Kania, tiga puluh tahun, memilih hidup dalam keheningan sejak patah yang tak ia bicarakan. Ia tak mencari cinta. Bahkan tubuhnya pun sudah lama lupa rasanya disentuh dengan sungguh-sungguh. Hingga Arsa pindah ke unit sebelah. Pria asing yang pulang larut, jarang bicara, tapi punya suara berat yang menggema di dinding tipis. Setiap malam, jarak mereka tak lebih dari satu tembok. Setiap pagi, tubuh Kania bangun dengan denyut yang tak bisa dijelaskan. Apa yang awalnya hanya suara—pelan-pelan menjadi obsesi. Dan obsesi itu, tanpa mereka sadari, saling tumbuh dari dua arah. Tapi kedekatan fisik tak pernah sesederhana yang terlihat. Ada luka yang belum selesai, ada batas yang mudah kabur saat malam terlalu lama, dan ada rahasia yang hanya muncul di antara ciuman dan bisikan paling sunyi.
View MoreApartemen di Unit 23B selalu sunyi, bukan sunyi yang damai, tapi sunyi yang mengancam—seperti museum yang terlupakan waktu dan manusia. Di sana, hanya suara jam dinding yang berdetak monoton, ritme yang membelah sunyi di keheningan jam dua dini hari. Listrik berdengung pelan dari balik kulkas tua yang nyaris tak pernah berhenti bekerja. Lampu jalan di luar jendela memantulkan cahaya temaram, menciptakan bayangan samar menari di dinding.
Kania duduk terpaku di kursi malasnya yang kusam, memeluk segelas wine murahan yang terasa getir di lidahnya. Anggur itu adalah teman jujurnya. Tiga bulan terakhir hidupnya hanyalah pengulangan yang menyakitkan: kesepian yang membungkusnya rapat, sebuah benteng dari luka lama. Ia sudah berjanji, tidak ada lagi drama. Tidak ada lagi keterlibatan. Malam ini berbeda. Janjinya terancam. Kania menegang. Ia mendengar suara itu. Bukan televisi. Bukan radio. Tapi sesuatu yang asing dan sangat dekat, datang dari balik dinding tipis Unit 23A, unit yang sudah berbulan-bulan kosong. Suara napas itu berat, tertahan, lalu dilepaskan pelan. Bukan napas tidur. Melainkan napas yang berjuang melawan sesuatu yang tak terlihat. Punggung Kania merinding. Rasa takut bercampur dengan rasa ingin tahu yang kuat—rasa yang lama ia kubur. Ia harus mengabaikannya. Ini bukan urusannya. Tapi suara itu terus mendesak, seolah mencari bantuan. Erangan rendah, seperti menahan sakit, disusul keheningan yang menyesakkan. Kania bangkit. Ia letakkan gelas wine itu di meja dengan bunyi denting terburu-buru. Ia berjalan menjauh dari dinding, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya suara bangunan lama. Namun, suara itu datang lagi. Lagi. Kali ini lebih jelas. Sebuah bunyi benturan pelan diikuti tarikan napas kasar, seolah udara direbut paksa. "Seseorang terluka," bisik Kania, nyaris tidak bersuara. Ia tahu, di dunia apartemen ini, tak ada yang mau ikut campur. Tapi ia tidak bisa membiarkannya. Kania melangkah pelan, mendekat ke dinding pembatas, telapak tangannya menempel pada lapisan cat yang dingin. Ia bisa merasakan getaran samar di baliknya. Ia meraih ponselnya. Jantungnya berdetak kencang. Ia menimbang-nimbang antara menelepon keamanan—yang pasti akan datang terlambat—atau menghadapi langsung. Ia menghela napas panjang. "Sialan," gumamnya. Drama, selalu drama. Kania menggeser kunci ganda di pintu apartemennya. Keputusannya sudah dibuat. Tepat saat ia membuka kunci, sebuah suara lirih datang dari balik dinding. "Tolong..." Suara laki-laki. Serak. Penuh keputusasaan. Kania memejamkan mata. Ia sudah berjanji pada dirinya untuk tidak lagi terlibat. Tapi suara itu... Suara itu memanggil sisi kemanusiaannya yang ia kira sudah mati. Ia membuka pintu, melangkah ke lorong sunyi. Di sana, di depan unit 23A, hanya ada kegelapan dan keheningan yang mencekam. Ia menarik napas, mengangkat tangan, dan menggedor pintu 23A dengan kepalan tangannya. "Halo! Siapa di dalam? Anda butuh bantuan?" Keheningan. Tidak