"Pah, bodyguard yang ini terlalu tua! Ga nyambung kalau diajak ngobrol."
Anton memijat kepalanya pusing. Sudah 3 kali dalam seminggu ini ia harus mencari bodyguard yang cocok untuk anaknya. Seperti sekarang, gadis itu berdiri di pintu ruang kerjanya sambil memeluk boneka panda."Kara mau yang kayak gimana lagi? "tanya Anton.Kara berpikir sejenak. Ia masuk ke ruang kerja ayahnya lalu duduk disofa."Yang muda, jangan terlalu tua,"Anton menaikkan alis nya sebelah."Itu aja? "Kara mengangguk. Ia melihat ke sekeliling ruang kerja Anton. Rak-rak yang penuh dengan buku, karena dia gemar membaca.Mata Kara tertuju pada sebuah buku bersampul hitam. Ia berdiri lalu mengambilnya. Itu adalah buku tentang misteri dunia."Kara pinjam ini ya, Pah? "tanya Kara yang dibalas anggukan oleh Anton.Ia memeluk buku dan boneka panda sekaligus lalu berjalan keluar. Tepat di pintu, Kara berhenti lalu menoleh ke arah ayahnya."Inget ya, jangan yang tua. Kara gak suka!"Anton tersenyum simpul dan mengangguk pelan. "Iya, sayang, ". Kara keluar dan menutup pintu, sementara Anton mengambil ponsel dan menelpon seseorang."Ganti, cari yang lain," ucap Anton pada seseorang ditelepon. "Yang masih muda."***Kara duduk di pinggiran kolam sembari membaca buku yang ia pinjam dari Anton tadi. Tak jauh darinya berdiri seorang lelaki 40 tahunan yang mengawasinya. Dia bodyguard Kara yang sebentar lagi akan digantikan.Kara sebenarnya tidak suka di tatap dan diawasi seperti itu. Tapi ini adalah aturan dari ayahnya demi keselamatan dirinya juga. Tapi bukankah ini berlebihan? Ini di rumah. Tidak akan ada yang berbuat macam-macam kepadanya."Pak Dante bisa pergi aja gak? Kara mau baca buku dengan tenang. Kalau di awasi kayak gitu jadi gak nyaman, "ucap Kara pada lelaki berpakaian serba hitam yang mengawasinya dari tadi."Tidak bisa nona, ini tugas saya. "Kara menghela nafas. Ia bangkit lalu berjalan masuk ke dalam rumah menuju kamar. Percuma menyuruh bodyguard nya untuk pergi, jadi dia mengalah dan memilih masuk kamar saja. Hanya di kamar Kara merasa nyaman karena tidak ada yang mengawasi dan menatap nya terus menerus seperti bodyguardnya.Gadis itu merebahkan badannya ke kasur. Meletakkan buku ke atas nakas lalu memejamkan matanya. Ia lelah dan bosan dengan kondisi rumahnya seperti ini. Kara ingin bermain keluar dan berbaur dengan teman sebayanya. Bukan berdiam diri dikurung di dalam rumah seperti rapunzel.Kara tidak di ijinkan keluar rumah. Dari umur 8 tahun dia dikurung di dalam rumah seperti ini. Semua kegiatan ia lakukan dirumah, seperti sekolah. Kara home schooling. Anton sangat melarang Kara keluar rumah, dia tidak ingin sesuatu terjadi padanya. Ia tak mau kejadian yang dialami Erlan, abang Kara terjadi lagi.Erlan tewas dibunuh oleh saingan bisnis ayahnya. Saat itu usianya baru 15 tahun sedangkan Kara masih 8 tahun, itu yang membuat Anton sangat protektif kepada Kara karena hanya dia yang Anton punya. Setelah Erlan pergi ibunya juga ikut pergi menyusulnya karena terkena serangan jantung.Kara tidur telentang di kasur sambil menatap langit-langit kamar."Bosen, Kara pengen main, "Sebenarnya Kara punya banyak mainan di kamarnya. Kebanyakan adalah mainan perempuan seperti boneka barbie, puzzle, monopoli, mainan masak-masakan dan masih banyak lagi. Umumnya mainan itu sudah tidak cocok dimainkan oleh perempuan 16 tahun seperti Kara. Tapi Anton masih menganggapnya anak kecil dan tidak mengajarkan hal sesuai usia Kara. Jadi Kara bertingkah seperti anak kecil.