Mag-log inKafe itu sunyi dan remang-remang, sesuai janji Arsa. Suara saxophone yang sendu membelai dinding. Kania tiba lima menit lebih awal, mengenakan dress yang seharusnya membuatnya merasa percaya diri, namun tangannya tetap dingin. Ia memesan Americano, mencoba menenangkan sarafnya.
Pintu kafe terbuka. Arsa masuk. Kania menahan napas. Pria yang berdiri di depannya bukanlah bayangan samar di lorong malam. Ia mengenakan kaus gelap yang menonjolkan otot-otot di balik lengannya, dan jaket kulit hitam yang memberinya aura berbahaya. Ia berjalan dengan langkah santai, tetapi matanya—mata gelap yang semalam menusuknya dengan ancaman—langsung mengunci Kania. Dia bahkan lebih berbahaya dari yang kubayangkan. "Kau datang," Arsa bergumam, suaranya dalam dan serak, saat ia berdiri di depan meja. Bukan pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan berbau kepemilikan. "Aku selalu menepati janji, Tuan Arsa," balas Kania, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil. Ia mendongak, merasakan tatapan Arsa menyapu dirinya dari atas ke bawah. Arsa menarik kursi di depannya. Gerakannya lambat, terkontrol. "Aku tidak menduga kau berani. Setelah apa yang kau lihat semalam." "Apa yang aku lihat? Hanya pria dewasa yang terluka karena ceroboh," Kania menyindir, menyembunyikan rasa penasaran gila yang mendesaknya untuk bertanya tentang luka di bahu itu. Arsa tersenyum tipis. Senyum yang tidak mencapai matanya. Itu adalah senyum seorang predator. "Ceroboh? Luka itu adalah pengingat bahwa kau tidak boleh terlibat. Aku bukan pria baik-baik, Kania. Sebaiknya kau kembali saja ke unit 23B dan lupakan suara-suara di balik dinding." Kania merasakan panas menjalar di pipinya. "Mengancamku lagi? Padahal baru lima menit kita duduk. Kau sungguh pria yang jujur." Ia menyesap kopi, matanya tak lepas dari mata Arsa. "Justru karena kau bilang aku tidak boleh, aku jadi ingin tahu." Arsa mencondongkan tubuhnya ke depan. Aroma maskulin yang bercampur dengan bau hujan dan sedikit tembakau menerpa Kania. Jarak mereka terlalu dekat. "Aku tidak main-main. Semalam, aku bisa saja melakukan hal buruk padamu. Tapi kau menggedor pintuku. Kau merusak rencanaku. Dan sekarang, kau duduk di sini." Arsa menghentikan kalimatnya, matanya menelusuri bibir Kania. "Aku penasaran, apa yang kau harapkan dari pertemuan dengan pria yang berlumuran darah?" Kania menelan ludah. Ini adalah permainan yang berbahaya, dan dia menyukainya. "Aku berharap kejujuran. Aku berharap cerita di balik nafas pagi yang kubayangkan selama ini." Arsa tertawa rendah. Suara itu sensual dan membuat Kania semakin terpaku. "Cerita cinta yang liar, Nona Kania? Aku bisa memberikannya padamu. Tapi itu akan datang dengan harga yang mahal." Tiba-tiba, Arsa menoleh, tatapannya membeku ke arah jendela. Ekspresi santainya lenyap, digantikan ketegangan yang tegang dan liar. "Ada masalah?" tanya Kania, mengikuti arah pandangnya. Arsa tidak menjawab. Ia meraih tangan Kania di atas meja—sentuhan pertamanya—dan genggamannya kuat, nyaris menyakitkan. "Kita harus pergi. Sekarang," desis Arsa, menarik Kania berdiri. Ia bahkan tidak melihat ke belakang. Kania terhuyung. "Tunggu, ada apa?" "Kau ingin drama? Konfliknya baru saja dimulai, Kania." Arsa menyeretnya keluar dari