Dalam perjalanan Fadhil masih terbayang wajah kesal pura kecilnya. Ada sedikit rasa menyesal tidak mengabulkan keinginannya untuk ikut menjenguk Sang Bunda. Batin lelaki yang kali ini tampil sedikit berantakan itu saling berdebat membenarkan tindakan. Satu sisi mengatakan sebaiknya anak anak tidak mendekati rumah sakit karena banyak virus takut tertular. Namun sisi lain menyangkalnya.
“Mungkin saja Sarah akan senang bertemu Habbil,” gumamnya.
Sarah sangat menyayangi anak dan mereka juga sangat dekat dengan ibunya. Sarah sangat pandai mengambil hati dan menjadikan dirinya teman curhat yang asyik. Gelak tawa ceria mereka berdengung di telinga. Mengingat semuanya Fadhil tersenyum getir. Rasa bersalah kembali menguasai, sadar semua kekacauan ini karena kebodohannya sebagai suami dan ayah. Keluarga yang begitu sempurna terkoyak hanya oleh sifat kikir dan arogannya selama ini.
Memalukan!
Menyeti
Seperti angin Fadhil melarikan mobilnya dengan kencang. Jeritan klakson kembali bersahutan memperingatkannya tapi dihiraukan. Petugas keamanan kantor di pintu masuk bahkan tersentak mendapati sebuah mobil yang nyelonong masuk tanpa memelankan laju apalagi klakson kecil sebagai ganti sapaan seperti biasa. Petugas itu berlari mendekat untuk bertanya. Barangkali ada sesuatu yang darurat hingga pemilik mobil yang dikenalnya bertindak tidak wajar. Sayangnya begitu turun Fadhil justru menghiraukannya dan bergegas masuk dengan kepala menunduk memperhatikan langkah kaki seolah takut tersandung. “Kenapa dengan Pak Fadhil?” gumam lelaki berseragam biru dengan pentungan tergantung di pinggang itu bingung. Sampai di ruang kerjanya pun Fadhil hanya perlu duduk dan menyalakan computer di meja kerja tanpa sedikit berbasa basi dengan rekan seruangan seperti biasa. Jelas keadaannya juga sikap yang janggal memancing perhatian. Anton
Perjalanan Jawa-Jakarta memakan waktu kurang dari 8jam naik kereta api. Sarah sengaja memilih transportasi ini untuk menyamankan diri. Meski kandungannya sudah cukup kuat di usia 3 bulan, dirinya tidak memilih bus demi rasa lebih aman saat harus berganti tranportasi di stasiun kereta tujuan ke rumahnya. Sarah juga enggan meminta jemput suaminya karena ada sesuatu yang hendak dilakukan sebelum bertemu Fadhil. Wanita berkimar panjang berwarna gading itu sungguh ingin tahu apakah suami dan madunya juga seperti orangorang pada umumnya? Setiap pagi bercengkerama bersama di hadapan teko yang mengepulkan asap dan sepiring kue khas favorite dua jagoan yang teramat dia rindukan? Oh tdak! Batinnya menolak percaya. “Kenapa aku jadi terus terusan berburuk sangka?” Sarah menepuk dahi merasa frustasi. Ransel di punggung terasa lebih berat dari pertama disandang kemarin. Perjalanannya menguras energy meski dirinya ber
~//~ FlasfbackRuang keluarga bernuansa klasik dengan banyak kayu berukir khas Jepara di setiap sudut ruang menjadi saksi kehangatan keluarga Sarah. Pak Wiryo Adi dan Bu Sukamti hanya memiliki dua anak yang semua perempuan. Anak pertama, Salma dibawa ke luar Jawa oleh suaminya setelah menikah dan sangat jarang pulang atau berkunjung setelah menetap di sana. Wajar jika Sarah sangat disayang dan dijaga serta diusahakan kebahagiaannya.Nasihat terus diberikan oleh dua orang yang sangat menyayanginya seperti gerimis yang bertabur lembut di luar sana. Hatinya pun jadi terenyuh hingga mengeratkan pelukan dibahu Sang Bapak.“Jangan main-main sama perasaan, Nduk. Hati manusia gampang terbujuk rayu syetan oleh hal-hal duniawi.”Tiba tiba perasaan Sarah menjadi takut. Benarkah suaminya seperti yang bapaknya umpamakan? Tekadnya semakin bulat untuk segera pulang dan membuktikan sendiri bagaimana kirakira kelanjuta