***"Jadi bodyguard, mau? "Kaisar menatap lelaki paruh baya di depannya ini dengan tatapan malas."Gak," ucap Kaisar lalu fokus menonton televisi. Heru menghela nafas kasar. Ponakannya ini sudah berbulan-bulan menganggur. Setiap hari hanya bermalas malasan dan main. Padahal usianya sudah 25 tahun."Yang kamu jaga ini gadis. Anak pengusaha terkenal, Anton Raharja." Heru melanjutkan. "Kalau kamu mau kerja disana ya bayarannya banyak, yakin gak mau?"Kaisar masih belum menoleh. "Anton nyari yang muda, gagah dan bisa beladiri. Kamu sesuai dengan kriteria nya. Gajinya juga ga main-main, Kai. Dua digit bisa masuk ke rekeningmu, "ucap Heru meyakinkan lelaki itu.Kaisar menoleh, ia mulai tertarik."Om serius kan? "Heru mengangguk. "Serius lah, kalau kamu mau om bisa langsung hubunginsekarang, "Kaisar setuju, Ia juga sedang butuh uang. Pekerjaan ini cukup menggiurkan. Heru tersenyum lalu menepuk bahu ponakannya itu."Yasudah om keluar dulu. Nanti om kabarin kapan kamu bisa mulai kerja, "Heru keluar dari kamar Kaisar. Saat sampai di pintu, lelaki itu menoleh lagi ke arah Kaisar."Rumah Anton di luar kota. Kamu mau kan pindah? "Kaisar mengangguk dengan malas."Kamu tinggal di rumahnya, jadi gak usah nyari kos-kosan."Sekali lagi Kaisar hanya membalas dengan deheman. Heru keluar dan menutup pintu.Kaisar menghela nafas kasar, di satu sisi ia senang karena mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi, tapi di satu sisi dia juga merasa sedikit sedih karena harus pergi keluar kota dan meninggalkan semuanya disini, termasuk Grita pacarnya.Kaisar mengambil ponsel nya dan menghubungi seseorang."Siap-siap, nanti gue jemput."Di sebrang sana Grita bingung dengan ajakan Kaisar yang mendadak."Mau kemana? Mendadak banget, ""Ga usah buru-buru. 1 jam lagi gue ke rumah, "ucap Kaisar."Iya, aku mandi dulu, ""Hm, "Panggilan terputus. Kaisar ingin mengajak gadis itu pergi jalan-jalan untuk yang terakhir kali sebelum ia pergi ke luar kota. Ia tahu, setelah bekerja dia tidak akan bisa lagi pergi dengan Grita. Jadi ia akan menghabiskan hari ini bersama Grita.Kaisar tidak langsung bersiap-siap, masih ada waktu 1 jam lagi sebelum ia menjemput Grita. Ia masih bisa bermalas-malasan.Pukul 2 siang Kaisar sudah sampai di apartement Grita. Gadis itu keluar dengan senyuman yang selalu menghiasi wajahnya. Grita tampak cantik dengan wide leg pants putih dan kaos putih bergambar serta platform sandal. Sedangkan Kaisar hanya memakai jeans hitam dan hoodie abu-abu.Kaisar menatap gadis itu sambil tersenyum."Hai, cantik."Grita tertawa. Ia memukul lengan Kaisar."Apasih, "Kaisar memberikan helm ke Grita dan langsung diambil oleh gadis itu. Kaisar mengulurkan tangannya sebagai pegangan agar gadis itu bisa naik ke motornya. Lelaki itu mengendarai honda cbr250 rr."Pegangan yang erat nanti lo terbang, "ucap Kaisar sambil tertawa. Gadis itu memukul bahu Kaisar kesal."Kaisar ngeselin! "Grita memeluk Kaisar, motornya pun melaju dengan kecepatan sedang menuju jalanan. Kaisar tidak tahu kemana ia akan membawa gadis ini pergi, ia tidak punya tujuan. Kaisar hanya ingin menghabiskan waktu dengan Grita hari ini.Di penghujung sore Kaisar mengajak Grita ke danau, tempat favorit mereka. Disana mereka sering bercerita sambil melihat matahari terbenam."Kamu tumben hari ini baik banget, kenapa? "Kaisar