Dante menegakkan tubuhnya, melipat tangan di dada. “Kenapa sekarang kau diam? Mana keberanianmu?” tantangnya. “Bukankah, orang-orang sepertimu harus mempunyai prinsip?”
Belle tidak bergerak. Dia mengepalkan tangan erat, mencoba menahan amarahnya sendiri. Bukan berarti dia tidak berani melawan Dante, namun posisinya kini tidak bagus. Karyawan lain memasang telinga begitu tajam, menguping pembicaraan Dante dan Belle.
“Kalau Anda datang ke sini untuk mengancam saya, maaf, saya sedang sibuk,” ucap Belle pelan. Mendongak untuk menatap langsung ke mata Dante. “Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan,”
Dante tertawa kecil, nadanya penuh ejekan. “Sibuk? Dengan pekerjaan kecilmu ini?” oloknya. Dia bahkan melempar catatan di meja Belle. “Kau harus tahu satu hal, Monaghan. Aku bisa menendangmu sekarang juga dari perusahaan,”
Belle mengangkat dagunya pelan. Jika bukan karena dia menghargai karyawan lain, Belle pasti sudah melawan. “Silahkan, Pak Hudson,” gumamnya pelan. Cukup untuk didengar oleh Dante. “Kalau itu yang Anda inginkan, lakukan saja. Tapi Anda harus tahu, saya tidak takut dengan orang-orang seperti Anda,”
Dante tertegun sejenak, tidak menyangka Belle akan melawan. Mata mereka bertemu, saling melempar kebencian. Untuk pertama kali, Dante melihat sesuatu yang berbeda dalam diri Belle. Keteguhan, keberanian yang jarang dia temui bahkan di kalangan elit sekalipun.
Suasana di sekitar terasa membeku saat Dante berdiri diam, menatap Belle dengan tatapan tajam. Akhirnya, dia melangkah mundur. Meluruskan jasnya dengan gerakan pelan.
“Menarik,” ujar Dante. Dia menyeringai lebar, seakan memandang Belle seperti mangsa.
Dante berbalik dan melangkah keluar. Meninggalkan ruangan dengan aura intimidasi yang membuat semua orang menahan napas. Namun Belle tetap berdiri tegak, meskipun jantungnya berdegup kencang.
***
Langit mulai gelap ketika Belle memutuskan untuk berjalan kaki ke stasiun. Jalan-jalan di pusat kota dipenuhi orang-orang yang pulang kerja. Dia membungkus erat tubuhnya dengan jas yang mulai menipis, karena udara malam ini terasa begitu dingin.
Di sepanjang trotoar, sebuah papan reklame besar menghiasi sisi gedung bertingkat. Foto seorang wanita cantik berbalut gaun emas terpampang di sana. Cassie Beaumont, nama yang tertulis di bagian bawah gambar. Adalah seorang model terkenal yang wajahnya sering menghiasi majalah-majalah mode.
Belle mendengus kecil saat sekilas memandang papan reklame itu. Seakan dia dan si model hidup dalam dunia yang berbeda.
Langkah Belle terhenti ketika dia melihat sosok yang tidak asing berdiri beberapa meter di depannya. Eddie.
Pria itu berdiri diam, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, sementara tatapannya terpaku pada foto besar Cassie. Wajahnya terlihat serius, seperti ada sesuatu di dalam pikirannya yang tak terungkapkan.
Belle memperhatikan dari jauh, tidak yakin apakah harus menyapa atau berlalu begitu saja. Eddie akhirnya bergerak. Dia menghela napas, lalu menyentuh bagian belakang lehernya dengan tangan. Eddie tidak menyadari keberadaan Belle. Atau mungkin dia terlalu tenggelam dalam pikirannya untuk memperdulikan orang seperti Belle.
Belle ragu sejenak sebelum memutuskan mendekat. “Eddie Kingsley?”
Eddie menoleh cepat, jelas terkejut mendengar namanya dipanggil. Ketika melihat Belle, ekspresinya berubah.
“Oh, hai. Kau tahu namaku?” Suaranya terdengar tenang. “Kau … yang menangis di pesta,” Eddie tersenyum.
“Kau sedang apa di sini?” tanya Belle, matanya melirik papan reklame di atas mereka.
