Share

Secangkir Bahaya

Author: Ophira Noctis
last update Last Updated: 2025-09-29 15:41:31

Kafe itu sunyi dan remang-remang, sesuai janji Arsa. Suara saxophone yang sendu membelai dinding. Kania tiba lima menit lebih awal, mengenakan dress yang seharusnya membuatnya merasa percaya diri, namun tangannya tetap dingin. Ia memesan Americano, mencoba menenangkan sarafnya.

Pintu kafe terbuka. Arsa masuk.

Kania menahan napas. Pria yang berdiri di depannya bukanlah bayangan samar di lorong malam. Ia mengenakan kaus gelap yang menonjolkan otot-otot di balik lengannya, dan jaket kulit hitam yang memberinya aura berbahaya. Ia berjalan dengan langkah santai, tetapi matanya—mata gelap yang semalam menusuknya dengan ancaman—langsung mengunci Kania.

Dia bahkan lebih berbahaya dari yang kubayangkan.

"Kau datang," Arsa bergumam, suaranya dalam dan serak, saat ia berdiri di depan meja. Bukan pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan berbau kepemilikan.

"Aku selalu menepati janji, Tuan Arsa," balas Kania, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil. Ia mendongak, merasakan tatapan Arsa menyapu dirinya dari atas ke bawah.

Arsa menarik kursi di depannya. Gerakannya lambat, terkontrol. "Aku tidak menduga kau berani. Setelah apa yang kau lihat semalam."

"Apa yang aku lihat? Hanya pria dewasa yang terluka karena ceroboh," Kania menyindir, menyembunyikan rasa penasaran gila yang mendesaknya untuk bertanya tentang luka di bahu itu.

Arsa tersenyum tipis. Senyum yang tidak mencapai matanya. Itu adalah senyum seorang predator. "Ceroboh? Luka itu adalah pengingat bahwa kau tidak boleh terlibat. Aku bukan pria baik-baik, Kania. Sebaiknya kau kembali saja ke unit 23B dan lupakan suara-suara di balik dinding."

Kania merasakan panas menjalar di pipinya. "Mengancamku lagi? Padahal baru lima menit kita duduk. Kau sungguh pria yang jujur." Ia menyesap kopi, matanya tak lepas dari mata Arsa. "Justru karena kau bilang aku tidak boleh, aku jadi ingin tahu."

Arsa mencondongkan tubuhnya ke depan. Aroma maskulin yang bercampur dengan bau hujan dan sedikit tembakau menerpa Kania. Jarak mereka terlalu dekat.

"Aku tidak main-main. Semalam, aku bisa saja melakukan hal buruk padamu. Tapi kau menggedor pintuku. Kau merusak rencanaku. Dan sekarang, kau duduk di sini." Arsa menghentikan kalimatnya, matanya menelusuri bibir Kania. "Aku penasaran, apa yang kau harapkan dari pertemuan dengan pria yang berlumuran darah?"

Kania menelan ludah. Ini adalah permainan yang berbahaya, dan dia menyukainya. "Aku berharap kejujuran. Aku berharap cerita di balik nafas pagi yang kubayangkan selama ini."

Arsa tertawa rendah. Suara itu sensual dan membuat Kania semakin terpaku. "Cerita cinta yang liar, Nona Kania? Aku bisa memberikannya padamu. Tapi itu akan datang dengan harga yang mahal."

Tiba-tiba, Arsa menoleh, tatapannya membeku ke arah jendela. Ekspresi santainya lenyap, digantikan ketegangan yang tegang dan liar.

"Ada masalah?" tanya Kania, mengikuti arah pandangnya.

Arsa tidak menjawab. Ia meraih tangan Kania di atas meja—sentuhan pertamanya—dan genggamannya kuat, nyaris menyakitkan.

"Kita harus pergi. Sekarang," desis Arsa, menarik Kania berdiri. Ia bahkan tidak melihat ke belakang.

Kania terhuyung. "Tunggu, ada apa?"

"Kau ingin drama? Konfliknya baru saja dimulai, Kania." Arsa menyeretnya keluar dari kafe, meninggalkan kopi yang baru dipesan dan membayar dengan beberapa lembar uang yang dilempar kasar ke meja kasir.

