Share

Tidak tertarik

"Tidak, Kek. Sampai kapanpun aku tidak akan setuju dengan rencana kakek!"

Penolakan yang kesekian kalinya telah Hayden lontarkan pada kakeknya. Ia lantas beranjak dari duduknya, meninggalkan seluruh keluarganya yang masih setia duduk di tempat mereka. Pria itu menggerutu sembari menaiki tangga menuju kamarnya. Tapi, ketika berada pada tangga ke-lima ia berbalik dan kembali untuk turun. 

"Bagaimana kau berubah pikiran?" tanya Gustaf melihat cucunya kembali. 

"Tidak akan pernah. Aku hanya ingin mengambil ponselku saja." Ia mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Kemudian kembali berjalan menuju kamarnya. 

"Bagaimana ini, Ayah? anak nakal itu tetap menolak. Apa yang harus kita katakan pada paman Abraham?" Ayah Hayden–Jordan, tampak sangat khawatir. Keluarga mereka memiliki hutang budi kepada Abraham, sahabat Gustaf. Sangat memalukan jika mereka menolak permintaan dari pria itu. 

"Kau tenang saja. Aku yakin bocah itu akan menurut," ucapnya percaya diri. 

"Aku akan mencoba berbicara dengannya," sahut Sandra, ibu Hayden. 

"Ah iya, kenapa aku lupa ada kau di sini, San." Gustaf terkekeh. "Dia pasti akan menuruti semua perkataanmu. Aku yakin itu," ucapnya dengan seringai di bibirnya. 

***

"Ada apa dengan semua orang? Kenapa mereka memiliki ide konyol itu?" Hayden berjalan menuju kamarnya dengan gumaman yang tak henti keluar dari bibirnya. 

"Yang benar saja, mereka ingin menjodohkan aku? Apa mereka pikir aku ini tidak bisa mendapatkan pasangan?," gerutunya lagi sembari membanting tubuhnya di atas kasur. "Aku Hayden Sakya, dokter paling tampan di rumah sakit First Health. Tidak ada yang bisa menolak pesonaku," ucapnya penuh percaya diri. 

Pria itu masih asik menggerutu saat tiba-tiba suara ketukan pintu mengusik gendang telinganya. Terdengar suara ibunya dari arah luar, memanggil namanya dengan begitu lembut. Hayden berdecak kesal. Ingin sekali mengabaikan pangilan wanita yang telah melahirkannya itu, karena ia tahu maksud dan tujuan wanita itu mencarinya. Tapi, hati nuraninya tentu tak dapat melakukannya. Dengan langkah malas, ia membuka pintu dan mengizinkan ibunya masuk. 

Hayden menatap malas ibunya yang tengah duduk di atas ranjang kesayangannya. Meskipun kesal ia juga tetap mendudukkan diri di depan ibunya. 

"Nak, katakan kepada ibu, kenapa kamu menolak perjodohan ini?," tanya wanita itu tanpa basa-basi. 

Hayden mendengkus, ia sudah menduga ibunya akan membahas ini. Ia memiringkan kepalanya seraya berkata, "Sekarang jawab pertanyaanku juga, Bu. Kenapa kalian bersikeras untuk menjodohkan aku dengan cucu kakek Abraham?" 

Wanita paruh baya itu menghela napas sebelum menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada putranya. "Kau tahu, Nak. Keluarga kita berhutang banyak pada kakek Abraham. Dulu dia membantu keluarga kita saat kita dalam keterpurukan. Membawa kita hingga bisa seperti ini." 

Hayden diam mendengar apa yang ibunya jelaskan. 

"Bahkan biaya pendidikanmu dan juga adikmu ditanggung olehnya. Mulai dari kalian kecil hingga sekarang, Nak. Itu lah sebabnya kami menyuruhmu untuk bekerja di rumah sakit First Health. Rumah sakit itu miliknya," jelas wanita itu dengan tutur kata begitu lembut. 

Terkejut? Tentu saja iya. Hayden tak pernah menyangka biaya pendidikannya berasal dari pria tua namun masih berwibawa itu. Sejak dulu yang ia tahu, ia hanya harus berangkat sekolah dan menjadi siswa terbaik disetiap jenjangnya. 

"Tapi, Bu... "

"Nak ibu mohon!" Wanita itu memotong ucapan putranya sembari menggenggam tangannya. "Setidaknya kamu datang untuk makan malam besok. Setelah itu kalian putuskan untuk melanjutkan rencana ini atau tidak," lanjutnya. 

Melihat sorot mata mengiba dari sang ibu membuat hati Hayden luluh. Ia sangat benci menghadapi situasi semacam ini. Ia pun memalingkan wajahnya seraya berkata, "baiklah, demi Ibu aku akan menghadiri makan malam besok." 

Kedua ujung bibir wanita paruh baya itu tertarik. Perasaan lega mengaliri setiap rongga dadanya. Ia eratkan genggaman tangannya pada sang putra. Menatapnya penuh sayang, kemudian mengucapkan kata terima kasih dengan begitu tulus. Setelah itu ia beranjak dari duduknya. Mengecup kepala putranya sebentar sebelum berlalu meninggalkan kamar putra sulungnya. 

