dari pemilik salah satu Club malam di Zurich, katanya, Tuan Mahess
Seharian ini, kedua pasang pengantin baru itu puas berkeliling kota Zurich.Di pagi hari, mereka menaiki kapal mengelilingi Danau Zurich, lalu berkunjung ke sisi utara danau sambil melihat sejumlah perumahan dan villa menarik.Vanilla tak hentinya berdecak kagum saat menikmati indahnya suasana sekitar dengan pancaran sinar matahari di tengah hawa sejuk sekeliling danau.Siang harinya, usai makan siang bersama di sebuah restoran ternama di Zurich, mereka berkunjung ke Rapperswill, yang dikenal sebagai kota bunga mawar.Rapperswill terletak di ujung timur Danau Zurich. Sebutan tersebut disematkan lantaran kebun-kebun publik di sana memiliki lebih dari lima belas ribu bunga mawar.Dari jumlah tersebut, sebanyak enam ratus jenis bunga mawar dapat mereka temui di sepanjang jalan kota tua abad pertengahan tersebut.Terakhir, Vanilla mengajak Wildan, untuk menaiki Tuk tuk.Tuk tuk merupakan transportasi sejenis bajaj yang kerap terlihat di Thailand.Selama berada di Zurich, para wisatawan as
Wildan terbangun saat sorot matahari sudah terang benderang.Angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela yang terbuka dan mengayun-ayun tirai putih tipis yang menghalanginya.Suara gemericik air dari aliran sungai Geneva terdengar samar.Menatap ke sekeliling, kening lelaki berpiyama abu-abu itu seketika mengernyit.Kenapa aku ada di sini?Pikir Wildan membatin saat menyadari keberadaannya di dalam kamar pribadinya bersama Vanilla.Wildan meremas kepalanya sekilas, mencoba mengais kembali ingatan tadi malam.Sialnya, Wildan tak mengingat apapun kecuali dirinya yang mendengar suara Mahessa berbicara untuk pertama kalinya dengan Vanilla di kebun belakang itu."Sebenarnya, sejak awal aku sudah tahu bahwa Vi yang asli adalah Vanessa, bukan kamu."Ya, hanya sederet kalimat itulah yang berhasil Wildan ingat, karena setelahnya, yang dia ketahui, dia merasa seperti ada seseorang yang membekapnya dari arah belakang hingga membuatnya tak sadarkan diri.Apa mungkin dia berhalusinasi?Tapi rasanya ti
Malam itu, akhirnya Vanilla menemui Mahessa setelah berembuk cukup lama bersama sang suami.Meski awalnya Wildan melarang keras sang istri untuk pergi, namun, setelah Vanilla memberikan pengertian pada sang suami dan meyakinkan Wildan bahwa semua akan baik-baik saja, akhirnya Wildan pun pasrah dan membiarkan sang istri pergi, dengan catatan, Vanilla harus merekam seluruh percakapannya dengan Mahessa di kebun belakang agar Wildan tahu apa yang Mahessa ingin bicarakan dengan istrinya malam ini.Rasa kantuk yang awalnya dirasakan Wildan menguap begitu saja begitu Vanilla sudah keluar dari kamar.Lelaki itu menggeram tertahan sambil menepuk sisi tempat tidur lalu meremas kepala frustasi.Menatap kembali daun pintu kamar, Wildan yang tak mau ambil resiko jika Mahessa akan berbuat hal yang tidak-tidak terhadap Vanilla pun akhirnya memutuskan untuk menguntit kepergian Vanilla dan menguping langsung pembicaraan sang Kakak Ipar dan istrinya itu.Saat itu, Wildan menangkap sosok Mahessa dan Van