Di sekitar meja, para anggota The Dominion Club duduk menikmati malam dengan minuman di tangan masing-masing. Dante duduk di ujung meja. Posturnya santai tetapi auranya tetap mendominasi. Dia mengetukkan jari di sisi gelas anggurnya. Tatapannya tajam saat mengamati setiap orang di ruangan itu.
“Jadi,” Dante memulai, suaranya rendah tetapi menarik perhatian semua orang. “Apa yang kalian lakukan tadi malam?”
Percakapan ringan sebelumnya langsung terhenti. Semua orang tahu bahwa Dante bukan tipe yang melontarkan pertanyaan remeh semacam itu.
Lex tertawa kecil, mengangkat gelasnya. “Aku? Aku sibuk mengurus acara amal perusahaan. Jangan tanya berapa banyak foto yang harus kuambil bersama orang-orang yang bahkan tidak kukenal,” kelakarnya.
Jamie menyusul dengan cerita tentang koleksi mobil barunya, tetapi Dante tidak terlihat tertarik. Matanya bergerak ke arah Eddie, yang duduk di ujung lain meja dengan ekspresi tenang.
“Eddie,” panggil Dante. “Apa yang kau lakukan semalam?”
Semua mata di ruangan itu beralih ke Eddie. Pria itu tetap tenang, memutar gelas anggur di tangannya sejenak sebelum menjawab.
“Aku memutari kota,” katanya dengan nada santai. Seolah pertanyaan Dante adalah hal sepele. “Aku butuh udara segar setelah hari yang melelahkan,”
Dante menyipitkan mata. “Sendiri?”
“Ayolah, Dan!” Lex tertawa pelan, mencoba meredakan suasana yang terasa sedikit tegang. “Kau tahu Eddie itu penyendiri. Kenapa kau tanya hal konyol padanya?”
Vicky yang duduk di sebelah Dante, mengibaskan rambut. “Kau tidak tanya aku, Dan?”
Sebagai mantan kekasih Dante, hingga kini Vicky masih terus mencoba menggoda Dante.
Dante hanya memberi anggukan singkat. Tidak peduli. Dia kembali memusatkan perhatiannya pada Eddie.
“Dan, kalau kau ingin memberikan pelajaran pada wanita itu, kau tahu aku selalu siap. Kau tinggal sebut saja apa yang kau inginkan,” tukas Lex.
Dante tidak langsung menjawab. Dia hanya memutar gelas anggur di tangannya. Dia terus memikirkan kejadian semalam, saat Belle dan Eddie bertemu.
“Kau terlalu agresif, Lex,” ejek Nate dengan nada ringan. “Apa kau menyukai Belle?”
Dante seketika menoleh ke arah Nate. Matanya melotot tidak suka. Nate yang sadar dengan tatapan Dante, langsung mengangkat gelasnya.
“Selera Lex terlalu tinggi, kau tahu,” ralat Nate. Dia memang tidak pernah ingin membuat keributan dengan Dante.
“Jika kau bertanya padaku,” ujar Vicky. “Kau tidak hanya perlu memperingatkan gadis itu. Kau harus menghancurkan harga dirinya,”
Dante mengangkat alis, matanya bergerak lambat ke arah Vicky. “Kau punya ide?”
Vicky menyandarkan dagunya di tangan. “Aku punya banyak ide,” jawabnya. “Kita bisa membuatnya merasa seperti berada di puncak dunia, lalu menjatuhkannya begitu keras hingga dia tidak akan pernah bisa bangkit lagi,”
Lex tertawa pelan, terlihat sangat tertarik. “Kau memang licik, Vicky!”
“Oh, ayolah,” Jamie bersuara. “Dia bukan siapa-siapa. Hanya wanita kelas menengah yang bekerja sebagai asisten. Kau yakin itu layak?”
“Justru karena dia bukan siapa-siapa, itu akan lebih mudah,” seru Vicky. “Kau bisa mengerahkan para anak buahmu untuk ikut membantu kita,” ucapnya pada Jamie.
Jamie angkat bahu. “Mereka pekerja lapangan yang melakukan kekerasan. Apa aku harus memerintahkan mereka memukuli wanita itu?”
“Hentikan, kalian,” Dante akhirnya bersuara lagi. “Aku tidak butuh sesuatu yang besar. Hanya … sesuatu yang bisa membuatnya jera,”
“Tapi itu membosankan, Dan!” Vicky merajuk. “Setidaknya biarkan aku bersenang-senang sedikit,”
Dante menghela napas pendek. Kemudian memandang ke arah Lex. “Lex, pantau dia,”
Lex mengangguk dengan senyum puas. “Kau bisa mengandalkanku,”
Dante meneguk habis gelas minumannya. Sambil terus melirik ke arah Eddie, yang sama sekali tidak tertarik untuk ikut bergabung dengan pembicaraan. Seakan dia punya dunia sendiri.
