Arsa tidak membawa Kania kembali ke apartemen mereka. Setelah memastikan mereka aman, ia memanggil taksi online ke sebuah rumah tua di pinggiran kota. Tempat itu sunyi, gelap, dan terasa seperti tempat persembunyian sempurna.
"Kau punya tempat rahasia," gumam Kania, melihat Arsa membuka kunci dengan gerakan cekatan. "Tentu saja." "Aku punya banyak hal, Kania. Kebanyakan tidak akan kau sukai," balas Arsa dingin. Dia menyalakan lampu redup yang tergantung di ruang tengah, menampakkan ruangan yang minimalis: hanya sofa kulit tua, meja kayu, dan suasana yang kental dengan bau debu. "Aku butuh melihat lukamu," kata Kania, mengabaikan perkataan Arsa. "Darahmu masih menodai bajuku." Arsa bersandar di dinding, matanya menyipit. "Aku bilang ini bukan urusanmu." "Dan aku bilang aku tidak suka diperintah," tantang Kania. "Kau menyeretku ke dalam masalahmu, Arsa. Aku pantas tahu seberapa parah masalah ini." Kania menunjuk ke noda merah di bahunya. "Jika kau mati karena infeksi, aku yang akan berurusan dengan polisi, dan kau tidak ingin itu terjadi." Arsa menghela napas, seolah ia baru saja kalah dalam pertaruhan kecil. "Ambil kotak P3K di laci meja itu." Kania tersenyum tipis. Kemenangan kecil. Ia menemukan kotak itu, penuh perban dan antiseptik. Ketika ia berbalik, Arsa sudah membuka kausnya. Kania menelan ludah. Bagian depan kaus hitamnya basah oleh keringat, menampakkan bentuk perut dan dada yang kencang. Dia memang pria yang besar. Tapi yang menarik perhatian Kania adalah luka di bahu kirinya. Luka itu dijahit kasar, sebagian benangnya robek, dan sepertinya mulai membiru. "Ini bukan luka baru. Tapi jahitannya terlepas," kata Kania, suaranya berusaha terdengar profesional. "Seorang dokter yang payah yang menjahitnya," Arsa bergumam, matanya mengawasi setiap gerakan Kania. "Aku akan membersihkannya. Duduk." Kania meraih alkohol dan kapas. Udara di antara mereka terasa tegang, terisi oleh keintiman yang dipaksakan. Kania berlutut sedikit di samping sofa, fokus pada lukanya. Saat ia membersihkan luka, Arsa mendesis. "Sakit?" bisik Kania. "Tidak sesakit pengkhianatan," balas Arsa datar. Kania menghentikan tangannya. "Siapa yang mengkhianatimu, Arsa? Kekasihmu? Atau rekan kerjamu?" Arsa meraih pergelangan tangan Kania, menghentikan gerakan Kania. Sentuhannya dingin dan dominan. "Kau harus belajar menahan lidahmu. Jangan bertanya tentang masa lalu. Itu berbahaya." Kania tidak menarik tangannya. Ia menatap mata Arsa, sengaja menantangnya. "Bahaya itu datang bersamamu. Aku sudah terlibat. Jadi, jangan menyembunyikannya dariku. Siapa yang mengejarmu?" Arsa menghela napas panjang, mata gelapnya melembut sedikit, seolah ia melihat dirinya sendiri dalam keberanian Kania. "Mereka adalah orang-orang yang berpikir aku mencuri sesuatu yang berharga milik mereka. Sesuatu yang seharusnya tidak pernah kucuri." "Apa itu?" Arsa tersenyum misterius. "Bukan emas atau berlian. Itu adalah nyawa." Mendengar kata itu, Kania merinding. Nyawa? Arsa melepaskan tangan Kania. "Lanjutkan pekerjaanmu, atau lukanya akan membusuk dan kau akan bertanggung jawab." Kania kembali fokus pada luka, menjahit kembali benang yang robek dengan tangannya yang gemetar. Dia tahu, sejak malam ini, dinding antara mereka bukan lagi tembok apartemen, tapi lapisan tipis benang yang bisa putus kapan