Hari ini adalah hari yang melelahkan bagi Isna.
Di rumah sakit tadi Isna harus dipusingkan oleh pengunjung rumah sakit yang mengotori lantai kamar mandi dengan muntahan anaknya. Hebatnya bukannya meminta maaf, si pengunjung justru memarahi Isna karena persediaan tissue di toilet habis. Padahal seingat Isna, dia sudah mengganti tissue toilet dengan yang baru, tapi anehnya belum sampai tengah hari, tissue tersebut sudah habis?Setelah lelah bekerja di rumah sakit, Isna harus kembali tertimpa musibah saat dirinya tanpa sengaja salah menyajikan pesanan untuk pengunjung resto tempatnya bekerja.Malam ini pengunjung resto sangat ramai terlebih rekan kerja satu shift Isna yang bernama Awan tidak masuk. Jadilah Isna kerja rodi sendirian. Dari mulai membersihkan meja, kursi dan lantai resto, mengantarkan pesanan makanan dan minuman serta memastikan para pengunjung mendapatkan tempat kosong untuk makan."Saya tidak mau tau, saya mau menu ini diganti," ucap salah satu pengunjung yang merasa pesanan makanan yang dia pesan tidak sesuai dengan keinginannya."Tapi menu ini sudah sesuai dengan apa yang Nona pesan," ucap Isna mencoba menjelaskan. Menu makanan yang dipesan wanita ini harganya sangat mahal, jika sampai harus diganti, mau tidak mau, Isna yang akan merugi karena harus membayar pesanan sebelumnya."Saya tadi bilang tidak mau pakai bawang goreng! Tapi ini malah dipakaikan bawang goreng! Pokoknya saya tidak mau makan, saya mau ganti yang baru," ucap si pengunjung wanita itu yang kekeuh bahwa dia meminta makananya diganti.Tak punya pilihan, Isna pun terpaksa mengalah. Mungkin memang salahnya tadi kurang teliti.Setelah memastikan si pengunjung resto tadi mendapatkan menu makanan yang dia inginkan, Isna hendak kembali ke belakang untuk beristirahat sejenak.Saat hendak berbelok, Isna bertabrakan dengan seorang lelaki yang merupakan pengunjung resto tersebut. Lelaki itu baru saja keluar dari toilet umum."Eh, ma-maaf, Pak Le, eh Om," ucap Isna tergagap, merasa bersalah karena terus berjalan menunduk dia malah jadi menabrak orang. Isna akui bahwa dirinya memang ceroboh. Sangat-sangat ceroboh.Lelaki itu tampak membersihkan setitik noda makanan yang menempel di pakaiannya yang berasal dari nampan yang dibawa Isna."Oh, i'ts oke, tidak apa-apa," ucap si lelaki."Saya ambilkan tissue ya?"Si lelaki mendongak hingga tatapan kedua manusia itu pun bertemu."Dokter Prin?" Pekik Isna tak percaya."Isna?" ucap lelaki bernama Prin yang berprofesi sebagai dokter yang bekerja di rumah sakit tempat Isna bekerja.Prin adalah seorang dokter andrologi atau dokter spesialis yang memiliki keahlian khusus dalam menangani masalah pada sistem reproduksi pria."Kamu kerja di sini?" tanya Dokter Prin saat itu."Iya, Dok. Siang saya di rumah sakit, kalau malam saya di sini, hehehe," Isna jadi terkekeh."Wah, hebat ya, kamu seorang pekerja keras ternyata," puji sang dokter merasa kagum.Sejak dirinya bekerja di rumah sakit Cipta Medika, Dokter Prin adalah satu-satunya dokter yang cukup ramah dan mau bergaul dengan semua kalangan tanpa memandang profesinya.Meski pertemuan antara sang dokter dengan Isna terbilang sangat jarang di rumah sakit karena dokter Prin yang sibuk, namun setiap kali mereka berpapasan, pasti dokter Prin selalu menyapa Isna lebih dulu. Tak jarang Isna diajak sang dokter makan siang bersamanya di kantin rumah sakit."Ya beginilah Dok, tuntutan hidup," jawab Isna apa adanya."Pulang jam berapa kalau bekerja sampai malam begini?" tanya Dokter Prin lagi."Biasanya kalau lagi ramai bisa jam 12 ke atas Dok."Kedua bola mata dokter itu membola. "Wah, hati-hati Isna. Sekarang banyak tindakan kriminal. Tidak