Home / Romansa / Dada Malam, Nafas Pagi / Arsa dan Malam yang Terbuka

Share

Arsa dan Malam yang Terbuka

Author: Ophira Noctis
last update Last Updated: 2025-05-16 15:30:09

Pagi menyusup ke kamar Kania. Bukan cahaya, tapi kenangan akan mata gelap Arsa yang membuatnya terjaga. Ia menatap langit-langit, kepalanya berat oleh sisa adegan semalam: desisan ancaman, bau besi, dan darah samar di bahu pria itu.

Kania turun dari ranjang, merasakan lengannya merinding. Ia melangkah ke jendela, menatap pagi yang cerah. Apakah pria itu baik-baik saja? Setelah ia kembali ke unitnya, ia tidak lagi mendengar suara apapun. Ia seharusnya merasa lega, tapi yang ia rasakan hanyalah kekosongan, diikuti rasa ingin tahu yang tak tertahankan.

Ia membuat teh hijau, mencoba kembali pada rutinitasnya. "Tidak ada lagi drama," janjinya pada diri sendiri. Tapi wajah Arsa, penuh rahasia dan kesakitan, terukir jelas di benaknya.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja. Kania mengambilnya, jantungnya berdetak kencang saat melihat notifikasi dari nomor tak dikenal.

Arsa: Pagi, Kania. Semalam aku dengar kau memutar musik jazz. Membuat malam jadi… berbeda. Maaf untuk kejadian tadi.

Kania tersentak. Dia tahu dia yang berinisiatif menggedor, tetapi mendengar Arsa mengakui momen tersebut membuat dadanya bergetar aneh. Dia membalas, jarinya menari di atas layar.

Kania: Pagi, Arsa. Aku yang seharusnya minta maaf karena ikut campur. Aku harap lukamu baik-baik saja.

Ia menyesap teh hijaunya. Detik-detik terasa lambat, menunggu balasan.

Arsa: Sudah teratasi. Dan tidak, aku yang perlu berterima kasih. Kau menghancurkan ketenangan yang kubangun dengan susah payah.

Kania: Menghancurkan ketenangan? Sejak kapan ketenangan jadi prioritas?

Arsa: Sejak aku memutuskan bahwa kesepian lebih aman. Kau pasti mengerti hal itu, nona unit 23B.

Kania tertegun. Bagaimana dia tahu aku kesepian? Malam sunyi ternyata tidak pernah benar-benar sunyi. Ia merasa seperti cangkangnya baru saja retak.

Kania: Mungkin. Tapi suaramu... dan ketidakpedulianmu pada ancamanku... itu menarik.

Arsa: Ah, jadi kau tertarik pada bahaya? Itu sisi yang tidak aku duga dari seorang wanita penikmat wine murahan.

Kania: Aku tertarik pada kejujuran, Tuan Arsa. Baik itu pada rasa pahit wine, maupun suara minta tolong di balik dinding.

Percakapan mereka mengalir cepat dan dalam, seolah dua orang asing yang telah lama terpisah kini menemukan jalur komunikasi yang tersembunyi. Mereka berbagi cerita tentang lagu favorit, mengapa mereka memilih tinggal di apartemen sunyi itu, hingga rutinitas yang mereka jalani sendiri. Bagi Kania, ini adalah retakan pertama pada benteng lukanya—sebuah harapan kecil yang mulai tumbuh.

Sore menjelang. Matahari mulai terbenam di luar jendela Kania, memancarkan warna oranye lembut. Kania menatap chat terakhir Arsa.

Arsa: Begini. Aku tidak suka berbicara lewat tembok. Aku tidak suka sembunyi. Bagaimana kalau kita ubah musik ini jadi pertemuan sungguhan? Secangkir kopi di kafe dekat taman. Tempat yang tenang, dengan musik yang tak kalah bagus. Aku ingin melihat siapa yang berani menggedor pintuku.

Kania menahan napas. Rasa ragu dan antusiasme bertarung sengit. Bertemu pria yang baru tadi malam mengancamnya, dan yang jelas-jelas menyembunyikan luka? Ini gila.

Kania: Aku setuju. Besok sore.

Arsa: Bagus. Aku akan kirim alamatnya. Sampai jumpa di sana.

