Share

Dilema

"Kau menyukainya Hayden?" Pertanyaan itu lolos seketika dari bibir Jen. 

Hayden berdecak. "Tentu saja, Jen. Dia gadis yang cantik. Siapa yang tidak menyukainya?" jawab Hayden jengah.

Mendengar jawaban Hayden membuat Jen kecewa. Bagaimana bisa gadis yang hanya ditemui Hayden satu kali membuat sahabatnya segila itu. 

"Ya, semoga saja gadis itu belum menikah," ucap Jen kemudian berlalu meninggalkan Hayden. 

Hayden menggaruk kepalanya yang tak gatal. Apa ia salah ucap? Kenapa Jen jadi seperti itu?, atau dia sedang ada masalah?. Tanpa berpikir lebih panjang lagi, Hayden mengejar langkah kaki Jen yang sudah tak terlihat. 

***

Sebuah mobil berwarna hitam memasuki halaman rumah. Pengemudi itu tampak mengernyitkan kening, melihat ada mobil lain yang tak ia kenali berada di halaman rumahnya. Untuk memecahkan rasa penasaran, ia turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam rumah. 

Dari depan pintu pria itu dapat mendengar suara tawa yang begitu ia kenal sekaligus asing di telinganya. 

"Itu dia cucuku," ucap seorang pria berusia tujuh puluh tahunan. 

"Hayden ke mari," pinta pria itu sembari melambaikan tangannya. 

Pria yang tak lain Hayden itu tersenyum kemudian mendekat. Ia duduk di samping kakeknya. Kemudian menatap seseorang yang duduk di seberangnya, yang ia yakini memiliki usia yang sama dengan kakeknya. Hayden menunduk hormat bermaksud menyapa. Dibalas senyuman oleh pria itu

"Jadi ini cucumu yang bekerja sebagai dokter?" tanya pria yang tak Hayden kenali. 

"Iya, bagaimana tampan sepertiku bukan?" jawab kakek Hayden disertai tawa jenakanya. Ia kembali menatap cucu laki-lakinya. 

"Hayden, perkenalkan ini kakek Abraham. Sahabat kakek saat kuliah dulu." 

"Salam kenal, Kek. Saya Hayden," ucap Hayden memperkenalkan diri. 

"Aku dengar kamu bekerja di rumah sakit di bagian IGD, apa itu benar?" tanya pria tua itu. 

Hayden mengangguk. "Benar sekali, Kek," jawabnya bangga. 

"Kenapa kamu tidak mengambil dokter spesialis saja? bukankah gajinya akan semakin besar?"

Sekali lagi Hayden tersenyum. "Menjadi dokter adalah cita-cita saya sejak kecil. Motivasi saya menjadi dokter supaya bisa menolong semua orang. Jika saya mengambil spesialis, saya hanya akan menangani beberapa orang yang memiliki penyakit yang hampir sama saja. Bukankah begitu?" 

Kakek itu tersenyum lebar. Ia tidak menyangka, pria semuda Hayden memiliki pemikiran seperti itu. Zaman sekarang jarang sekali ada anak muda yang memikirkan kemaslahatan masyarakat. Mayoritas dari mereka hanya mementingkan gaji dan jabatan. Membuat kaum tua sepertinya hanya bisa menghela napas pasrah ketika mendapatkan karyawan seperti itu. 

"Kamu benar sekali, Nak. Aku bangga dengan cita-citamu." Kakek Abraham menampilkan senyumnya yang begitu tua namun masih sangat memesona. 

"Ehm, maaf sebelumnya kakekku yang tampan dan kakek Abraham. Saya ingin ke belakang sebentar menemui ibu." 

Gelak tawa kakek Hayden yang bernama Gustaf menyembur begitu saja. Selera humornya benar-benar menurun pada sang cucu. Tanpa suara pria yang masih terlihat berwibawa itu mengizinkan Hayden untuk beranjak dari sana. 

"Bagaimana menurutmu? kau menyukainya?" tanya kakek Gustaf pada sahabatnya. 

Mereka sama-sama memperhatikan Hayden yang tengah berjalan menuju dapur. Mengejutkan ibunya dari arah belakang. Tertawa senang saat rencananya berhasil, kemudian memeluk erat ibunya seakan takut wanita itu menghilang. Tak lama kemudian sebuah ciuman di kening, Hayden daratkan begitu saja, sebelum meninggalkan ibunya memasak sendiri. 

"Cucumu benar-benar luar biasa. Dia seperti yang aku bayangkan selama ini," ucap Abraham tanpa melepaskan matanya dari cucu sahabatnya. 

Gustaf tersenyum. "Aku senang jika bisa membantumu. Aku harap anak itu akan menerima rencana kita," tuturnya dengan tenang. 

"Aku juga berharap seperti itu." Abraham mendongakkan kepalanya, menatap langit-langit ruang tamu. Dalam hatinya berdoa supaya apa yang sedang ia rencanakan berhasil dan membuahkan sesuatu yang baik. 

***

Senja berlari meninggalkan malam. Menyisakan gelap tanpa bintang. Menemani Elia bersama secangkir kopi panas dan dinginnya suasana malam. 