***
Pagi itu, suasana di kantor Hudson Group lebih ramai dari biasanya. Gumaman dan bisikan memenuhi lorong-lorong. Para karyawan berkumpul dalam kelompok kecil, memandangi layar ponsel mereka dengan ekspresi terkejut atau terkadang sinis.
Belle baru saja tiba di meja kerjanya ketika dia mulai merasakan tatapan aneh dari rekan-rekannya. Mereka tidak mengatakan apa-apa, tetapi cara mereka mencuri pandang dan saling berbisik membuat Belle merasa tidak nyaman.
“Pagi, Belle,” Salah satu rekan kerja menyapanya.
Belle membalas sapaan itu, tetapi ada sesuatu yang tidak beres.
Beberapa menit kemudian, Rachel, teman Belle yang bekerja di departemen lain, muncul dengan wajah serius. Dia membawa ponsel dan langsung menarik Belle ke sudut ruangan yang lebih sepi.
“Kau sudah lihat forum kantor?” bisik Rachel.
Belle mengernyit. “Forum kantor? Tidak, kenapa?”
Rachel menggigit bibirnya, tampak ragu sebelum akhirnya menunjukkan layar ponselnya pada Belle. “Ini ... ini tentangmu,”
Belle memandang layar itu. Dan detik berikutnya, darahnya terasa membeku. Sebuah unggahan anonim dengan judul mencolok berbunyi:
Asisten Eksekutif yang Bermasalah: Belle Monaghan dan Rahasia Kelamnya!
Unggahan itu mengatakan bahwa Belle pernah melakukan aborsi di masa lalu. Komentar-komentar di bawahnya jauh lebih buruk—mencaci, menghakimi, dan mempermalukan.
“Ini tidak benar!” Belle berseru, matanya membelalak. “Aku tidak pernah ... Siapa yang melakukan ini?”
Dua bulan berlalu sejak perjalanan bulan madu mereka di Bora-Bora. Malam ini, Dante dan Belle melangkah memasuki salah satu ballroom termegah di pusat kota Manhattan—Hudson Grand Hall, gedung megah milik keluarga Hudson yang sering menjadi tempat acara-acara besar diadakan. Lampu kristal bergemerlap dari langit-langit tinggi, memantulkan cahaya ke dinding marmer putih berornamen emas. Musik orkestra klasik mengalun lembut, menambah atmosfer prestisius malam itu.Pesta malam ini diadakan oleh Valeria Hudson sendiri. Tujuannya untuk memperkuat citra keluarga Hudson di mata publik setelah berbagai gejolak rumor dan insiden belakangan ini. Secara khusus, acara ini dikemas sebagai Hudson Charity Gala—malam penggalangan dana untuk yayasan kesehatan dan pendidikan yang berada di bawah naungan Hudson Group. Para tamu undangan adalah deretan orang-orang penting seperti politisi, konglomerat, hingga bangsawan yang datang dari luar negeri.Semua mata seolah otomatis menoleh setiap kali Dante d
Malam itu ruang makan utama terasa lebih hangat dari biasanya. Dante duduk di sisi kanan, Belle di kiri, sementara Valeria di ujung meja, dengan ekspresi tenang namun sulit ditebak. Aroma sup krim bercampur dengan wangi daging panggang memenuhi udara. Tapi yang membuat suasana berbeda adalah kehadiran Valeria yang hingga kini belum juga kembali ke kediamannya sendiri.Sejak Dante pulang, Belle mengira Valeria akan pergi. Tapi kenyataannya sang mertua tetap bertahan, memilih tinggal di rumah ini demi alasan menjaga Adrian. Meski canggung, Belle tidak menolak. Toh Valeria tidak pernah mengomentari apapun tindakannya di rumah.Makan malam berlangsung dengan obrolan singkat. Dante sesekali menatap Belle untuk memastikan kondisinya sudah lebih baik. Belle tersenyum tipis, menegaskan bahwa ia baik-baik saja. Hingga tiba-tiba, Valeria meletakkan garpu dan pisaunya. Lalu menegakkan tubuhnya dengan anggun.“Lawrie,” panggilnya.Dari arah belakang, Lawrie yang sejak tadi berdiri tegak melangkah
