Bab 1 Pesta Mewah
Belle Monaghan berdiri di sudut ruangan, mengenakan gaun hitam sederhana. Mungkin cocok dengan perannya sebagai seorang asisten eksekutif. Bukan sebagai seorang tamu yang datang menikmati kemewahan malam ini.
Belle menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatasi rasa gugup. Dia tidak terbiasa berada di tengah keramaian seperti ini. Tempat orang-orang kaya dan berpengaruh saling memamerkan status mereka.
Namun, sebagai asisten eksekutif Nate Whitmore—COO perusahaan tempat Belle bekerja, dia harus bertahan. Tugasnya adalah memastikan segala kebutuhan atasannya, Nate, terpenuhi sepanjang malam.
Nate—pria berusia tiga puluhan dengan senyum percaya diri, berdiri beberapa meter darinya. Pria itu sedang berbincang dengan seorang investor potensial. Sesekali Nate melirik ke arah Belle, memberinya isyarat saat dia membutuhkan sesuatu.
Belle melangkah mendekat dengan iPad di tangan. Dia mencatat jadwal dan rincian percakapan yang harus dia ingat untuk dilaporkan pada Nate nanti.
“Pak Whitmore, minuman Anda,” ucap Belle sambil menyerahkan segelas anggur merah pada Nate.
"Terima kasih, Belle," jawab Nate singkat sebelum kembali fokus pada pembicaraannya.
"Belle," Nate memanggil dengan suara keras, melambai ke arah Belle dari sisi ruangan.
Belle nyaris tidak sempat menarik napas panjang sebelum Nate Whitmore memanggilnya lagi. Belle berdiri di dekat meja prasmanan yang penuh dengan makanan mahal, tetapi jelas hidangan itu bukan untuknya.
“Ya, Pak?” Belle mendekat.
"Aku butuh daftar investor dari proposal yang aku kirimkan minggu lalu," kata Nate cepat. "Dan ... minumanku sudah hampir habis. Jangan sampai kosong lagi,"
"Baik, saya akan segera mengurusnya," jawab Belle.
"Dan, Belle … “
Belum selesai Belle mencatat instruksi pertama, Nate kembali memanggilnya.
“Cari tahu apa yang disukai Nyonya Goldstein. Dia tampaknya terkesan dengan portofolio kita, tapi aku ingin tahu apa yang benar-benar memikatnya. Bicara dengan asistennya jika perlu," pinta Nate cepat.
Belle mengangguk lagi, menahan desahannya. Dia berjalan cepat ke arah bar untuk mengambil minuman baru untuk Nate. Lalu mulai mengetuk iPad di tangannya, mencari informasi investor yang Nate minta. Malam ini Belle merasa seperti pelayan pribadi, bukan asisten eksekutif yang seharusnya diberi tanggung jawab yang lebih profesional.
"Oh, dan satu hal lagi, Belle,” seru Nate ketika Belle mendekat dengan segelas minuman di tangan. “Pastikan kursiku dipesan untuk sesi presentasi besok pagi. Aku tidak ingin duduk di belakang,"
"Baik, Pak Whitmore," ulang Belle, menambahkan tugas itu ke daftar panjangnya.
Setelah menyerahkan minuman, Belle menghela napas pelan ketika Nate berpaling darinya. Sekilas, Belle melihat bayangannya di salah satu cermin besar di ballroom. Wajahnya tampak lelah. Tapi dia harus tetap bertahan, demi membantu perekonomian keluarganya yang kacau akibat ayahnya yang kalah bertaruh.
***
Belle menyandarkan punggung ke sofa di ruang belakang. Mencoba mengistirahatkan kakinya yang mulai pegal setelah berjam-jam berdiri dan mondar-mandir memenuhi perintah Nate Whitmore.
Dia membuka botol air mineral yang ditemukannya di meja kecil di sudut ruangan dan meneguknya pelan. Kemudian Belle menghela napas cukup keras. Cara yang dia lakukan untuk melepas penat.
“Aku tidak paham kenapa kita masih repot mengadakan acara seperti ini,” Suara seorang pria terdengar jelas dari balik pintu yang sedikit terbuka.
“Ya, benar,” Tambah suara wanita. “Tapi paling tidak, kita bisa melihat siapa yang benar-benar layak untuk berada di sisi kita dan siapa yang cuma beban,”
Belle menegakkan tubuh, alisnya bertaut. Rasa ingin tahunya mendorong Belle untuk diam di tempat. Telinganya tajam menangkap setiap kata.
“Orang-orang kelas bawah itu … ” Suara pria lain menyela, kali ini lebih lantang. “Mereka memang diciptakan hanya untuk bekerja keras. Mereka tidak lebih dari alat untuk melayani kita, para konglomerat. Tanpa kita, mereka tidak akan tahu apa yang harus dilakukan dengan hidup mereka,”
Tawa pecah, menciptakan gema menyakitkan di telinga Belle. Dadanya terasa panas, dan genggaman tangannya pada botol air semakin kuat.