Eddie melirik ke foto Cassie sekali lagi, lalu mengangkat bahu. “Hanya kebetulan lewat. Foto itu cukup mencolok, bukan?”
“Ya, dia memang cantik,” jawab Belle.
Eddie tertawa kecil, tetapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Matanya kembali memandang foto itu untuk beberapa detik. Sebelum akhirnya mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Belle.
“Kau pulang sendiri?” tanya Eddie, nada suaranya lebih hangat sekarang.
“Ya, aku suka jalan kaki di malam hari,” jawab Belle. Belle menggosok kedua tangannya karena merasa dingin. “Oh, sapu tanganmu … “
“Lupakan,” Eddie menggeleng. “Aku tidak pakai barang yang sudah kubuang,”
Belle menelan ludah. “Buang, eh?”
Eddie melirik sekilas ke arahnya. “Kau kedinginan?” tanyanya.
Belle menggeleng cepat, meski bibirnya sedikit bergetar. “Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa,”
Eddie mengerutkan dahi. “Jasmu terlalu tipis untuk malam seperti ini,” katanya. Kemudian membuka resleting jaket kulit hitam yang dia kenakan.
“Tidak, Eddie, aku baik-baik saja. Aku—”
Belle terdiam saat Eddie tanpa basa-basi memasang jaket kulit itu di bahunya. Belle mendongak menatap Eddie. Jaket itu masih hangat, membawa aroma Eddie—perpaduan kayu cedar dan sesuatu yang segar seperti hujan pertama. Hati Belle ikut hangat.
“Terima kasih,” ucap Belle pelan. Dia tertunduk karena tersipu.
Sementara Eddie memandang foto Cassie dengan tatapan nanar. Dia tidak menjawab ucapan terima kasih dari Belle.
***
Dante mengepalkan tangan begitu erat. Dia tidak tahu pasti apa yang membuat darahnya mendidih. Dia bersandar di kursi kulit, matanya masih terpaku pada Belle dan Eddie yang diam sambil memandang foto Cassie. Yang membuat Dante semakin marah adalah saat dia melihat Belle tersenyum.
“Brengsek!” umpat Dante.
Sopir di kursi depan melirik ke kaca spion, tapi tidak berkata apa-apa. Dia sudah terbiasa dengan ledakan emosi Dante yang tiba-tiba. Terutama ketika sesuatu tidak berjalan sesuai keinginannya.
Sejak pagi, Belle sudah berada di restoran kecil keluarganya. Membantu menyiapkan hidangan, melayani pelanggan, dan membersihkan meja. Tangannya bergerak lincah, namun hatinya terasa berat. Wajah Dante, kata-katanya, semua itu berputar tak henti dalam benak Belle."Belle, tolong ambilkan saus tambahan di dapur!" seru Liam dari balik meja kasir.Belle segera mengangguk dan bergegas ke belakang. Di dapur, Belle bersandar sejenak pada meja, menarik napas panjang. Tangannya gemetar tanpa dia sadari."Kau harus kuat, Belle," gumamnya pelan.Tetapi mengusir Dante dari hidupnya... tidak pernah terasa semenyakitkan ini."Belle?" suara langkah kaki terdengar mendekat.Belle menoleh dan melihat Eddie berdiri di ambang pintu, membawa dua gelas air dingin di tangannya."Kau kelihatan lelah," kata Eddie, menyerahkan salah satu gelas padanya. "Istirahatlah sebentar,"Belle memaksakan senyum kecil dan menerima gelas itu. Eddie mengamati Belle dalam diam."Kalau ada yang mengganggumu, kau tahu kau bi
