Share

Dahaga Cinta
Dahaga Cinta
Author: An Nisa

Rumah Sakit

Seorang gadis tengah berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Lirih, terdengar umpatan keluar dari bibir gadis itu. 

Sudah sepuluh menit ia berjalan, namun tak menemukan letak ruangan yang ia cari. Langkah kakinya bergerak pelan saat matanya menemukan ruangan yang sedari tadi membuatnya pusing.

Gadis itu mendorong pintu agar terbuka. Dan mata hazelnya menemukan seseorang tengah terbaring pada salah satu ranjang yang ada di sana. Gadis itu berdecak kesal. Kenapa harus ruangan yang berisi lebih dari tiga orang. Dan lagi, ruangan itu saat ini lumayan ramai, karena ada satu pasien yang tengah dibesuk oleh sanak saudaranya.

"Bagaimana bisa kau masuk ke tempat seperti ini." Gadis itu mendengus sembari menarik satu kursi dan mendudukinya.

"Kenapa kau kemari, El?" Bukannya menjawab, pasien itu malah melemparkan pertanyaan yang membuat gadis itu semakin kesal.

"Aku akan meminta kepada pihak rumah sakit untuk memindahkan ruanganmu." Ketus gadis itu.

Seseorang yang tengah tergeletak di atas brankar itu memutar bola matanya malas. "El, kau pulang saja. Aku tidak apa-apa. Aku yang meminta untuk ditempatkan di ruangan ini," ujar pria itu.

Tak ada tanggapan dari gadis yang tengah fokus dengan ponselnya itu. Tanpa banyak kata gadis itu keluar dari ruangan tersebut. Meninggalkan pria malang dengan perban yang mengikat kepalanya dan tangan kanan yang dipasangi gips karena patah tulang.

Lima belas menit setelah kepergian gadis itu, beberapa orang perawat masuk. "Maaf Tuan, kami akan memindahkan kamar anda," ujar seorang perawat pada pria tersebut. 

Setelah pria itu setuju, meskipun terlihat sangat berat, para perawat itu membawa pria tadi menuju kamar VIP. Sekarang pria itu tahu ke mana gadis itu pergi tadi.

"Apa Elia yang menyuruh kalian untuk memindahkan aku?" tanya pria itu setelah sampai dan kembali berbaring.

"Iya Tuan. Nona Elia meminta kami untuk memindahkan anda ke kamar ini," jawab salah seorang perawat yang tengah membenarkan letak infus.

"Di mana dia sekarang?"

"Mungkin sedang menyelesaikan administrasi Tuan."

Pria itu menghela napas pelan. "Baiklah, kalian boleh pergi."

Para perawat itu menunduk hormat. "Kami permisi Tuan Rafa," ucap seorang perawat sebelum keluar.

Pintu kembali terbuka, menampakkan seorang gadis berambut hitam sepunggung dengan ujung bergelombang dan dengan setelan santainya, la mendekati ranjang dan duduk pada kursi yang ada di sampingnya.

"Aku tahu kau tidak tidur, Raf." Gadis itu membuka paksa tangan yang tengah menutupi mata pria itu.

"Jawab pertanyaan ku. Bagaimana kau bisa mengalami kecelakaan konyol ini?" tanya Elia dengan nada sarkas.

"Aku tadi tertabrak mobil saat ingin menyebrang," jawabnya tanpa ingin menjelaskan hal lain.

"Bagaimana bisa? Apa matamu sudah tidak berfungsi lagi?"

Rafael memutar bola matanya jengah. "Mataku masih berfungsi dengan baik, El."

Elia mendengus. "Lalu, di mana sekarang orang yang menabrak mu tadi? Kabur?" tebaknya asal.

"Tidak, El. Bahkan dia yang mengantarkan aku ke rumah sakit ini. Mungkin dia sedang menebus obat." Rafael tiba-tiba teringat sesuatu, dia pun bertanya pada sahabat kecilnya itu. "Tunggu! dari mana kau tahu aku berada di rumah sakit tadi?." Pria itu memicingkan matanya.

"Seseorang menghubungi ku menggunakan ponselmu. Katanya, riwayat pesan terakhirmu dengan nomorku, jadi dia memutuskan untuk mengabari ku dan menyuruhku untuk datang ke mari.

Elia mengambil ponselnya yang tengah berdering di dalam tas. Melihat siapa yang menelepon ia segera beranjak dan menerima panggilan tersebut. 

"Iya, Kek?"

"Kau ada di mana El?"

"Aku sedang di rumah sakit Kek."

Pria di sebrang telepon terperanjat kaget. Takut terjadi sesuatu pada cucunya. "Bagaimana bisa kau masuk rumah sakit, El?"

Elia tersenyum mendengar nada suara khawatir dari sang kakek. "Kakek tenang saja, cucu kakek ini baik-baik saja. Aku menjenguk Rafa, tadi pagi dia kecelakaan. Seseorang menghubungi aku sebagai pihak keluarga," terangnya.

Disebrang sana, sang kakek terlihat menghela napas lega. "Syukurlah kalau begitu."

"Ada apa Kakek menghubungiku?"

