Tembok bata yang kasar menekan punggung Kania. Tubuh Arsa menindihnya, melindunginya dari pandangan jalanan. Kania bisa merasakan detak jantungnya sendiri berdebar kencang di dada Arsa, diiringi napas Arsa yang berat di telinganya. Aroma maskulin yang liar menyelimutinya—perpaduan tembakau, hujan, dan keringat.
"Tetap di sini," desis Arsa, suaranya lebih rendah dan mendesak dari sebelumnya. Mobil hitam itu melaju perlahan, lampu depannya menyapu gang sempit. Kania merasakan Arsa menegang. "Siapa mereka?" bisik Kania, nyaris tanpa suara. Ia menahan diri untuk tidak mendorong Arsa, menikmati (sekaligus takut pada) kedekatan yang terpaksa ini. "Diam," perintah Arsa, matanya fokus mengawasi bayangan mobil di balik sudut. "Aku tidak suka diperintah," balas Kania, napasnya bergetar. Dia tahu ini bukan saatnya, tetapi nalurinya untuk menolak dominasi muncul. "Kau terlibat sekarang, Kania. Aturannya bukan lagi milikmu," Arsa membalas, bibirnya menyentuh kulit telinga Kania saat dia bicara. "Jika kau membuat suara, aku akan pastikan kau tidak bisa bicara untuk seminggu." Ancaman itu membuat Kania terdiam. Bukan karena takut, tapi karena sensasi tension yang tercipta dari kata-kata itu. Setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, mobil itu berlalu. Arsa menunggu beberapa saat lagi, memastikan lorong benar-benar bersih. Dia kemudian melonggarkan pegangannya, tetapi tidak melepaskan Kania sepenuhnya. "Ikut aku," katanya, menarik tangan Kania. Genggaman Arsa kuat, memimpinnya menyusuri lorong gelap. "Ke mana?" Kania harus berlari kecil untuk mengimbangi langkah lebarnya. "Jauh dari sini. Tempat yang tidak mereka duga." Tiba-tiba, Arsa berhenti di depan sebuah pintu besi tua yang terlihat seperti gudang. "Masuk," perintahnya. "Aku tidak masuk ke tempat asing dengan pria yang dikejar-kejar orang asing," tolak Kania, napasnya tersengal. Arsa berbalik, raut wajahnya kembali keras. "Kau sudah membuat keputusan itu saat kau menggedor pintuku, Kania. Pilihannya: masuk dan aman bersamaku, atau tetap di sini dan hadapi mereka sendirian." Kania menatap mata gelap itu. Dia tahu Arsa tidak berbohong. Dia merasakan bahaya nyata. "Pilihanku selalu memilih yang liar," katanya, suaranya serak. Arsa tersenyum tipis lagi, senyum yang dingin. "Bagus." Dia membuka pintu besi itu, lalu mendorong Kania masuk. Bau debu, kayu basah, dan logam berkarat langsung menyeruak. Di dalam gelap, Kania terhuyung. Arsa segera menutup pintu di belakang mereka. "Kau baik-baik saja?" Arsa bertanya, nadanya kembali datar. "Tidak. Pria di kafe itu baru saja meninggalkanku sendirian. Aku membenci ini," Kania mencoba menyalakan ponselnya, tetapi Arsa dengan cepat menyambar dan mematikannya. "Tidak ada sinyal. Tidak ada cahaya," jelas Arsa. "Mereka mungkin mencari sinyal ponsel. Kita tunggu di sini sampai fajar." Kania menyandarkan diri ke dinding, matanya mulai terbiasa dengan kegelapan. Hanya cahaya temaram dari celah kecil di atap yang menerangi wajah Arsa. Dia terlihat lelah, tetapi waspada. "Sekarang," kata Kania, menyilangkan tangan di dada. "Ceritakan padaku. Siapa mereka? Dan mengapa kau berlumuran darah semalam?" Arsa bergerak mendekat, suara langkah kakinya menggema di ruangan kosong itu. Dia berhenti beberapa senti di depannya. Kania bisa merasakan hawa panas dari tubuhnya. "Kau tidak menanyakan namaku saat aku terluka," bisik Arsa. "Kau menanyakannya setelah aku