Share

Hayden

Seluruh pegawai rumah sakit menyapa seorang dokter yang baru saja berjalan melewati mereka. Beberapa dari perawat wanita langsung membuat sebuah lingkaran untuk membicarakan dokter tersebut. Pujian demi pujian keluar dari bibir mereka tanpa henti seperti biasa. Mengagumi setiap apa yang ada pada tubuh dan hati pria itu.

Dokter tersebut tersenyum miring melihatnya. Dengan sengaja ia mengedipkan sebelah mata pada sekumpulan para perawat wanita tadi dan membuat mereka heboh, la tersenyum geli melihatnya.

"Pagi dokter," sapa salah seorang resepsionis rumah sakit.

"Pagi," balasnya dengan satu senyuman yang begitu memabukkan.

"Hayden!" Suara seorang wanita yang begitu ia kenal menyuruh dirinya untuk berhenti dan berbalik menghadap wanita itu. la tersenyum mendapati sahabat wanitanya yang sudah beberapa hari ini tak terlihat.

"Hai, Jen!" Mereka berpelukan. "Kau sudah pulang rupanya," katanya sembari merenggangkan pelukan mereka.

"Tentu saja, aku tidak akan betah berlama-lama di sana. Apalagi tidak ada dirimu, aku merasa sangat kesepian." Gadis yang bernama Jeni itu melingkarkan tangannya pada lengan Hayden. Mereka berjalan beriringan menuju IGD tempat mereka bertugas sembari menceritakan apa saja kegiatannya selama di Bandung kemarin.

***

Hari ini Hayden terlihat sedikit lebih sibuk dari biasanya. Banyak pasien IGD yang membutuhkan pertolongannya.

"Sejak kapan putra Anda mengalami demam seperti ini?" Hayden bertanya pada wanita paruh baya yang ia perkirakan ibu dari pasiennya kali ini.

"Sejak kemarin, Dok. Setelah pulang dari sekolah putra saya muntah-muntah, diare, dan tadi malam dia demam tinggi. Saya pikir karena dia kelelahan, jadi hanya saya kompres saja. Tapi, demamnya tidak turun sama sekali dan tetap muntah, Dok," jawab ibu itu dengan penuh khawatir.

Hayden tersenyum menenangkan. "Apa Nyoya tahu makanan apa yang terakhir kali dikonsumsi putra Anda?"

Ibu itu mencoba untuk mengingat-ingat makanan apa yang baru dikonsumsi putranya kemarin. "Seingat saya, dia makan tiga bungkus roti beberapa jam sebelum muntah-muntah."

Hayden nampak berpikir, mencoba menerka apa yang terjadi pada pasiennya ini. "Apa dirumah Anda masih ada roti yang dimakan putra Anda?," tanya Hayden, la ingin memastikan sesuatu sebelum mendiagnosis pasiennya.

"Masih, Dok. Kenapa memangnya?"

"Apa Anda sudah melihat tanggal kadaluwarsa roti tersebut? Karena diagnosis saya, putra Anda seperti ini akibat mengonsumsi makanan kadaluwarsa." Hayden melihat wajah ibu itu terkejut. 

Ibu itu mengambil ponselnya untuk menghubungi rumah. Sesaat setelah ibu itu berbicara dengan seseorang, ibu itu menutup mulut, cukup terkejut. Dokter itu benar, roti yang ia berikan pada putranya ternyata sudah melebihi tanggal layak konsumsi.

"Lalu bagaimana ini, Dok? Apakah sangat berbahaya? Tolong sembuhkan putra saya, Dokter," ujar ibu itu dengan nada khawatir.

Dengan sangat tenang Hayden mengatakan, "sebenarnya tidak terlalu berbahaya, Nyonya. Dehidrasi yang dialami putra Anda akan segera pulih dengan infus. Tapi alangkah baiknya putra Anda dirawat dulu untuk pemulihan."

Ibu itu menyetujui saran Hayden. Setelah mendapatkan intruksi untuk mengurus kamar yang akan digunakan putranya, ibu itu berpamitan pada Hayden dan tak lupa mengucapkan terima kasih.

Hayden tersenyum menatap kepergian ibu tadi, la yakin, ibu itu sangat menyayangi putranya. Terlihat dari sorot mata ibu itu, penuh dengan kekhawatiran. Sama seperti ibunya yang juga sangat menyayangi dirinya dan juga adiknya. Ah, jadi rindu ibu, gumamnya sambil tersenyum. Padahal setiap hari mereka bertemu, termasuk pagi tadi.