“Oh, jangan lupakan asisten-asisten yang selalu melayani di acara seperti ini,” Wanita itu melanjutkan. “Lihat saja mereka, sibuk berlari ke sana kemari seperti semut. Mereka bahkan tidak sadar betapa menyedihkan mereka,”
“Betul sekali,” Pria pertama menyahut dengan nada angkuh. “Orang-orang seperti itu tidak punya tempat di dunia kita. Mereka hanya layak berada di pojokan, menunggu perintah,”
Belle tidak bisa menahan diri lagi. Tubuhnya menegang dan matanya menatap tajam ke arah pintu yang sedikit terbuka. Setelah merapikan gaunnya, dia berdiri. Dengan langkah yang mantap, Belle melangkah ke arah pintu.
***
Di dalam ruangan, empat pria dan satu wanita langsung menoleh ketika pintu terbuka. Percakapan mereka berhenti seketika dan beberapa dari mereka tampak terkejut.
“Belle?” Nate Whitmore adalah yang pertama berbicara. Dia memandang Belle dengan dahi berkerut.
Belle menatap Nate dengan dingin, lalu mengarahkan pandangannya ke seluruh ruangan. “Saya tidak bermaksud mengganggu, tapi saya kebetulan mendengar pembicaraan kalian semua,”
Wanita di antara mereka, mendengus pelan. “Lalu?” Dia memandang Belle dari atas sampai bawah. “Kau asisten siapa?”
Belle tidak menjawabnya langsung. Sebaliknya, dia menatap ke arah Nate. “Pak Whitmore, saya ingin bertanya satu hal,” ujar Belle. “Apakah Anda juga setuju dengan pendapat bahwa orang-orang seperti saya, yang bekerja keras untuk Anda, hanyalah alat untuk melayani Anda?”
Ruangan itu menjadi sunyi. Nate tampak canggung. Dia bahkan sedikit memalingkan wajah, enggan menatap Belle.
“Kau benar-benar berani, ya?” Salah satu pria dengan tubuh paling besar, bersuara. Dia berjalan mendekati Belle.
Ketika jarak mereka dekat, Belle bisa melihat betapa jauhnya perbedaan tinggi mereka. Pria itu menunduk menatap Belle, sambil menyeringai.
“Apakah ucapan kami keliru? Pentingkah untuk orang-orang sepertimu?” tanya pria itu.
Di lantai atas mansion keluarga Hudson yang luas dan megah, Valeria berdiri tegak di ruang kerja pribadinya. Tangannya yang terbalut sarung tangan tipis dari satin memegang secarik laporan. Matanya menyapu tiap baris informasi dengan tatapan tajam.“Ulangi, Lawrie,” perintah Valeria dengan nada yang nyaris seperti bisikan. “Supaya aku tahu aku tidak salah dengar,”“Dengan izin Anda, Nyonya Valeria,” ujar Lawrie sopan, “Tuan Dante telah melamar Belle. Di rumah keluarga mereka,”Valeria tidak berkata apa-apa selama beberapa detik. Kemudian, dia tertawa. Pendek, penuh sinisme.“Patrick Monaghan,” ucap Valeria. “Pemilik bengkel kecil yang hampir bangkrut sebelum Dante menolong anak gadisnya. Dan Emily... toko bunga di gang sempit dekat stasiun kota. Itu latar belakang calon menantuku?”Lawrie menunduk sedikit, tidak berani menjawab.Valeria memutar tubuh, menatap jendela besar yang menampilkan pemandangan taman belakang mansion. Matanya menyipit, sorotnya tajam seperti pisau.“Aku sudah k
Dante menarik Belle pelan ke arahnya, mengangkat tubuh mungil itu hingga kini duduk di atas pangkuannya. Mereka saling berhadapan, tubuh mereka hanya dipisahkan oleh sisa ruang sempit antara dada dan napas yang semakin berat.Jari-jari Dante menyusuri punggung Belle, menarik tubuhnya lebih dekat. Sementara Belle, meski masih sedikit ragu, membiarkan dirinya terbuai dalam dekapan pria itu.“Belle…” bisik Dante di antara kecupan lembut di lehernya, “kau sadar apa yang sedang kita lakukan?”Belle menggigit bibir, menatap Dante dari jarak sangat dekat. “Ya,”“Kita di dalam mobil,” bisik Dante lagi.Belle menggeleng. “Tidak masalah... jika ini denganmu,”Dante menarik napas panjang, menahan hasrat yang mulai membakar batas logika. Dia mengecup bahu Belle, lalu kembali ke bibirnya, kali ini lebih dalam. Jari-jarinya meremas halus pinggang Belle, sementara tangan Belle melingkar di leher Dante, menyerahkan diri sepenuhnya pada momen yang tak bisa lagi dibendung.Mobil melaju stabil, menembus
