"Masuklah," ucap pelayan yang telah mengantar Tiffany sampai ke depan sebuah pintu besar di ujung lorong, tidak lain ialah kamar Damien.
Tiffany mengangguk. Sesaat memejamkan mata, sebelum akhirnya mendorong pintu. Megah, adalah kesan pertama tatkala memandang interior kamar yang lebih besar daripada rumah tempat ia dibesarkan.
Langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal berkilauan, ranjang tidur berkanopi dilapisi seprai sutra hitam yang tampak mahal, karpet tebal menghiasi lantai, dan jendela besar tertutupi tirai beludru merah gelap. Semua memancarkan kekayaan dan kekuasaan.
Sayangnya, tak sedikitpun Tiffany merasa tenang. Justru dia merasa seperti burung merpati kecil yang terperangkap di sarang predator.
"Tanggalkan pakaianmu, dan naiklah ke pembaringan."
Refleks Tiffany menoleh ke belakang, seketika itu juga matanya terbelalak, melihat Damien muncul di tengah suasana kamar yang remang-remang. Semakin dekat, semakin jelas pula sosoknya terlihat.
"Cepat lakukan," ulang Damien, suaranya terdengar berat dan dominan.
Tiffany meraih tepi gaun putih yang dikenakannya, jari-jarinya gemetar. "Tidak, aku tidak bisa."
"Kau mau melepasnya sendiri ... atau aku yang melepasnya?" ancam Damien, dia terus melangkah maju, sementara Tiffany melangkah mundur.
"Jangan, Tuan. A-aku benar-benar tidak bisa, sungguh aku—haaa!!"
Punggung Tiffany membentur pembaringan saat Damien mendorongnya tanpa aba-aba. Lelaki itu menindih, mengecup, dan meraba apa saja yang bisa diraihnya. Tiffany berusaha menghentikan aksi brutal Damien dengan mendorong, atau memalingkan wajah saat pria itu hendak menyesap alat bicaranya.
Nahas, tenaganya kalah kuat. Alhasil, Damien mendapatkan apa yang dia inginkan, permainannya yang kasar dan memabukkan sempat membuat Tiffany terbuai. Tak cukup sampai disitu, Damien merobek dress putih Tiffany dalam sekali tarikan, pun menanggalkan pakaiannya sendiri, sehingga kini mereka sama-sama tanpa busana.
"Jangan, Tuan," cegah Tiffany saat Damien ingin melesatkan kepemilikannya, matanya berkaca-kaca, "Aku belum pernah melakukan itu," imbuhnya diiringi air mata, berusaha menjaga kesadaran setelah tadi hilang kendali.
Akan tetapi, Damien tidak peduli. Perlahan, Tiffany dapat merasakan sesuatu benda besar dan tumpul memasuki dirinya. Terasa sakit, dan lebih sakit saat Damien melesatkan dengan satu kali hentakan kasar. Pergumulan itu berlangsung agresif dimana Damien mendominasi permainan.
_____________
Matahari pagi menerobos masuk ke ruang makan mansion. Tiffany berdiri canggung di samping Damien, yang duduk di kepala meja. Tangannya terkepal di depan kemaluan, sisa-sisa pergumulan semalam masih terasa perih, tetapi dia harus bersikap profesional seolah tak terjadi apa-apa.
"Duduk," perintah Damien menyadari ketidaknyamanan Tiffany.
Satu menit berlalu, namun Tiffany masih bergeming di tempat. Melihat itu, Damien pun menoleh lagi. "Duduklah," ulangnya lebih tegas.
"O-oh, i-iya," angguk Tiffany, lantas menarik kursi pendamping di sebelah kiri. Duduk dengan kaku, kedua tangan bergetar di atas paha.
"Makanlah," titah Damien lagi.
Tiffany mengangguk, "Iya, Tuan."
Namun, belum sempat memegang sendok, suara ledakan besar mengguncang mansion. Tiffany tersentak, tubuhnya semakin gemetar hebat ketika gelas-gelas kaca di atas meja pecah akibat getaran.
"Tuan, lihat itu!" ujar seorang pengawal menunjuk ke arah halaman, asap hitam dan tebal mengepul di udara.
“A-apa itu?!” Tiffany berteriak panik, matanya melebar. Tanpa pikir panjang, dia melompat ke arah Damien, mencari perlindungan.