saja. Setelah selesai, Kania mundur. "Selesai. Jangan bergerak. Jangan menyentuhnya." Arsa mengenakan kausnya kembali, menutupi lukanya, dan juga rahasianya. "Sekarang, kau tahu lebih dari yang seharusnya kau tahu." "Dan kau masih berutang penjelasan padaku." Arsa bangkit dan berjalan ke jendela, menatap malam. "Tidur. Kita akan berada di sini untuk sementara. Ada kamar di lantai atas." "Tunggu," kata Kania. "Kau tidak akan meninggalkanku di sini sendirian, 'kan?" Arsa berbalik, tatapannya menyapu Kania dengan intens. "Tentu saja tidak. Aku perlu memastikan kau tidak pergi. Kau adalah tameng baru terbaikku, Kania."Pagi datang. Bukan pagi yang damai. Udara dingin terasa menusuk, tetapi tubuh Kania masih diliputi panas dari konsekuensi yang terjadi setelah Taruhan Liar. Kania buru-buru berpakaian. Wajah Arsa dingin, kembali menjadi predator yang penuh rahasia."Tidak ada waktu," perintah Arsa, matanya menyapu sekeliling kamar seolah sedang mencari ancaman tak terlihat. "Mereka akan tahu kita di sini. Kita harus pergi."Kania menarik napas. Ia melihat Arsa mengambil dua tas ransel kecil yang sudah disiapkan di sudut kamar. Hanya berisi yang penting."Apa yang harus kubawa?" tanya Kania. Ia melihat ke sudut ruangan, hanya ada tas tangannya yang berisi lipstik dan dompet."Hanya dirimu. Itu sudah cukup berat," balas Arsa sinis, tetapi matanya menunjukkan kekhawatiran yang nyata. Ia tidak memberinya waktu untuk berpikir. "Kita keluar lewat pintu belakang. Sekarang!"Arsa bergerak ke jendela, menyingkap tirai sedikit. Ekspresinya mengeras. "Mereka tiba. Aku mendengar suara mesin mobil yang khas.""Bag
Ciuman itu bukan hanya hasrat, itu adalah penanda wilayah. Arsa menarik diri, napasnya memburu, matanya masih gelap dengan janji berbahaya. Kania merasakan seluruh tubuhnya panas dan gemetar. Ia tahu, di mata Arsa, ia kini bukan hanya tameng, ia adalah miliknya."Kau setuju dengan taruhannya," desis Arsa, suaranya mengandung nada kekalahan yang aneh, seolah ia baru saja menyerah pada keinginan terbesarnya. "Sekarang, tidak ada jalan kembali."Arsa tidak menunggu jawaban. Ia meraih pinggang Kania, mengangkatnya, dan membawanya menuju kamar di lantai atas. Sentuhan itu tegas, tidak ada keraguan, penuh dominasi yang Kania pilih sendiri."Arsa," bisik Kania, tangannya mencengkeram bahu Arsa. "Lukamu—""Luka itu tidak penting," potong Arsa. "Yang penting adalah kau. Dan kau membuat lukaku terasa lebih baik."Dia mendorong pintu kamar dengan kakinya. Di bawah cahaya remang-remang dari lampu tidur, Arsa memandangi Kania. Matanya tidak lagi dipenuhi amarah Vanya, melainkan kobaran api yang di
Arsa membanting pintu setelah Vanya pergi. Suara debuman itu terasa lebih final daripada ancaman Vanya. Kania dan Arsa berdiri di ruang tengah yang remang-remang, di tengah ketegangan yang begitu pekat hingga terasa panas di kulit."Kau melanggar perintahku," desis Arsa, mencengkeram bahu Kania dengan marah. "Kau membuatmu menjadi target. Kau seharusnya lari, Kania! Dia tidak main-main. Vanya adalah algojo mereka!""Dan kau seharusnya tidak meninggalkanku sendirian!" balas Kania, menepis tangan Arsa. "Aku tidak akan bersembunyi di balik dinding. Jika aku harus mati karena ini, aku ingin mati di garis depan!"Arsa menatap Kania, amarahnya perlahan tenggelam oleh tatapan campuran frustrasi dan hasrat yang liar. Dia melangkah maju, mendorong Kania ke dinding yang dingin. Tubuh mereka kembali bertemu, kali ini bukan karena ancaman, tapi karena kehendak yang sama."Kau ingin di garis depan?" bisik Arsa, suaranya serak. "Baiklah. Mari kita lihat seberapa jauh gilamu."Arsa menyentuh wajah K