baik pulang terlalu larut apalagi kamu seorang wanita," saran sang dokter mengingatkan."Ya habis mau bagaimana lagi Dok? Saya satu-satunya orang yang diandalkan untuk mencari nafkah supaya perekonomian keluarga tetap berjalan, jadi ya pasrahkan saja semuanya sama yang di atas, sayakan cuma menjalankan. Lagipula yang namanya musibah itukan nggak melulu harus tengah malam, kadang yang namanya penjahat itu di siang hari juga banyak," celoteh Isna lagi.Dokter Prin tersenyum. Merasa kagum dengan sosok Isna."Yasudah kalau begitu, saya mau lanjut bekerja dulu," pamit Isna saat mendengar namanya sudah dipanggil oleh salah satu rekan kerjanya.Sebelum Dokter Prin benar-benar pergi, sekali lagi Isna kembali meminta maaf atas kecerobohannya yang mengakibatkan kemeja sang dokter kotor.Beberapa menit kemudian, Isna kembali ke depan untuk mengantarkan pesanan pengunjung lain. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sosok Dokter Prin yang saat itu sedang bercakap akrab dengan seorang wanita yang tadi memarahi Isna karena pesanannya salah.Diam-diam, Isna mengumpat dalam hati.Masa sih, cewek model begitu pacarnya Dokter Prin? Mendingan juga aku kemana-mana!*****Pukul 12 malam lewat 10 menit, Isna sudah berganti pakaian. Dia hendak pulang.Karena motor maticnya masih di bengkel, Isna terpaksa pulang berjalan kaki hingga mendapat angkutan umum.Jika sudah berjalan jauh namun dia tak kunjung mendapat angkutan umum, alhasil Isna akan memutuskan untuk naik ojek, dan mengikhlaskan uangnya keluar lebih banyak untuk membayar biaya ojek online yang mahal.Isna masih berdiri di pinggir jalan ketika sebuah kendaraan beroda empat yang cukup mewah berhenti di hadapannya.Pintu kaca mobil itu terbuka dan memperlihatkan seorang lelaki berpakaian casual tengah tersenyum ke arahnya.Sebagian rambut lelaki itu yang terlihat memutih menandakan bahwa dia adalah lelaki yang sudah berumur."Hai manis, mau Om antar tidak?" sapanya pada Isna.Isna menggeleng seraya menghela napas panjang. Hal semacam ini sudah seringkali dia alami sejak dia bekerja di resto dan harus pulang larut malam.Ketika dirinya dikira berprofesi sebagai PSK alias wanita nakal."Maaf Om, saya sudah punya suami dan suami saya polisi! Om mau ditembak sama suami saya?" ucap Isna menahan jengkel."Masa sih? Punya suami Polisi, ngapain malam-malam di sini? Hah?" balas lelaki itu."Ih, kepo banget sih Om! Udah sana pergi!" usir Isna yang langsung melangkah panjang. Ngeri juga kalau sudah bertemu lelaki yang banyak tingkahnya seperti lelaki tua bangka ini."Ayo, mau ikut nggak? Saya bayar dobel deh satu kali main? Sebutin aja berapa harga kamu?"Isna kembali beristighfar. Dia terus melangkah tanpa mau meladeni lelaki pemilik mobil mewah yang kini malah mengiringi langkahnya.Kedatangan seorang lelaki lain yang mengendarai motor sport kembali mengejutkan Isna terlebih dengan si lelaki tua yang langsung pergi saat itu juga.Isna masih menatap siapa gerangan pemilik motor sport yang kini berhenti tak jauh darinya.Sampai akhirnya si pemilik motor itu turun dari motornya dan membuka helmnya.Ternyata, dia Malik."Mari saya antar kamu pulang, ini sudah terlalu malam untukmu berkeliaran sendirian di luar!""Mari saya antar kamu pulang, ini sudah terlalu malam untukmu berkeliaran sendirian di luar!" ajak Malik saat itu."Apa? Berkeliaran? Saya itu habis pulang kerja! Enak saja berkeliaran! Anda pikir saya binatang ragunan berkeliaran!" omel Isna tidak terima.Sebenarnya Malik ingin tertawa, tapi sebisa mungkin dia tahan."Darimana anda tahu saya ada di sini?" tanya Isna setelah dirinya mampu mengendalikan rasa terkejut sekaligus kesal melihat