Share

Cinta?

Pagi hari menyapa seorang gadis yang masih terlelap. Waktu sudah hampir beranjak siang, namun gadis itu masih enggan membuka matanya. 

Elia baru menyelami mimpi selama tiga jam. 

Semalam ia menyusun dan mengoreksi kembali skripsi yang akan ia serahkan pada dosen pembimbing nanti. Pada pukul tiga, Elia baru bisa menutup laptop beserta matanya dan beristirahat. Tapi, hal seperti itu sudah biasa baginya. 

Rasa malas menjalar pada setiap sendinya. Tapi, mau tak mau Elia tetap bangun dan memulai harinya. Ia beranjak dari tempat tidur untuk membersihkan diri. Selesai dengan urusan berdandan Elia turun untuk sarapan. 

Sunyi. Rumah besar yang ia huni tak menampakkan keramaian sama sekali. Jika dipagi hari beberapa orang wanita sibuk mengurus anak dan suaminya, jangan harap dapat melihat hal seperti itu di rumah Elia. 

Elia melihat meja makan kosong. Bukan tidak ada makanan. Tapi, tidak ada yang menduduki kursi kosong di sana. Elia menatap seorang asisten rumah tangga yang berdiri tak jauh dari meja makan tersebut. 

"Apa kakek sudah berangkat?" tanya Elia pada gadis itu. 

"Sudah, Nona," jawabnya dengan kepala tertunduk. 

Elia duduk dan kembali bertanya, "Apa dia meninggalkan pesan?" 

Pelayan itu membantu Elia membalik piring. "Tuan hanya berpesan Anda harus sarapan dengan benar, Nona." 

"Baiklah, kau boleh pergi." 

Pelayan itu menunduk, kemudian melangkah pergi seperti perintah nona mudanya. 

Seperti itulah pagi Elia. Tidak ada sambutan hangat, tidak ada sarapan bersama. Hanya ada piring dan kursi dingin yang menemaninya. Seakan memberikan energi dingin untuk gadis itu. 

***

Elia memarkirkan mobilnya di parkiran kampus. Ia bergegas mencari dosen pembimbingnya. Meskipun ia sudah memiliki janji dengan dosen tersebut. Elia tetap berusaha menjaga kesopanan dengan tidak datang terlambat.

"Permisi, Pak!" Elia membuka pintu ruangan dosen tersebut setelah mengetuknya. 

Senyum dosen itu mengembang. "Kamu sudah datang, El?" 

Elia mengangguk. Kemudian duduk di depan Mr. Sanjaya setelah dipersilahkan. Tanpa berbasa-basi lagi, Elia menyerahkan beberapa lembar kertas hasil susunannya senalam dan mereka membahas beberapa hal mengenai skripsi Elia. 

Satu jam berlalu. Mereka baru saja menyelesaikan diskusinya. Sebagai gadis cerdas, banyak hal yang El tanyakan pada dosennya itu. Dan dengan senang hati dosen itu menjawab segala pertanyaan Elia sebisanya tanpa menimbulkan perdebatan. 

"Kau itu sama seperti ayahmu. Dia dulu juga sangat kritis sepertimu. Kau benar-benar fotokopian ayahmu, El." 

Elia menatap Mr. Sanjaya datar. Suasana hatinya berubah seketika. 

"Aku harap ayahmu segera... "

"Aku harus segera kembali, Pak." Elia memotong pembicaraan dosennya dengan paksa. Ia paling benci membicarakan ayahnya dengan orang lain. "Terima kasih untuk ilmu yang anda berikan hari ini. Saya permisi!" Tanpa menghilangkan rasa hormat Elia meninggalkan Mr. Sanjaya yang masih diam terpaku. 

Ada perasaan bersalah yang menjalar pada diri dosen itu. Ia salah bicara. Ia lupa tidak boleh membicarakan tentang orang tua Elia, meskipun ayah Elia adalah sahabat dekatnya. 

***

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Elia setelah duduk di dekat ranjang Rafa. 

"Lebih baik dari kemarin." Pria itu tersenyum menatap sahabat kecilnya. "Kau sudah menemui Mr. Sanjaya?" tanyanya kemudian. 

"Tentu. Aku tidak ada kelas hari ini. Jadi aku putuskan untuk mengunjungimu saja." Mata Elia menatap sekeliling. "Di mana gadis itu?" 

"Dia sedang pergi. Mengurus pendaftaran di universitas," jawab Rafa sembari memasukkan sepotong apel ke dalam mulutnya. 

"Aku pikir usianya tidak jauh dari kita."

"Dia masih semester dua. Mahasiswa transfer dari kota XX." Elia mengernyitkan keningnya. 

"Aku dengar, ayahnya baru saja meninggal. Jadi, dia pulang untuk menemani ibunya, karena kakaknya berada di luar negeri dan tidak mungkin untuk pulang ke sini."

Kening Elia semakin berlipat. Sudut bibirnya sedikit terangkat. "Kau masih satu hari bersamanya, tapi kau sudah tahu banyak hal ternyata." Elia mencondongkan tubuhnya untuk lebih dekat dengan Rafa. "Apa terjadi sesuatu dengan kalian semalam?" 