Hayden sangat bersyukur memiliki seorang ibu penyayang. Sering kali ia mendapati pasiennya yang datang tapi tidak didampingi oleh orang tuanya dan malah hanya didampingi oleh asisten rumah tangga mereka. Jika mereka itu orang dewasa ia tidak masalah, tapi yang sering ia temui pasien anak-anak. Miris sekali hidup mereka, masih kecil tapi kekurangan kasih sayang orang tua.

Dokter muda tampan itu sering kali merenung tentang nasib para anak-anak yang selalu ditinggal tanpa perhatian oleh orang tua mereka. Apa jadinya mereka saat besar nanti?. Bukankah kasih sayang orang tua sangat penting untuk perkembangan anak-anak? Lalu, kenapa zaman sekarang lebih banyak orang tua yang memilih untuk fokus pada pekerjaan mereka daripada mengobrol dan memberikan perhatian pada anak?. Meskipun anak zaman sekarang sangat suka pada uang, tetapi hati mereka tak bisa memungkiri jika kasih sayang jauh lebih mereka butuhkan.

Seseorang menepuk bahu Hayden, menyadarkan pria itu dari lamunannya. Pria itu menolehkan kepala, la tersenyum mendapati Jeni berdiri tepat dibelakangnya. "Kau mengejutkan aku, Nona," desis Hayden dengan wajah dibuat datar.

"Oh, maaf Tuan. Tapi sekarang sudah waktunya makan siang. Apakah Dokter Hayden tidak ingin pergi ke kantin sekarang?"

Hayden terkekeh, la merangkul bahu sahabatnya itu kemudian mendorongnya menuju kantin rumah sakit. "Tentu saja aku lapar Dokter Jen. Kau yang paling tahu, aku orang yang mudah sekali lapar," ujarnya diakhiri dengan suara tawa saat gadis itu mencibir.

"Ya, kau memang manusia yang mudah lapar, tapi juga paling sering menunda makan." Ketus Jeni sedikit kesal.

Ya, Jeni memang sangat mengerti manusia seperti apa Hayden, la tahu segalanya tentang Hayden. Karena mereka sudah bersahabat sejak duduk di bangku SMA. Sepuluh tahun berlalu, namun tak membuat mereka berselisih. Mereka selalu berusaha untuk saling mengerti satu sama lain.

Entah karena tak bertemu selama beberapa hari atau memang ada sesuatu yang terjadi pada Hayden. Jeni merasa pria itu sedang berbunga-bunga. Sorot matanya terlihat sangat berbeda dari biasanya. Senyumnya yang selalu terkembang, hari ini tampak lebih merekah. Jeni menatap penuh selidik pada sahabatnya itu. Tak mampu menerka apa yang terjadi, Jeni akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.

"Sepertinya kau sangat bahagia hari ini, apa terjadi sesuatu yang tidak aku tahu?." Jeni bertanya sambil menopangkan dagunya pada kedua tangannya yang terkepal.

"Ya, aku sangat bahagia, Jen." Pancaran wajah bahagia yang begitu kentara, tiba-tiba membuat Jeni tersipu. Apa dia bahagia karena aku sudah pulang?, tebaknya sendiri.

"Katakan, apa yang membuatmu bisa sebahagia ini." Dengan perasaan berdebar, Jeni menantikan jawaban dari Hayden.

"Kau tahu, akhirnya aku menemukan gadis itu." Mata Hayden berbinar, mengingat kejadian kemarin. Saat ia bertemu seseorang yang ia cari selama ini.

Jen menautkan alisnya, tak mengerti. Bertemu? Gadis? Siapa? Kenapa Jen tiba-tiba lupa dengan satu cerita Hayden tentang ini.

"Aku tidak tahu maksudmu, Hayden," ujarnya kemudian.

Hayden memajukan kursinya untuk lebih dekat dengan Jen.

"Kau masih ingat tentang kecelakaan yang terjadi padaku lima tahun yang lalu?" Hayden mencondongkan tubuhnya pada Jen.

Jen mengerjapkan matanya, berusaha mengingat kejadian itu. Dan ya! Jen ingat saat mobil Hayden ditabrak dari belakang oleh mobil lain yang menyebabkan mobil pria itu menabrak pembatas jalan. Kemudian ia diselamatkan oleh seseorang yang mengemudi dibelakangnya.

"Ya, aku ingat"

Hayden semakin tersenyum lebar. "Aku bertemu dengan orang yang telah menyelamatkanku waktu itu."

Jen membelalakkan matanya. "Bagaimana bisa?"

"Aku tidak tahu, mungkin Tuhan ingin aku berterima kasih pada gadis itu setelah menyelamatkan aku bertahun-tahun yang lalu dengan mempertemukan aku dengan dia di sini."

"Di-di sini?"

"Ya, di sini. Kemarin aku bertemu dengannya di kantin ini saat makan siang."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status