Gadis itu duduk di balkon kamarnya sembari menatap macbook, memeriksa beberapa laporan dari perusahaannya. Sesuatu yang selalu membuatnya jengah namun tetap ia kerjakan. Sudah sejak ia SMA, Elia memegang kendali perusahaan ayahnya dengan bantuan sang kakek. Tidak ada yang tahu akan hal itu, kecuali para stafnya. Mungkin hanya Rafa satu-satunya teman yang tahu bagaimana kesibukan Elia. 

Ya, satu-satunya, karena pria itu memang satu-satunya teman yang Elia miliki. 

Sejak saat sekolah menengah pertama, Elia menutup diri. Tidak ingin memiliki teman atau hal semacamnya. Beberapa kali dikhianati membuatnya tak memercayai orang lain, selain kakek dan Rafa, ditambah beberapa pelayan setia keluarga mereka. 

Elia melongok ke halaman depan, tatkala suara deru mobil memasuki telinganya. Mobil kakeknya baru saja masuk dan memperlihatkan kakeknya yang sudah tua namun masih berwibawa. Setelah pria itu masuk ke dalam rumah, Elia kembali memfokuskan diri pada laporan yang harus segera ia tangani. Namun, suara ketukan pintu kembali menyita perhatiannya. 

Gadis itu berdecak kesal. Ia meletakkan macbooknya, kemudian membuka pintu. Ia sedikit terkejut melihat kakeknya berada di sana. Setelah meredam keterkejutannya, Elia bertanya ada perlu apa. Kemudian ia membuka pintu semakin lebar saat sang kakek ingin berbicara dengannya di dalam kamar. 

"Ada apa, Kek?" tanya Elia setelah meletakkan tubuhnya di atas ranjang. 

"Bagaimana kabarmu, El?" 

Elia mengerutkan keningnya, kemudian tertawa kecil. "Tentu saja aku baik, Kek. Kakek bisa lihat sendiri," jawabnya geli. 

Kakek Elia tersenyum menatap cucunya yang begitu cantik. Terbesit rasa tak tega untuk mengatakan niatnya saat ini. Tapi, bagaimanapun juga, ia harus melakukannya. Tega ataupun tidak, ini semua demi kebaikan cucunya. 

"El, perusahaan di Spanyol sedang dalam masalah," ujar pria itu membolakan mata Elia. 

Seketika itu juga Elia menegakkan posisi duduknya. Raut cemas memenuhi wajah cantiknya. "Bagaimana bisa, Kek?" 

"Kakek juga tidak tahu sayang. Kemarin kakek mendapatkan kabar, beberapa orang melakukan korupsi dalam proyek kita yang cukup besar." 

"Apa yang harus aku lakukan, Kek?. Apa aku harus ke sana besok?" tanya Elia semakin cemas. 

Perusahaan di Spanyol merupakan perusahaan peninggalan mendiang nenek Elia. Namun karena suatu hal, membuat Elia dan kakeknya harus tetap di Indonesia dan menyerahkan perusahaan tersebut pada salah seorang kepercayaannya. 

Meskipun Elia dan kakeknya tinggal di Indonesia, mereka tetap melakukan pengawasan secara rutin. Setiap minggu orang-orang terpercaya mereka akan melaporkan apa saja yang terjadi di sana. 

"Tidak perlu, El. Kamu selesaikan saja skripsimu di sini. Kakek sendiri yang akan terbang ke sana," tutur kakek Elia. 

"Dan kakek meninggalkan aku sendiri?" Tampak raut tak suka dari wajah gadis itu. 

Kakek Elia menghela napas sejenak. "Iya. Tapi, kamu tenang saja, kakek akan menyuruh seseorang untuk menjagamu di sini, tapi .... "

"Tapi apa?" tukas Elia tak sabar. 

"Tapi kamu harus menikah dengannya, El." 

Bagaikan disambar petir. Elia terkesiap mendengar apa yang baru saja keluar dari mulut kakeknya. 

Menikah? Huh ... 

"Tidak, Kek. Lebih baik aku menunda skripsiku dan ikut kakek ke Canada daripada harus menikah." 

Tidak ada kata menikah dalam kamus Elia. Ia benci pernikahan. Menurutnya, pernikahan hanya akan membuat seseorang menderita. Sudah cukup penderitaan yang selama ini ia rasakan, tidak perlu ditambah lagi dengan menikah. 

"El, kamu harus tetap berada di sini untuk mengurus perusahaan kita. Dan kamu harus menikah supaya ada yang menjagamu juga," ujar kakek itu. 

Elia menggeleng cepat. "Tidak, Kek. Sampai kapanpun aku tidak akan menikah. Serahkan saja perusahaan di sini pada asisten Kakek. Dia sangat berpengalaman, bukan? Dan jika Kakek khawatir padaku, ajak saja aku ke sana." 

"El, jika kamu ikut kakek ke Canada, bagaimana dengan ayahmu? apa kamu tega meninggalkan dia sendiri di sini." Ucapan pria itu menyita seluruh pikiran Elia. 

Benar. Jika dia dan kakeknya pergi ke Canada, siapa yang akan mengunjungi ayahnya? siapa yang akan mengawasi ayahnya secara langsung. Tapi untuk menikah, Elia sangat keberatan

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status