Yang orang lihat, Aura adalah wanita paling beruntung.
Dicintai pria baik, mapan, dari keluarga terpandang, dan… sangat menyayanginya.Tapi Aura sendiri tak yakin dengan sebutan "beruntung" itu.
Seperti hari ini.
Suaminya baru saja pulang dari luar kota setelah menghadiri seminar. Aura telah menyiapkan kejutan manis: berdandan seksi dan menarik, berharap ketika Arman melihatnya, perasaannya akan hangat, dan rindu mereka akan terobati.Begitu pintu terbuka, Aura langsung melompat memeluknya dengan manja, lalu menciumi wajah lelaki itu.
Namun kenyataannya tak seperti yang dia bayangkan.
Alih-alih tersenyum bahagia, Arman justru tampak masam dan menatapnya dingin.
“Kau tidak lihat aku baru datang dan lelah? Bersikaplah sedikit dewasa,” gumamnya, memadamkan seketika kerinduan Aura yang menggebu.
“Oh, maaf, Mas…”
Itu saja yang bisa Aura katakan. Walau dalam hatinya, dia tahu Arman pun tak seharusnya bersikap sedingin itu.Sudah dua tahun mereka menikah.
Dua tahun hidup dalam segala “pemberian” Arman. Tapi Aura tak pernah benar-benar merasa memiliki suaminya itu.Arman memang memberi banyak hal: rumah untuk orangtuanya, modal usaha toko roti orang tuanya, biaya sekolah adiknya, bahkan kuliah untuk dirinya—meski sesungguhnya itu bukan keinginannya.
Semua itu terasa seperti hadiah yang tak bisa ditolak.
Arman terdengar logis, penuh kasih, penuh rencana. Tapi di balik itu, ia adalah pria yang tenggelam dalam dunia dan ambisinya, namun lupa akan cinta dalam rumah tangga.Keluarganya kaya raya—pemilik salah satu perusahaan terbesar di negeri ini. Tapi Arman justru memilih menjadi dosen.
Malam itu, bahkan mereka belum intim kembali pasca kedatangannya. Namun teriakannya membuat tubuh Aura meremang. Wanita muda itu langsung berjingkat dari kamar dan keluar ingin mengetahui kenapa suaminya sampai memanggilnya sembari berteriak begitu.
“Kenapa, Mas?” tanya Aura setiba di ruang kerja suaminya.
“Kenapa katamu? Kau tidak lihat laptopku basah karena kecerobohanmu!” Arman melotot pada Aura sembari menunjuk gelas teh yang tumpah di mejanya.
“Sial, ada banyak file dokumen yang belum sempat kusimpan di sana… kenapa kau tidak berubah sih? Tolol dipiara!” lagi Arman memarahi Aura yang membeku tak tahu harus bagaimana.
“Mas Arman kan yang tadi minta dibuatin tehnya.” Aura mencoba sedikit membela diri. Walau dia tahu pada akhirnya itu tidak ada gunanya.
“Kau kan punya otak. Harusnya dipikir, di mana seharusnya kau letakkan sekiranya tidak akan membuat kekacauan. Dan lagi, kalau salah ya minta maaf. Bukannya ngeyel melulu kamu!”
“Iya, Mas. Maaf!” ucap Aura menahan rasa ketidakberdayaannya karena sikap Arman yang seperti itu padanya.
Tidak jarang dia merasa dirinya tak lebih sebagai pembantu di rumah ini. Ditolol-tololin dan dibentak-bentak sesuka hatinya.
Namun, selalunya, ketika Arman membutuhkannya lagi seperti saat ini, dia akan mendatangi Aura. Memeluknya, menatapnya dengan hangat dan mencium keningnya lama.
“Jangan marah, ya? Aku hanya sedang capek,” tukasnya memaksa Aura memahaminya.
Wanita itu hanya mengangguk dan menyembunyikan lukanya di balik kata, “Tidak, aku tidak marah.”
“Kau sudah mengerti bagaimana aku, kan? Kalau banyak pikiran dan lelah, emosiku tak terkendali. Makanya jangan bikin masalah apapun saat kondisi mentalku seperti itu.”
“Iya, Mas. Maaf.”
“Aku mencintaimu, Ra!” bisik Arman, lalu kecupan hangat di bibir sudah menghapus jejak pertengkaran mereka.
Arman melepas kancing baju Aura sebagai isyarat ingin berhubungan. Aura yang sudah merindukan suaminya itu memilih melupakan rasa kesalnya ditolol-tololkan tadi. Dia pun dengan senang hati melayani sang suami.
Namun sayang, panggilan dari posel Arman kembali menjeda kedekatan yang belum juga memanas itu. Arman menarik dirinya dan bangkit untuk meraih ponselnya. Membiarkan Aura melongo dengan merana.
Aura mencoba bersabar. Daripada nanti mereka bertengkar lagi. Mungkin Arman memang ada panggilan yang mendesak. Jadi ditunggunya hingga selesai.
