Share

Akan menolak

"Hayden, apa kamu bisa mengantarkan El pulang? Ada beberapa hal yang harus aku urus malam ini."

Hayden tersenyum senang. Matanya melirik gadis cantik yang baru ia tahu namanya. Kepalanya mengangguk lembut, meskipun dalam hatinya ia bersorak gembira. "Tentu saja, Kek. Dengan senang hati aku akan mengantar cucu cantik Anda dengan selamat."

Abraham tertawa, disusul yang lain. "Kamu memang perayu seperti kakekmu," ucap Abraham. Ia sama sekali tak menghiraukan tatapan datar cucunya. Yang ia inginkan sekarang, cucunya dekat dengan dokter muda itu. 

"Kek, aku bisa pulang sendiri," bisik Elia pada kakeknya. Abraham hanya melirik saja. 

"Kamu ingin pulang sekarang, El? Baiklah, tidak masalah." Menatap Hayden, kemudian berucap, "Hayden, antarkan cucuku pulang, dan tolong jaga dia." 

Elia melebarkan matanya tak percaya. Ia sangat yakin pendengaran kakeknya masih berfungsi dengan baik. Tidak mungkin pria berusia hampir tujuh puluh tahun itu tidak mendengar bisikannya.

Hayden kembali mengangguk. "Mari, Nona, saya antarkan pulang." Hayden berpamitan pada keluarganya sendiri dan Abraham. Disusul Elia yang juga melakukan hal yang sama. Ralat dengan dorongan dari kakeknya. 

"Maaf, Paman. Aku tidak sengaja mendengar bisikan Elia pada Anda, tapi kenapa Paman mengutarakan yang sebaliknya?" tanya Jordan penasaran. Jarak mereka sangat dekat, dan ia bisa mendengar jelas apa yang Elia katakan. 

Abraham tersenyum, kemudian berkata, "aku hanya ingin mereka lebih dekat." 

"Bukankah keputusan tetap pada mereka? Kita hanya mempertemukan mereka malam ini," ucap Jordan lagi. 

"Apa kamu tidak ingin cucuku menjadi menantumu?" 

"Tentu ingin, Paman. Cucu anda adalah gadis impian setiap mertua. Tapi, sepertinya cucu anda tidak menyukai putra kami." Sejak duduk, Jordan mengamati pandangan mata Elia. Entah kenapa, ia merasakan keengganan dari gadis itu terhadap putranya. Sebagai orang biasa, Jordan tak serta merta langsung menyetujui perjodohan ini hanya karena harta. Hati seseorang tidak bisa dibeli dengan uang, dan ia akan tetap menghargai jika cucu sahabat ayahnya menolak putranya. 

"Itu tidak masalah, Jo. Cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu," ujarnya sembari menghela napas. "Cucuku membutuhkan pendamping seperti putramu. Dan aku sangat yakin putramu menyukai cucuku."

***

"Hai, Nona. Kita belok kiri atau kanan?" Hayden menoleh sekejap pada gdis cantik di sampingnya, kemudian kembali fokus pada jalan. 

"Kiri," jawan Elia asal. Enggan sekali berbicara pada pria sok akrab ini. 

"Hei, apa kau tuli? Aku bilang ke kiri." Elia menatap kesal Hayden, karena pria itu berbelok ke arah kanan. 

"Kau tidak bisa menipuku, Nona El. Kakekmu sudah mengirim alamat rumahmu." Hayden tersenyum menyeringai. "Aku hanya menguji kejujuranmu," ucapnya dengan tatapan meremehkan. 

Elia memandang tak percaya pria itu. Bagaimana bisa dia ditipu dengan mudah?. Ingin rasanya Elia melompat dari dalam mobil ini. Ia sangat tidak suka berdekatan dengan pria yang ia sebut sebagai dokter aneh. 

"Oh, ya Nona El. Siapa yang kau temani di rumah sakit? Dalam beberapa hari ini aku melihatmu di sana." Hayden mencoba mencairkan suasana. Suhu dingin dari udara luar terasa lebih pekat dengan sikap Elia yang tak kunjung berbicara. 

"Bukan urusanmu!" Ketus gadis itu tanpa menatap wajah Hayden. 

"Nona, kenapa kau selalu bersikap ketus padaku? Padahal aku bertanya baik-baik." 

Elia memutar bola matanya malas. "Bukan urusanmu!"

"Apa kau tidak memiliki kosa kata lain, Nona?" 

Menatap sengit Hayden. Elia melontarkan lagi kalimat andalannya. "Bukan urusanmu!" 

Hayden meraup wajahnya frustasi. Dalam hatinya ia mengumpati gadis cantik di sampingnya ini. Tapi, rasa penasaran terhadap gadis itu jauh lebih besar dari kejengkelannya. 

Tak ingin memancing emosi Elia. Hayden memfokuskan diri pada jalan raya, mengikuti petunjuk arah dari ponselnya. 

Satu jam berlalu. Kemacetan jalan menghambat perjalanan mereka yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu tiga puluh menit. Akhir pekan, jalanan sangat padat meskipun hari sudah sangat gelap.