Damien mendongak, ekspresinya masih tenang meskipun situasi di luar mansion kacau balau. Dia melirik Tiffany yang berdiri terlalu dekat, lalu berkata dingin, “Aku sudah bilang, jaga jarak. Kecuali, saat aku menginginkanmu."
Segera Tiffany melangkah mundur, "M-m-maaf Tuan, a-aku panik," sahutnya menundukkan kepala, napasnya terengah-engah."Maaf."
Berdiri meninggalkan meja makan, Damien berjalan ke arah jendela, melihat lebih dekat anak buahnya sedang mencoba mengendalikan situasi.
"Siapa mereka?"
"Anak buah Bloodstone, mereka datang untuk memberi peringatan, agar Tuan berhenti menculik orang-orang lemah untuk dibunuh lalu mengambil organ tubuhnya," jawab Dorio.
Mendengar ucapan Dorio, Tiffany terperanjat dalam diam, "Apa? J-jadi Tuan Damien mafia perdagangan organ manusia?" batinnya meringis.
"Berani sekali mereka mengusikku," geram Damien mengepalkan kedua tangan, erat sampai buku-buku jari memutih.
_________
BRAK!
Suara pintu tertutup terdengar setelah Damien membawa Tiffany ke dalam kamar.
"Tetap di sini dan jangan ikut campur," ujar Damien mengingatkan.
"Mereka siapa? Dan apa tujuannya kemari?"
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan, sekarang turuti saja perintahku. Jangan keluar apapun yang terjadi. Mengerti?!"
Tiffany menggeleng, spontan melangkah maju memegangi lengan lelaki itu, "Jangan keluar, itu terlalu berbahaya. Biarkan anak buah Tuan yang mengurusnya."
Ucapan tersebut sukses membuat Damien tertegun, sorot matanya tajam seperti biasa, memandang Tiffany begitu lama. Perlahan, Damien lepaskan lengannya dari pegangan Tiffany.
"Tidak ada yang bisa memerintahku untuk berdiam diri, termasuk kau!" cetusnya dingin, lantas berjalan ke arah pintu.
"Aku akan menurut asalkan Tuan jawab jujur pertanyaanku! Apa benar Tuan mafia perdagangan organ manusia?" sergah Tiffany membuat langkah Damien seketika terhenti.
Malam ketiga tanpa Tiffany.Damien terduduk di sofa ruang kerjanya, menatap kosong segelas bourbon yang belum sempat ia sentuh. Matanya sayu, ada lingkaran hitam samar yang mulai terbentuk di bawahnya. Kemeja hitam yang biasanya rapi kini kusut, beberapa kancingnya terbuka, memperlihatkan lehernya yang tegang karena kurang tidur.Rico, yang berdiri di sudut ruangan, menghela napas pelan. Sudah tiga hari ini bosnya berubah. Tidak ada umpatan, tidak ada perintah keras, bahkan tidak ada baku hantam dengan siapa pun. Hanya tatapan kosong dan sikap melankolis yang bikin bulu kuduknya merinding.“Bos,” panggil Rico hati-hati.Damien tidak menoleh. Rico mendekat, menunggu respon yang tak kunjung datang. Ia pun memberanikan diri duduk di hadapan bosnya, menatapnya seakan sedang menghadapi pasien patah hati. “Tuan, maaf sebelumnya … tapi Anda ini Damien Rael, bos mafia paling ditakuti seantero Italia. Masa akhir-akhir ini galau karena ditinggal a
Damien masih menatap Rico dengan tajam, sorot matanya menuntut jawaban lebih dari sekadar omong kosong. Nafasnya memburu, pikirannya penuh tanda tanya yang kian menyesakkan dada. "Cepat ceritakan atau kepalamu akan kupenggal?!" Glek! Susah payah Rico menelan ludah sebelum akhirnya mulai berbicara, suaranya berat dan tegang."Sebenarnya, saat tuan menyuruhku mengamankan Tiffany, aku langsung berlari ke kamarnya. Aku tahu dia masih di sana, jadi aku tidak membuang waktu. Tapi..." Rico menghentikan ucapannya sesaat, ekspresinya semakin serius. "Saat aku hampir sampai, aku melihat Jasper keluar dari kamar itu lebih dulu."Damien menyipitkan mata, dahinya mengernyit. "Jasper?"Rico mengangguk cepat. "Ya. Dia berjalan keluar dengan ekspresi tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. Aku langsung curiga, tapi aku juga tak bisa langsung menahannya. Jadi aku mempercepat langkah, masuk ke kamar..."Napas Rico sedikit tercekat saat m
