LOGINSasha kehabisan kata-kata. Mulutnya sedikit terbuka mendengar itu. Sasha memang yakin William sewaktu-waktu akan mengeluarkan kartu AS miliknya itu. Tetapi, sekarang!?
“Saya tunggu nanti malam. Prau Residence, lantai 17 nomor 1.” Begitu selesai mengatakannya, William berpaling pergi. Ia menelaah berkas-berkas yang sedari tadi dihiraukannya, seolah William juga berdalih tentang suruhan barusan. Atau Sasha lebih suka menyebutnya sebagai sebuah ancaman. Sasha mematung di selasar itu. Angin yang berembus menerpa wajahnya bahkan tak mampu mendinginkan pikiran. Ia menatap punggung William yang lama kelamaan hilang dimakan jarak. Mata Sasha masih berkedip beberapa kali dengan cepat, tidak percaya obrolannya barusan. Ia kembali menimbang-nimbang dan apapun langkah yang dipilih, rasanya salah. Tetapi nyawa neneknya seolah menjadi pertaruhan sekarang. Ia benar-benar tidak boleh kehilangan pekerjaannya! Sepulang kuliah, Sasha lemas duduk di dalam kosannya, memandangi ke luar jendela. Langit sudah mulai gelap. Ia mulai berpikir tentang ucapan William. Prau Residence? Sasha tahu itu. Apartemen mewah di tengah kota. Beberapa kali ia melewati gedung tinggi itu ketika bepergian. Sasha tidak pernah menyangka bahwa kali pertama ia akan menginjakan kaki di sana adalah untuk bertemu sang dosen yang juga merupakan kliennya di suatu malam. Sekarang, Sasha sudah tidak dapat melangkah mundur. Tidak ada penolakan, tidak ada kata enggan. Sasha memberanikan diri memasuki lobi apartemen yang mengkilap di setiap sudutnya. Ia menekan tombol lift dengan sedikit gemetar. Sesampainya di lantai 17, tidak sulit bagi Sasha untuk menemukan kamar nomor 1. Kamar di tiap lantainya tidak banyak, menandakan apartemen ini adalah model kondominium yang jauh lebih megah dari perkiraannya. Tok tok tok. Pemandangan yang langsung menyambut Sasha ketika pintu itu terbuka adalah William yang mengenakan kaos polos dengan rambut yang terlihat sedikit lembab. “Se-selamat malam, Pak William.” “Masuk, Sasha.” Dipersilakan masuk, mata Sasha langsung memindai seluruh ruang. Interior polos dan monoton memanjakan maniknya. William mengarahkan Sasha untuk duduk di sofa besar di tengah ruang. Meski terasa nyaman dan empuk, ia enggan berlama-lama di sini. Maka ia mulai membuka pembicaraan. “Pak William-” “Kenapa tidak panggil ‘om’, Sasha? Saya bukan dosenmu di sini.” Ada nada sindiran di sana. Ia berdiri di hadapan Sasha. Lidah Sasha kelu sebelum mengulanginya. “O-om William, perlu bicara apa?” “Buru-buru sekali? Harus mengunjungi tempat lain setelah ini?” William lemparkan pertanyaan itu. Sasha tahu lagi-lagi pria itu menyindir pekerjaannya. Sasha menggeleng cepat. Ia tahu betul, salah satu kata saja pasti dapat membuat William berkata yang lain. Sasha mulai merasa terancam, apalagi ini menyangkut reputasinya di kampus. Sebuah rahasia yang jika terbongkar, maka akan memusnahkan seluruh masa depannya. Dari posisi berdirinya, William perlahan duduk di sisi ujung sofa. Ia menyandarkan punggungnya dan memasang ekspresi yang terlihat angkuh. Dagunya naik tanda kepercayaan diri yang melambung. “Sasha, berapa jumlah uang yang kamu butuhkan?” Sasha meragukan telinganya sesaat. Alisnya langsung bertautan. “Maksud Om?” “Jumlah uang yang kamu butuhkan, Sasha,” William mengulanginya, ia terdengar sedikit kesal. “Berapa jumlahnya?” Tidak mengerti maksud dan arah percakapan ini, Sasha memilih untuk menyudahinya dengan berkata, “Saya tidak membutuhkan uang, Om. Apa pun yang Om William pikirkan, saya bukan seperti itu.” “Saya tidak memikirkan apa-apa,” balasnya singkat. “Saya hanya khawatir, Sasha.” Lagi-lagi Sasha tahu itu hanyalah berupa sindiran. Sasha ingin menghela napas, namun ia menahannya. “Om tidak perlu khawatir-” “Saya khawatir dengan keadaan nenek kamu yang semakin memburuk. Harus segera dioperasi bukan?” William kali ini memandang Sasha lekat-lekat, berusaha mencari reaksi atas ucapannya barusan. Sasha tentu saja terkejut. Ia tidak dapat menyembunyikan ekspresinya yang begitu kaget. Tahu apa William tentang keadaan neneknya!? “O-om tau dari mana!?” suaranya sedikit naik. William terkekeh melihatnya. “Dengar, Sasha,” William mengabaikan pertanyaan Sasha kemudian beranjak dari duduknya dan merogoh sesuatu dari kantong celananya. Kartu berwarna hitam yang mengkilap. “Saya bisa berikan kamu uang. Kamu boleh pakai kartu ini sebebasnya, untuk biaya operasi nenekmu, juga untuk kuliahmu.” Mata Sasha membulat besar. “Apa maksud, Om?” “Pakai saja,” William menyodorkan kartu itu tepat di depan mata Sasha. Sasha memandanginya untuk beberapa saat. Ia menelan ludah. Ini tawaran yang akan menyelamatkannya, menyelamatkan sang nenek tersayang. Tapi, tunggu. William pasti punya niat lain! Sasha menengadah, menatap wajah William. “Om William nggak mungkin memberi ini secara cuma-cuma.” William menyeringai. Sasha bisa melihat titik-titik menarik di wajah pria itu, namun sekarang ia terlihat menyebalkan dan penuh kuasa. “Kamu memang pintar, Sasha,” puji William. “Kalau begitu, aku tidak bisa menerimanya,” ucap Sasha tegas. Kali ini, William mengangguk. Namun, tentu saja itu tidak berarti ia menerima kekalahannya. “Kalau begitu, bagian pimpinan kampus mana yang harus saya laporkan terlebih dahulu? Ketua prodi atau rektor, Sasha?” Dalam hatinya, Sasha sudah mengumpat, namun ia tahan mati-matian agar umpatan itu tidak lolos begitu saja. Sasha memejamkan mata untuk berpikir cepat. Tetapi jawabannya tak kunjung datang ke dalam kepalanya. “Saya….” “Bagaimana Sasha?” Reputasi dan masa depannya kini terancam benar-benar. Tapi ada jauh yang lebih penting, neneknya. Di hadapannya, William masih menunggu dalam diam sambil mengayunkan kartu kredit hitam di tangannya. Beberapa detik berlalu, satu menit terasa seperti sebuah penderitaan yang tak ada habisnya. Hingga akhirnya Sasha menyerah pada sebuah jawaban. “Baik. Apa yang Om inginkan?” Lagipula, apa yang akan seorang dosen minta sebagai imbalan? Asistensi kelas? Mengecek segunung pekerjaan mahasiswa? Sasha masih mampu melakukannya. Tetapi ketika Sasha melihat William menyeringai lagi, Sasha seolah tahu bahwa ia telah membawa dirinya masuk ke dalam jurang yang dalam. “Layani saya!”Tangan William mulai bergerak ke depan, menjamah dada Sasha yang masih terbungkus kain. William juga lantas menanggalkannya, lalu langsung menuju ke pusat sensitif Sasha tanpa ragu."Ah... Om...!" Sasha tersentak, desahannya lolos begitu saja."Sstt," William membungkamnya dengan ciuman lagi, kali ini lebih dalam, lebih menuntut, sementara tangannya mulai bekerja dengan ritme yang mematikan di bawah sana. "Jangan panggil Om. Panggil saya William saat kamu mendesah nanti." .Malam itu, logika Sasha mati.Yang tersisa hanyalah gairah dan permainan William yang menenggelamkannya. Ketika tubuhnya diangkat dengan mudah oleh lengan kekar pria itu, Sasha tidak memberontak. Ia seperti boneka porselen yang pasrah, dibawa menuju kamar utama yang pintunya terbuka lebar, menampakkan ranjang luas berseprai abu-abu.William membaringkannya dengan kasar. Pria itu menindihnya, mengunci pergerakan Sasha sepenuhnya. Di bawah sorot lampu tidur yang temaram, mata William tampak berkilat, lapar, dan menu
Sasha menelan ludah, tubuhnya hampir tak mampu menahan diri. Kakinya lemas mendengar perintah William tadi. Wajahnya terasa panas, bulu kuduknya berdiri, dan setiap napas yang ia ambil seolah terbawa oleh aura pria di depannya. “Ma…maksud Om William?”Sebetulnya, Sasha juga sedikit banyak dapat menduga bahwa William akan memintanya melakukan macam-macam. Namun yang tak ia duga adalah fakta bahwa William akan benar-benar meminta itu!Saat Sasha sibuk mencoba mencari alasan penolakan, William mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, wajah mereka hampir bersentuhan. William menatapnya, jarak antara mereka hanya beberapa inci. Tangan William perlahan menurunkan pipi Sasha, lalu menyusuri rahang halusnya dengan gerakan lembut tapi menegaskan dominasi. Sasha menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan diri.“Layani saya,” William mengulanginya berbisik. “Seperti yang kamu lakukan di karaoke, Sasha.”Wajah Sasha merah William mendengar itu. Ia cepat-cepat memalingkan wajahnya. “Maaf,