Mobil SUV hitam memasuki halaman rumah dengan gerbang menjulang tinggi. Pengemudi mobil tersebut menghentikan kendaraannya dengan perlahan. Cepat-cepat ia membuka pintu mobilnya sendiri. Mengitari bagian depan mobilnya hendak membuka pintu untuk seseorang yang tadi duduk di sampingnya. Namun, terlambat!. Pintu itu sudah terbuka, dan penumpangnya sudah turun bahkan berjalan meninggalkannya. 

Hayden berlari mengejar gadis itu. Dengan sangat mudah ia berjalan sejajar karena langkah lebarnya. Hayden mencekal pergelangan tagan gadis itu. Menghentikan langkah Elia. 

Menatap tak suka pada dokter muda itu. Elia menepis tangan Hayden dengan kasar. Dan matanya menatap tajam. 

Hayden mengangkat kedua tangannya. "Ok, aku tidak akan menyentuhmu," ujarnya paham. "Tapi aku ingin berbicara denganmu dulu, Nona El." 

"Apa yang ingin kau bicarakan?, aku tidak punya banyak waktu," tanya Elia ketus. 

Hayden tersenyum. "Bagaimana jika akhir pekan depan kita makan malam, atau sekedar jalan-jalan," usulnya ditanggapi kekehan oleh Elia. 

"Untuk apa?" 

"Supaya kita bisa lebih dekat." 

Elia mengerutkan keningnya. Kepalanya menggeleng dengan satu sudut bibir terangkat. "Sepertinya tidak perlu, Dokter. Karena aku akan menolak perjodohan ini."

Hayden sedikit terkejut mendengarnya. Gadis ini menolak? Tapi kenapa?. 

"Kenapa kau menolaknya, Nona?. Apa aku kurang tampan untukmu?." Hayden menggeleng. Tentu tidak mungkin itu alasannya. "Katakan, Nona! Apa yang membuatmu menolakku? Maksudku, jelaskan di mana letak kekuranganku." 

"Aku tidak berminat memiliki suami cerewet sepertimu," kata Elia tegas. 

"What? Apa kau bercanda?" 

Elia memajukan tubuhnya, memiringkan kepala seraya berkata, "Apa wajahku terlihat sedang bercanda?"

Dengkusan Hayden terdengar keras. Ia berkacak pinggang. "Tapi aku tidak akan menolak perjodohan ini. Dan aku sangat yakin kakek Abraham akan berada di pihakku," ujarnya jemawa. 

Bola mata Elia memutar malas. "Jangan terlalu percaya diri, Dokter. Belum tentu kakekku menurutimu, karena aku cucunya." Tanpa pamit, Elia melangkah meninggalkan Hayden yang masih berdiri di tempatnya. 

"Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus bisa menikah denganmu, Nona Kamelia," gumam Hayden seraya melangkahkan kakinya meninggalkan pelataran rumah mewah keluarga Abraham. 

Senyum smirk-nya terbit tatkala ia mendapatkan sebuah ide. 

***

"Tuhan! Kenapa tidak Kau ambil saja nyawaku daripada harus menikah dengan pria itu." Elia membanting tubuhnya di atas kasur. Ia menatap langit-langit kamarnya. Meratapi nasib. Buruk sekali, gadis cantik sepertinya harus dijodohkan. 

Elia membuang napasnya kasar. Ia tahu, tidak akan mudah membantah kakeknya. Tapi, kali ini ia harus bisa melakukannya. Elia akan bersikeras bahkan akan bersujud pada kakeknya jika sampai perjodohan ini tetap terjadi. 

Bukan Elia tak tertarik pada ketampanan dokter muda itu. Elia hanya merasa risih dengan sikapnya. Ia tak terbiasa dengan seseorang yang berisik. Elia cinta ketenangan, dan pria itu sama sekali tak bisa tenang. 

Sangat menjengkelkan!, gumam Elia. 

Gadis itu masih tak habis pikir, kenapa sang kakek mencarikannya suami. Padahal pria tua itu pasti tahu bahwa ia tak memiliki minat untuk menikah. 

Ya, mungkin terlalu aneh untuk seorang gadis sepertinya. Tak memiliki impian pernikahan. Elia, hanya Elia. 

Jika semua gadis sudah merencanakan seperti apa pernikahan mereka sejak sekolah. Menetukan kriteria pria impian mereka untuk dijadikan pendamping seumur hidup. Maka sangat berbeda dengan Elia. 

Dia bukan gadis dengan sejuta impian. Dia hanya gadis dengan segala tekanan. Kegiatannya hanya belajar, belajar, dan belajar. 

Kenangan kelam akan hal berbau pernikahan membawanya menjauh. Membuatnya benci dengan hubungan pria dan wanita. Membuatnya enggan untuk memikirkan apa itu kekasih. Dan menjadikannya gadis dingin tak tersentuh. 

Elia memejamkan matanya, mengingat semua kenangan masa kecilnya. Tak ada yang manis seperti gula. Hanya ada pahit seperti kopi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status