Share

Curiga

“Aku tahu Bang Zaidan sudah berubah, Rin. Aku curiga jika ada duri dalam pernikahan kami. Sebagai seorang istri yang telah membersamainya selama bertahun-tahun, aku tahu hatinya telah berubah. Aku dapat merasakan ada wanita lain yang telah menggoda hatinya. Sepuluh tahun pernikahan kami bukan waktu yang singkat bagiku untuk mengenal suamiku sendiri. Waktu selama itu cukup untuk membuatku mengenal Bang Zaidan luar dalam, Rin.”

Isakan tangis  yang disertai lelehan bulir cairan bening mengalir di pipi Hanun. Sedangkan Rindu memilih untuk diam sementara. Membiarkan wanita yang sudah menjadi sahabatnya bertahun-tahun itu menumpahkan kesedihannya.

Hanya satu hal yang mampu dilakukan Rindu saat ini. Menggenggam erat kedua telapak tangan sahabatnya itu, berusaha untuk memberi kekuatan dengan segala daya yang dimilikinya. 

Suasana kafe Daun memang cukup sepi siang itu. Kedua wanita itu memang lebih memilih meja yang berada di pojok sebagai tempat duduk mereka. Lebih tepatnya pilihan Hanun. Wanita itu sudah siap untuk menumpahkan bulir beningnya di pojok kafe ini. Bulir bening yang stoknya ternyata masih cukup banyak walau sudah sering dikeluarkan satu bulan terakhir ini.

Hanun tak peduli jika kelenjar air matanya akan kering di malam-malam yang dilaluinya. Seorang diri bersimpuh di atas sajadah panjang di ruangan kecil yang disebutnya sebagai musala keluarga. Malam-malam panjang saat Hanun mencurahkan segala kegundahannya di sepertiga malam. Mengadu ke hadapan-Nya. Memohon petunjuk pada Sang Maha Pemilik Jiwa. Memohon ketenangan batin, namun tak kunjung juga di dapatkannya.

“Sekarang gawai Bang Zaidan dikunci dengan sandi. Aku sudah mencoba untuk membukanya beberapa kali. Namun selalu gagal. Entah apa yang disembunyikan oleh Bang Zaidan dalam gawainya itu."

Hanun kembali menumpahkan tangisannya. Membuat Rindu semakin mengeratkan genggaman tangannya pada wanita yang ada di hadapannya ini.

"Aku benar-benar tak mengerti, apa kesalahanku yang membuat Bang Zaidan berpaling pada wanita lain. Walaupun aku tak bekerja tapi aku selalu berpenampilan menarik di rumah, terutama di hadapan Bang Zaidan. Aku selalu berusaha menjaga cinta kami agar tetap ada. Tetap hangat walaupun tak lagi muda.”

Masih dengan isakannya, Hanun kembali menumpahkan semua emosinya di hadapan Rindu. Wanita yang sudah bersatus sebagai sahabatnya sejak mereka masih memakai seragam putih merah pun paham, tak banyak bertanya, hanya mendengarkan saja.

Persahabatan itu berlanjut dengan kebersamaan seragam putih biru, satu sekolah walaupun berada dalam ruang kelas yang berbeda. Masa-masa kuliah pun mereka habiskan dengan kebersamaan di kamar kos yang sama, walau sehari-harinya bergelut dengan aktivitas kuliah di kampus yang sama walaupun di fakultas yang berbeda.

Berada di kota yang sama dengan status anak rantauan membuat mereka saling menguatkan satu sama lain. Hampir separuh perjalanan hidup mereka lalui dalam cerita yang hampir sama.

Perdebatan yang tak jarang diakhiri dengan pertengkaran kecil pun kerap mewarnai cerita persahabatan itu. Tak akan lama karena akan selalu diakhiri dengan permintaan maaf dari salah satu di antara mereka.

Rindu pun menjadi saksi bagaimana hubungan antara Hanun dan Zaidan mulai terjalin. Laki-laki yang satu jurusan dengan Rindu itu pun mengenal sosok Laras dari dirinya. Kerap menitipkan salam, bunga bahkan cokelat menjadikan Rindu sebagai bagian dalam sejarah perjalanan rumah tangga mereka.

Rindu meraih sebotol air mineral kemasan dari dalam tasnya. Membuka segel kemasan botol  dan menyodorkannya ke Hanun.

"Minumlah dulu, Nun! Tenangkan dulu dirimu!  Cobalah berpikir jernih! Aku rasa Bang Zaidan bukanlah tipe laki-laki yang akan mudah memalingkan hatinya pada wanita lain," ujar Rindu dengan nada yang lembut.

"Kalian saling jatuh cinta dari awal kuliah. Banyak masa yang telah kalian habiskan untuk membuktikan bahwa cinta kalian berdua sama besarnya. Tak mungkin akan semudah itu Bang Zaidan mengkhianati cinta kalian yang sudah panjang jalannya ini. Beda dengan aku, Nun," tutur Rindu melanjutkan kalimatnya.

Jika melihat kebahagiaan sahabatnya, Rindu kerap kali merasa dan berpikiran bahwa dirinya bukanlah wanita yang beruntung. Sifat Rindu yang tertutup membuatnya sulit untuk didekati oleh kaum laki-laki. Ada bentangan jarak yang sengaja diciptakan Rindu pada setiap lelaki yang menunjukkan ketertarikan pada dirinya.

Rindu memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya dengan Yusuf, seorang pria mapan hasil perjodohan kedua orang tuanya setelah tiga tahun mengarungi kehidupan bersama dalam manisnya bahtera kehidupan yang bernama rumah tangga.  Bukan tanpa sebab keputusan itu akhirnya mereka pilih.

Vonis dokter kepada Rindu sebagai wanita mandul ternyata membuat celah bagi Yusuf untuk membagi hatinya pada wanita lain dengan alasan kedua orang tuanya mengharapkan keturunan dari putera semata wayang mereka. Alasan yang terlalu sangat klasik mungkin bagi sebagian besar orang.

Rindu memilih mundur, tak sanggup jika harus berbagi. Ternyata kebersamaan mereka selama tiga tahun tak cukup besar untuk membuat Yusuf menerima kekurangannya. Hanya demi mewujudkan impian kedua orang tua laki-laki itu, Rindu memilih mengalah dan melepaskan diri dari ikatan halal yang menyatukan mereka.

Pedih dan luka itu masih disimpan Rindu sampai saat ini. Menyadari bahwa vonis itu akan selalu membayanginya sepanjang hidup membuat Rindu lebih memilih menghabiskan usianya dengan urusan pekerjaan yang seolah tak pernah habisnya.

Imbasnya cukup baik. Tak perlu waktu lama untuk membuktikan seorang Rindu merupakan seorang wanita karir yang posisinya cukup diperhitungkan di perusahaan BUMN terbesar di provinsi ini. Tak pernah sekalipun Hanun mendengar keluhan dari bibir mungil sahabatnya itu tentang kesendiriannya. Semuanya tertutupi oleh kesuksesan yang diraih Rindu sebagai pengobat lukanya.

"Sejak kapan kamu mencurigai Bang Zaidan?" tanya Rindu sembari mulai menyeruput jus sirsak yang ada di hadapannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status