menoleh ke Grita sebentar lalu tertawa kecil, matanya kembali menghadap ke depan."Salah? "Grita menggelengkan kepala."Enggak. Tapi cuma heran aja sama sikap kamu hari ini. Tiba-tiba ngajak jalan seharian,"Hening sesaat."Gue dapet kerja, Ta"ucap Kaisar memecah keheningan.Grita tersenyum. "Bagus dong, "Kaisar menatap gadis di sampingnya ini. "Iya bagus, tapi kerjaannya di luar kota, "Senyum di wajah gadis itu perlahan hilang."Jauh ya?"Kaisar mengangguk. "Kemungkinan gue balik cuma 2 bulan sekali,"Grita menunduk. Ia sekarang tahu kenapa Kaisar menghabiskan waktu dengannya seharian ini, karena dia akan pergi jauh."Jadi ini alasannya kamu baik banget hari ini? Karena kamu mau pergi?""Iya, "Air mata Grita jatuh. Buru-buru ia mengusapnya. Tapi Kaisar sudah mengetahuinya."Kok nangis? " Kaisar menyentuh dagu gadis itu agar mendongak dan melihat wajahnya."Kalo kangen kan bisa telfon, gausah nangis ya?" ucap Kaisar sambil mengusap air mata yang turun di pipi Grita."Cantiknya Kaisar ga boleh nangis, paham? " Grita mengangguk pelan.Kaisar tersenyum miring. "Good girl, " ucap Kaisar sambil mengusap rambut Grita.***Sore itu, langit mulai meredup, mengusir sisa-sisa cahaya mentari yang menggantung di atas kota. Udara mulai sejuk, menyusup ke sela-sela jaket para pejalan kaki yang bergegas pulang. Di antara hiruk pikuk yang perlahan memudar, Kaisar memilih untuk tetap berjalan kaki, menikmati suasana sore yang menenangkan pikirannya.Ia berhenti di sebuah kedai kopi kecil di pinggir jalan, memesan secangkir kopi panas yang mengepul harum. Saat ia menyandarkan tubuhnya ke pagar pembatas trotoar, matanya menangkap iring-iringan kendaraan melintas di jalan seberang. Rombongan mobil dan motor, sekitar dua mobil dan beberapa motor, melaju dalam kecepatan sedang namun jelas memiliki tujuan yang sama. Ada sesuatu dalam mereka yang terasa familiar.Kaisar mengerutkan dahi. Ia meneguk kopinya, tapi pikirannya tak tenang. Tatapannya mengikuti rombongan itu hingga menghilang di tikungan. Dan tiba-tiba, seperti lampu menyala dalam pikirannya, ia teringat. Kendaraan itu adalah milik kelompok Dodi.Ia membuang
Pintu rumah Anton diketuk oleh seseorang di sore harinya. Di luar, langit mulai berubah warna, rona jingga merambat pelan dari ufuk barat, mewarnai dinding-dinding rumah dengan bayangan panjang. Di dalam, Anton tengah duduk di ruang utama, matanya fokus menelusuri baris-baris tulisan dalam berkas yang sudah ia periksa entah berapa kali. Konsentrasinya buyar oleh suara ketukan itu. Ia meletakkan berkas di meja, berdiri, dan melangkah ke arah pintu.Dengan langkah waspada, ia membuka pintu. Terlihatlah seorang pria paruh baya berdiri di sana. Tubuhnya gemuk, kulit kepala mengilap tanpa sehelai rambut, dan sebuah senyum lebar menampakkan kumis tebal yang ikut bergerak-gerak ketika dia berbicara."Selamat sore," sapa pria itu dengan suara berat namun ramah."Sore," jawab Anton singkat. Matanya memindai pria itu dari atas ke bawah.Pria itu tampak mencuri pandang ke dalam rumah. Matanya cepat menjelajah ke arah ruang tamu, rak buku, dan meja kerja Anton seolah ingin merekam segalanya dalam