ada jawaban. Kania menggedor lagi, lebih keras. "Saya akan panggil polisi jika Anda tidak menjawab! Saya serius!" Pintu itu tiba-tiba terbuka pelan, hanya selebar celah kecil. Dari celah itu, muncul mata gelap yang menatapnya tajam. Mata itu kelelahan, penuh amarah, dan berbahaya. Bau besi dan alkohol samar-samar tercium di udara. "Pergi," desis suara itu. Suara yang sama, tapi kini lebih kuat, lebih mengancam. Kania terkejut, namun ia menahan diri. Ia melihat sekilas bayangan tubuh yang besar dan tegap di balik pintu. "Saya dengar Anda kesakitan," balas Kania, mencoba menjaga suaranya tetap tegas. "Apa yang terjadi? Saya bisa bantu panggil ambulans." Sosok itu tidak bergerak, hanya mata gelap yang menatap Kania. Lorong itu terasa membeku. "Aku bilang, pergi," ulangnya, pelan, tetapi setiap kata terasa seperti ancaman. "Jangan pernah ikut campur urusanku." Kania menatapnya lurus, amarahnya muncul, memadamkan rasa takutnya. "Jika aku membiarkanmu, dan terjadi sesuatu, aku juga yang akan repot dengan polisi. Jadi, bicaralah. Siapa namamu?" Sosok itu akhirnya bergeser, membuka pintu lebih lebar, mengungkapkan sebagian tubuhnya yang besar. Sebuah luka di bahu yang berdarah samar terlihat jelas. Dia adalah Arsa. "Namaku Arsa," desisnya. "Dan sekarang, tutup pintumu dan kembali ke wine murahanmu itu." Arsa membanting pintu, suara debuman keras membelah lorong. Kania terdiam, menggigil di depan pintu unit 23A. Dia tahu, dia baru saja bertemu masalah—masalah yang menarik.Pagi datang. Bukan pagi yang damai. Udara dingin terasa menusuk, tetapi tubuh Kania masih diliputi panas dari konsekuensi yang terjadi setelah Taruhan Liar. Kania buru-buru berpakaian. Wajah Arsa dingin, kembali menjadi predator yang penuh rahasia."Tidak ada waktu," perintah Arsa, matanya menyapu sekeliling kamar seolah sedang mencari ancaman tak terlihat. "Mereka akan tahu kita di sini. Kita harus pergi."Kania menarik napas. Ia melihat Arsa mengambil dua tas ransel kecil yang sudah disiapkan di sudut kamar. Hanya berisi yang penting."Apa yang harus kubawa?" tanya Kania. Ia melihat ke sudut ruangan, hanya ada tas tangannya yang berisi lipstik dan dompet."Hanya dirimu. Itu sudah cukup berat," balas Arsa sinis, tetapi matanya menunjukkan kekhawatiran yang nyata. Ia tidak memberinya waktu untuk berpikir. "Kita keluar lewat pintu belakang. Sekarang!"Arsa bergerak ke jendela, menyingkap tirai sedikit. Ekspresinya mengeras. "Mereka tiba. Aku mendengar suara mesin mobil yang khas.""Bag
Ciuman itu bukan hanya hasrat, itu adalah penanda wilayah. Arsa menarik diri, napasnya memburu, matanya masih gelap dengan janji berbahaya. Kania merasakan seluruh tubuhnya panas dan gemetar. Ia tahu, di mata Arsa, ia kini bukan hanya tameng, ia adalah miliknya."Kau setuju dengan taruhannya," desis Arsa, suaranya mengandung nada kekalahan yang aneh, seolah ia baru saja menyerah pada keinginan terbesarnya. "Sekarang, tidak ada jalan kembali."Arsa tidak menunggu jawaban. Ia meraih pinggang Kania, mengangkatnya, dan membawanya menuju kamar di lantai atas. Sentuhan itu tegas, tidak ada keraguan, penuh dominasi yang Kania pilih sendiri."Arsa," bisik Kania, tangannya mencengkeram bahu Arsa. "Lukamu—""Luka itu tidak penting," potong Arsa. "Yang penting adalah kau. Dan kau membuat lukaku terasa lebih baik."Dia mendorong pintu kamar dengan kakinya. Di bawah cahaya remang-remang dari lampu tidur, Arsa memandangi Kania. Matanya tidak lagi dipenuhi amarah Vanya, melainkan kobaran api yang di