mengancammu. Kau hanya tertarik pada bagian bahayanya." Kania menahan napas. "Mungkin. Bahaya itu membuatku merasa hidup. Sama seperti kau." Arsa menyentuh pipi Kania. Sentuhannya dingin, tetapi meninggalkan sensasi panas. "Kau belum tahu betapa bahayanya aku." Jari Arsa bergerak perlahan, menelusuri rahang Kania. "Jika aku memberitahumu, kau tidak akan bisa lari." "Aku tidak lari," tantang Kania. "Bagus," desis Arsa. "Anggap saja ini adalah permainan. Kau tetap di sisiku, dan aku akan melindungimu. Tapi imbalannya, kau harus melakukan apa yang aku perintahkan." Imbalan? Kania tahu ini bukan hanya tentang perlindungan. "Lalu, bagaimana kita memulai permainan ini, Arsa?" Arsa membungkuk, bibirnya mendekat ke telinga Kania. "Mulai dengan percaya padaku sepenuhnya, Kania. Dan jangan pernah bertanya lagi tentang masa laluku."Pagi datang. Bukan pagi yang damai. Udara dingin terasa menusuk, tetapi tubuh Kania masih diliputi panas dari konsekuensi yang terjadi setelah Taruhan Liar. Kania buru-buru berpakaian. Wajah Arsa dingin, kembali menjadi predator yang penuh rahasia."Tidak ada waktu," perintah Arsa, matanya menyapu sekeliling kamar seolah sedang mencari ancaman tak terlihat. "Mereka akan tahu kita di sini. Kita harus pergi."Kania menarik napas. Ia melihat Arsa mengambil dua tas ransel kecil yang sudah disiapkan di sudut kamar. Hanya berisi yang penting."Apa yang harus kubawa?" tanya Kania. Ia melihat ke sudut ruangan, hanya ada tas tangannya yang berisi lipstik dan dompet."Hanya dirimu. Itu sudah cukup berat," balas Arsa sinis, tetapi matanya menunjukkan kekhawatiran yang nyata. Ia tidak memberinya waktu untuk berpikir. "Kita keluar lewat pintu belakang. Sekarang!"Arsa bergerak ke jendela, menyingkap tirai sedikit. Ekspresinya mengeras. "Mereka tiba. Aku mendengar suara mesin mobil yang khas.""Bag
Ciuman itu bukan hanya hasrat, itu adalah penanda wilayah. Arsa menarik diri, napasnya memburu, matanya masih gelap dengan janji berbahaya. Kania merasakan seluruh tubuhnya panas dan gemetar. Ia tahu, di mata Arsa, ia kini bukan hanya tameng, ia adalah miliknya."Kau setuju dengan taruhannya," desis Arsa, suaranya mengandung nada kekalahan yang aneh, seolah ia baru saja menyerah pada keinginan terbesarnya. "Sekarang, tidak ada jalan kembali."Arsa tidak menunggu jawaban. Ia meraih pinggang Kania, mengangkatnya, dan membawanya menuju kamar di lantai atas. Sentuhan itu tegas, tidak ada keraguan, penuh dominasi yang Kania pilih sendiri."Arsa," bisik Kania, tangannya mencengkeram bahu Arsa. "Lukamu—""Luka itu tidak penting," potong Arsa. "Yang penting adalah kau. Dan kau membuat lukaku terasa lebih baik."Dia mendorong pintu kamar dengan kakinya. Di bawah cahaya remang-remang dari lampu tidur, Arsa memandangi Kania. Matanya tidak lagi dipenuhi amarah Vanya, melainkan kobaran api yang di
Arsa membanting pintu setelah Vanya pergi. Suara debuman itu terasa lebih final daripada ancaman Vanya. Kania dan Arsa berdiri di ruang tengah yang remang-remang, di tengah ketegangan yang begitu pekat hingga terasa panas di kulit."Kau melanggar perintahku," desis Arsa, mencengkeram bahu Kania dengan marah. "Kau membuatmu menjadi target. Kau seharusnya lari, Kania! Dia tidak main-main. Vanya adalah algojo mereka!""Dan kau seharusnya tidak meninggalkanku sendirian!" balas Kania, menepis tangan Arsa. "Aku tidak akan bersembunyi di balik dinding. Jika aku harus mati karena ini, aku ingin mati di garis depan!"Arsa menatap Kania, amarahnya perlahan tenggelam oleh tatapan campuran frustrasi dan hasrat yang liar. Dia melangkah maju, mendorong Kania ke dinding yang dingin. Tubuh mereka kembali bertemu, kali ini bukan karena ancaman, tapi karena kehendak yang sama."Kau ingin di garis depan?" bisik Arsa, suaranya serak. "Baiklah. Mari kita lihat seberapa jauh gilamu."Arsa menyentuh wajah K