‘Bang, Sarah ada di rumahku sekarang’Pesan singkat Zubaidah pagi ini adalah buncahan bahagia sekaligus ketegangan. Pertemuan dengan Sarah kali ini bisa dibilang soal hidup matinya pernikahan mereka berdua. Fadhil tak membuang waktu segera meluncur kerumah Zubaidah selepas mengantar anak-anak sekolah.Baju kantor telah melekat rapi di tubuh seperti hari-hari biasa selalu mengurus diri dan anak, mengantar mereka lalu melanjutkan perjalanan ke kantor. Kabar keberadaan Sarah di rumah madunya membuat dada tak berhenti bertalu. Kerinduan yang sangat dan entah rasa apa lagi, bercampur menjadi satu.Fadhil tidak membawa kendaraan karena mobil telah dibawa oleh Anton sahabatnya. Kemungkinan hari ini dirinya akan ijin tidak masuk saja demi bisa segera menyelesaikan urusan keluarganya. Sambil berjalan tatapannya terus ke arah pintu. Langkahnya menjadi semakin berat.“Assalamualaik
Sarah melangkah mendekati suaminya setelah menumpahkan segala kecewa atas abai Fadhil selama dirinya berada di rumah orang tua. Sang suami yang duduk menunduk mengepalkan tangan. Berkali menarik napas untuk mengurai sesak. Buku jarinya nampak memutih menandakan begitu kuat kepalannya.“Kau salah kalau mengira aku menikmati kebersamaan sebagai suami untuk Zubaidah jika nyatanya keluarga utama yang kuperjuangkan hancur.Aku sadar bukan suami yang baik untukmu.Bukan ayah terbaik untuk anak-anak kita.Aku menyadarinya ketika kau begitu mudah berbagi.”Sarah, “….”Sarah tak bisa bicara lagi bahkan kemarahannya lenyap entah ke mana. Untuk beberapa saat mereka berdua terdiam dengan pikiran masing masing. Fadhil sedang menguatkan hati dan menyusun kata untuk istrinya agar tidak salah bicara.“Aku menunggu, Sayang ... jika kau merasa lebih
‘Zubaidah, Mas izin menemani Sarah lebih dulu ya ... selesai ngajar langsung pulang jangan kelayaban’.Caht Sang Suami membuatnya tersenyum lega. Apa pun bahkan jika waktu kunjungannya dikurangi untuk Sarah yang sedang mengandung, Zubaidah ikhlas.Bayangan akan perpisahan dan mengubur kenangan indah saat bersama, terlalu berat untuk ditanggung. Pipi Zubaidah memerah membayangkan masih ada kesempatan mengulang semuanya. Dalam hati dirinya berjanji akan berhati-hati menjaga hubungan dengan suami, madu juga keluarganya.‘Ya, Sayang. Baidah akan sabar menunggu giliran. Berbahagialah! Jaga dan bahagiakan Sarah. Kita harus sadar, bahagianya adalah bahagia kita. Semoga Allah ridho’.Sand.“Wah, Bu Baidah senyum senyum sendiri kenapa nih?” tanya Bu Winda teman Zubaidah mengajar di sekolah.SD Permata adalah sekolah cukup elit berbasis Isla
Rahasia jodoh tak ada seorang pun yang tahu. Contohnya Zubaidah yang telah begitu lama menanti jodoh hingga berusia empat puluh tahun. Untaian doa yang tak putus juga ikhtiyar yang terus dilakukan hingga rasanya hampir putus asa.“Mungkin jodohku disimpan di surga sana,” gumamnya selalu untuk menenangkan diri.Sujudsujud panjang dilakukannya dengan berderai air mata di waktuwaktu orang lain tengah bergulung dengan selimut yang hangat juga mimpi indah. Kemudian lewat perantara Laras Sang Adik, akhirnya doa terkabulkan meski harus menjadi yang ke dua.“Istikharah dulu ya, Kak … baru diputuskan. Semoga Allah pilihkan yang terbaik,” kata Laras sambil menepuk punggung kakaknya lembut saat itu.Ketika akhirnya Zubaidah menerima pinangan Fadhil untuk menjadi istri keduanya, justru Pak Ali yang seorang duda setelah istrinya meninggal juga bermaksud menjadikannya istri. Jika Fad
Lewat tengah hari jalan raya begitu panas menyengat ketika Zubaidah pulang mengajar mengendarai metik hitam kesukaannya. Helm dan sarung tangan yang dikenakan seolah tak mampu melindunginya dari rasa yang menyengat.Hiruk-pikuk pengendara lain yang tidak sabar memainkan klakson memekakkan telinga. Zubaidah mengeluh dalam hati. Andai saja dirinya bisa meminta suami menjemput seperti pasangan lain, pasti jalanan panas ini tak akan terasa menyiksa.“Bu, jangan melamun di jalanan bahaya!”Zubaidah tergagap mendengar pengendara di sampingnya berteriak mengimbangi deru suara banyak kendaraan. Postur jangkung dengan motor besar dan helm yang menutupi sebagian wajah masih bisa dengan jelas dikenali.“Ayo jalan!” Lelaki itu kembali berteriak.Pak Ali seperti sengaja mendampingi Zubaidah. Sebelum melajukan kendaraannya tatapan khawatir sempat tertangka