kedatangan Malik secara tiba-tiba."Tadi saya mampir ke rumah dan Pak Dharma beritahu saya bahwa kamu bekerja di restoran Seafood daerah sini," jawab Malik apa adanya.Isna menatap tajam Malik. Sebuah tatapan menyelidik."Pak Dharma yang menyuruh saya untuk menjemput kamu," ucap Malik lagi."Cih! Bisa-bisanya anda pakai cara licik dengan mendekati Bapak saya? Nggak usah sok-sok baik apalagi cari perhatian dengan keluarga saya! Saya udah paham seberapa mesumnya kadar otak anda! Jangan berpikir saya akan kalah cuma gara-gara hutang! Kehidupan dan masa
"Dan inilah yang sudah saya katakan sejak awal mengenai penyakit yang Pak Malik derita selama ini, bahwa penyakit impoten yang Pak Malik derita bukan berasal dari faktor organik, tapi psikogenik. Semua ini hanya Pak Malik sendiri yang mampu menjawabnya, karena dari semua pemeriksaan medis, tidak ada yang bermasalah dalam diri Pak Malik. Pak Malik sehat secara fisik, hanya saja, batiniah Pak Maliklah yang selama ini terganggu. Mungkin, tidak cukup ketika Pak Malik dinyatakan sudah sembuh dari penyakit depresi yang pernah Pak Malik derita belasan tahun lalu, karena pada kenyataannya, dalam diri Pak Malik, Pak Malik belum bisa menerima takdir yang telah ditetapkan Tuhan terhadap diri Pak Malik," jelas seorang dokter yang selama ini menjadi Dokter pribadi Malik dalam menangani penyakit yang dideritanya.Malik dan sang Dokter kini sudah selayaknya sepasang teman karib karena semua rahasia pribadi terkelam yang pernah Malik rasakan dalam hidupnya kini sudah diketahui oleh sang Dokter."Apa s
"Halo, Wil?" ucap seorang lelaki di seberang. Dia baru saja menghubungi sahabat satu fakultasnya di Jogya yang bernama Wildan."Ya, ada apa?" tanya Wildan yang saat itu baru saja memparkirkan kendaraannya di depan restoran seafood tempat sang kekasih bekerja."Lo di mana? Clubbing yuk?""Sorry Yan, gue nggak bisa. Gue mau jemput Isna," jawab Wildan.Lelaki bernama Aryan yang menelepon Wildan tampak mengesah. Sebelah tangannya mengepal dengan ekspresi bengis yang nampak di wajah tampannya. "Gue kirain lo udah putus sama cewek itu?" ucapnya sinis."Putus? Putus gimana? Hubungan gue sama Isna baik-baik aja kali," ujar Wildan santai. Dia membuka pintu mobil untuk menunggu kedatangan Isna.Saat itu Aryan tidak berbicara apapun lagi dan langsung memutus sambungan teleponnya dengan Wildan, membuat lelaki berkemeja biru itu terheran-heran dengan tingkah sahabatnya.Palingan juga abis berantem lagi sama bokapnya!Gumam Wildan dalam hati.Wildan dan Aryan sudah saling mengenal saat mereka SD.Aw
Isna duduk termenung di Halte menunggu metromini lewat.Dia hendak pulang.Ditatapnya layar ponsel di tangannya.Tampil di wallpaper ponsel itu gambar dirinya bersama seorang lelaki yang telah memberikan ponsel itu secara cuma-cuma padanya, sekitar dua bulan yang lalu.*"Aku mau kamu terima ini. Kalau kamu tolak, aku akan marah," ucap Wildan saat lelaki itu memberikan Isna sebuah ponsel baru.Saat itu, malam terakhir Isna dan Wildan bertemu sebelum Wildan kembali ke Joyga untuk melanjutkan pendidikan.Isna terdiam dengan kedua tangan yang sudah menerima bungkusan berisi ponsel pemberian Wildan. Wildan memberikannya secara paksa."Jangan tersinggung. Aku beri kamu ponsel ini karena aku nggak mau kita sampai lose contact. Gimana aku bisa hubungi kamu di Jogya nanti kalau kamu nggak pegang Hanphone? Kalau aku kangen gimana? Kamu nggak kasian sama aku?" Suara Wildan terdengar manja. Jari telunjuknya menarik dagu Isna agar mendongak. Dia ingin menatap wajah Isna sampai puas malam ini.Sebe
