Di rumahnya, Zubaidah bersimbah air mata. Kepalanya dipenuhi bayangan sang suami. Selama di tanah suci kemarin Fadhil khusuk beribadah. Bersikap dingin padanya dan tidak banyak bicara. Berbeda sekali dengan awal rencana keberangkatan yang disambut dengan suka cita .
Hingga pulang ke tanah air, lelaki yang kini telah merampas utuh seluruh hatinya itu tak bersemangat di setiap acara yang digelar di rumah istri keduanya. Hanya kata seperlunya saja yang keluar jika dimintai pendapat dan bantuan. Cukup dikerjakannya saja apa pun yang diminta Zubaidah tanpa banyak suara.
Terakhir menyelinap pergi diam-diam saat keluarga besar sang istri masih berkumpul dan berbincang hangat. Sekarang telah dini hari tanpa kabar dan juga enggan menjawab panggilan. Hal itu jelas meresahkan hati dan pikirannya.
“Ada apa kak?” Laras yang malam itu menginap tengah menidurkan anaknya di kamar tamu, mendengar isak tanggis kakaknya.
“Aku tahu Bang Fadhil pasti di sana. Tidur memeluk Sarah dan membiarkan aku menunggu bahkan panggilanku diabaikan!” Kata-kata Zubaidah penuh penekanan karena amarah.
“Istighfar, kak. Suamimu tidak berada di tempat yang salah. Aku tahu kalau belakangan ini suami kakak sudah jarang mengunjungi istri pertamanya. Kakak ingat berapa lama Bang Fadhil tidak pulang kerumah Sarah?” tanya Laras untuk menyadarkan kakaknya perlahan.
“Kakak tidak peduli ,Laras . Sebagai istri kakak cuma berusaha berjuang mempertahankan suami.”
“Sadarlah kak. Kau sudah merampas hak Sarah. Bagaimana niat awal, Kakak menikah dengannya?” Meski mulai jengkel, Laras masih berusaha bersabar.
“Tapi aku menjadi istrinya yang lebih baik Laras! Sarah hanya ingin uang Bang Fadhil. Menyuruh ini itu seperti budak. Aku berikan segalanya dan penghormatan tinggi sebagai kepala keluarga. Seharusnya Bang Fadhil bahagia bersamaku!” Tangis Zubaidah kembali pecah dalam pelukan adiknya.
Laras menepuk pundak kakaknya dengan lembut. “Kakak tidak mengerti. Sarah bukan hanya menginginkan uang Bang Fadhil, tapi mengingatkan kewajiban suaminya. Begitulah keluarga, Kak. Tidak saling memperbudak antara suami dan istri. Saling membantu dan menasehati dalam kebaikan juga ibadah.” Zubaidah ingin membantah tapi cepat dipotong adiknya.
“Apa Kakak mendorong suami untuk menzolimi anak dan istrinya yang lain?”
Zubaidah membulatkan mata. “Apa maksudmu?! Kau tidak tahu apa-apa! Betapa Bang Fadhil tidak adil kepadaku!”
“Tidak adil? Apa yang dilakukan Bang Fadhil?” tanya Laras bingung. Setahunya suami kakaknya itu cukup baik pada kakak juga keluarga yang lain. Menafkahi kakaknya dengan baik juga seperti yang diceritakan sang kakak padanya.
Zubaidah menunduk dalam. “Ini sangat pribadi.”
“Ceritakanlah! Aku adikmu, Kak. Jangan memendam apa pun sendirian,” bujuknya.
“Dulu di awal pernikahan, Bang Fadhil selalu berpura-pura bahagia bersamaku. Dia menahan hasratnya saat memuaskanku. Lalu melarikan diri dengan alasan rindu anak-anak, padahal mencari kepuasan pada Sarah. Semula aku tidak tahu karena menganggap tabu mencari tahu hal itu. Kukira begitu hebatnya suamiku hingga mampu bercinta dengan dua istri dari tempo beberapa menit saja. Ternyata dia menundanya, aku sangat terhina menyadari itu. Sekarang aku mampu membuatnya puas dan bahagia. Haruskah aku melepasnya?” tanya Zubaidah mengakhiri kisahnya dengan wajah memelas.
Cerita panjang Zubaidah membuat Laras tertegun. Keprihatinan sungguh dalam untuk kakak yang disayanginya itu. Laras beranjak menjauhi Zubaidah. Air mata menetes tanpa sadar. Sang kakak terkejut.
“Laras! Ada apa? Kenapa menangis?”
“Laras kasihan padamu, Kak....”
“Sudahlah. Sudah takdirku. Aku akan kuat Laras. Bang Fadhil pasti bisa kubawa kembali.” Zubaidah mengepalkan tangan dan menggegat bibirnya.
“AKU KASIHAN, KENAPA KAKAK JADI BEGINI!!”
Teriakan Laras membuat Zubaidah terkejut dan surut kebelakang. Beberapa saat suasana hening. Kakak beradik itu diam saling memandang. Air mata sudah berderai di pipi Laras. Isaknya terdengar antara sedih dan kesal.