kafe, meninggalkan kopi yang baru dipesan dan membayar dengan beberapa lembar uang yang dilempar kasar ke meja kasir. Di luar, sebuah mobil hitam gelap melaju pelan melewati kafe. Arsa mendorong Kania ke balik dinding bata yang gelap. Tubuh mereka saling menempel, Arsa melindunginya. Kania merasakan detak jantungnya sendiri berdebar kencang di dada Arsa. "Siapa mereka?" bisik Kania, napasnya tersendat. "Itu bukan urusanmu," bisik Arsa kembali, bibirnya nyaris menyentuh telinga Kania. "Tapi sekarang, kau terlibat. Dan kau harus menurutiku."Kania, Lena, dan Gio berada di sebuah rumah sewa di Kepulauan Canary, Spanyol. Pulau yang cerah itu terasa seperti tempat yang aman, tetapi Kania tahu itu hanya masalah waktu. Setelah ia memutus kalung pelacak, Arsa akan datang.Lima hari setelah pelanggaran fatal itu, Gio mendapat sinyal. Bukan dari Vanya, melainkan dari Arsa."Dia tahu di mana kita berada?" tanya Kania, jantungnya berdebar."Dia tidak tahu pasti, tapi dia menyusul jejak Dimitri di Madrid, dan Dimitri menyusul Lena," kata Gio. "Arsa tahu kita tidak mungkin jauh. Dia akan tiba dalam 24 jam. Tapi bukan hanya dia."Gio menunjuk layar monitor. "Jejak Vanya dan Dimitri berkumpul. Mereka datang bersama. Mereka tahu Lena dan kau adalah satu-satunya cara untuk memancing Arsa."Kania meraih Lena, memeluknya erat-erat. "Kita harus pergi.""Terlambat," kata Gio. "Bandara sudah diawasi. Kita akan bertarung di sini. Ini adalah tempat terakhir di mana Arsa akan mengharapkan kita."Kania mengambil pistol dari ranselnya. Ia bukan la
Roma, Italia. Arsa duduk di balik meja marmer di penthouse sewaannya, menatap layar monitor yang kini hanya menampilkan titik hijau terakhir di Portugal, yang sudah pudar. Sinyal dari kalung pelacak Kania telah hilang.Titik itu tidak hanya hilang; titik itu diputus.Amukan Arsa tidak berbentuk teriakan atau penghancuran. Amukannya berupa ketenangan yang mematikan, sebuah badai yang membeku.Ia memejamkan mata, merasakan kosong di lehernya sendiri, tempat ia biasa meletakkan tangannya saat memeluk Kania. Kania telah memutuskan kontrak teritorial mereka.Arsa mengaktifkan saluran komunikasi aman. "Gio. Laporkan."Suara Gio terdengar tegang. “Sinyal terputus, Arsa. Vanya menyerang rumah aman. Mereka lari. Aku membawa mereka.”"Kau bohong," desis Arsa, suaranya sedalam ancaman. "Jika Vanya yang memutuskannya, sinyal itu akan mati di rumah itu. Tapi sinyal itu mati saat mereka berada di laut. Dia yang melepaskannya."Gio terdiam lama. “Dia melanggar, Arsa. Dia melanggar untuk menyelamatka
Laut Atlantik bergemuruh di sekitar kapal layar kecil itu, mencerminkan badai emosional di geladak. Kania berdiri, pistol Arsa yang diambilnya dari Dresden kini diacungkan ke Gio. Pistol itu goyah di tangannya, tetapi tekad di matanya keras."Aku tidak akan meninggalkan Lena," ulang Kania. Suaranya serak karena angin dan ketegangan. "Arsa membuat kontrak denganku. Aku adalah Bayangannya. Dan aku adalah penyelamat anak ini."Gio, seorang profesional yang dingin, menurunkan pistolnya, tetapi matanya tetap tajam dan penuh perhitungan. "Kau melanggar perintah paling fundamental Arsa. Kau memutus rantai. Kau tahu apa artinya itu?""Aku tahu. Artinya dia akan datang untuk menghukumku," jawab Kania. "Dan dia akan menghukumku karena aku memilih untuk tidak menjadi kelemahannya. Aku memilih untuk menjadi sekutunya yang benar."Gio menghela napas, memasukkan kembali pistolnya. "Kau tidak tahu seberapa buruk 'hukuman' yang bisa Arsa berikan saat ia merasa dikhianati. Terakhir kali, kau hanya men