Rafa mendorong kening Elia. "Apa maksudmu Nona Kamelia? Aku bahkan berbicara dengannya hanya saat aku membutuhkan sesuatu." 

Elia masih menggoda Rafa dengan menyudutkan pria itu. "Bulshit!"

Rafa berdecak. "Aku tidak sengaja mendengar pembicaraannya dengan dokter yang menanganiku," jelas Rafa dengan malas. 

Elia hanya terkekeh melihat raut kesal Rafa. "Apa dia baik padamu?" tanya Elia kemudian. 

Mengangguk sekilas. "Sejauh ini kami tidak saling mengobrol. Hanya saja dia selalu melakukan apapun yang aku suruh, termasuk menyuapi ku. Jadi katakan saja dia baik padaku." 

"Ah, aku takut lama-lama kau jatuh cinta padanya," cibir Elia. 

Seutas senyum kecil tertepis di wajah Rafa. "Kenapa jika aku jatuh cinta padanya? kau cemburu?" Pria itu menaikkan kedua alisnya. 

Tawa Elia meledak mendengarkan apa yang baru saja Rafa katakan. "Omong kosong apa itu, Raf? aku? cemburu?" Elia mengibas-ibakan tangannya dan menutupi mulutnya. Tidak ada tanggapan apapun dari Rafa, menghentikan tawa Elia seketika. Ia berdehem.

"Ehm... ehm... " 

"Tentu saja tidak Rafael." Gadis itu mengulum bibirnya, berusaha untuk tidak menyemburkan tawanya lagi. "Sejak kapan aku memiliki kata cemburu dalam kamus hidupku?," gumamnya lirih. 

"Aku hanya tidak ingin kau berubah karena masalah cinta. Cinta itu membuat hidupmu rumit dan bodoh, Raf." Elia menggelengkan kepalanya. "Sudahlah, kita bahas hal lain saja."

Setelah itu hening, tidak ada percakapan lagi antara mereka berdua. Hanya suara detik jam saja yang terdengar. Mereka larut dalam dunia masing-masing. 

***

"Jen, Jen, Jen... " Hayden menepuk-nepuk bahu Jeni berkali-kali saat mereka berjalan menuju tempat parkir. 

"Kau ini kenapa Hayden?" Jen berbalik dengan kesal. Rasa kesalnya bertambah saat Hayden sama sekali tak berucap dan malah menatap arah lain. Gadis itu mendengus kasar. Kemudian meninggalkan Hayden sendiri. 

"Hei, Jen. Kenapa kau meninggalkanku." Teriak Hayden sambil melangkah cepat mengejar Jeni. 

"Aku ingin cepat pulang Hayden." Sungut Jeni, ia semakin kesal karena Hayden kembali menariknya menjauhi area parkir rumah sakit. 

"Hayden," Jeni menarik-narik pergelangan tangannya agar terlepas dari pria itu. 

"Ikut aku sebentar saja," ucap Hayden tanpa menghentikan langkahnya. 

"Katakan dulu ke mana kau akan membawaku." Jeni mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu kenapa Hayden membawanya kembali ke lobi rumah sakit. 

Hayden tak menjawab pertanyaan sahabatnya. Lambat laun ayunan kakinya melambat, dan berhenti saat mereka sampai di depan sebuah ruangan VIP. 

Hayden melongok, menatap ke dalam ruangan tersebut melalui kaca pintu yang begitu kecil. 

Jeni merasa aneh dengan apa yang Hayden lakukan. Apalagi saat bibir pria itu tiba-tiba tersenyum. Jen agak terkejut saat Hayden tiba-tiba membalikkan dirinya, membuatnya reflek melangkah mundur. 

Senyum Hayden benar-benar aneh, menurut Jeni. Gadis itu hanya menggelengkan kepala. Kemudian mengikuti langkah kaki Hayden kembali. 

"Hei, kenapa kau tersenyum seperti itu? dan untuk apa kau mengintip ruangan VIP itu?" tanya Jeni untuk mengurangi rasa penasarannya. 

"Aku tadi melihat gadis itu lagi, Jen. Maka dari itu aku mengikutinya. Dan sekarang aku tahu ruangan mana yang digunakan gadis itu," jelas Hayden dengan senyum secerah matahari. 

Gadis? 

Ah iya, Jen baru ingat. Kemarin Hayden bercerita mengenai gadis yang telah menyelamatkannya beberapa tahun yang lalu. Jadi ternyata benar gadis itu ada di rumah sakit ini. 

"Apa gadis itu dirawat?"

"Tidak, Jen-ku sayang. Dia menunggu seseorang. Mungkin temannya. Ah aku harap begitu. Semoga pria yang dia tunggu bukan kekasihnya," 

"Kenapa memangnya jika pria itu kekasihnya?" tanya Jen dengan kening berlipat. 

Hayden menatap Jen datar. "Itu artinya aku akan patah hati, Jen."

Jen terkesiap dengan jawaban Hayden. Wajahnya berubah seketika. 

"Kau menyukainya, Hayden?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status