"Ah iya, sebenarnya kakek ingin mengajakmu makan siang bersama teman kakek. Katanya dia ingin melihat seperti apa rupa cucuku." Kakek tertawa ringan.

Elia merotasikan bola matanya malas, la tahu betul maksud dari ingin bertemu. "Aku harus menemani Rafa, Kek. Setidaknya sampai nanti sore, mungkin aku baru akan pulang.

"Baiklah, lain kali kau harus ikut!"

"Terserah Kakek saja."

Terdengar suara tawa kecil dari kakek Elia. "Jangan lupa makan siang, El," ucap kakek sebelum memutuskan sambungan teleponnya.

"Siapa?" tanya Rafa setelah Elia kembali duduk di sebelah ranjangnya.

"Kakek" Elia kembali fokus pada ponselnya. "Di mana orang yang menabrak mu, Raf?" tanyanya lagi. Pasalnya sedari ia datang, seseorang yang membawa Rafa ke rumah sakit tidak terlihat batang hidungnya.

"Sebelum kau datang, dokter menyuruhnya mengambil obat di apotek. Mungkin antriannya cukup panjang." Rafa menatap Elia yang masih fokus dengan ponselnya. "Apa kau akan menginap di sini, El?" tanya Rafa penuh harap.

Elia mengerutkan keningnya, ia balas menatap pria yang telah menjadi sahabatnya sejak kecil. "Aku tidak bisa, Raf. Besok aku ada janji dengan Mr. Sanjaya untuk bimbingan. Nanti malam aku akan lembur mengecek skripsiku." Sebenarnya Elia tidak tega jika harus meninggalkan Rafa di rumah sakit sendiri. Tapi ia juga tidak akan bisa konsentrasi untuk membaca ulang skripsi yang akan ia tunjukkan pada dosennya besok jika dia berada di sini.

"Apa aku hubungi saja ayahmu untuk menemanimu?" tanya Elia sembari menggoyangkan ponselnya.

"Jangan, El! Ayah baru saja berangkat ke Singapura, ada sedikit masalah di perusahaan. Aku takut pekerjaannya tidak akan cepat selesai jika dia tahu aku masuk rumah sakit."

Rafa bukan tipe anak yang cuek terhadap keadaan orang tuanya, la dan sang ayah sangat akrab, terutama setelah ibunya meninggal tiga tahun lalu. Ayahnya begitu menyayangi Rafa, sehingga jika ayahnya tahu Rafa tengah dirawat di rumah sakit, sudah bisa dipastikan beliau tidak akan konsentrasi dengan pekerjaannya, dan Rafa tidak mau menambah beban pikiran sang ayah.

Saat Elia tengah berpikir bagaimana merawat Rafa, pintu ruangan itu terbuka, menampakkan seorang gadis cantik dengan kaus putih dan celana jeans berwarna biru. Gadis itu membawa sebuah kantung kresek berisi beberapa obat.

"Kau siapa Nona?" tanya Elia ketus sembari memicingkan mata.

"Aku orang yang bertanggung jawab pada pria itu." Gadis itu menunduk, takut melihat sorot mata tajam dari Elia.

"Oh, jadi kau yang menghubungi ku tadi?" tanya Elia lagi, masih dengan sorot mata tajamnya.

"l-iya. Nona." Gadis itu semakin gugup dibuatnya.

Tiba-tiba Elia terpikir sesuatu. "Bisa kita berbicara sebentar?." Elia berdiri menghampiri gadis itu.

Gadis itu mengangguk, kemudian mengikuti langkah Elia menuju sofa yang tersedia di ruangan tersebut.

"Nona, boleh aku bertanya padamu?" tanya gadis itu setelah mereka duduk saling berhadapan.

Elia mengangguk sebagai jawaban.

"Apa kau yang memindahkan ruangan temanmu itu ke sini?". Gadis itu bertanya dengan hati-hati dan hati yang berdebar, la takut menghadapi gadis yang tengah duduk di hadapannya ini. Sorot matanya yang tajam terasa seperti akan mencabiknya.

"Ya, aku yang memindahkannya ke mari. Aku tidak mau temanku dirawat dengan kondisi ruangan yang begitu ramai. Dia membutuhkan ruangan yang tenang supaya cepat sembuh," jawab Elia santai.

Gadis itu menelan ludahnya susah payah, la bingung bagaimana harus mengatakan ke-tidak setujuannya. Gadis itu tahu bahwa ia bersalah dan harus bertanggung jawab. Jika saja pria itu dirawat di ruangan biasa seperti ruangan sebelumnya, ia masih sanggup membayar menggunakan uang tabungannya. Tapi jika harus membayar sewa kamar mewah ini ia yakin tak akan sanggup, la hanya seorang mahasiswa yang masih meminta uang pada orang tuanya. Sangat tidak mungkin jika ia harus berbohong untuk mendapatkan uang untuk membayar biaya pengobatan pria itu.

"Apa teman anda tidak bisa dipindahkan saja ke ruangan yang tadi?" Gadis itu mencoba untuk menegosiasi. Tapi ia harus menelan rasa kecewa saat Elia menggelengkan kepalanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status