Share

Dokter aneh

"Apa teman anda tidak bisa dipindahkan saja ke ruangan yang tadi?" Gadis itu mencoba untuk menegosiasi. Tapi ia harus menelan rasa kecewa saat Elia menggelengkan kepalanya.

"Nona, aku sadar aku sangat salah dan aku akan bertanggung jawab. Tapi jika kau menggunakan ruangan ini aku tidak bisa menjamin bisa membayarnya." Gadis itu memelas berharap hati Elia tergerak dan mau memindahkan ruangan pria itu.

"Begini saja ..." Elia meyilangkan kakinya. "Kau tidak perlu membayar biaya rumah sakit. Tapi, kau harus mau merawat temanku itu sampai dokter mengizinkannya pulang. Bagaimana?"

Gadis itu menatap Elia dengan tatapan tak percaya. "Kau tidak bercanda, Nona?" tanyanya dengan wajah polosnya.

Elia memiringkan kepalanya. "Apa wajahku terlihat seperti bercanda?" tanyanya dengan raut muka datar seperti biasa.

"Tidak, tapi..."

"Oh atau kau memilih untuk membayar biaya rumah sakit saja?" tukas Elia lagi.

Gadis itu segera menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak, maksudku baiklah, aku akan merawat temanmu itu sampai dokter mengizinkannya pulang."

Elia menyunggingkan salah satu sudut bibirnya. "Baiklah kalau begitu. Kau bisa mulai hari ini. Nanti malam kau juga harus tidur di sini, karena keluarganya tidak ada yang tahu dan aku sedang tidak bisa diganggu malam ini."

Gadis itu tak bisa menolak. Entah apa yang akan ia jadikan alasan untuk bisa menginap di rumah sakit malam ini, yang terpenting ia tidak harus membayar biaya rumah sakit yang begitu besar.

Tanpa permisi Elia meninggalkan gadis itu untuk menemui Rafa kembali, la berdiri di samping ranjang Rafa, kemudian berpamitan untuk pergi ke kantin rumah sakit sebentar untuk makan siang. 

"Aku lapar! Kau di sini bersama gadis itu." Elia menunjuk gadis tadi dengan dagunya. "Dia akan menjagamu selama kau di rumah sakit. Aku akan sangat sibuk dua hari ini, mungkin aku akan mengunjungi mu pagi hari saja sebelum berangkat kuliah," jelas Elia.

Rafa memasang wajah memelas. "Apa tidak bisa kau saja El yang menemaniku? Aku tidak mengenalnya, bagaimana kalau dia membunuhku?"

Spontan saja Elia menjitak kepala Rafa.

"Aww ..." Pria itu mengusap kepalanya.

"Apa kau gila? Dia tidak mungkin membunuhmu, kau bisa lihat wajahnya yang ketakutan saat berhadapan denganku." Elia kembali menatap gadis yang tengah duduk di sudut ruangan. "Dia terlalu polos untuk membunuhmu," ucapnya lagi.

Rafa berdecak, bola matanya terlihat begitu malas.

"Sudahlah, kau membuatku semakin lapar. Aku tinggal dulu, jangan bertengkar dengannya." Elia terkikik sembari berjalan meninggalkan Rafa yang menatapnya malas.

"Oh ya, Nona. Siapa namamu?" Elia menghentikan langkahnya tidak jauh dari tempat gadis itu duduk.

"Bela, Nona"

Elia hanya mengangguk kemudian kembali berjalan untuk keluar dari ruangan tersebut.

***

Kantin rumah sakit.

"Hai, Nona, boleh aku bergabung denganmu?"

Elia sama sekali tak mengangkat wajahnya saat seseorang berdiri di samping mejanya.

"Diam artinya boleh," ujar seseorang itu sembari mendudukkan dirinya di depan Elia.

Gadis itu sama sekali tak peduli dengan kehadiran orang asing yang sebenarnya cukup mengganggunya. Saat ini yang ia butuhkan hanya makan dan membalas pesan penting yang tengah masuk ke dalam ponselnya.

"Perkenalkan namaku Hayden, boleh aku tahu namamu?" Pria itu menyodorkan tangannya. 

Tapi, tak ada respon sama sekali dari Elia. Hingga Hayden akhirnya menarik kembali tangannya.

"Aku dokter di sini, apa kau menunggu salah seorang pasien, atau sedang membesuk saja?" tanya Hayden basa basi. Tapi nihil semua pertanyaan pria itu tidak dihiraukan oleh Elia. Namun, sepertinya dokter tampan itu tak menyerah, ia terus saja bertanya pada gadis itu sembari mengunyah makan siangnya.

Elia mulai jengah mendengar setiap pertanyaan seseorang yang mengaku sebagai dokter itu. la menatap pria itu dengan datar.

"Wah, akhirnya kau mau melihat wajah tampanku." Pria itu tersenyum lebar kepada Elia, membuat gadis itu merasa semakin muak. Dan tiba-tiba saja pria itu menyodorkan ponselnya. "Boleh aku meminta nomor ponselmu, Nona? aku sangat ingin mengenalmu lebih jauh."

"Apa anda tidak lelah dokter, berbicara tanpa henti seperti itu?" tanya Elia dingin.

Pria itu masih menyunggingkan senyumnya. "Tentu tidak Nona. Apalagi bertanya pada gadis cantik sepertimu, tidak akan ada kata lelah untukku."

Elia memutar bola matanya malas, la melihat waktu istirahat makan siang sudah habis, ia pun berkata pada dokter itu, "tapi dokter, sepertinya anda harus segera kembali bekerja, karena waktu makan siang sudah terlewat." la berharap dokter itu segera pergi dari hadapannya. Tapi ia malah dibuat kesal dengan jawaban dokter itu.

"Ah, itu bukan masalah, Nona. Aku tadi melewatkan setengah jam waktu makan siang untuk menangani seorang pasien, jadi aku masih memiliki waktu setengah jam yang aku lewati tadi untuk menemanimu makan." Pria itu benar-benar menguji kesabaran Elia.

"Tapi aku tidak ingin kau temani dokter," ujar Elia tegas.

"Tapi aku ingin menemanimu!" Jawaban pria itu menyulut emosi Elia. Tanpa banyak kata Elia berdiri, kemudian meraih tas dan juga ponselnya sebelum ia melangkah pergi meninggalkan dokter itu.

Elia menjalankan mobilnya setelah ia berpamitan pada sahabatnya, Rafa. Suasana hatinya berubah buruk saat bertemu dokter aneh tadi, la pun memutuskan untuk pulang dan beristirahat di rumah.

Hampir satu jam ia menempuh perjalanan. Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, Elia bergegas masuk ke dalam rumah. Rumah besar nan mewah itu hanya di huni olehnya dan sang kakek bersama beberapa pelayan setia mereka.

Kesunyian menyapa Elia saat gadis itu masuk. Hal yang selalu ia rasakan dan mungkin tak akan pernah bisa hilang. Tak ingin memperdalam rasa sunyi itu, Elia segera menaiki tangga menuju kamarnya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status