Arsa membanting pintu setelah Vanya pergi. Suara debuman itu terasa lebih final daripada ancaman Vanya. Kania dan Arsa berdiri di ruang tengah yang remang-remang, di tengah ketegangan yang begitu pekat hingga terasa panas di kulit."Kau melanggar perintahku," desis Arsa, mencengkeram bahu Kania dengan marah. "Kau membuatmu menjadi target. Kau seharusnya lari, Kania! Dia tidak main-main. Vanya adalah algojo mereka!""Dan kau seharusnya tidak meninggalkanku sendirian!" balas Kania, menepis tangan Arsa. "Aku tidak akan bersembunyi di balik dinding. Jika aku harus mati karena ini, aku ingin mati di garis depan!"Arsa menatap Kania, amarahnya perlahan tenggelam oleh tatapan campuran frustrasi dan hasrat yang liar. Dia melangkah maju, mendorong Kania ke dinding yang dingin. Tubuh mereka kembali bertemu, kali ini bukan karena ancaman, tapi karena kehendak yang sama."Kau ingin di garis depan?" bisik Arsa, suaranya serak. "Baiklah. Mari kita lihat seberapa jauh gilamu."Arsa menyentuh wajah K
Ketenangan di pagi itu terasa palsu. Setelah pengakuan Arsa, ada lapisan baru yang menyelimuti mereka: keintiman yang dibentuk oleh bahaya dan rahasia. Mereka berbagi sarapan sederhana di ruang tengah, Arsa tetap waspada di dekat jendela."Kau harus pergi," kata Arsa, nadanya lebih lembut dari biasanya, tetapi tegas. "Mereka akan menemukan kita, Kania. Kau bukan bagian dari ini.""Aku sudah bilang aku tidak pergi," balas Kania, meletakkan cangkir kopinya. "Aku tahu apa yang kau pegang. Aku akan membantumu menyembunyikannya."Arsa menatap Kania. "Kau benar-benar gila.""Mungkin. Tapi kau membutuhkanku." Kania berdiri dan melangkah mendekat. "Kau butuh seseorang untuk mengingatkanmu mengapa kau mencuri 'nyawa' itu, bukan hanya cara untuk tetap hidup."Arsa menarik Kania ke dalam pelukannya lagi, tetapi kali ini berbeda. Sentuhannya bukan lagi tentang dominasi, melainkan perlindungan dan kebutuhan. "Kau membuat ini sulit," bisiknya, mencium pucuk rambut Kania.Tiba-tiba, suara pintu depa
Pagi datang, tetapi rasa bahaya semalam belum hilang. Kania bangun dengan tubuh kaku. Arsa sudah tidak ada di sofa. Selimutnya rapi terlipat, seolah ia tidak pernah tidur.Kania mencari Arsa. Dia ada di dapur, memegang kopi hitam dan menatap peta yang sama di atas meja kayu."Aku pergi untuk mencari perlengkapan," kata Arsa, nadanya datar. "Kau tidur nyenyak?""Aku tidur di lantai. Aku rasa jawabannya jelas," balas Kania sinis. Dia tidak bertanya lagi soal ancaman semalam. Dia tahu Arsa tidak akan menjawab.Saat Arsa pergi ke kamar mandi, Kania melihat itu: buku harian bersampul kulit tua yang ia temukan semalam, kini terselip di balik tumpukan koran di meja. Ini adalah kesempatannya.Jantung Kania berdebar kencang, menyaingi rasa bersalah karena melanggar aturan Arsa. Dia harus tahu. Dia membuka buku itu, mencari nama, tanggal, atau kode yang bisa menjelaskan mengapa Arsa mencuri 'nyawa'.Dia hanya menemukan tulisan tangan yang kasar, penuh sketsa tentang senjata, dan sebuah nama yan
Arsa pergi. Rumah itu tenggelam dalam keheningan yang menyesakkan, jauh berbeda dari sunyi yang biasa Kania nikmati di apartemennya. Kania berdiri di depan jendela, matanya mengikuti bayangan Arsa yang menghilang di balik pepohonan. Aturan pertama: jangan keluar. Aturan kedua: jangan bertanya.Dia berjalan mondar-mandir. Rasa bosan, penasaran, dan penolakan terhadap aturan itu bergolak. Kania tahu dia harus tetap diam. Tapi dia juga tahu, jika dia ingin selamat, dia harus memahami siapa pria yang menjadikannya tameng ini.Aku tidak akan menjadi pionnya.Kania mulai menjelajahi rumah itu. Kamar di lantai atas. Dapur yang hampir kosong. Dia mencari petunjuk, sesuatu yang bisa menceritakan kisah Arsa tanpa Arsa harus bicara. Di ruang tengah, dia melihat meja kayu tempat Arsa meletakkan peta. Di bawah tumpukan majalah tua, ada sebuah buku harian.Jantung Kania berdebar kencang. Itu adalah buku bersampul kulit yang sudah usang. Ini adalah pelanggaran aturan terbesar.Ia mengambil buku itu,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments