Mag-log inSasha menelan ludah, tubuhnya hampir tak mampu menahan diri. Kakinya lemas mendengar perintah William tadi. Wajahnya terasa panas, bulu kuduknya berdiri, dan setiap napas yang ia ambil seolah terbawa oleh aura pria di depannya.
“Ma…maksud Om William?” Sebetulnya, Sasha juga sedikit banyak dapat menduga bahwa William akan memintanya melakukan macam-macam. Namun yang tak ia duga adalah fakta bahwa William akan benar-benar meminta itu! Saat Sasha sibuk mencoba mencari alasan penolakan, William mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, wajah mereka hampir bersentuhan. William menatapnya, jarak antara mereka hanya beberapa inci. Tangan William perlahan menurunkan pipi Sasha, lalu menyusuri rahang halusnya dengan gerakan lembut tapi menegaskan dominasi. Sasha menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan diri. “Layani saya,” William mengulanginya berbisik. “Seperti yang kamu lakukan di karaoke, Sasha.” Wajah Sasha merah William mendengar itu. Ia cepat-cepat memalingkan wajahnya. “Maaf, Om. Yang seperti itu hanya akan aku lakukan di karaoke.” “Tapi, kamu sudah setuju, Sasha,” suara William rendah dan serak, menembus setiap lapisan kecemasan yang ia rasakan. Ia melirik kartu kredit hitam yang sekarang tergeletak di atas meja, seolah menunjukan hadiah atas persetujuannya. Sasha mematung. Kepalanya lantas kembali dipenuhi pikiran mengenai sang nenek. Biaya operasi, biaya perawatan pasca operasi, bahkan mungkin neneknya akan memerlukan biaya rawat jalan. Upah yang ia terima sebagai pemandu karaoke masih belum cukup, apalagi pihak rumah sakit akan mengambil tindakan esok hari. Kepala Sasha langsung sakit memikirkannya. Di tengah kalutnya pikiran. Suara William kembali bergema. “Sasha?” Sasha mengerjap pelan. Pria yang ada di hadapannya ini mengetahui rahasia terbesarnya. Itu semakin menambah rasa kalut dalam kepala. Tidak terbayang jika William mengambil langkah dan Sasha harus kehilangan pekerjaan atau status mahasiswanya, atau lebih buruk, keduanya. Sasha merasa pasokan oksigen di ruangan itu menipis seketika. "Maksud Om..." Sasha menelan ludah, tenggorokannya terasa kering kerontang. "Seks?" William tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, jenis senyum yang cukup membuat bulu kuduk Sasha meremang. Pria itu melangkah maju, memotong jarak di antara mereka. "Seks adalah kata yang kasar, Sasha. Saya lebih suka menyebutnya... dedikasi," bisik William. Suaranya rendah, bergetar di dada Sasha yang kini berdiri kaku. Tangan William kembali terangkat. Ia meraih kartu hitam yang berada di atas meja. Kali ini, ia tidak menyentuh wajah Sasha dengan jemarinya. Ia menggunakan kartu hitam itu. Sisi kartu itu menyentuh pipi Sasha, menelusuri garis rahangnya dengan gerakan lambat. Sensasi dingin benda itu bertabrakan dengan kulit wajah Sasha yang memanas, menciptakan kejutan listrik statis yang aneh di sekujur tubuhnya. "Di dalam kartu ini ada nyawa nenekmu," ucap William pelan, matanya terkunci pada bibir Sasha yang sedikit gemetar. Sisi kartu yang nampak gemerlap itu terus turun, meluncur melewati dagu, menelusuri leher jenjang Sasha yang terekspos, lalu berhenti tepat di tulang selangka. William menekannya sedikit, cukup untuk membuat Sasha menahan napas. "Pertanyaannya, Sasha... seberapa besar kamu menginginkan nenekmu selamat?" Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Sasha. Ia benci situasi ini. Ia benci betapa lemah posisinya. Tapi bayangan neneknya yang terbaring lemah dengan selang infus, napas yang tersengal, dan ancaman kematian yang mengintai, menghapus keraguan itu. Nenek adalah dunianya. Dan jika untuk menyelamatkan dunianya ia harus menyerahkan tubuhnya pada iblis tampan ini, maka biarlah ia terbakar di neraka setelahnya. "Saya..." suara Sasha pecah. Ia menarik napas panjang, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. "Saya akan melakukannya." Seringai William melebar. "Anak pintar," puji William. Ia menarik kartu itu, lalu dengan gerakan santai meletakkannya di atas meja kopi di belakang Sasha. "Ambil itu nanti. Sekarang, buktikan kamu layak dihargai semahal itu." William mundur selangkah, lalu duduk kembali di sofa dengan kaki terbuka lebar, bersandar penuh kuasa. Tatapannya gelap, menuntut, dan lapar. "Kemari, Sasha. Berlutut." Jantung Sasha berdegup kencang. Kakinya terasa seperti timah. Namun, tatapan William menguncinya membuat tubuh Sasha bergerak di luar kendali pikirannya. Perlahan, Sasha menurunkan tubuhnya. Lututnya menyentuh karpet tebal yang lembut. Kini, posisinya jauh lebih rendah, memaksanya mendongak menatap William. "Mendekat," perintah William lagi. Sasha menggeser lututnya, mendekat hingga ia berada tepat di antara kedua kaki William yang terbuka. Tangan William terulur, menyentuh puncak kepala Sasha, membelai rambut panjangnya seolah ia adalah hewan peliharaan kesayangan. Sentuhan itu lembut, namun posesif. "Kamu ingat kegagalanmu malam itu di klub?" tanya William, jarinya kini bermain di ujung telinga Sasha. "Kamu gagal mencium saya." Sasha mengangguk kaku. "Perbaiki kesalahan itu sekarang." Itu bukan permintaan. Itu perintah. Sasha menatap wajah pria itu. Dosennya itu. Wajah yang besok pagi akan ia lihat di depan kelas, menerangkan materi bisnis dengan wibawa. Namun malam ini, wajah itu adalah wajah seorang pria yang menuntut kepuasan. Dengan tangan gemetar, Sasha memberanikan diri. Ia bangkit dari posisinya, kemudian meletakkan kedua tangannya di paha William. Otot paha itu terasa keras dan tegang di balik celana bahan yang mahal. Sasha mengangkat wajahnya, mendekatkan bibirnya ke bibir William. Napas mereka bersatu. Hangat. Memburu. Sasha menutup matanya dan menempelkan bibirnya ragu-ragu. Ciuman itu awalnya hanya kecupan ringan, canggung dan takut. "Jangan setengah-setengah," geram William di bibirnya. Tangan pria itu tiba-tiba mencengkeram tengkuk Sasha, menahan kepalanya agar tidak mundur. "Buka mulutmu.” Sentakan itu membakar sesuatu dalam diri Sasha. Rasa takutnya bercampur dengan adrenalin dan, sialnya, gairah yang terpendam. Sasha membuka mulutnya, membiarkan William mengambil alih. Dan dalam detik berikutnya, ciuman itu berubah menjadi perang. Lidah William menerobos masuk, menguasai, menuntut, dan melumat bibir Sasha dengan rasa lapar yang tak terbendung. Sasha mengerang tertahan. Tangan William yang satu lagi tidak tinggal diam. Jemari kasar itu merambat turun ke depan dada Sasha, mencari kancing dari blus yang ia kenakan. Meski menggunakan satu tangan, William begitu cekatan ketika membuka kancing tersebut satu per satu. William melepaskan blus itu dengan kasar dari tubuh Sasha. Sasha pun langsung mengerjap. Udara dingin AC apartemen langsung menyapu kulit Sasha yang telanjang, kontras dengan panas tubuh William yang membara di depannya. Sementara itu, ciuman William turun ke rahang, lalu ke leher Sasha, meninggalkan jejak basah dan gigitan-gigitan kecil yang membuat Sasha melengkungkan punggungnya. "Kamu milik saya malam ini, Sasha," bisik William tepat di kulit lehernya yang sensitif, membuat Sasha meremang hebat. "Dan saya pastikan, kamu tidak akan melupakan pelajaran malam ini."Tangan William mulai bergerak ke depan, menjamah dada Sasha yang masih terbungkus kain. William juga lantas menanggalkannya, lalu langsung menuju ke pusat sensitif Sasha tanpa ragu."Ah... Om...!" Sasha tersentak, desahannya lolos begitu saja."Sstt," William membungkamnya dengan ciuman lagi, kali ini lebih dalam, lebih menuntut, sementara tangannya mulai bekerja dengan ritme yang mematikan di bawah sana. "Jangan panggil Om. Panggil saya William saat kamu mendesah nanti." .Malam itu, logika Sasha mati.Yang tersisa hanyalah gairah dan permainan William yang menenggelamkannya. Ketika tubuhnya diangkat dengan mudah oleh lengan kekar pria itu, Sasha tidak memberontak. Ia seperti boneka porselen yang pasrah, dibawa menuju kamar utama yang pintunya terbuka lebar, menampakkan ranjang luas berseprai abu-abu.William membaringkannya dengan kasar. Pria itu menindihnya, mengunci pergerakan Sasha sepenuhnya. Di bawah sorot lampu tidur yang temaram, mata William tampak berkilat, lapar, dan menu
Sasha menelan ludah, tubuhnya hampir tak mampu menahan diri. Kakinya lemas mendengar perintah William tadi. Wajahnya terasa panas, bulu kuduknya berdiri, dan setiap napas yang ia ambil seolah terbawa oleh aura pria di depannya. “Ma…maksud Om William?”Sebetulnya, Sasha juga sedikit banyak dapat menduga bahwa William akan memintanya melakukan macam-macam. Namun yang tak ia duga adalah fakta bahwa William akan benar-benar meminta itu!Saat Sasha sibuk mencoba mencari alasan penolakan, William mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, wajah mereka hampir bersentuhan. William menatapnya, jarak antara mereka hanya beberapa inci. Tangan William perlahan menurunkan pipi Sasha, lalu menyusuri rahang halusnya dengan gerakan lembut tapi menegaskan dominasi. Sasha menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan diri.“Layani saya,” William mengulanginya berbisik. “Seperti yang kamu lakukan di karaoke, Sasha.”Wajah Sasha merah William mendengar itu. Ia cepat-cepat memalingkan wajahnya. “Maaf,
Sasha kehabisan kata-kata. Mulutnya sedikit terbuka mendengar itu. Sasha memang yakin William sewaktu-waktu akan mengeluarkan kartu AS miliknya itu. Tetapi, sekarang!?“Saya tunggu nanti malam. Prau Residence, lantai 17 nomor 1.”Begitu selesai mengatakannya, William berpaling pergi. Ia menelaah berkas-berkas yang sedari tadi dihiraukannya, seolah William juga berdalih tentang suruhan barusan. Atau Sasha lebih suka menyebutnya sebagai sebuah ancaman. Sasha mematung di selasar itu. Angin yang berembus menerpa wajahnya bahkan tak mampu mendinginkan pikiran. Ia menatap punggung William yang lama kelamaan hilang dimakan jarak. Mata Sasha masih berkedip beberapa kali dengan cepat, tidak percaya obrolannya barusan. Ia kembali menimbang-nimbang dan apapun langkah yang dipilih, rasanya salah. Tetapi nyawa neneknya seolah menjadi pertaruhan sekarang. Ia benar-benar tidak boleh kehilangan pekerjaannya!Sepulang kuliah, Sasha lemas duduk di dalam kosannya, memandangi ke luar jendela. Langit su
Wajah Sasha panas bukan main. Bulir keringat turun membasahi tengkuknya. Ia seolah disihir untuk tetap diam tak melawan. Bahkan ketika tangan William bergerak naik ke pinggangnya lagi, Sasha masih membeku. Ia hanya mampu menatap William dengan kosong.Yang membuat Sasha buyar dari pikirannya adalah suara seruan mahasiswa yang bercengkrama di luar ruangan. Mengingatkan dirinya bahwa ia masih sedang berada di kampus. Merasa habis disentuh dengan hina, perasaan Sasha semakin campur aduk. Wajah yang tadinya memanas karena malu, kini berganti menjadi amarah. Sasha kemudian menepis tangan William yang masih bertengger di sana.“Jangan kurang ajar, Pak William!” seru Sasha dengan suara bergetar.Ia langsung berbalik dan melangkah cepat meninggalkan ruangan itu. Air matanya menggenang di ujung mata, siap kapan saja untuk jatuh ke atas pipinya. Ini sangat hina!Rasa yang bergolak di hatinya tak bisa ia jelaskan. Sebelum berpikiran ingin mengutarakan kemarahannya kepada William, Sasha terlebi
Sasha mematung mendengarnya. “Sasha?”“I.. iya, Pak. Maaf, semalam saya…,” Sasha terbata menimbang-nimbang. Rasanya, tidak perlu diberitahu juga William seolah akan mengetahui alasan keterlambatan Sasha hari ini. William menatap Sasha. Matanya lagi-lagi tak terbaca. “Duduk, Sasha,” pinta William dingin. “Kelas sudah dimulai.”Sasha mengangguk pasrah. Ia membawa langkahnya menuju kursi kosong di sebelah Nina. Dari balik punggungnya, Sasha seolah masih bisa merasakan tatapan tajam milik William. “Sini, Sasha,” bisik Nina setelah Sasha tiba di kursi. “Kamu begadang semalam? Banyak pikiran, Shal?” “Begitulah, Win, tapi aku nggak apa-apa kok,” Sasha berdalih lagi. Ia segera duduk dan mengeluarkan buku-bukunya.Suara William yang menjelaskan materi kuliah langsung menyita perhatian Sasha. Sekeras apapun Sasha berharap, William tetaplah seorang dosennya sekarang. Sasha betul-betul takut apabila William membongkar rahasianya, identitas yang mati-matian ia sembunyikan. Ia belum bisa kehil
Sasha masih dihantui bayang-bayang William sebagai sosok dosennya ketika ia melangkah cepat ke luar kelas setelah kelas selesai. Kini kepalanya bercabang. Bagaimana bisa William muncul sebagai dosennya setelah semalam pria menjadi kliennya? Hanya dalam satu malam, keadaannya berubah drastis. Sasha bisa merasakan bulir-bulir keringat yang menetes dari dahinya. Ia memikirkan nasibnya, setidaknya sesingkat esok hari. Sasha tidak akan membiarkan skenario terburuk terjadi: orang-orang di kampus akan mengetahui pekerjaan hina itu. Jika ia kehilangan pekerjaan itu, lantas bagaimana ia dapat membayar biaya perawatan neneknya?Sasha jadi teringat bahwa ia harus segera ke rumah sakit untuk mengurus administrasi. Ia percepat langkahnya menuju gerbang kampus, sebelum berhenti sejenak ketika dipanggil oleh Nina.“Sasha!” seru Nina. “Aku cariin kamu dari tadi. Kenapa buru-buru banget?”Sasha menjawabnya cepat, “Aku harus segera ke rumah sakit, Win. Nenekku masuk rumah sakit tadi pagi.”Melihat