Kabar penyerangan itu sampai ke Dante lebih cepat dari yang diduga. Lawrie langsung melaporkan insiden tersebut lewat sambungan khusus yang hanya bisa diakses oleh Dante Hudson. Begitu mendengar detailnya—bagaimana Belle hampir ditusuk pria bayaran Evelyn, darah Dante mendidih.Setelahnya, tidak ada lagi rapat atau agenda bisnis yang berarti. Fabian melihat tuannya bertransformasi, dari pebisnis tenang menjadi sosok yang siap membunuh siapa pun yang menyentuh keluarganya.Malam itu, mereka menuju ke sebuah penthouse mewah di distrik Shinjuku, tempat Evelyn menginap. Dua penjaga pribadi Evelyn di pintu hanya sempat menoleh sebelum Dante dan Fabian melangkah masuk tanpa permisi. Aura yang Dante pancarkan membuat siapa pun tak berani menghalanginya.Evelyn sedang duduk anggun di sofa, dengan segelas anggur merah di tangan. Bibirnya melengkung sinis saat melihat Dante datang. “Oh, Dante. Kau benar-benar tidak bisa jauh dariku, ya?”Dante tidak menjawab. Ia melempar sebuah map tebal ke me
Siang itu Dante berada di Tokyo, tepatnya di lantai atas sebuah hotel mewah yang digunakan Hudson Group untuk mengadakan pertemuan dengan mitra Jepang. Dari jendela kaca besar ruang VIP tempatnya menunggu, pemandangan kota tampak jelas. Gedung pencakar langit berkilauan, jalanan sibuk, dan papan neon warna-warni yang tak pernah mati.Fabian berdiri tak jauh, sibuk meninjau dokumen di dalam tablet. “Tuan, rapat dengan Yamashita Corporation dimulai lima belas menit lagi. Mereka sudah tiba di ruang konferensi.”Dante mengangguk singkat, tapi matanya tidak lepas dari layar ponsel yang baru saja bergetar di tangannya. Sebuah pesan masuk dari nomor asing.Dengan alis sedikit berkerut, ia membuka pesan itu. Dan seketika napasnya tertahan sepersekian detik.Salah satu foto menampilkan Belle tersenyum sambil menyentuh lengan Eddie, seolah mereka tengah berbagi momen intim. Di foto lain, Eddie berdiri dekat sekali dengan Belle saat membawa kotak besar. Sudut pengambilan foto membuat segalanya t
Sore itu, rumah baru Belle dipenuhi aroma masakan hangat. Meja makan besar di ruang makan sudah ditata rapi dengan piring porselen putih bergaris emas, lilin-lilin kecil beraroma vanila di tengah meja, dan bunga mawar segar di vas kaca.Belle sedang memeriksa pengaturan kursi ketika suara bel pintu terdengar. Salah satu pelayan membukakan pintu. Dan di sana osok Lex dan Lila datang bersamaan.“Lumayan juga. Untuk ukuran rumah yang bukan mansion Hudson,” tukas Lex, pandangannya menyapu seluruh area ruangan.Belle menahan tawa, sudah terbiasa dengan komentar sekenanya itu. Sebelum ia sempat membalas, Lila memutar bola matanya dan menepuk lengan Lex.“Apa itu ucapan selamat versimu? Kalau iya, jelek sekali caranya,” gerutu Lila.Lex hanya mengangkat bahu, menyeringai tipis. “Hei, aku jujur.”Belle terkekeh, lalu memeluk Lila sebentar. “Terima kasih sudah datang.”Tak lama, suara pintu kembali terdengar. Kali ini, Jamie melangkah masuk. Penampilannya rapi dengan setelan kasual. Senyumnya
Pagi itu, udara masih dingin dan lembut ketika cahaya matahari baru mulai menyelinap di balik tirai rumah. Belle sudah bangun lebih dulu. Ia menyiapkan secangkir kopi hitam untuk Dante dan segelas susu hangat untuk dirinya sendiri, sambil sesekali melirik jam dinding.Di ruang tamu, koper hitam besar milik Dante sudah tertata rapi di dekat pintu masuk. Fabian berdiri tak jauh dari situ, memegang tablet berisi jadwal dan dokumen perjalanan.“Kau mau kopi, Fab?” tegur Belle.Fabian sedikit menunduk. Pertanda bahwa dia baik-baik saja meski tampak berdiri diam seperti robot.Dante muncul dari lorong kamar, mengenakan mantel panjang warna hitam di atas setelan gelapnya. Matanya langsung mencari Belle begitu i