Ketika melihatnya mengakhiri panggilan, Aura bangkit dan memeluk pria itu dari belakang. “Mas, ayo kita lanjutkan,” ujarnya mesra merayu sang suami agar kembali memanaskan rajang mereka.
“Ra, kau kembalilah tidur. Aku ada yang harus dikerjakan.” tukas Arman sembari melepas lengan Aura yang melingkari pinggangnya.
Aura tentu kecewa. Arman yang mengajak duluan, membujuknya tadi agar mau melayaninya, sekarang ketika Aura sudah berhasrat, tiba-tiba ditinggal begitu saja…
Sekedar menyampaikan sedikit kecewa yang dipendamnya, Aura mencoba protes.
“Mas baru pulang setelah dua minggu sibuk seminar, lho. Kenapa masih sibuk lagi?”
Namun, pria itu malah menatap Aura dengan dingin dan menusuk.
💗💗💗
Paginya, Arman datang lagi mendekap Aura dari belakang saat sang istri membersihkan dapur.
Dia kembali meminta maaf. Seolah dengan hal itu semuanya akan selesai. Dan yang bisa Aura lakukan hanya menahan napas dan mengiyakannya begitu saja.
Kalau tidak, sepagi ini mereka akan berdebat dan Arman akan mengeluarkan semua teori ilmiahnya menceramahinya tentang bagaimana menjadi istri yang baik.
“Kau marah karena semalam?” tanyanya sambil mengendus leher jenjang Aura.
Aura hanya meliriknya. Dalam hati, ia membatin—mana mungkin dia berani marah?
“Tidak, Mas. Aku saja yang tidak tahu situasi. Mas Arman banyak urusan dan pasti lelah.” Begitu saja jawabnya. Biasanya Arman lebih terima kalau Aura yang mengaku salah.
Arman membalik tubuh Aura dan mengecup bibirnya lembut dan mesra.
Padahal hanya dengan itu, Aura luluh. Lupa pada kecewa yang semalam membekas. Semudah itu membujuk Aura. Tapi Arman sering lupa, bahwa hal-hal kecil seperti ini pun penting.“Aku ada berita lagi,” ujarnya, membelai pipi Aura.
“Apa itu, Mas?” tanya Aura, menatapnya penuh antusias.
“Aku diterima di program S3 Oxford. Pengajuanku dari sebelum kita menikah akhirnya dipanggil juga.”
Tatapan Arman berbinar—penuh ambisi, seperti biasa.
Sementara Aura hanya menelan ludah. Lagi-lagi suaminya ini akan meninggalkannya. Sudah terbayang, malam-malamnya akan semakin dingin dan sepi.
.
.
.
<Next>
Aura langsung menarik tangannya. Tertunduk dan gugup. Takut Pras marah atas kelakuannya itu.Namun pria itu hanya berkata dengan tenang, “Tidak apa, ini bisa kuatasi. Biarkan aku zoom dulu.”“B-baik, Om…” ujar Aura, bangkit dan berlalu meninggalkan Pras.Aura segera masuk ke dapur, bersandar pada dinding ruangan itu untuk menetralkan debaran jantungnya. Dari tempat itu, Aura bisa mendengar dengan jelas suara Pras yang memimpin rapat. Tegas, berwibawa, dan jelas. Sempat membandingkan, kenapa suaminya tidak bisa seperti pamannya itu? Kalau Arman sedikit saja memiliki sikap seperti sang paman, Aura akan lebih jatuh cinta padanya... Sayangnya, meski mereka memiliki ikatan darah, Arman dan sang paman adalah dua pria dengan pribadi yang berbeda. Tanpa sadar, ia menatap ke arah ruang tamu. Lelaki itu duduk tegap, memberi arahan ke timnya. Aura menatap lebih lama daripada yang seharusnya.Dalam hati, ada kekaguman yang tumbuh. Diam-diam dan lembut.Namun Aura cepat-cepat membuang wajah. I
Aura dan Arman tiba di rumah Oma Eliyas pagi itu. Sang Nyonya Besar sudah menunggu mereka di ruang makan, dengan sarapan yang tersaji rapi. Wajahnya berseri melihat pasangan muda itu datang.“Wah, kau tambah cantik saja, Aura. Berapa lama kita tak bertemu? Oma sampai pangling,” ucapnya hangat.Aura tersenyum malu. “Ah, Oma bisa saja...”Arman memandang istrinya penuh kebanggaan. Aura memang berdandan lebih cantik pagi ini. Ia ingin tampil sempurna, agar suaminya membawa kenangan yang indah sebelum berangkat ke Oxford.“Dukung semua langkah suamimu, Ra,” ucap Oma kemudian, serius namun lembut. “Dia sedang meniti masa depannya.”“Iya, Oma. Aura pasti dukung Mas Arman sepenuhnya.”Nyonya Eliyas mengelus lembut lengan Aura, isyarat kasih yang tak banyak kata. Ia memang sangat menyayangi cucunya, dan kini berusaha juga menyayangi menantunya seperti anak sendiri.Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar. Pras muncul dari arah lorong, hanya mengenakan kaus abu-abu yang melekat pas di