Ketenangan di pagi itu terasa palsu. Setelah pengakuan Arsa, ada lapisan baru yang menyelimuti mereka: keintiman yang dibentuk oleh bahaya dan rahasia. Mereka berbagi sarapan sederhana di ruang tengah, Arsa tetap waspada di dekat jendela."Kau harus pergi," kata Arsa, nadanya lebih lembut dari biasanya, tetapi tegas. "Mereka akan menemukan kita, Kania. Kau bukan bagian dari ini.""Aku sudah bilang aku tidak pergi," balas Kania, meletakkan cangkir kopinya. "Aku tahu apa yang kau pegang. Aku akan membantumu menyembunyikannya."Arsa menatap Kania. "Kau benar-benar gila.""Mungkin. Tapi kau membutuhkanku." Kania berdiri dan melangkah mendekat. "Kau butuh seseorang untuk mengingatkanmu mengapa kau mencuri 'nyawa' itu, bukan hanya cara untuk tetap hidup."Arsa menarik Kania ke dalam pelukannya lagi, tetapi kali ini berbeda. Sentuhannya bukan lagi tentang dominasi, melainkan perlindungan dan kebutuhan. "Kau membuat ini sulit," bisiknya, mencium pucuk rambut Kania.Tiba-tiba, suara pintu depa
Pagi datang, tetapi rasa bahaya semalam belum hilang. Kania bangun dengan tubuh kaku. Arsa sudah tidak ada di sofa. Selimutnya rapi terlipat, seolah ia tidak pernah tidur.Kania mencari Arsa. Dia ada di dapur, memegang kopi hitam dan menatap peta yang sama di atas meja kayu."Aku pergi untuk mencari perlengkapan," kata Arsa, nadanya datar. "Kau tidur nyenyak?""Aku tidur di lantai. Aku rasa jawabannya jelas," balas Kania sinis. Dia tidak bertanya lagi soal ancaman semalam. Dia tahu Arsa tidak akan menjawab.Saat Arsa pergi ke kamar mandi, Kania melihat itu: buku harian bersampul kulit tua yang ia temukan semalam, kini terselip di balik tumpukan koran di meja. Ini adalah kesempatannya.Jantung Kania berdebar kencang, menyaingi rasa bersalah karena melanggar aturan Arsa. Dia harus tahu. Dia membuka buku itu, mencari nama, tanggal, atau kode yang bisa menjelaskan mengapa Arsa mencuri 'nyawa'.Dia hanya menemukan tulisan tangan yang kasar, penuh sketsa tentang senjata, dan sebuah nama yan
Arsa pergi. Rumah itu tenggelam dalam keheningan yang menyesakkan, jauh berbeda dari sunyi yang biasa Kania nikmati di apartemennya. Kania berdiri di depan jendela, matanya mengikuti bayangan Arsa yang menghilang di balik pepohonan. Aturan pertama: jangan keluar. Aturan kedua: jangan bertanya.Dia berjalan mondar-mandir. Rasa bosan, penasaran, dan penolakan terhadap aturan itu bergolak. Kania tahu dia harus tetap diam. Tapi dia juga tahu, jika dia ingin selamat, dia harus memahami siapa pria yang menjadikannya tameng ini.Aku tidak akan menjadi pionnya.Kania mulai menjelajahi rumah itu. Kamar di lantai atas. Dapur yang hampir kosong. Dia mencari petunjuk, sesuatu yang bisa menceritakan kisah Arsa tanpa Arsa harus bicara. Di ruang tengah, dia melihat meja kayu tempat Arsa meletakkan peta. Di bawah tumpukan majalah tua, ada sebuah buku harian.Jantung Kania berdebar kencang. Itu adalah buku bersampul kulit yang sudah usang. Ini adalah pelanggaran aturan terbesar.Ia mengambil buku itu,