Kania menutup ponsel, merasakan panas menjalar di pipinya. Tembok itu telah runtuh. Ia tahu hidupnya baru saja berubah. Arsa tidak hanya menghancurkan ketenangannya, tapi juga dinding yang ia bangun di hatinya.

Malam itu, mereka tidur dengan mimpi yang sama—mimpi tentang pertemuan yang akan mengubah segalanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dada Malam, Nafas Pagi   Melarikan Diri dalam Kegelapan

    Pagi datang. Bukan pagi yang damai. Udara dingin terasa menusuk, tetapi tubuh Kania masih diliputi panas dari konsekuensi yang terjadi setelah Taruhan Liar. Kania buru-buru berpakaian. Wajah Arsa dingin, kembali menjadi predator yang penuh rahasia."Tidak ada waktu," perintah Arsa, matanya menyapu sekeliling kamar seolah sedang mencari ancaman tak terlihat. "Mereka akan tahu kita di sini. Kita harus pergi."Kania menarik napas. Ia melihat Arsa mengambil dua tas ransel kecil yang sudah disiapkan di sudut kamar. Hanya berisi yang penting."Apa yang harus kubawa?" tanya Kania. Ia melihat ke sudut ruangan, hanya ada tas tangannya yang berisi lipstik dan dompet."Hanya dirimu. Itu sudah cukup berat," balas Arsa sinis, tetapi matanya menunjukkan kekhawatiran yang nyata. Ia tidak memberinya waktu untuk berpikir. "Kita keluar lewat pintu belakang. Sekarang!"Arsa bergerak ke jendela, menyingkap tirai sedikit. Ekspresinya mengeras. "Mereka tiba. Aku mendengar suara mesin mobil yang khas.""Bag

  • Dada Malam, Nafas Pagi   Konsekuensi Posesif

    Ciuman itu bukan hanya hasrat, itu adalah penanda wilayah. Arsa menarik diri, napasnya memburu, matanya masih gelap dengan janji berbahaya. Kania merasakan seluruh tubuhnya panas dan gemetar. Ia tahu, di mata Arsa, ia kini bukan hanya tameng, ia adalah miliknya."Kau setuju dengan taruhannya," desis Arsa, suaranya mengandung nada kekalahan yang aneh, seolah ia baru saja menyerah pada keinginan terbesarnya. "Sekarang, tidak ada jalan kembali."Arsa tidak menunggu jawaban. Ia meraih pinggang Kania, mengangkatnya, dan membawanya menuju kamar di lantai atas. Sentuhan itu tegas, tidak ada keraguan, penuh dominasi yang Kania pilih sendiri."Arsa," bisik Kania, tangannya mencengkeram bahu Arsa. "Lukamu—""Luka itu tidak penting," potong Arsa. "Yang penting adalah kau. Dan kau membuat lukaku terasa lebih baik."Dia mendorong pintu kamar dengan kakinya. Di bawah cahaya remang-remang dari lampu tidur, Arsa memandangi Kania. Matanya tidak lagi dipenuhi amarah Vanya, melainkan kobaran api yang di

  • Dada Malam, Nafas Pagi   Taruhan yang Liar

    Arsa membanting pintu setelah Vanya pergi. Suara debuman itu terasa lebih final daripada ancaman Vanya. Kania dan Arsa berdiri di ruang tengah yang remang-remang, di tengah ketegangan yang begitu pekat hingga terasa panas di kulit."Kau melanggar perintahku," desis Arsa, mencengkeram bahu Kania dengan marah. "Kau membuatmu menjadi target. Kau seharusnya lari, Kania! Dia tidak main-main. Vanya adalah algojo mereka!""Dan kau seharusnya tidak meninggalkanku sendirian!" balas Kania, menepis tangan Arsa. "Aku tidak akan bersembunyi di balik dinding. Jika aku harus mati karena ini, aku ingin mati di garis depan!"Arsa menatap Kania, amarahnya perlahan tenggelam oleh tatapan campuran frustrasi dan hasrat yang liar. Dia melangkah maju, mendorong Kania ke dinding yang dingin. Tubuh mereka kembali bertemu, kali ini bukan karena ancaman, tapi karena kehendak yang sama."Kau ingin di garis depan?" bisik Arsa, suaranya serak. "Baiklah. Mari kita lihat seberapa jauh gilamu."Arsa menyentuh wajah K