"Rumah ibunya Anton, di mana?"Obrolan pesan singkat itu berakhir begitu saja. Hening. Seolah menyisakan gema di benak Dodi yang terus-menerus memutar pertanyaan itu dalam kepalanya. Ia memandangi layar ponsel yang kini sudah padam. Tak ada balasan lagi dari Grita. Hanya itu yang bisa ia dapat. Rumah Anton kosong, sepi, tak ada satu pun tanda kehidupan. Dan ketika Dodi mencoba menekan Grita untuk bicara, satu-satunya informasi yang keluar dari bibir perempuan itu hanyalah bahwa Anton pergi ke rumah ibunya, nenek dari Kara.Masalahnya, Dodi tidak pernah tahu Anton masih memiliki seorang ibu. Ia bahkan tak tahu apakah ibu itu benar-benar masih hidup. Selama ini, latar belakang Anton seperti misteri yang tak pernah bisa dibuka, bahkan oleh orang-orang yang cukup dekat dengannya. Dan kini dengan keadaan yang semakin genting, semua informasi menjadi penting. Termasuk silsilah keluarga.Dodi mendongak dari layar ponselnya dan menatap salah satu anak buahnya yang duduk di kursi sebelah. Tata
Pagi itu juga, dengan berbondong-bondong, Dodi dan antek-anteknya kembali datang ke rumah Anton. Mobil-mobil mereka berderet di halaman depan, mengepulkan debu kering. Dodi yang pertama kali turun dari mobil, mengerutkan kening curiga. Begitu melangkah masuk ke halaman, langkahnya berhenti.Ia mengernyitkan kening. Tidak ada siapa pun di sana. Sunyi.Dodi menyuruh anak buahnya menyebar ke seluruh penjuru rumah untuk mencari keberadaan Anton dan yang lainnya. Suasana terasa aneh. Pintu rumah terkunci rapat, pos satpam kosong tak berpenghuni, bahkan rumah depan untuk karyawan pun tampak sepi."Tidak ada siapapun di sini," lapor salah satu anak buah dengan wajah tegang.Dengan kasar, Dodi menendang sebuah pot bunga yang ada di teras sampai pecah berantakan. Pecahan tanah dan keramik beterbangan, mencerminkan betapa amarah menguasai dirinya."Sialan! Kemana mereka!" Dodi menggeram, suaranya menggetarkan halaman kosong itu.Ia tidak bisa berpikir jernih. Pikirannya dipenuhi rasa frustrasi
Keadaan markas menjadi bak kapal pecah saat Sean kembali pada keesokan harinya. Botol-botol alkohol kosong berserakan di lantai, puntung rokok tersebar di mana-mana, serta orang-orang yang ada di sana tepar di segala penjuru markas. Bau menyengat alkohol, asap rokok basi, dan keringat memenuhi udara, membuat Sean harus menahan napas sejenak sebelum melangkah lebih jauh.Ia berdiri di ambang pintu, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Suara dengkuran dan gumaman orang mabuk terdengar bersahut-sahutan. Beberapa tubuh tergolek di sofa, lantai, bahkan ada yang tidur setengah bergelantungan di atas meja.Sean mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Dodi. Ia tak menemukannya di ruang utama, jadi ia beralih mencari ke ruangan Dodi, sebuah ruangan kecil di sudut markas yang biasanya selalu ramai dengan aktivitas. Kini, lorong menuju ruangan itu sepi, hanya langkah sepatu Sean yang terdengar menggema.Begitu pintu dibuka, tak terlihat siapapun ada di sana. Ruangan itu kosong, hanya
Sean memutuskan untuk pulang ke apartemennya. Meninggalkan markas yang kini penuh dengan orang-orang yang mabuk, termasuk Dodi. Sean tidak suka keramaian penuh bau alkohol seperti ini, jadi dia memutuskan untuk pulang saja.Sean menaiki motornya dan melaju di jalanan kota yang sepi. Pikirannya terus terpusat pada peristiwa tadi. Ia khawatir dengan kondisi Kara, ia takut gadis itu kenapa-napa, tapi sekali lagi tak ada yang bisa ia lakukan.Motor Sean melaju kencang hingga sampai ke apartemennya. Ia ingin segera mengistirahatkan tubuhnya yang lelah, lelah secara fisik dan mental.Di kota yang sama namun di tempat yang lain, kediaman Anton masih ramai karena kepindahannya. Malam itu juga Daniel mengantarkan Grita ke rumah Rei, sambil membawa pria yang ada di ruang bawah tanah tadi. Tentu saja dengan tali terikat dan mata ditutup kain. Leo tidak bisa membawanya karena dia memakai sepeda motor, jadi dia meminta Daniel untuk membawannya. Sementara yang lain tetap kembali ke pekerjaannya mem