Ketenangan di pagi itu terasa palsu. Setelah pengakuan Arsa, ada lapisan baru yang menyelimuti mereka: keintiman yang dibentuk oleh bahaya dan rahasia. Mereka berbagi sarapan sederhana di ruang tengah, Arsa tetap waspada di dekat jendela."Kau harus pergi," kata Arsa, nadanya lebih lembut dari biasanya, tetapi tegas. "Mereka akan menemukan kita, Kania. Kau bukan bagian dari ini.""Aku sudah bilang aku tidak pergi," balas Kania, meletakkan cangkir kopinya. "Aku tahu apa yang kau pegang. Aku akan membantumu menyembunyikannya."Arsa menatap Kania. "Kau benar-benar gila.""Mungkin. Tapi kau membutuhkanku." Kania berdiri dan melangkah mendekat. "Kau butuh seseorang untuk mengingatkanmu mengapa kau mencuri 'nyawa' itu, bukan hanya cara untuk tetap hidup."Arsa menarik Kania ke dalam pelukannya lagi, tetapi kali ini berbeda. Sentuhannya bukan lagi tentang dominasi, melainkan perlindungan dan kebutuhan. "Kau membuat ini sulit," bisiknya, mencium pucuk rambut Kania.Tiba-tiba, suara pintu depa
Pagi datang, tetapi rasa bahaya semalam belum hilang. Kania bangun dengan tubuh kaku. Arsa sudah tidak ada di sofa. Selimutnya rapi terlipat, seolah ia tidak pernah tidur.Kania mencari Arsa. Dia ada di dapur, memegang kopi hitam dan menatap peta yang sama di atas meja kayu."Aku pergi untuk mencari perlengkapan," kata Arsa, nadanya datar. "Kau tidur nyenyak?""Aku tidur di lantai. Aku rasa jawabannya jelas," balas Kania sinis. Dia tidak bertanya lagi soal ancaman semalam. Dia tahu Arsa tidak akan menjawab.Saat Arsa pergi ke kamar mandi, Kania melihat itu: buku harian bersampul kulit tua yang ia temukan semalam, kini terselip di balik tumpukan koran di meja. Ini adalah kesempatannya.Jantung Kania berdebar kencang, menyaingi rasa bersalah karena melanggar aturan Arsa. Dia harus tahu. Dia membuka buku itu, mencari nama, tanggal, atau kode yang bisa menjelaskan mengapa Arsa mencuri 'nyawa'.Dia hanya menemukan tulisan tangan yang kasar, penuh sketsa tentang senjata, dan sebuah nama yan
Arsa pergi. Rumah itu tenggelam dalam keheningan yang menyesakkan, jauh berbeda dari sunyi yang biasa Kania nikmati di apartemennya. Kania berdiri di depan jendela, matanya mengikuti bayangan Arsa yang menghilang di balik pepohonan. Aturan pertama: jangan keluar. Aturan kedua: jangan bertanya.Dia berjalan mondar-mandir. Rasa bosan, penasaran, dan penolakan terhadap aturan itu bergolak. Kania tahu dia harus tetap diam. Tapi dia juga tahu, jika dia ingin selamat, dia harus memahami siapa pria yang menjadikannya tameng ini.Aku tidak akan menjadi pionnya.Kania mulai menjelajahi rumah itu. Kamar di lantai atas. Dapur yang hampir kosong. Dia mencari petunjuk, sesuatu yang bisa menceritakan kisah Arsa tanpa Arsa harus bicara. Di ruang tengah, dia melihat meja kayu tempat Arsa meletakkan peta. Di bawah tumpukan majalah tua, ada sebuah buku harian.Jantung Kania berdebar kencang. Itu adalah buku bersampul kulit yang sudah usang. Ini adalah pelanggaran aturan terbesar.Ia mengambil buku itu,