Sasha kehabisan kata-kata. Mulutnya sedikit terbuka mendengar itu. Sasha memang yakin William sewaktu-waktu akan mengeluarkan kartu AS miliknya itu. Tetapi, sekarang!?“Saya tunggu nanti malam. Prau Residence, lantai 17 nomor 1.”Begitu selesai mengatakannya, William berpaling pergi. Ia menelaah berkas-berkas yang sedari tadi dihiraukannya, seolah William juga berdalih tentang suruhan barusan. Atau Sasha lebih suka menyebutnya sebagai sebuah ancaman. Sasha mematung di selasar itu. Angin yang berembus menerpa wajahnya bahkan tak mampu mendinginkan pikiran. Ia menatap punggung William yang lama kelamaan hilang dimakan jarak. Mata Sasha masih berkedip beberapa kali dengan cepat, tidak percaya obrolannya barusan. Ia kembali menimbang-nimbang dan apapun langkah yang dipilih, rasanya salah. Tetapi nyawa neneknya seolah menjadi pertaruhan sekarang. Ia benar-benar tidak boleh kehilangan pekerjaannya!Sepulang kuliah, Sasha lemas duduk di dalam kosannya, memandangi ke luar jendela. Langit su
Wajah Sasha panas bukan main. Bulir keringat turun membasahi tengkuknya. Ia seolah disihir untuk tetap diam tak melawan. Bahkan ketika tangan William bergerak naik ke pinggangnya lagi, Sasha masih membeku. Ia hanya mampu menatap William dengan kosong.Yang membuat Sasha buyar dari pikirannya adalah suara seruan mahasiswa yang bercengkrama di luar ruangan. Mengingatkan dirinya bahwa ia masih sedang berada di kampus. Merasa habis disentuh dengan hina, perasaan Sasha semakin campur aduk. Wajah yang tadinya memanas karena malu, kini berganti menjadi amarah. Sasha kemudian menepis tangan William yang masih bertengger di sana.“Jangan kurang ajar, Pak William!” seru Sasha dengan suara bergetar.Ia langsung berbalik dan melangkah cepat meninggalkan ruangan itu. Air matanya menggenang di ujung mata, siap kapan saja untuk jatuh ke atas pipinya. Ini sangat hina!Rasa yang bergolak di hatinya tak bisa ia jelaskan. Sebelum berpikiran ingin mengutarakan kemarahannya kepada William, Sasha terlebi
Sasha mematung mendengarnya. “Sasha?”“I.. iya, Pak. Maaf, semalam saya…,” Sasha terbata menimbang-nimbang. Rasanya, tidak perlu diberitahu juga William seolah akan mengetahui alasan keterlambatan Sasha hari ini. William menatap Sasha. Matanya lagi-lagi tak terbaca. “Duduk, Sasha,” pinta William dingin. “Kelas sudah dimulai.”Sasha mengangguk pasrah. Ia membawa langkahnya menuju kursi kosong di sebelah Nina. Dari balik punggungnya, Sasha seolah masih bisa merasakan tatapan tajam milik William. “Sini, Sasha,” bisik Nina setelah Sasha tiba di kursi. “Kamu begadang semalam? Banyak pikiran, Shal?” “Begitulah, Win, tapi aku nggak apa-apa kok,” Sasha berdalih lagi. Ia segera duduk dan mengeluarkan buku-bukunya.Suara William yang menjelaskan materi kuliah langsung menyita perhatian Sasha. Sekeras apapun Sasha berharap, William tetaplah seorang dosennya sekarang. Sasha betul-betul takut apabila William membongkar rahasianya, identitas yang mati-matian ia sembunyikan. Ia belum bisa kehil
Sasha masih dihantui bayang-bayang William sebagai sosok dosennya ketika ia melangkah cepat ke luar kelas setelah kelas selesai. Kini kepalanya bercabang. Bagaimana bisa William muncul sebagai dosennya setelah semalam pria menjadi kliennya? Hanya dalam satu malam, keadaannya berubah drastis. Sasha bisa merasakan bulir-bulir keringat yang menetes dari dahinya. Ia memikirkan nasibnya, setidaknya sesingkat esok hari. Sasha tidak akan membiarkan skenario terburuk terjadi: orang-orang di kampus akan mengetahui pekerjaan hina itu. Jika ia kehilangan pekerjaan itu, lantas bagaimana ia dapat membayar biaya perawatan neneknya?Sasha jadi teringat bahwa ia harus segera ke rumah sakit untuk mengurus administrasi. Ia percepat langkahnya menuju gerbang kampus, sebelum berhenti sejenak ketika dipanggil oleh Nina.“Sasha!” seru Nina. “Aku cariin kamu dari tadi. Kenapa buru-buru banget?”Sasha menjawabnya cepat, “Aku harus segera ke rumah sakit, Win. Nenekku masuk rumah sakit tadi pagi.”Melihat