Begitu tiba, langkah Dante cepat memasuki klub eksklusif itu. Musik jazz mengalun lembut, lampu-lampu temaram mewarnai ruangan dengan cahaya emas yang redup. Semua orang menoleh sesaat, mengenali sosok dominan itu. Lalu buru-buru menundukkan kepala. Tidak ada yang berani mengganggu Dante Hudson malam ini.Di sudut ruang utama, Jamie sedang berbicara dengan seorang bartender. Tetapi langsung menghentikan kegiatannya saat melihat Dante. Dia berjalan cepat menghampiri, ekspresinya cemas.“Kau darimana saja?” tanya Jamie. “Kata Fabian kau cuti dua hari. Apa yang terjadi? Mana Belle?”Dante tidak langsung menjawab. Dia mengambil tempat di sofa kulit hitam, membiarkan dirinya tenggelam sesaat."Aku hampir menghancurkan wanita yang paling kucintai," gumam Dante.Jamie menarik napas dalam-dalam, lalu duduk di hadapan Dante. Dia menyandarkan tubuhnya santai ke sofa, tetapi sorot matanya serius.“Apa yang kau lakukan padanya?” tanya Jamie. Suaranya rendah.“Kau tahu, aku selalu mencoba untuk me
Dante melangkah keluar dari kamar dengan jas yang sudah rapi, hanya butuh mengenakan jas luar untuk segera menuju mobil. Langkah kakinya terhenti begitu dia melangkah keluar menuju beranda depan. Pandangannya membeku.Di sana, berdiri Belle bersama Eddie. Mereka tampak bercakap ringan di bawah pohon besar yang tumbuh di dekat pagar rumah. Eddie berdiri dengan tangan di saku, wajahnya tenang, dan senyum tipis terukir di bibirnya.“Belle…” suara Dante terdengar datar namun membuat Belle dan Eddie serempak menoleh.Belle buru-buru mendekat. “Kau sudah bersiap?”Dante tidak langsung merespons. Tatapannya menusuk ke arah Eddie, yang tetap berdiri di hadapannya.Eddie memberi anggukan sopan. “Hati-hati di jalan, Dan,”Dante mengeraskan rahangnya. “Apa yang kau lakukan di sini sepagi ini, Ed?”Hening menegang di antara mereka. Belle menarik lengan Dante pelan.“Dante, hentikan,” bisik Belle.Dante akhirnya menarik napas panjang, lalu menoleh pada Belle. “Apa maksudmu berdiri berdua dengannya
Belle melangkah masuk dari pintu belakang restoran sambil mengikat rambutnya cepat. Rambut itu sedikit berantakan tertiup angin pagi, tapi senyumnya hangat. Begitu masuk, dia langsung memanggil Liam.“Liam, kau bilang aku harus membawa tomat. Tapi kau—”Langkah Belle terhenti. Matanya membelalak pelan ketika pandangannya jatuh pada sosok yang sedang berdiri di samping ayahnya. “Eddie…?” Suara Belle terdengar ragu, seperti bisikan yang tertahan di tenggorokan. Dia tampak terkejut.Eddie tersenyum. “Hai, Belle. Sudah lama, ya,”Belle mendekat, langkahnya pelan. Lalu berdiri tepat di hadapan Eddie. “Kamu di sini… kenapa?”“Aku dengar kabar kalian pindah ke desa. Aku ada proyek yang bisa dikerjakan dari jauh, jadi… kupikir, kenapa tidak membantu?” jawab Eddie santai.Dari belakang, Dante memperhatikan dengan sorot tajam. Dia melihat cara Belle memandang Eddie. Dan bagi Dante, itu lebih berbahaya daripada sekadar rasa suka.Belle sadar tengah diawasi dari belakang. Dia menoleh cepat dan m
Dante menatap sekeliling sebentar, lalu menoleh pada Belle. “Tempat ini… kecil, tapi hangat,”Belle mengangguk. “Setidaknya ada tempat yang nyaman untuk kita tinggali. Semua ini berkat kau,”“Aku sudah menawarkan rumah yang lebih besar, tapi ayahmu menolak,”Belle tersenyum. “Kau pikir, aku menurunkan sifat dari siapa lagi?”Dante mengangkat tangan, menyentuh pipi Belle dengan lembut. “Kau juga sama-sama keras kepala,”Jarak mereka menyempit. Belle menengadah, membiarkan bibirnya menyentuh bibir Dante. Ciuman itu lembut pada awalnya, seolah mereka berusaha tidak membangunkan seluruh rumah. Tapi perlahan, ciuman itu berubah jadi lebih dalam, lebih panas.Dante mendorong Belle perlahan ke arah ranjang kecil di sudut kamar. Ranjang itu mungkin hanya cukup untuk satu orang, tapi tidak ada yang keberatan. Mereka jatuh bersamaan di atas kasur dengan tawa tertahan, lalu Dante kembali mencium Belle. Lehernya, bahunya, hingga Belle menggigit bibir menahan suara.“Jangan terlalu keras…” bisik B