“Laras....” Bibir Zubaidah bergetar menyebut nama adiknya pelan.
“Kakak yang tidak tahu apa-apa. Kakak tidak tahu betapa tersiksanya seorang suami yang tidak bisa melepas hasrat pada istrinya dan harus berpura-pura. Kakak tidak tahu rasanya istri yang harus merelakan suaminya berbagi kasih. Kau bahkan menghujat wanita yang dengan susah payah mengiklaskan suaminya menyempurnakan separuh ibadahmu.” Kata kata Laras begitu datar.
“Kakak sungguh mengerikan!!!” Laras meninggalkan kakaknya dengan geram, masuk kamar dan menutupnya dengan keras.
Tubuh Zubaidah bergetar hebat. Diremasnya wajah dan terjatuh sujud dalam tangis. Suara Laras terngiang-ngiang di kepala. Direnggutnya kuat-kuat kerudung dan meremas-remas rambut hingga terburai ikatannya.
Kumandang azan subuh menyadarkan Zubaidah. Cepat-cepat dirinya beranjak menyambar handuk dan menyiram tubuhnya yang berantakan dengan air dingin di kamar mandi. Pikirannya satu, Zubaidah tidak ingin Fadhil menyaksikan kekacauan yang dibuatnya malam ini, jika suaminya kembali selepas subuh seperti biasa. Benar saja. Salamnya terdengar ketika Zubaidah tengah tilawah selepas solat.
“Waalaikumusalam,” jawabnya serak sambil menutup mushaf di pangkuan.
“Suaramu serak, Sayang... istirahatlah! Apa tamunya pulang sampai larut? Maaf aku pergi tidak pamit. Kau terlihat asyik ngobrol jadi tak mau mengganggu.” Suara Fadhil begitu tenang. Zubaidah semakin merasa bersalah. Diraihnya tangan Fadhil dan dicium kidmat.
“Maafkan aku, Bang.”
“Ada apa?” Fadhil meneliti wajah istrinya yang sembab. Zubaidah segera menunduk jengah.
“Kau habis menangis?”
“Tidak. Aku kurang tidur jadi tidak bisa menemani, Abang sarapan. Baju kantor sudah siap juga sarapannya. Aku mau tidur lagi.”
“Dikirain kenapa, tak apa tidurlah!”
Zubaidah beranjak ke tempat tidur. Merebahkan diri dan menarik selimut. Dengan mata terpejam dia berucap. “Pulang kantor jenguklah anak-anak! Semalam mereka sudah tidur, kan?”
Fadhil memandang istrinya dalam diam. Apa maksudnya? “Kau baik-baik saja?”
“Ya”
Zubaidah merasakan kecupan hangat di dahi, lalu mendengar langkah kaki menjauh dan pintu kamar tertutup. Air mata mengalir tanpa mampu dibendung. Zubaidah membenamkan wajah ke bantal.
Fadhil nanar menatap sekumpulan keluarga besar yang sedang tertawa bahagia di taman sebuah rumah yang telah disulap menjadi aula pesta kebun yang semarak. Semesta seakan merestui hari bahagia itu dengan cuaca cerah langit memamerkan gemerlap bintang bermunculan ketika hari telah beranjak semakin malam. “Seharusnya aku yang ada di sana,” gumamnya sambil tak lepas memandang seorang wanita cantic yang bergelayut manja pada seorang pria tampan berkulit putih dengan anak perempuan mungil dalam gendongan. Itu adalah hari bahagia Sarah pada acara resepsi pernikahannya bersama Dokter Wan. “Sudahlah, Bang tak usah dilihat terus! Apa, Abang tak sadar itu sudah jadi masa lalu? Sekarang lihat kenyataan bahwa Sarah sudah bahagia dan kita juga harus melanjutkan hidup berusaha bahagia dengan keadaan yang ada,” kata Zubaidah sambil menggoyangkan lengan sang suami untuk menyadarkannya. SETAHUN YANG LALU Pada hari Zubaidah melahirkan seorang putra, Sarah sang madu juga tersadar dari baby blues ya
Laras berlari cepat ke parkiran rumah sakit di mana Sarah dirawat. Ketika Dokter Wan mengabarkan bahwa Zubaidah melahirkan di rumah sakit yang sama, dirinya segera menghubungi sang suami. Anton sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit membawa bayi Putri dan neneknya juga Bibi sebagai pengasuh. Mereka harus segera dihentikan agar jangan sampai bertemu Fadhil ataupun Zubaidah yang mungkin saja keluar ruang rawat menjenguk bayinya yang konon dirawat khusus di NICU karena lahir premature.“Ayo dong, Bi … angkat,” gumam Laras sambil terus menekan-nekan keypad gawainya lalu menempelkan ke telinga.Karena panggilan terus saja gagal wanita berjilbab panjang itu berinisiatif menunggu di loby. Benar saja tak berapa lama kendaraan dengan nomor polisi yang dikenalnya memasuki loby utama. Laras mengetuk kaca bagian pengemudi ketika mobil melambat. Jelas Anton jadi mengerutkan dahi melihat istrinya tampak panic.“Buka saja kuncinya biar aku masuk dulu.”Laras segera masuk ke jok tengah kendaraan