"Berkas tadi, yang kuserahkan begitu saja pada Dodi, itu adalah berkas palsu."Leo menatapnya tak percaya, menahan napas sejenak seolah memastikan apa ia tak salah dengar. Malam itu udara terasa dingin menusuk kulit, dan bayangan pepohonan yang bergerak di bawah cahaya bulan menambah suasana mencekam."Sungguh?" tanyanya dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan.Anton mengangguk pasti. Tatapannya kembali lurus ke depan, seolah menembus gelapnya malam. Dua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya, berusaha menahan dingin yang menggigit. Pohon-pohon di sekitar mereka bergerak pelan mengikuti irama angin, berdesir lembut namun menghadirkan suasana muram."Aku tidak akan pernah menyerahkan apapun yang ku punya pada orang lain. Yang menjadi milikku akan selamanya menjadi milikku," ucap Anton tegas, suaranya berat namun penuh keteguhan.Leo tertawa pelan, nada tawanya lebih mirip helaan napas lega bercampur kekaguman. Anton tetap Anton yang dulu, pikir Leo. Pria yang keras kepala namu
Kara menolak saat Vano mengajaknya ke kamarnya untuk beristirahat. Tubuh mungilnya gemetar, matanya kosong, jelas sekali kejadian mengerikan tadi masih menghantuinya. Vano mengerutkan kening, kebingungan harus bagaimana. Ia tahu dirinya tidak pandai menangani trauma seperti ini, apalagi terhadap seorang perempuan seperti Kara.Kalau saja Bi Ina atau salah satu pembantu perempuan lainnya masih di sini, mereka pasti tahu harus berbuat apa. Sayangnya, tadi pagi Anton memutuskan untuk memulangkan semua staf rumah tangga, agar mereka terhindar dari kemungkinan bahaya. Keputusan yang benar di satu sisi, namun membuat mereka kehilangan sosok-sosok yang biasanya bisa menenangkan Kara."Yaudah, Kara mau di mana?" tanya Vano dengan suara yang dibuat selembut mungkin, berusaha agar gadis itu merasa aman.Kara tidak menjawab. Ia hanya memeluk lututnya sendiri sambil menunduk. Napasnya pendek-pendek, seolah-olah ia berusaha keras menahan ketakutan yang menyeruak dari dalam dirinya.Vano menunggu d
Anton menghela napasnya kasar, ia menoleh pada Raven.”Bawakan berkas di laci mejaku.”Leo menatapnya tak percaya, ia menyentuh bahu Anton."Kau yakin?" tanya Leo."Aku harus menyelamatkan mereka," jawab Anton. Ia lalu kembali menatap Raven, pria itu lalu masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa. Detik-detik berlalu terasa begitu lambat. Jantung Anton berdegup keras, seakan menghantam dadanya dari dalam. Ia mengepalkan tangannya erat, menahan emosi yang berkecamuk hebat.Dodi tertawa puas. Akhirnya setelah sekian lama, berkas itu akan menjadi miliknya, dan Anton akan jatuh sejatuh-jatuhnya. Mata Dodi bersinar-sinar, bibirnya terus menyunggingkan senyum kemenangan. Tak lama, Raven muncul dari dalam rumah, membawa sebuah berkas di tangannya, lalu menyerahkannya pada Anton.Anton menatap berkas itu sejenak, hanya karena tumpukan kertas ini ia harus mengorbankan orang-orang yang disayanginya. Luka di hatinya yang lama pun kembali menganga. Ia tak mau kehilangan lagi, cukup istri dan ana