"Tapi apa? Cepat jawab! Jangan bertele-tele!" tegas Lucian marah, namun segera menurunkan nada bicara agar tak kedengaran Damien. Jasper mengangkat kepalanya, menatap Lucian dengan wajah tanpa ekspresi. "Aku tidak menemukannya, Tuan." Seketika atmosfer di halaman mansion berubah. Semua orang saling berpandangan, mencoba mencari kepastian dari wajah satu sama lain. Anak buah Lucian mulai gelisah, beberapa menggenggam senjata lebih erat, sementara anak buah Damien tetap dalam posisi siaga, meski kebingungan mulai merayap di benak mereka.Damien menajamkan pandangannya, napasnya tertahan di tenggorokan karena pembicaraan Bloodstone tidak terdengar. Matanya beralih ke arah Rico, berharap mendapatkan jawaban dari tangan kanannya itu. Namun, Rico hanya menggeleng perlahan, ekspresinya tetap tegas tanpa keraguan."Lelucon macam apa ini?" Lucian akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar berbahaya, seperti bara api yang siap membakar habis apa pun di ha
Angin segar berembus dingin, tetapi terasa menyesakkan, bercampur dengan hawa kematian yang menggantung di udara. Damien berdiri tegak di depan mansionnya, berhadapan langsung dengan Lucian Amato yang kini menatapnya dengan mata berkilat penuh kebencian. Di sampingnya, ada Jasper yang berdiri sambil menyeringai licik menunggu perintah.Belum sempat mereka buka suara, tiba-tiba Dor!Suara tembakan pertama meledak, memecah kesunyian.Peluru menembus udara, nyaris menghantam kaki Damien. Refleksnya bekerja cepat. Dengan gerakan sigap, ia melompat mundur dan berlindung di balik salah satu pilar besar di depan mansionnya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, tetapi karena amarahnya yang mulai mendidih."Manusia gila!" umpat Damien..Melalui celah perlindungan, Damien melirik sekilas ke arah lawannya. Alih-alih mundur atau gentar dengan ancamannya tadi, Lucian justru berdiri gagah, seolah mengejeknya. Lalu, denga
Angin pagi berembus kencang saat Damien melangkah keluar dari mansion. Begitu pintu besar terbuka, pemandangan di depannya segera memenuhi pandangan, halaman luasnya kini dipenuhi oleh ratusan orang bersenjata, berdiri tegap dalam formasi yang mengancam.Di garis depan, berdiri dua sosok yang tak asing.Lucian Amato, pria bertubuh tegap dengan mata gelap yang kini menyala oleh amarah. Di sampingnya, Jasper, tangan kanannya yang setia, memegang pistol dengan santai, namun ancaman jelas terasa di udara.Damien tidak menunjukkan ketakutan sedikit pun. Ia tetap berdiri tegak di depan pintu mansionnya, mengenakan setelan hitamnya yang sempurna, tangan dimasukkan ke dalam saku jas seolah ini bukan apa-apa.Lucian mengangkat sebuah dokumen yang diremas di tangan. Kertas itu kusut, menunjukkan betapa marahnya ia sebelum datang ke sini.“Dokumen ini, kau pikir aku tidak akan tahu kalau ini palsu?”ucap Lucian dengan lantang dan penuh amarah. B
Pagi itu langit tampak kelabu, seolah ikut merasakan kelelahan yang masih menggelayuti tubuh Tiffany. Sinar matahari yang menembus jendela hanya redup, tak mampu sepenuhnya mengusir hawa dingin yang menyelimuti kamarnya.Tiffany duduk di ranjang dengan punggung bersandar pada kepala ranjang, selimut tebal membungkus tubuhnya yang masih terasa menggigil. Kepalanya sedikit berat, tenggorokannya kering, dan kulitnya terasa lebih panas dari biasanya. Demam. Dia benar-benar jatuh sakit.Dia menghela napas pelan, menatap ke luar jendela dengan tatapan penuh kekecewaan. Seharusnya hari ini dia sudah bersiap untuk mendaki, mencari ayahnya, memastikan kebenaran kata-kata Damien. Tapi sekarang, tubuhnya sendiri malah mengkhianatinya.Suara langkah kaki di luar pintu membuyarkan lamunannya. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka dan muncullah sosok Damien dengan setelan yang lebih santai dari biasanya. Tak ada jas mahal atau sepatu kulit berkilau. Hanya kaus hitam po