Zubaidah telah berbaring kembali di ranjang pasien dengan selimut yang kurapikan menutupi tubuhnya hingga ke dada. Meski matanya terpejam, aku tahu kalau dirinya sama sekali tidak tidur. Dia sepertinya masih marah karena kutinggalkan cukup lama hingga kehausan. Luka di perutnya masih basah hingga belum bisa bangun atau duduk apa lagi beranjak mengambil minum di meja samping temat tidur sendiri. Jaraknya cukup jauh dari jangkauan tangan.Alih-alih mencemaskan kemarahan istri, ingatanku justru kembali pada Laras di lorong rumah sakit tadi.“Siapa yang dia jenguk?” gumamku tanpa sadar.“Siapa, Bang?”Aku menoleh dan mendapati Zubaidah telah membuka matanya kembali. Tatapannya mengisyaratkan tanya. Mungkin dia telah menatapku dari tadi tetapi aku yang tidak menyadarinya karena asyik melamun. Aku bergerak dalam dudukku seolah mencari posisi yang baik tapi sebenarnya aku sedang memilah kata untuk kusampaikan padanya tentang hal-hal aneh yang kutemukan di rumah sakit ini. Wanita ini baru sa
Kebahagian ini rasanya ada yang kurang entah apa itu. Kelahiran bayi yang dilahirkan Zubaidah adalah hal istimewa karena sejak awal pernikahan tak pernah terpikir akan mendapatkan anak darinya. Perjalan hampir tiga tahun bersamanya aku lebih banyak merasa mendapat jekpot dalam hidup ini.Biaya hidup keluarga yang tak perlu kupikirkan sampai hadiah-hadiah special juga pelayanan istimewa yang kudapatkan dari istri keduaku ini sungguh membuatku senang. Keadaan yang jauh berbeda dari kehidupan pernikahanku bersama Sarah. Begitupun cintaku tetap lebih besar pada wanita mungil yang mendampingiku lebih dulu. Sampai akhirnya hadir Arjuna di Rahim Zubaidah. Semua seperti terbalik. Rasa ingin membalas kebaikan yang kudapatkan darinya membuatku membantunya untuk mendapatkan kebahagiaan juga. Agar dia juga merasa beruntung memilikiku maka selalu kubantu dia untuk menggapai apa yang diinginkannya sampai hal dia ingin lebih lama bersama atau lebih aku perioritaskan kehidupannya dari Sarah dan ana
Aku seorang dokter yang dituntut profesional menghadapi pasien bagaimanapun keadaannya. Hanya saja aku sungguh tak bisa mengendalikan diri jika menghadapi lelaki yang telah menyakiti hati seorang wanita.Yah, khusus wanita itu. Sarah.Datanya kusimpan secara khusus ketika hati ini tak bisa berhenti memikirkannya. Semula aku mengira mungkin ini karena rasa kasihan mengetahui dirinya yang telah disakiti seorang suami sedemian rupa.Namun rasa ini sungguh terlalu dalam.Wajah sayunya selalu membayang di pelupuk membuatku sulit memejamkan mata sebelum memastikan keadaannya.Apakah baik-baik saja? Apakah nyaman dalam menerima setiap tindakan medis juga perawatannya?Apakah obatnya sudah diminum?Apakah cukup menerima asupan? Juga apakah-apakah yang lain.Kekhawatiranku semakin bertambah sejak hari ini. Biang yang telah membuatnya sakit tengah berkeliaran di rumah sakit tempatnya dirawat. Istri lelaki yang sama sekali tak pantas disebut suami itu sedang melahirkan. Kandungan istimewa itu b
Kularikan mobil dengan kecepatan tinggi ke rumah sakit. Sebelumnya telah kuhubungi dokter Wan yang bertanggung jawab pada istriku sejak awal kehamilan. Aku sendiri tak berani asal masuk ke rumah sakit lain karena kondisi kehamilan Zubaidah yang cukup menghawatirkan. Dokter Wan lebih tahu kondisi pasien karena memiliki catatan medisnya sejak awal. “Bapak tunggu di luar saja biar Dokter focus bekerja! Bapak bantu doa saja,” kata perawat menahan langkahku memasuki ruang periksa. Perasaanku sangat kacau. Tak seperti kelahiran anak-anakku bersama Sarah yang bisa kuhadapi dengan tenang karena kondisi ibunya yang sehat dan normal juga bantuan keluarganya yang ikut siaga baik moril maupun materil. Sekarang aku bingung sendirian. “Pak Fadhil!” “Ya!” Entah mengapa aku seperti mendapatkan tatapan yang kurang menyenangkan dari semua orang di rumah sakit ini. Bahkan ketika aku sedang kesulitan seperti sekarang wanita berseragam putih-putih itu tetap bicara dengan nada tinggi seperti kesal. Ap