Langkah kaki Dante terdengar mantap menapaki anak tangga satu per satu. Dari arah dapur, Emily hendak memanggilnya kembali, namun Patrick hanya menggeleng pelan."Biarkan," katanya pelan. "Mereka butuh bicara,"Di lantai atas, Liam berjalan dengan malas menuju kamarnya. Mendorong pintu tanpa tenaga dan membiarkannya terbuka. Dia melempar tubuh ke kasur, membenamkan wajah di bantal.Suara ketukan halus membuatnya mendongak. Belum sempat Liam menanggapi, Dante sudah muncul di ambang pintu. Berdiri dengan tubuh tegak. Tatapannya netral, tapi ada sedikit sorot khawatir di sana.“Boleh bicara sebentar?” tanya Dante.Liam tidak langsung menjawab. Dia hanya berbalik ke sisi ranjang dan duduk sambil menyilangkan tangan, menatap Dante tidak ramah.Dante melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Dia berdiri beberapa langkah dari Liam. “Kau tidak suka aku melamar Belle. Aku mengerti,”Liam mengangkat satu alis. “Kau pikir aku hanya tidak suka? Aku muak,”Dante tetap tenang. “Kenapa?”Lia
Sebuah mobil mewah berwarna hitam mengilat—Rolls-Royce Ghost berhenti perlahan di depan rumah keluarga Belle. Suara mesinnya nyaris tak terdengar, tapi kehadirannya langsung menarik perhatian warga sekitar. Beberapa orang melongok dari jendela, sebagian lain menyapukan pandang kagum.Dante keluar dari mobil. Penampilannya tetap rapi—setelan jas abu gelap, rambut tersisir sempurna, dan aura dingin yang melekat padanya seperti bayangan. Tapi hari ini ada sedikit perubahan. Sorot matanya tak setajam biasanya. Ada sesuatu yang lebih lunak, lebih dalam—sebuah rasa rindu.Dia berdiri beberapa saat di depan pagar rumah sederhana itu. Memandang pintu kayu yang sudah mulai termakan waktu. Rumah ini tidak ada apa-apanya dibanding properti-properti milik Dante. Tapi di dalam rumah inilah Belle menemukan tawa, ketenangan, dan cinta.Pintu terbuka. Belle muncul mengenakan blouse putih sederhana dan celana jeans. Rambutnya diikat longgar ke belakang, dan di tangannya masih tergenggam lap dapur. Dia
Setelah suasana sedikit tenang dan luka Cassie sudah dibalut, Eddie mengajaknya duduk di bangku kayu panjang di teras belakang restoran. Cassie menatap langit, lalu menunduk pelan. "Aku menyesal, Ed,"Eddie yang duduk di sampingnya tak langsung menoleh. "Menyesal yang mana?” timpalnya. “Meninggalkanku demi pangeran itu, atau menyesal karena dia bukan seperti yang kau bayangkan?"Cassie tersenyum pahit."Keduanya, mungkin," Dia menarik napas. "Saat itu, aku pikir aku membuat pilihan terbaik. Demi statusku, demi masa depan. Tapi aku kehilangan satu-satunya pria yang benar-benar peduli padaku… tanpa syarat,"Eddie masih diam. Tangannya terlipat, pandangannya lurus ke kebun kecil di belakang restoran."Aku lihat caramu memandang Belle," lanjut Cassie. "Penuh ketulusan. Dan... aku cemburu. Bukan karena Belle, tapi karena aku tidak pernah bisa menghargaimu saat kau jadi milikku,""Aku mencintaimu dulu, Cass. Tapi aku sudah melepasmu kini," suara Eddie akhirnya terdengar. Tenang, tapi menyim
Di dalam mobil, suasana sempat sunyi sesaat. Cassie menyetir pelan menyusuri jalan desa yang teduh dengan pepohonan. Musik klasik mengalun lembut dari radio mobil. Belle duduk tenang di sampingnya, memandangi jendela.Cassie menoleh sekilas. "Kau memang baik, Belle. Tidak heran Eddie merasa nyaman bersamamu,"Belle menoleh, tersenyum tipis. "Dia juga baik. Banyak membantu keluargaku,"Cassie tertawa pelan. "Aku dulu terlalu sibuk melihat masa depanku sendiri… sampai lupa, hati seseorang tidak bisa dilukai begitu saja,"Belle tidak menjawab. Matanya kembali menatap keluar.Cassie ikut terdiam. Untuk pertama kali sejak mereka masuk mobil, ekspresinya menunjukkan sedikit kerapuhan. Tangannya menggenggam kemudi sedikit lebih erat.“Bolehkah aku menanyakan sesuatu, Belle?”Belle menatapnya, tenang. “Apa?”Cassie menoleh, mata cokelatnya tajam. “Hubunganmu dengan Dante… seperti apa sebenarnya?”Belle terdiam sesaat. Dia menunduk, merasakan detak jantungnya berubah saat nama Dante disebut. “