"Aghh," 

Hayden mengacak-acak rambutnya sendiri. Tubuhnya terbanting ke belakang, hingga ia tidur telentang menghadap langit-langit kamarnya. 

Sebenarnya tidak ada alasan kokoh untuk menolak perjodohan ini, karena ia tidak memiliki kekasih. Hanya saja, sepertinya ia mulai jatuh cinta pada gadis yang bahkan belum ia ketahui namanya. Hayden menggeram kesal. Satu langkahnya untuk mendekati gadis itu terhambat dengan adanya perjodohan ini. 

"Tuhan, kenapa Kau pertemukan aku dengan dia jika pada akhirnya Kau menghambat semua perjalanan untuk bisa dekat dengannya," gerutu Hayden sebelum menutup mata dan menyelami alam mimpi. 

***

Malam ini Elia terlihat begitu cantik dengan balutan dress putih bercorak bunga dengan panjang baju selutut. Rambutnya digerai, memamerkan gelombang alaminya. Riasan tipis tak mungkin ketinggalan dari gadis itu. Penampilan yang cukup sederhana untuk kalangan atas seperti Elia. Namun, tak ayal tetap membuat siapapun akan terpesona dengan kecantikan yang Elia miliki. 

Langkah kaki kecilnya mengikuti seorang pria yang tak lain kakeknya. Mereka memasuki sebuah restoran mewah. Restoran milik teman kakeknya. Kaki mereka dibawa ke sebuah ruangan VIP. Tempat yang begitu privasi untuk makan malam mereka kali ini. 

Setelah percakapannya dengan sang kakek beberapa waktu yang lalu, Elia berpikir untuk menerima tawaran kakeknya. Bagaimanapun juga ia sadar, ayahnya sangat membutuhkannya saat ini sampai besok. Hati nuraninya tak tega meninggalkan ayahnya sendiri di sini.

Elia memainkan ponselnya sembari menuggu keluarga sahabat kakeknya. Selama hidupnya, ini kali pertama ia bertemu dengan sahabat kakeknya. Ia tak tahu bagaimana rupa pria yang memiliki usia setara dengan kakeknya itu. 

"El, kakek harap kamu mau menerima cucu sahabat kakek untuk menjadi suamimu," ucap Abraham memecah keheningan diantaranya dengan sang cucu. 

Elia meletakkan ponselnya ke atas meja. Ia menghadapkan tubuhnya pada sang kakek sebelum berbicara. "Aku akan melihat seperti apa pria itu. Aku tidak mau ada penyesalan dari diriku sendiri, Kek, dan aku harap Kakek juga bisa mengerti apa mau ku."

"Kakek tahu seperti apa pria yang kamu inginkan. Kakek sangat yakin kamu akan setuju dengan pria ini," ucapnya jemawa. 

Elia menaikkan sebelah alisnya. "Pria yang aku inginkan?." Abraham mengangguk.

"Apa kakek lupa? Aku bahkan tidak memiliki ketertarikan pada seorang pria. Jika bukan karena kakek harus ke Canada dan aku harus di sini, sepertinya pernikahan ini tidak masuk ke dalam rencana hidupku."

Abraham tahu apa yang membuat cucu semata wayangnya seperti ini. Kesalahan dimasa lalu membawa Elia dan seluruh keluarganya hancur. Abraham sendiri tidak tahu bagaimana menyembuhkan luka dan menata kembali apa yang telah hancur dulu. Yang bisa ia lakukan hanya berusaha membuat cucunya bahagia. Tapi, nyatanya sesuatu yang ia kira dapat membahagiakan Elia, bukan hal yang Elia inginkan. 

Keheningan menyapa mereka kembali. Tak ada percakapan selayaknya cucu dan kakek. Mereka jarang bertegur sapa meskipun berada dalam satu rumah yang sama. Kesibukan mereka masing-masing menjauhkan jarak mereka berdua. 

Suara pintu terbuka menghentikan usapan jari Elia pada ponselnya. Ia mengalihkan pandang pada beberapa orang yang tengah masuk ke dalam ruangan itu. Melihat kakeknya berdiri, Elia mengikutinya. Senyum tipis ia keluarkan untuk menyambut para tamu mereka. Dan picingan mata terpampang tatkala seseorang yang pernah ia lihat juga berada di sana. 

"Dia...." Gumaman lirihnya terhenti saat seorang wanita mendekatinya. 

"Kamu cucunya paman Abraham?" tanya wanita itu. 

Elia mengangguk dengan senyum tipis, terkesan dingin. 

"Kamu sangat cantik," pujinya yang kemudian mengajak Elia untuk duduk. 

"Perkenalkan ini cucuku, namanya Kamelia Beatarisa Abraham. Kalian bisa memanggilnya Elia," ucap Abraham sembari menunjuk cucu gadisnya. 

Kepala gadis itu mengangguk sopan pada empat orang yang duduk mengelilingi meja bundar di sana. Matanya terhenti pada sosok pria yang duduk tepat di sebrangnya. Sekarang ia sangat yakin, pria itu seseorang yang sangat tidak ia sukai. Ia menatap tajam, saat pria itu tersenyum miring padanya. 

"Ini Hayden, cucuku. Kamu sudah mengenalnya, Bram," ucap Gustaf terkekeh

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status