  • Dada Malam, Nafas Pagi   Pihak Ketiga Muncul

    Ketenangan di pagi itu terasa palsu. Setelah pengakuan Arsa, ada lapisan baru yang menyelimuti mereka: keintiman yang dibentuk oleh bahaya dan rahasia. Mereka berbagi sarapan sederhana di ruang tengah, Arsa tetap waspada di dekat jendela."Kau harus pergi," kata Arsa, nadanya lebih lembut dari biasanya, tetapi tegas. "Mereka akan menemukan kita, Kania. Kau bukan bagian dari ini.""Aku sudah bilang aku tidak pergi," balas Kania, meletakkan cangkir kopinya. "Aku tahu apa yang kau pegang. Aku akan membantumu menyembunyikannya."Arsa menatap Kania. "Kau benar-benar gila.""Mungkin. Tapi kau membutuhkanku." Kania berdiri dan melangkah mendekat. "Kau butuh seseorang untuk mengingatkanmu mengapa kau mencuri 'nyawa' itu, bukan hanya cara untuk tetap hidup."Arsa menarik Kania ke dalam pelukannya lagi, tetapi kali ini berbeda. Sentuhannya bukan lagi tentang dominasi, melainkan perlindungan dan kebutuhan. "Kau membuat ini sulit," bisiknya, mencium pucuk rambut Kania.Tiba-tiba, suara pintu depa

  • Dada Malam, Nafas Pagi   Membuka Peti Rahasia

    Pagi datang, tetapi rasa bahaya semalam belum hilang. Kania bangun dengan tubuh kaku. Arsa sudah tidak ada di sofa. Selimutnya rapi terlipat, seolah ia tidak pernah tidur.Kania mencari Arsa. Dia ada di dapur, memegang kopi hitam dan menatap peta yang sama di atas meja kayu."Aku pergi untuk mencari perlengkapan," kata Arsa, nadanya datar. "Kau tidur nyenyak?""Aku tidur di lantai. Aku rasa jawabannya jelas," balas Kania sinis. Dia tidak bertanya lagi soal ancaman semalam. Dia tahu Arsa tidak akan menjawab.Saat Arsa pergi ke kamar mandi, Kania melihat itu: buku harian bersampul kulit tua yang ia temukan semalam, kini terselip di balik tumpukan koran di meja. Ini adalah kesempatannya.Jantung Kania berdebar kencang, menyaingi rasa bersalah karena melanggar aturan Arsa. Dia harus tahu. Dia membuka buku itu, mencari nama, tanggal, atau kode yang bisa menjelaskan mengapa Arsa mencuri 'nyawa'.Dia hanya menemukan tulisan tangan yang kasar, penuh sketsa tentang senjata, dan sebuah nama yan

  • Dada Malam, Nafas Pagi   Malam yang Lain

    Arsa pergi. Rumah itu tenggelam dalam keheningan yang menyesakkan, jauh berbeda dari sunyi yang biasa Kania nikmati di apartemennya. Kania berdiri di depan jendela, matanya mengikuti bayangan Arsa yang menghilang di balik pepohonan. Aturan pertama: jangan keluar. Aturan kedua: jangan bertanya.Dia berjalan mondar-mandir. Rasa bosan, penasaran, dan penolakan terhadap aturan itu bergolak. Kania tahu dia harus tetap diam. Tapi dia juga tahu, jika dia ingin selamat, dia harus memahami siapa pria yang menjadikannya tameng ini.Aku tidak akan menjadi pionnya.Kania mulai menjelajahi rumah itu. Kamar di lantai atas. Dapur yang hampir kosong. Dia mencari petunjuk, sesuatu yang bisa menceritakan kisah Arsa tanpa Arsa harus bicara. Di ruang tengah, dia melihat meja kayu tempat Arsa meletakkan peta. Di bawah tumpukan majalah tua, ada sebuah buku harian.Jantung Kania berdebar kencang. Itu adalah buku bersampul kulit yang sudah usang. Ini adalah pelanggaran aturan terbesar.Ia mengambil buku itu,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status