Di luar, sebuah mobil hitam gelap melaju pelan melewati kafe. Arsa mendorong Kania ke balik dinding bata yang gelap. Tubuh mereka saling menempel, Arsa melindunginya. Kania merasakan detak jantungnya sendiri berdebar kencang di dada Arsa.

"Siapa mereka?" bisik Kania, napasnya tersendat.

"Itu bukan urusanmu," bisik Arsa kembali, bibirnya nyaris menyentuh telinga Kania. "Tapi sekarang, kau terlibat. Dan kau harus menurutiku."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dada Malam, Nafas Pagi   Melarikan Diri dalam Kegelapan

    Pagi datang. Bukan pagi yang damai. Udara dingin terasa menusuk, tetapi tubuh Kania masih diliputi panas dari konsekuensi yang terjadi setelah Taruhan Liar. Kania buru-buru berpakaian. Wajah Arsa dingin, kembali menjadi predator yang penuh rahasia."Tidak ada waktu," perintah Arsa, matanya menyapu sekeliling kamar seolah sedang mencari ancaman tak terlihat. "Mereka akan tahu kita di sini. Kita harus pergi."Kania menarik napas. Ia melihat Arsa mengambil dua tas ransel kecil yang sudah disiapkan di sudut kamar. Hanya berisi yang penting."Apa yang harus kubawa?" tanya Kania. Ia melihat ke sudut ruangan, hanya ada tas tangannya yang berisi lipstik dan dompet."Hanya dirimu. Itu sudah cukup berat," balas Arsa sinis, tetapi matanya menunjukkan kekhawatiran yang nyata. Ia tidak memberinya waktu untuk berpikir. "Kita keluar lewat pintu belakang. Sekarang!"Arsa bergerak ke jendela, menyingkap tirai sedikit. Ekspresinya mengeras. "Mereka tiba. Aku mendengar suara mesin mobil yang khas.""Bag

  • Dada Malam, Nafas Pagi   Konsekuensi Posesif

    Ciuman itu bukan hanya hasrat, itu adalah penanda wilayah. Arsa menarik diri, napasnya memburu, matanya masih gelap dengan janji berbahaya. Kania merasakan seluruh tubuhnya panas dan gemetar. Ia tahu, di mata Arsa, ia kini bukan hanya tameng, ia adalah miliknya."Kau setuju dengan taruhannya," desis Arsa, suaranya mengandung nada kekalahan yang aneh, seolah ia baru saja menyerah pada keinginan terbesarnya. "Sekarang, tidak ada jalan kembali."Arsa tidak menunggu jawaban. Ia meraih pinggang Kania, mengangkatnya, dan membawanya menuju kamar di lantai atas. Sentuhan itu tegas, tidak ada keraguan, penuh dominasi yang Kania pilih sendiri."Arsa," bisik Kania, tangannya mencengkeram bahu Arsa. "Lukamu—""Luka itu tidak penting," potong Arsa. "Yang penting adalah kau. Dan kau membuat lukaku terasa lebih baik."Dia mendorong pintu kamar dengan kakinya. Di bawah cahaya remang-remang dari lampu tidur, Arsa memandangi Kania. Matanya tidak lagi dipenuhi amarah Vanya, melainkan kobaran api yang di

  • Dada Malam, Nafas Pagi   Taruhan yang Liar

    Arsa membanting pintu setelah Vanya pergi. Suara debuman itu terasa lebih final daripada ancaman Vanya. Kania dan Arsa berdiri di ruang tengah yang remang-remang, di tengah ketegangan yang begitu pekat hingga terasa panas di kulit."Kau melanggar perintahku," desis Arsa, mencengkeram bahu Kania dengan marah. "Kau membuatmu menjadi target. Kau seharusnya lari, Kania! Dia tidak main-main. Vanya adalah algojo mereka!""Dan kau seharusnya tidak meninggalkanku sendirian!" balas Kania, menepis tangan Arsa. "Aku tidak akan bersembunyi di balik dinding. Jika aku harus mati karena ini, aku ingin mati di garis depan!"Arsa menatap Kania, amarahnya perlahan tenggelam oleh tatapan campuran frustrasi dan hasrat yang liar. Dia melangkah maju, mendorong Kania ke dinding yang dingin. Tubuh mereka kembali bertemu, kali ini bukan karena ancaman, tapi karena kehendak yang sama."Kau ingin di garis depan?" bisik Arsa, suaranya serak. "Baiklah. Mari kita lihat seberapa jauh gilamu."Arsa menyentuh wajah K