Mobil hitam mewah itu melaju pelan meninggalkan hiruk pikuk kota, menuju desa tempat keluarga Belle kini tinggal. Dante duduk di samping Belle, tangannya tak pernah benar-benar lepas dari tangan wanita itu sejak mereka meninggalkan penthouse.Hening mengisi sebagian besar perjalanan. Sesekali Belle menoleh ke arah Dante. Sorot mata pria itu lebih gelap dari biasanya. “Kau yakin ingin melakukan ini?” tanya Dante.Belle mengangguk. “Aku butuh ini. Untuk kewarasanku,”Dante tidak langsung merespons. Dia hanya mengangguk perlahan, lalu menatap jalanan di depan mereka. “Aku mengerti,”Belle tersenyum kecil. “Dan aku bersyukur kau mengerti,”Setelah beberapa jam perjalanan, hamparan desa mulai tampak. Udara lebih segar, pepohonan lebih hijau, dan langit lebih luas. Belle memandang keluar jendela dan senyumnya merekah ketika melihat rumah kayu kecil di ujung jalan, tempat keluarganya kini tinggal.Dante keluar lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Belle. Dia menggenggam tangan wanita itu
Setelah meninggalkan Hudson Mansion, mobil hitam Dante melaju cepat membelah jalan malam kota yang mulai sepi. Percakapan dengan Valeria masih bergema di benaknya, tapi yang dia rindukan saat ini hanya satu—Belle.Ketika pintu penthouse terbuka dan suara langkah Dante memasuki ruang utama, suasana terasa berbeda. Lampu-lampu tidak sepenuhnya menyala, hanya lampu gantung kecil di atas meja makan yang memberi cahaya temaram.Belle muncul dari arah dapur. "Kau pulang," ucap Belle pelan, nyaris seperti gumaman lega.Dante berjalan mendekat, tanpa berkata apa-apa. Dalam satu tarikan napas panjang, dia meraih pinggang Belle dan memeluknya.Belle diam, namun tubuhnya bersandar ke dada Dante. "Apa kau baik-baik saja?" tanyanya lirih.
Ruang keluarga di Hudson Mansion berdiri anggun dengan langit-langit tinggi yang dihiasi chandelier kristal tua. Kursi-kursi antik berlapis kain beludru marun mengelilingi perapian besar yang menyala tenang. Dinding-dinding dipenuhi lukisan leluhur keluarga Hudson dan aroma mawar putih samar menyebar dari vas besar di sudut ruangan.Valeria Hudson duduk dengan anggun, mengenakan gaun malam hitam. Sebuah cangkir teh porselen berada di tangan kiri, sementara tangan kanan bermain pelan di gagang kursi. Menunjukkan ketidaksabaran.Langkah kaki berat terdengar dari lorong.Pintu ganda dibuka oleh pelayan dan Dante masuk. Penampilannya maskulin dalam balutan kemeja hitam, rambut sedikit berantakan dan wajahnya kaku. Pandangan matanya langsung menatap lurus pada wanita yang telah melahirkannya itu.
Dante melangkahkan kaki ke dalam penthouse. Saat mencapai ruang makan yang menyatu dengan dapur terbuka, matanya langsung menangkap sosok Belle yang tengah sibuk di depan kompor. Rambutnya digelung sederhana, dan dia mengenakan apron yang tampak sedikit kebesaran di tubuh mungilnya.Belle menoleh saat mendengar suara pintu tertutup.“Kau pulang lebih cepat,” ucapnya, tersenyum kecil.Dante berdiri, memandangi pemandangan itu sejenak. Sesuatu yang begitu sederhana, namun terasa begitu menghangatkan.“Aku mencium bau sesuatu yang tampak lezat,” gumamnya sambil melepas jas dan menggulung lengan kemejanya perlahan.Belle terkekeh pelan. “Aku mencoba resep baru. Semoga kau suka,”