Kania, Lena, dan Gio berada di atas kapal layar kecil yang bergerak cepat meninggalkan pesisir Portugal. Laut Atlantik terasa dingin dan luas, sebuah isolasi tak berujung yang seharusnya aman, tetapi terasa penuh ancaman.Lena tertidur di bawah dek, kelelahan. Kania duduk di geladak, di samping Gio yang mengendalikan layar. Angin laut yang dingin menerpa wajah Kania.Di leher Kania, kalung perak itu terasa semakin dingin. Itu adalah pengingat konstan akan kontrol posesif Arsa dari jarak jauh. Namun, kini kalung itu terasa seperti bom waktu."Gio," kata Kania, suaranya pelan. "Apakah Vanya bisa menggunakan sinyal pelacak ini untuk menemukan kita?"Gio tidak menoleh. Dia fokus pada kompas. "Jika dia cukup pintar, ya. Tapi pelacak itu hanya mengirimkan sinyal ke satelit Arsa. Vanya harus meretas jaringan Arsa.""Arsa melarangku melepasnya," bisik Kania. "Itu adalah hukuman dan klaimnya."Gio akhirnya menoleh, matanya tajam. "Arsa tidak tahu seberapa dekat Vanya dengan teknologinya. Arsa
Kania dan Lena tiba di sebuah rumah aman yang disediakan Gio di pesisir Portugal. Rumah itu terpencil, mewah, dan sepenuhnya dijaga. Itu seharusnya menjadi tempat peristirahatan, tetapi bagi Kania, itu terasa seperti penjara berlapis emas.Beberapa hari telah berlalu sejak perpisahan mereka di Pyrenees. Arsa kini berada di Italia, menarik perhatian musuh. Kania tahu Arsa berisiko, dan setiap detak jantungnya terasa seperti peringatan.Di leher Kania, kalung rantai perak tipis itu terasa dingin dan berat. Itu adalah ikatan terakhir Arsa—sebuah kalung pelacak yang menegaskan kendali posesifnya dari jarak ribuan kilometer.Lena perlahan mulai pulih. Kania berhasil membuatnya tertawa dan bermain di taman belakang yang berpagar tinggi. Kania, tanpa sadar, mulai mengambil peran sebagai figur ibu yang Lena butuhkan.Gio, yang mengawasi mereka, sering terlihat gelisah. Ia selalu membawa radio komunikasi dan senjatanya.Suatu sore, saat Kania sedang menyuapi Lena makan siang di teras yang cera
Udara Pegunungan Pyrenees terasa tajam dan beku. Arsa membawa mobil curian itu menyusup melalui jalur gunung tersembunyi yang Kania identifikasi di peta. Kabut tebal menyelimuti puncak-puncak batu, memberikan rasa isolasi yang sempurna.Mereka tiba di tempat yang ditentukan: sebuah pondok perburuan kecil yang sudah ditinggalkan. Arsa memarkir mobil di balik tebing batu.Lena terbangun. Dia melihat ke luar jendela dan meringkuk ketakutan. Kania segera memeluknya."Kita sudah sampai," kata Arsa, matanya menyapu sekeliling. "Gio ada di sini. Dia akan membawa kalian ke tempat yang aman."Kania menegang. "Kau bilang kami. Kau tidak ikut?""Aku tidak bisa," jawab Arsa. Ia menoleh ke Kania, wajahnya menunjukkan ketegasan yang dingin. "Dimitri dan Vanya akan melacak keberadaanku. Aku harus menarik perhatian mereka menjauh dari Spanyol. Aku akan ke Italia. Kau dan Lena akan ke Portugal, bersembunyi di bawah pengawasan Gio.""Aku tidak akan meninggalkanmu," desis Kania. Ia melanggar perintah po