  • Dada Malam, Nafas Pagi   Pihak Ketiga Muncul

    Ketenangan di pagi itu terasa palsu. Setelah pengakuan Arsa, ada lapisan baru yang menyelimuti mereka: keintiman yang dibentuk oleh bahaya dan rahasia. Mereka berbagi sarapan sederhana di ruang tengah, Arsa tetap waspada di dekat jendela."Kau harus pergi," kata Arsa, nadanya lebih lembut dari biasanya, tetapi tegas. "Mereka akan menemukan kita, Kania. Kau bukan bagian dari ini.""Aku sudah bilang aku tidak pergi," balas Kania, meletakkan cangkir kopinya. "Aku tahu apa yang kau pegang. Aku akan membantumu menyembunyikannya."Arsa menatap Kania. "Kau benar-benar gila.""Mungkin. Tapi kau membutuhkanku." Kania berdiri dan melangkah mendekat. "Kau butuh seseorang untuk mengingatkanmu mengapa kau mencuri 'nyawa' itu, bukan hanya cara untuk tetap hidup."Arsa menarik Kania ke dalam pelukannya lagi, tetapi kali ini berbeda. Sentuhannya bukan lagi tentang dominasi, melainkan perlindungan dan kebutuhan. "Kau membuat ini sulit," bisiknya, mencium pucuk rambut Kania.Tiba-tiba, suara pintu depa

  • Dada Malam, Nafas Pagi   Membuka Peti Rahasia

    Pagi datang, tetapi rasa bahaya semalam belum hilang. Kania bangun dengan tubuh kaku. Arsa sudah tidak ada di sofa. Selimutnya rapi terlipat, seolah ia tidak pernah tidur.Kania mencari Arsa. Dia ada di dapur, memegang kopi hitam dan menatap peta yang sama di atas meja kayu."Aku pergi untuk mencari perlengkapan," kata Arsa, nadanya datar. "Kau tidur nyenyak?""Aku tidur di lantai. Aku rasa jawabannya jelas," balas Kania sinis. Dia tidak bertanya lagi soal ancaman semalam. Dia tahu Arsa tidak akan menjawab.Saat Arsa pergi ke kamar mandi, Kania melihat itu: buku harian bersampul kulit tua yang ia temukan semalam, kini terselip di balik tumpukan koran di meja. Ini adalah kesempatannya.Jantung Kania berdebar kencang, menyaingi rasa bersalah karena melanggar aturan Arsa. Dia harus tahu. Dia membuka buku itu, mencari nama, tanggal, atau kode yang bisa menjelaskan mengapa Arsa mencuri 'nyawa'.Dia hanya menemukan tulisan tangan yang kasar, penuh sketsa tentang senjata, dan sebuah nama yan

  • Dada Malam, Nafas Pagi   Malam yang Lain

    Arsa pergi. Rumah itu tenggelam dalam keheningan yang menyesakkan, jauh berbeda dari sunyi yang biasa Kania nikmati di apartemennya. Kania berdiri di depan jendela, matanya mengikuti bayangan Arsa yang menghilang di balik pepohonan. Aturan pertama: jangan keluar. Aturan kedua: jangan bertanya.Dia berjalan mondar-mandir. Rasa bosan, penasaran, dan penolakan terhadap aturan itu bergolak. Kania tahu dia harus tetap diam. Tapi dia juga tahu, jika dia ingin selamat, dia harus memahami siapa pria yang menjadikannya tameng ini.Aku tidak akan menjadi pionnya.Kania mulai menjelajahi rumah itu. Kamar di lantai atas. Dapur yang hampir kosong. Dia mencari petunjuk, sesuatu yang bisa menceritakan kisah Arsa tanpa Arsa harus bicara. Di ruang tengah, dia melihat meja kayu tempat Arsa meletakkan peta. Di bawah tumpukan majalah tua, ada sebuah buku harian.Jantung Kania berdebar kencang. Itu adalah buku bersampul kulit yang sudah usang. Ini adalah pelanggaran aturan terbesar.Ia mengambil buku itu,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status