“Maaf untuk yang tadi, Om…” ucap Aura pelan, menunduk. Wajahnya masih menyisakan rona malu. Perilakunya barusan, memeluk pria ini dalam keadaan berpakaian minim, sungguh tak pantas. Pria ini adalah paman suaminya. Tapi tadi Aura bertingkah seolah kehilangan akal sehat.Pras hanya tersenyum. Ia menyodorkan segelas air. “Tak apa. Kau tadi ketakutan.”Hanya jawaban sederhana. Tapi terasa menenangkan.Mereka sempat berbincang sebentar tentang malam perpisahan yang berakhir kacau karena Arman meninggalkannya. Pras, yang jelas-jelas kesal pada Arman, bahkan sempat menghubungi keponakannya itu.“Kalau kau tidak bisa menjemput istrimu sendiri, biar aku yang antar!” ucapnya tadi, tegas. Aura bisa merasakan nada marah di balik suara tenangnya.Kini, di perjalanan pulang, mobil terasa senyap. Aura duduk di kursi penumpang dengan tubuh kaku, pikirannya berkecamuk. Kejadian tadi—tak sengaja memeluk Pras dengan tubuh setengah telanjang, lalu melihat ekspresi paman suaminya itu saat lampu menyala—se
Meski hatinya terasa pedih karena setiap umpatan sang suami, Aura tetap berlari mengejar Arman. Dia tidak ingin ditinggalkan begitu saja—tidak seperti ini.Namun langkahnya terhenti saat menyadari ia masih mengenakan gaun "haram" itu—gaun yang sejak awal Arman tentang. Napasnya memburu. Dada sesak. Tapi ia mencoba menenangkan diri.Dengan tangan gemetar, Aura meraih ponsel dari atas meja dan segera mencoba menghubungi Arman. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tidak diangkat. Napasnya makin tak beraturan, tapi ia terus mencoba. Baru pada panggilan kelima, suara itu terdengar.“Mas Arman... maaf,” ucap Aura lirih, nadanya memelas. “Tolong jangan marah...”Ia berharap Arman melunak, berharap suaminya kembali ke kamar hotel yang telah mereka pesan bersama—bukan begini akhir malam mereka.Tapi suara Arman dingin. Bahkan lebih dingin dari AC kamar yang tak ia rasakan lagi sejak tadi.“Aku sudah di perjalanan pulang. Kalau kamu masih mau pulang, pesan taksi atau ojek online!”“Mas...”Tapi panggil
Aura tidak mau kehilangan momen ini. Besok suaminya akan berangkat ke Oxford dan tidak tahu kapan bisa pulang untuk mengunjunginya. Jadi dia berdandan dengan begitu seksi. Hanya memakai lingeri warna merah menyala, menerawang, hingga apa yang ada di baliknya terlihat mengintip nakal.Aura sengaja tak memakai apapun lagi agar Arman bisa lebih bergairah.“Mas?” panggilnya sembari tersenyum menggoda.Sesaat melihat istrinya secantik itu, Arman melongo. Jakunnya naik turun dan tatapannya menyala.“Kau cantik sekali, Ra.” Pujinya sembari mengeratkan rahangnya. Namun ada sorot keraguan yang terpancar saat Aura menyentaknya.“Kok diam saja, Mas? Ayo, serang aku sayang.” goda Aura dengan nada nakal. Arman mendekat, menarik tubuh Aura lalu menciuminya dengan intens.Aura baru menikmati ciuman itu. Hanya saja tiba-tiba Arman langsung mengangkat tubuh Aura dan menidurkannya di ranjang. Gerakannya kasar membuka kedua paha Aura dan tanpa aba-aba dia langsung memasukinya.“AHH, MAS!” Jerit
“Kau kelihatan tidak suka mendengar hal itu, Ra?” Arman perhitungan melihat istrinya tak memberikan selamat dan senyum atas kabar yang menurutnya bahagia ini.“Tentu suka, Mas. Selamat…” ucapan itu tak sepenuh hati keluar namun Aura sudah terbiasa memulas kesedihannya dengan senyuman di depan suaminya itu. Lelaki ini, seakan tak pernah cukup dengan pencapaian yang sudah didapat.Sudah mengoleksi gelar, jabatan, kehormatan. Tapi masih ingin lebih. Dan jelas, pendidikan itu tidak hanya akan memakan waktu sebulan atau dua bulan, bukan?“Semalam aku sibuk mempersiapkan banyak hal karena ini, Sayang. Kau tahu kan, aku ini dosen. Selayaknya punya gelar yang lebih tinggi dan kualifikasi yang memadahi.”Aura hanya bisa mengangguk. Dia tahu kalau suaminya sudah memutuskan, maka tidak akan bisa berubah. “Berapa lama, Mas?” tanya Aura, tidak ada kata lain selain mendukung suaminya itu.“Setahun saja, Sayang. Aku bakal sering pulang kok,” katanya santai.Seolah satu tahun adalah waktu yang seb