“Kau kelihatan tidak suka mendengar hal itu, Ra?” Arman perhitungan melihat istrinya tak memberikan selamat dan senyum atas kabar yang menurutnya bahagia ini.
“Tentu suka, Mas. Selamat…” ucapan itu tak sepenuh hati keluar namun Aura sudah terbiasa memulas kesedihannya dengan senyuman di depan suaminya itu.
Lelaki ini, seakan tak pernah cukup dengan pencapaian yang sudah didapat.
Sudah mengoleksi gelar, jabatan, kehormatan. Tapi masih ingin lebih. Dan jelas, pendidikan itu tidak hanya akan memakan waktu sebulan atau dua bulan, bukan?
“Semalam aku sibuk mempersiapkan banyak hal karena ini, Sayang. Kau tahu kan, aku ini dosen. Selayaknya punya gelar yang lebih tinggi dan kualifikasi yang memadahi.”
Aura hanya bisa mengangguk. Dia tahu kalau suaminya sudah memutuskan, maka tidak akan bisa berubah.
“Berapa lama, Mas?” tanya Aura, tidak ada kata lain selain mendukung suaminya itu.
“Setahun saja, Sayang. Aku bakal sering pulang kok,” katanya santai.
Seolah satu tahun adalah waktu yang sebentar bagi seorang istri yang ditinggal.“Selama Mas Arman kuliah, apa aku boleh pulang dan tinggal di rumah orang tuaku?” tanya Aura.
Dia selalu merasa kesepian di rumah besar ini, sendirian tanpa teman.
Sementara itu, Arman tak pernah mengizinkan adanya asisten rumah tangga. Baginya, keberadaan orang lain akan mengganggu privasi hidup mereka.
Setidaknya Aura masih beruntung diberi sopir pribadi, meski jam kerjanya terbatas hanya dari pagi hingga sore.
Arman adalah pria dengan prinsip-prinsip yang terlalu idealis. Dan Aura—tak punya pilihan selain menurut, meski sering kali harus menekan keinginannya sendiri.
“Jangan… rumah orang tuamu beda pulau, terlalu jauh. Lagi pula, kamu masih ada beberapa kali bimbingan skripsi, kan?” ucap Arman.
Aura menatapnya sejenak, lalu mencoba mencari celah.
“Kalau aku ikut, bagaimana? Aku merasa seperti orang bodoh di sini, sendirian...”
Ia tak berharap banyak, tapi tetap ingin suaminya mempertimbangkan. Walau sering merasa kecewa, sebagai istri, ia merasa tempatnya adalah di sisi suaminya. Apalagi kalau orang tuanya nanti bertanya mengapa mereka sering berpisah, Aura akan sulit menjelaskan. Terlebih, sejak awal mereka selalu berpesan agar Aura menjadi istri yang patuh dan setia.
Sayangnya, jawaban Arman datang cepat, tanpa ragu.
“Kalau kamu ikut, aku enggak bisa fokus. Nanti malah jadi beban.”
Beban.
Satu kata itu menampar lebih keras daripada kalimat mana pun.
Namun Aura hanya mengangguk.
Ia sudah terlalu sering mengalah—atas nama cinta, demi kedamaian rumah tangga.Entah sampai kapan dia bisa bertahan dengan semua ini.
💗💗💗
Arman yang tahu Aura tampak sedih mencoba menyogoknya dengan mengajaknya ke toko perhiasan untuk memberinya hadiah.
Katika kalung berlian mahal dipasang di leher putih dan jenjang Aura, dia tidak lupa harus mengucapkan apa.
“Terima kasih, Mas.”
“Gadis yang baik. Kalau kau patuh dan selalu menyenangkanku, aku akan memberimu banyak hadiah,” ujar Arman senang mendengar sang istri mengucapkan terima kasihnya.
Menatap hadiah itu Aura menghela napas panjang. Mungkin sebelum ini dia menyukai dan terharu Arman tak pernah pelit padanya.
Tapi tidak untuk sekarang dan mungkin selanjutnya. Karena…bukan ini yang Aura inginkan.
“Kau mau apa lagi? Katakana saja. aku akan menurutinya. Besok aku sudah berangkat.” Arman masih ingin menyenangkan Aura.
Melihat kesungguhan suaminya, Aura seharusnya tidak terus menggenggam kecewanya.
“Bolehkah kita makan malam di Champa restoran, Sayang.” Aura menyampaikan rencananya.
“Kenapa di sana?” tanya Arman.
“Di sana aku punya kenangan manis dengan suamiku. Bolehkan sebelum pergi kita mengulang kembali keromantisan kita?” pintanya tak macam-macam. Hanya makan malam romantis berdua. Itu saja. Aura sudah terlalu sering kesepian. Jadi dia butuh kehagatan hubungan mereka lagi.
“Terserahmu saja, Sayang. Aku akan minta Dali mengurusnya.”