"Yah? Nggak ada apa-apa? Kak Is nggak masak?" Uucap Hasna saat tak mendapati lauk pauk apapun di dapur. Padahal dia begitu lapar karena hari ini dia tidak jajan di sekolah."Kakakmu sakit, tadi pagi dia muntah-muntah pas lagi buat kue," jawab Dharma yang sedang menonton TV."Terus jadi nggak jualan hari ini?" tanya Hasna masih cemberut."Nggak. Tadi juga Bapak larang supaya nggak usah masuk kerja, tapi Isna kekeuh mau masuk kerja, yasudah. Katanya sudah minum obat."Hasna tidak menyahut. Gadis itu sibuk membuat mie di dapur. Dia tidak pernah terlalu perduli tentang apapun hal yang terjadi pada Isna, yang Hasna tau dirinya saat ini sangat lapar, dan dia harus segera makan.Selepas mie matang, Hasna memakannya di kamar.Gadis itu makan dengan lahap.Selesai makan, ketika sang Ayah tertidur, Hasna diam-diam masuk ke dalam kamar sang Kakak seperti yang biasa dia lakukan.Uang simpanan untuk ongkos kerja yang ditaruh Isna di selipan lipatan pakaian milik Isna diambilnya separuh.Hari ini H
Isna hamil.Jalan 8 minggu.Itulah yang dikatakan oleh dokter klinik yang memeriksa Isna tadi.Kini, keadaan Isna terlihat kacau.Gadis itu tak henti menangis di dalam mobil Malik, sementara Malik sendiri tidak tahu harus melakukan apa.Rasa bersalahnya semakin besar pada Isna. Sayangnya Malik terlalu pengecut untuk mengakui kesalahannya kepada gadis itu.Gadis yang telah dia rusak masa depannya."Isna, apa sebaiknya kita pulang saja?" Tanya Malik memberanikan diri.Isna tersadar saat mendengar suara Malik menyapanya. Tangisnya perlahan mereda meski rasa sesak di dadanya tak kunjung menghilang.Dia sudah diperkosa dan kini dia harus mendapati dirinya hamil hasil pemerkosaan itu.Isna yang kalut, bingung dan takut hanya bisa menangis dan menangis. Dia bahkan tak tahu kemana dirinya harus mengadu saat ini. Bahkan Isna merasa dirinya kini kehilangan harga diri di hadapan Malik.Pasti lela
"Sekarang, coba jelasin sama Mba, apa yang terjadi sama kamu semalam?" Tanya Isna pada sang adik usai dia mengantar Malik pulang.Kedua kakak beradik itu duduk di depan ruang ICU.Hasna menunduk takut. Titik-titik air matanya mulai kembali berjatuhan."Hasna juga nggak tau Mba. Seingat Hasna, Julian ajak Hasna pergi ke sebuah tempat yang emang pemandangannya indah. Hasna sama Julian ngobrol banyak hal di sana sampai Hasna lupa waktu. Terus, pas Hasna ajakin Julian pulang, Julian tawarin Hasna minuman. Setelah itu Hasna nggak inget apa-apa lagi..." Hasna menghentikan kalimatnya akibat tangisannya yang kian merebak. Dadanya sesak, terlebih ketika ingatannya tertuju pada kejadian yang dia alami tadi pagi.Di mana ketika dirinya terbangun, Hasna sudah berada di dalam sebuah kamar hotel dengan tubuh tanpa busana.Dan...Bersama tiga orang lelaki yang jelas-jelas bukan Julian."Hasna nggak tau apa yang udah mereka lakukan sama
Malik sudah memparkirkan kendaraannya di tepi jalan dekat gang rumah Isna.Itu artinya, kini waktunya dia berpisah dengan Isna yang harus kembali ke rumah."Makasih ya Om," kata Isna tersenyum."Oke, hati-hati,"Isna hendak membuka pintu mobil ketika dia teringat sesuatu. Ditariknya kembali tangannya dari handle pintu dan kembali berbalik menghadap Malik."Hm, mau mampir dulu ke rumah nggak Om? Ada yang mau saya bicarakan," ucap Isna setengah ragu.Kening Malik berkerut samar, dia menoleh jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam."Kayaknya udah terlalu malam. Dan lagi di rumah kamu nggak ada siapa-siapa sekarang. Nggak enak sama tetangga. Bicara di sini saja bisa?" saran Malik.Lelaki itu hanya tak ingin jika dirinya sampai lepas kontrol seperti malam itu. Berada berdekatan dengan Isna bukan hal yang mudah bagi Malik karena lelaki itu harus susah payah mengendalikan perasaannya. Dan...