Dan mendengar itu, suasana hati Aura sudah membaik. Dia tahu Arman mencintainya. Hanya saja belum bisa belajar bersikap dengan baik.
Aura tidak lupa, Arman putra keluarga Eliyas yang kaya raya. Selalu dimanja dan tak pernah menerima penolakan. Pasti membuat Arman memiliki ego yang tinggi dan keras kepala.
Mumpung suasana hati mereka baik, Aura sekalian berbisik dekat telinga suaminya, “Habis itu kita menginap di hotelnya ya, Mas? Ingat, malam pertama kita di presiden suit Hotel Champa. Aku mau mengulang saat romantis kita di kamar itu, Mas.”
Mengatakan itu pipi Aura merona. Teringar malam pertama mereka jalani di hotel itu. Saat itu Arman begitu terlihat gagah dan perkasa. Meski di malam setelahnya semuanya terasa berbeda.
“Iya, deh!” jawab Arman meski tampak setengah hati. Hanya saja dia berpikir sekalian saja karena sudah di Hotel Champa.
...
Keduanya nampak terkejut karena tak sengaja bertemu dengan Pras. Pamannya itu sedang ada meeting di hotel yang sama. Namun hanya berbasa-basi sebentar, Aura dan Arman langsung menuju restoran yang sudah direservasinya tadi.
Sesekali Aura bertanya, “Om Pras terlihat sendiri, terus, Mas. Tante Veni kemana?”
“Di London. Ada peragaan busana di sana dan gaun rancangannya lolos seleksi untuk ditampilkan di London Fashion Week,” jawab Arman.
“Sepertinya mereka sering tidak bersama, aku pikir mereka sudah…”
“Jangan suka bergosip. Om Pras dan Tante Veni baik-baik saja. Tidak perlu ikut campur rumah tangga orang lain,” sahut Arman memotong kata-kata Aura.
“Baik, Mas.” tukas gadis itu melanjutkan makannya.
Setelah makan malam mewah dan romantis itu, mereka pun tak membuang waktu untuk melanjutkan kebersamaan di kamar hotel. Aura meminta izin untuk menganti bajunya karena mereka akan berlanjut ke adegan ranjang.
.
.
.
<Next>
Aura langsung menarik tangannya. Tertunduk dan gugup. Takut Pras marah atas kelakuannya itu.Namun pria itu hanya berkata dengan tenang, “Tidak apa, ini bisa kuatasi. Biarkan aku zoom dulu.”“B-baik, Om…” ujar Aura, bangkit dan berlalu meninggalkan Pras.Aura segera masuk ke dapur, bersandar pada dinding ruangan itu untuk menetralkan debaran jantungnya. Dari tempat itu, Aura bisa mendengar dengan jelas suara Pras yang memimpin rapat. Tegas, berwibawa, dan jelas. Sempat membandingkan, kenapa suaminya tidak bisa seperti pamannya itu? Kalau Arman sedikit saja memiliki sikap seperti sang paman, Aura akan lebih jatuh cinta padanya... Sayangnya, meski mereka memiliki ikatan darah, Arman dan sang paman adalah dua pria dengan pribadi yang berbeda. Tanpa sadar, ia menatap ke arah ruang tamu. Lelaki itu duduk tegap, memberi arahan ke timnya. Aura menatap lebih lama daripada yang seharusnya.Dalam hati, ada kekaguman yang tumbuh. Diam-diam dan lembut.Namun Aura cepat-cepat membuang wajah. I
Aura dan Arman tiba di rumah Oma Eliyas pagi itu. Sang Nyonya Besar sudah menunggu mereka di ruang makan, dengan sarapan yang tersaji rapi. Wajahnya berseri melihat pasangan muda itu datang.“Wah, kau tambah cantik saja, Aura. Berapa lama kita tak bertemu? Oma sampai pangling,” ucapnya hangat.Aura tersenyum malu. “Ah, Oma bisa saja...”Arman memandang istrinya penuh kebanggaan. Aura memang berdandan lebih cantik pagi ini. Ia ingin tampil sempurna, agar suaminya membawa kenangan yang indah sebelum berangkat ke Oxford.“Dukung semua langkah suamimu, Ra,” ucap Oma kemudian, serius namun lembut. “Dia sedang meniti masa depannya.”“Iya, Oma. Aura pasti dukung Mas Arman sepenuhnya.”Nyonya Eliyas mengelus lembut lengan Aura, isyarat kasih yang tak banyak kata. Ia memang sangat menyayangi cucunya, dan kini berusaha juga menyayangi menantunya seperti anak sendiri.Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar. Pras muncul dari arah lorong, hanya mengenakan kaus abu-abu yang melekat pas di
“Maaf untuk yang tadi, Om…” ucap Aura pelan, menunduk. Wajahnya masih menyisakan rona malu. Perilakunya barusan, memeluk pria ini dalam keadaan berpakaian minim, sungguh tak pantas. Pria ini adalah paman suaminya. Tapi tadi Aura bertingkah seolah kehilangan akal sehat.Pras hanya tersenyum. Ia menyodorkan segelas air. “Tak apa. Kau tadi ketakutan.”Hanya jawaban sederhana. Tapi terasa menenangkan.Mereka sempat berbincang sebentar tentang malam perpisahan yang berakhir kacau karena Arman meninggalkannya. Pras, yang jelas-jelas kesal pada Arman, bahkan sempat menghubungi keponakannya itu.“Kalau kau tidak bisa menjemput istrimu sendiri, biar aku yang antar!” ucapnya tadi, tegas. Aura bisa merasakan nada marah di balik suara tenangnya.Kini, di perjalanan pulang, mobil terasa senyap. Aura duduk di kursi penumpang dengan tubuh kaku, pikirannya berkecamuk. Kejadian tadi—tak sengaja memeluk Pras dengan tubuh setengah telanjang, lalu melihat ekspresi paman suaminya itu saat lampu menyala—se
Meski hatinya terasa pedih karena setiap umpatan sang suami, Aura tetap berlari mengejar Arman. Dia tidak ingin ditinggalkan begitu saja—tidak seperti ini.Namun langkahnya terhenti saat menyadari ia masih mengenakan gaun "haram" itu—gaun yang sejak awal Arman tentang. Napasnya memburu. Dada sesak. Tapi ia mencoba menenangkan diri.Dengan tangan gemetar, Aura meraih ponsel dari atas meja dan segera mencoba menghubungi Arman. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tidak diangkat. Napasnya makin tak beraturan, tapi ia terus mencoba. Baru pada panggilan kelima, suara itu terdengar.“Mas Arman... maaf,” ucap Aura lirih, nadanya memelas. “Tolong jangan marah...”Ia berharap Arman melunak, berharap suaminya kembali ke kamar hotel yang telah mereka pesan bersama—bukan begini akhir malam mereka.Tapi suara Arman dingin. Bahkan lebih dingin dari AC kamar yang tak ia rasakan lagi sejak tadi.“Aku sudah di perjalanan pulang. Kalau kamu masih mau pulang, pesan taksi atau ojek online!”“Mas...”Tapi panggil
Aura tidak mau kehilangan momen ini. Besok suaminya akan berangkat ke Oxford dan tidak tahu kapan bisa pulang untuk mengunjunginya. Jadi dia berdandan dengan begitu seksi. Hanya memakai lingeri warna merah menyala, menerawang, hingga apa yang ada di baliknya terlihat mengintip nakal.Aura sengaja tak memakai apapun lagi agar Arman bisa lebih bergairah.“Mas?” panggilnya sembari tersenyum menggoda.Sesaat melihat istrinya secantik itu, Arman melongo. Jakunnya naik turun dan tatapannya menyala.“Kau cantik sekali, Ra.” Pujinya sembari mengeratkan rahangnya. Namun ada sorot keraguan yang terpancar saat Aura menyentaknya.“Kok diam saja, Mas? Ayo, serang aku sayang.” goda Aura dengan nada nakal. Arman mendekat, menarik tubuh Aura lalu menciuminya dengan intens.Aura baru menikmati ciuman itu. Hanya saja tiba-tiba Arman langsung mengangkat tubuh Aura dan menidurkannya di ranjang. Gerakannya kasar membuka kedua paha Aura dan tanpa aba-aba dia langsung memasukinya.“AHH, MAS!” Jerit
“Kau kelihatan tidak suka mendengar hal itu, Ra?” Arman perhitungan melihat istrinya tak memberikan selamat dan senyum atas kabar yang menurutnya bahagia ini.“Tentu suka, Mas. Selamat…” ucapan itu tak sepenuh hati keluar namun Aura sudah terbiasa memulas kesedihannya dengan senyuman di depan suaminya itu. Lelaki ini, seakan tak pernah cukup dengan pencapaian yang sudah didapat.Sudah mengoleksi gelar, jabatan, kehormatan. Tapi masih ingin lebih. Dan jelas, pendidikan itu tidak hanya akan memakan waktu sebulan atau dua bulan, bukan?“Semalam aku sibuk mempersiapkan banyak hal karena ini, Sayang. Kau tahu kan, aku ini dosen. Selayaknya punya gelar yang lebih tinggi dan kualifikasi yang memadahi.”Aura hanya bisa mengangguk. Dia tahu kalau suaminya sudah memutuskan, maka tidak akan bisa berubah. “Berapa lama, Mas?” tanya Aura, tidak ada kata lain selain mendukung suaminya itu.“Setahun saja, Sayang. Aku bakal sering pulang kok,” katanya santai.Seolah satu tahun adalah waktu yang seb